Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Lereng adalah suatu permukaan tanah yang miring dan membentuk sudut tertentu

terhadap suatu bidang horizontal. Pada tempat dimana terdapat dua permukaan tanah yang
berbeda ketinggian, maka akan ada gaya-gaya yang bekerja mendorong sehingga tanah
yang lebih tinggi kedudukannya cenderung bergerak kearah bawah yang disebut dengan
gaya potensial gravitasi yang menyebabkan terjadinya longsor.
Diruas jalan Lakuan Laulalang - Lingadan Kabupaten Tolitoli terdapat daerah berlereng
dengan kondisi tanah secara visual adalah tanah lempung dan sangat rawan akan bahaya
kelongsoran. Pada daerah ini jalan raya yang ada menghubungkan Kota Tolitoli Buol
dengan arus lalu lintas yang termasuk sepi. Pada saat musim hujan lereng yang ada
disepanjang ruas jalan ini di beberapa lokasi ada yang longsor. Longsor merupakan salah
satu bencana alam geologi yang paling sering menimbulkan kerugian seperti jalan raya
rusak, kerusakan tata lahan, bangunan perumahan, bahkan sampai merenggut korban jiwa.
Kejadian longsor antara lain dikontrol oleh sifat fisik tanah dan batuan, struktur geologi,
kemiringan lereng, vegetasi penutup serta factor beban dan getaran. Agar tidak terjadi
kerugian material dan immaterial seperti tersebut diatas, maka permasalahan gerakan tanah
perlu mendapat perhatian.Dalam penelitian ini digunakan metode geolistrik tahanan jenis,
yang bertujuan untuk menentukan bidang gelincir yang diduga sebagai penyebab
terjadinya tanah longsor. Informasi tentang struktur dan perlapisan tanah tersebut
digunakan untuk mengetahui batas-batas kelabilan tanah yang dapat menjadi acuan dalam

pengembangan wilayah khususnya ruas jalan Lakuan Laulalang - Lingadan. Oleh karena
itu untuk mengetahui struktur dan perlapisan tanah di lokasi tersebut dilakukan penelitian
menggunakan metode geolistrik. Metode geolistrik adalah metode yang telah banyak
digunakan baik untuk kegiatan eksplorasi maupun masalah lingkungan termasuk masalah
gerakan tanah atau tanah longsor. Penelitian ini sangat penting dilakukan mengingat di
Indonesia umumnya sering terjadi longsor. Aplikasi metode ini pada masalah gerakan
tanah (longsor) antara lain telah dikembangkan oleh Sugito, dkk (2010), Suhendra (2005),
dan Nurul, P (2005). Medode geolistrik tidak merusak lingkungan, biasanya relatif murah
dan mampu mendeteksi sampai kedalaman tertentu (Reynold, 1997).
1.2

Rumusan Masalah Penelitian


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah

bagaimana gambaran lapisan bawah permukaan di ruas jalan Lakuan Laulalang


Lingadan.
1.3

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran

lapisan bawah permukaan ruas jalan Lakuan Laulalang Lingadan.


1.4

Manfaat Penelitian
Adapun hasil akhir dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat berupa

informasi kepada pihak kontraktor (perusahaan) atau instansi pemerintah terkait mengenai
gambaran bawah permukaan lokasi tersebut, untuk dijadikan sebagai acuan dalam
pengelolaan dan pengembangan jalan nasional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Sifat Kelistrikan Batuan dan Mineral


Aliran konduksi arus listrik dalam batuan dan mineral dapat digolongkan menjadi 3

