Anda di halaman 1dari 9

MORBUS HANSEN (KUSTA)

Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
infeksi

Mycobacterium

leprae

(M.leprae)

yang

pertama

menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa


mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata,
otot,

tulang

dan

testis

kecuali

susunan

saraf

pusat.

Pada

kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun


sebagian

kecil

memperlihatkan

gejala

dan

mempunyai

kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan


kaki.
Epidemiologi
Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil
yaitu tipe multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui
dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah
melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan
kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup
beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta bervariasi,40 hari
sampai 40 tahun. Kusta menyerang semua umur dari anakanak
sampai dewasa. Faktor sosial ekonomi memegang peranan, makin
rendah sosial ekonomi makin subur penyakit kusta, sebaliknya
sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan
dengan iklim, kusta tersebar di daerah tropis dan sub tropis yang
panas dan lembab, terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Jumlah kasus terbanyak terdapat di India, Brazil, Bangladesh, dan
Indonesia.
Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang
ditemukan

oleh

GH

Armauer

Hansen,

seorang

sarjana

dari

Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam,


1

berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5
mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak
dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat
menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo.
Patogenesis
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui.
Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat
dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita kusta,
Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial
ekonomi dan genetik Juga ikut berperan, setelah melalui penelitian
dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga
tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta
yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi
juga diduga merupakan faktor penyebab.
Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan
oleh kontak antara orang yang terinfeksi dengan orang sehat.
Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh
manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah
dibuktikan bahwa kasus lepramatosa menunjukan adanya sejumlah
organisme

di

dermis

dibuktikan

bahwa

kulit.

organism

Bagaimana
tersebut

masih
dapat

belum

dapat

berpindah

ke

permukaan kulit. Walaupun telah ditemukan bakteri tahan asam di


epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan bakteri
tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan
bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis.
Dalam penelitian terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah
Mycobacterium leprae yang besar dilapisan keratin superficial kulit
di penderita kusta lepromatosa. Hal ini menbentuk sebuah
pendugaan

bahwa

organisme

tersebut

dapat

keluar

melalui

kelenjar keringat.

Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium


leprae telah ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah
bakteri dari lesi mukosa hidung pada kusta lepromatosa, menurut
Shepard,

antara

melaporkan

10.000

bahwa

hingga

sebagian

10.000.000
besar

bakteri.

pasien

Pedley

lepromatosa

memperlihatkan adanya bakteri di secret hidung penderita. Devey


dan

Rees

mengindikasi

bahwa

secret

hidung

dari

pasien

lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.


Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia
masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan kulit dan
pernafasan atas menjadi gerbang masuknya bakteri.
Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan. beberapa
peneliti berusaha mengukur masa inkubasi kusta, masa inkubasi
kusta minimum dilaporkan beberapa minggu, berdasarkan adanya
kasus kusta pada bayi. Masa inkubasi maksimum dilaporkan
selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan berdasarkan pengamatan pada
veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan
kemudian berpindah ke daerah non endemik. Secara umum telah
ditetapkan masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tandatanda utama atau tanda kardinal, yaitu:
A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit/lesi yang
dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau
kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).
B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi
saraf.
Gangguan

fungsi

saraf

tepi

ini

biasanya

akibat

dari

peradangan kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun


gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan (paralise).
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.
3

C. Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis.


Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk
tahap

selanjutnya

harus

ditetapkan

tipe

atau

klasifikasinya.

Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis


(jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan
bakteriologi,

pemeriksaan

histopatologi

dan

pemeriksaan

imunologi.
Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya
adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India
dan klasifikasi menurut WHO.
KLASIFIKAS
I
RidleyJopling
Madrid
WHO
Puskesmas

ZONA SPEKTRUM KUSTA


TT

BT

Tuberkuloid
Pausibasilar (PB)
PB

BB

BL

Borderline

LL

Lepromatosa
Multibasilar (MB)
MB

A. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953)


Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate
(I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous
(L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana
berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis,
dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari
International Leprosy Association di Madrid tahun 1953.
B. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)
Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum
klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu
sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi
terhadap M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell
mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan
apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut
mendapat

infeksi

M.leprae

dan

tipe

kusta

yang

akan

dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi


4

ini banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena


bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan
respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler
spesifik.
Kelima tipe

kusta

menurut

Ridley-Jopling

adalah

tipe

Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe MidBorderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe
Tuberculoid (T).
C. Klasifikasi menurut WHO
1. Lesi kulit
(makula datar, papul

yang

meninggi,
nodus)

PB
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eri

tem
Distribusi

simetris
Hilangnya sensasi

lebih
tidak
-

Hanya

cabang

simetris
Hilangnya
sensasi

yang jelas
2. Kerusakan saraf
(menyebabkan

MB
> 5 lesi
Distribusi

saraf

kurang jelas
Banyak
cabang saraf

hilangnya
sensasi/kelema
han otot yang
dipersarafi oleh
saraf
terkena)
3. BTA

yang
-

negatif

positif

Reaksi Kusta
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam
perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (seluler respon) atau reaksi antigen-antibodi (humoral
respon) dengan akibat merugikan penderita, terutama pada saraf
tepi yang menyebabkan gangguan fungsi (cacat).

Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat


pengobatan maupun sesudah pengobatan. Namun sering terjadi
pada 6 bulan sampai 1 tahun sesudah memulai pengobatan.
Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu:
reaksi tipe I dan reaksi tipe II
A. Reaksi Tipe I ( Reaksi reserval, Reaksi Up grading)
Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan
terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan, reaksi tipe I terjadi
akibat meningkatnya respon kekebalan seluler secara cepat
terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita.
Disini terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB.
a. Gejala-gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan
lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), gangguan
fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan
umum penderita (konstitusi).
b. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipee I ini
dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan reaksi berat.
c. Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu
atau lebih.
B. Reaksi Tipe II (Reaksi ENL= Reaksi Eritema Nodosom
Leprosum)
Terjadi pada penderita tpe MB dan merupakan reaksi
humoral, dimana kuman kusta yang utuh maupun tidak utuh
menjadi antigen. Tubuh membentuk antibodi dan komplemen
(Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks).
a. Gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi,
neuritis (nyeri tekan) dan gangguan fungsi saraf tepi,
gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh.
b. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan
reaksi ringan dan reaksi berat.
c. Perjalanan reaksi Biasanya berlangsung selama 3 minggu
atau lebih. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan
berlangsung lama.
Pemeriksaan serologi

Beberapa

jenis

pemeriksaan

serologi

kusta

yang

banyak

digunakan, antara lain:


A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh
yang telah dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini
memberikan sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya
agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari
mikrobakteri lain.
B. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan
dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif.
C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik
PGL-1 dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji
yang praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk
keperluan skrining kasus seropositif
D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa
M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang
spesifik dan sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan yang utama
dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang
proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien
kusta dan kontak.
E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi
untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di
dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai
dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai
penanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai
uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi
atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen
spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji
kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang
diuji

dengan

menggunakan

alat

bantu

berupa

spektrofotometer.
7

Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan


antigen

antibodi

yang

terbentuk

dengan

diberi

label

(biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya


terjadi

perubahan

spektrofotometer

warna
dengan

yang
panjang

dapat

diukur

gelombang

dengan
tertentu.

Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk


tempat terjadinya reaksi.
Penatalaksanaan
Program Multi Drug Therapy (MDT) dimulai pada tahun 1981,
yaitu ketika kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi
mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen
MDT-WHO. Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson,
rifampisin, dan klofasimin. Selain itu mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga
untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka
putus-obat (dro-out) yang cukup tinggi pada masa monoterapi
dapson. Disamping itu diharapkan juga dengan MDT dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen
pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut
adalah sebagai berikut :
A. Tipe PB
Untuk kusta tipe PB, terdiri atas kombisnasi rifampisin dan
dapson.
a. Jenis dan obat untuk orang dewasa:
1. Rifampicin 600 mg/bulan dan DDS 100 mg / hari ditelan
di depan petugas.
2. DDS 100 mg / hari diminum di rumah.
b. Jenis dan dosis obat untuk anak-anak :
1. DDS 1-2 mg / kg berat badan
2. Rifampisin 10-15 mg / kg barat badan
c. Lama pengobatan Lama pengobatan untuk penderita tipe
PB adalah selama 6-9 bulan.
B. Tipe MB

Untuk kusta tipe MB, terdiri atas kombinasi rifampisin,


dapson, klofazimin.
a. Jenis dan dosis obat untuk orang dewasa:
1. Klofazimin 300 mg / bulan
2. Rifampisin 600 mg / bulan
3. DDS 100 mg / bulan
Ketiga obat ini ditelan di depan petugas setiap bulan.
1. DDS 100 mg / hari
2. Klofazimin 50 mg / hari
Kedua obat ini diminum di rumah.
b. Dosis Klofazimin untuk anak-anak:
1. Umur dibawah 10 tahun : Bulanan : 100 mg / bulan,
Harian : 50 mg / 2 kali / minggu
2. Umur 11 14 tahun : Bulanan : 200 mg / bulan,
Harian : 50 mg / 3 kali / minggu
Lama

pengobatan

tahun

Setelah

pengobatan

dihentikan (Release from Treatment/RFT) penderita masuk


dalam

masa

pengamatan

(control)

yaitu:

penderita

dikontrol secara klinik dan bakterioskopik minimal sekali


setahun

selama

tahun

untuk

penderita

kusta

multibasiler dan dikontrol secara klinik sekali setahun


selama 2 tahun untuk penderita kusta pausibasiler. Bila
pada masa tersebut tidak ada keaktifan, maka penderita
dinyatakan

bebas

dari

pengamatan

(Release

from

Control /RFC).

Anda mungkin juga menyukai