macam yaitu : konduksi elektronik, konduksi elektrolit dan konduksi dielektrik. Konduksi
elektronik adalah tipe normal dari aliran arus listrik dalam batuan mineral. Hal ini terjadi
jika batuan atau mineral tersebut mempunyai banyak elektron bebas, akibatnya arus mudah
mengalir pada batuan ini. Konduksi Elektrolit, konduksi jenis ini banyak terjadi pada
batuan atau mineral yang sifat porus dan pori-porinya terisi oleh batuan elektrolit. Dalam
hal ini arus listrik mengalir akibat dibawa oleh ion-ion larutan elektrolit. Konduksi
Dielektrik, konduksi dengan cara ini lebih lambat daripada konduksi elektronik. Konduksi
ini terjadi pada batuan yang lebih bersifat dielektrik, artinya batuan tersebut mempunyai
elektron bebas sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Tetapi karena adanya pengaruh
medan listrik dari luar, maka elektron-elektron dalam batuan dipaksa berpindah dan
berkumpul terpisah dari intinya sehingga terjadi polarisasi (Telford, 1990).
Menurut Telford at all. (1990) berdasarkan harga resistivitasnya batuan dan mineral bumi
diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu:
1. Konduktor baik
: 10-6 m < < 1 m
2. Konduktor pertengahan : 1 m < < 107 m
3. Isolator

: 107 m

2.2

Aliran Listrik dalam Bumi.


Tinjau suatu medium homogen isotropik. Jika medium tersebut dialiri arus listrik

searah

(diberi medan listrik

luas permukaan

) maka besarnya alemen arus

yang melalui elemen

(J )
dengan kerapatan arus

adalah :

I J .A

(4)

(E )

(J )
Hubungan antara rapat arus

dan medan listrik

yang ditimbulkan adalah:

J E
(5)

(V )
Medan listrik merupakan gradient dari potensial skalar

, maka diperoleh

hubungan :

E V
(6)
Persamaan (6) disubtitusikan ke dalam Persaman (5) sehingga diperoleh persaman:

J V
(7)
Jika diasumsikan medium tertutup, yang berarti tidak ada arus yang mengalir ke luar atau
masuk ke dalam volume yang dilingkupi oleh permukaan A, maka menurut hukum Gauss

J .dA V .J .V 0
A

(8)

Jika

merupakan suatu volume tak terbatas yang meliputi suatu titik tertentu, maka

diperoleh persamaan Laplace sebagai berikut :

V .J 2V 0

(9)

Karena anggapan bumi homogen isotropis yang bersimetri bola, maka persamaan Laplace dapat
ditulis dalam bentuk :

2V 2r

0
r 2 rr

(10)

Solusi umum persamaan Laplace adalah :

V (r )

C1
C2
r

C1
Dengan

(11)

C2
dan

adalah konstanta. Jika

, potensial listrik di titik

adalah

C2 0
0, sehingga

V (r )

2.3

. Maka Persamaan (11) dapat dituliskan menjdi:

C1
r

(12)

Konduktivitas batuan

Konduktivitas batuan di dekat permukaan bumi kebanyakan ditentukan oleh


jumlah distribusi air garam pada batuan berpori. Di bawah lapisan sedimen dan
bagian bawahnya, tekanan begitu besarnya sehingga pori-pori tertutup dan hanya
konduktivitas batuan keraslah yang membawa arus listrik. Konduktivitas batuan
beku dan metamorf lebih rendah dari rata-rata formasi sedimen. Hambatan jenis
batuan berhubungan langsung dengan porositas dan tekstur batuan. Hubungan antara
hambatan jenis dengan porositas batuan pertama kali diusulkan oleh Archie (Taib
dalam Musa, 2004). Persamaan Archie I menyangkut hubungan hambatan jenis

batuan dengan porositas

(dinyatakan sebagai fraksi per satuan volume batuan)

yang terisi penuh oleh air pori :

a W m
(1)
Dengan adalah hambatan jenis batuan yang terukur,

W
hambatan jenis air

pengisi pori yang diukur dari air formasi atau dihitung. a konstanta yang
mencirikan jenis karakter batuan (tekstur, bentuk dan lain-lain), sedangkan m
adalah konstanta yang mencirikan karakter sementasi. Beberapa harga resistivitas
batuan yang umum seperti yang dicantumkan pada Tabel (1) berikut :
Tabel 2.1 Harga hambatan spesifik listrik dari lapisan
Lapisan

Harga hambatan jenis (m)

Air Permukaan

80

200

Air Tanah

10

100

Cuprite (Cu2O)

10-3 - 300

(30)

Alluvium Dilluvium

10

200

Silt-lempung

1.000
6

Lapisan

Harga hambatan jenis (m)

Pasir dan kerikil


Lempung

100
1-

100

Neo-tersier
Batu Lempung

50 -

500

Batu Pasir

100

500

Konglomerat

100

2.000

Kelompok andesit
Diorit

104 -

105

Granit

100- 106

Unsur Kimia
Besi (Fe)

9.074 x 10-8

Stannite (Cu2FeSn2S)

10-3 6 x 103

Sumber : (Suyono Sosrodarsono, 1983)

2.4

Metode Geolistrik Hambatan Jenis


Metoda hambatan jenis adalah salah satu dari kelompok metode geolistrik yang

digunakan untuk mempelajari keadaan bawah permukaan dengan cara mempelajari sifat
aliran listrik dalam batuan di bawah permukaan bumi. Pembahasan tentang kelistrikan
bumi, sesuai dengan sifatnya cenderung membahas sifat-sifat kelistrikan bumi. Dalam
tubuh bumi bentuk arus listrik adalah elektron, tapi dalam batuan sedimen yang tersaturasi
air, di laut dan atmosfer, kebanyakan berupa ion. Derajat ionisasi di udara bervariasi pada
elevasi, waktu, dan latitude.

Dalam survey geolistrik, bumi diasumsikan homogen isotropis, yang artinya bahwa
permukaan bumi diasumsikan sebagai satu permukaan yang rata dan sama. Pengukuran
resistivitas pada umumnya dilakukan dengan menginjeksikan arus ke dalam tanah melalui
7

dua elektroda arus C1 dan C2 seperti pada Gambar 2.1 dan pengukuran hasil beda potensial
yang ditimbulkan dari arus tadi yakni pada dua elektroda potensial P 1 dan P2 untuk setiap
jarak elektroda tertentu. Dari data harga arus I dan potensial V yang bervariasi, maka
dapat ditentukan harga resistivitas masing-masing lapisan dititik ukur yang di sebut juga
titik sounding (sounding poin).

Gambar 2.1. Prinsip pengukuran geolistrik hambatan jenis


Potensial di P1 (Vp1) yang diakibatkan oleh injeksi arus pada elektroda arus C 1 dan C2
adalah:

VP1

1
2

1 1

r1 r2

(2.10)

Sedangkan potensial di P2 (VP2) adalah :

VP 2

1 1 1

2 r3 r4

(2.11)

Dari Persamaan (2.10) dan (2.11) diperoleh beda potensial yang terjadi antara P1 dan
P2, sebagai berikut:

V VP1 V p 2

I 1 1

V
2 r1 r2

I
2

I 1 1

2 r3 r4

1 1 1 1

r1 r2 r3 r4

V
1 1 1 1 I


r1 r2 r3 r4

(2.12)

Dari besarnya arus dan beda potensial yang terukur maka nilai resistivitas dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan:
a K

V
I

(2.13)

K merupakan faktor geometri yang tergantung pada penempatan elektroda arus


maupun elektroda potensial pada permukaan.
K

2.5

1 1

r1 r2

2
1 1


r3 r4

(2.14)

Konfigurasi Wenner
Konfigurasi ini diambil dari nama Frank Wenner yang mempelopori penggunaannya

di Amerika Serikat. Pada konfigurasi Wenner jarak antara ke-4 elektroda (baik

antar

elektroda arus ataupun elektroda potensial) sama, yaitu C1 P1 = P1 P2 = P2 C2 = a dengan


dipol potensial P1 P2 berada di tengah-tengah antara C1 dan C2. Dalam operasi di lapangan
9

ke-4 elektroda harus dipindahkan secara serentak untuk memperoleh hasil pengukuran
dengan a yang berbeda, seperti yang di tunjukan pada Gambar 2.2 :

Gambar 2.2 Konfigurasi Wenner


Dalam hal ini elektroda yang digunakan, baik elektroda arus maupun potensial diletakan
secara simetris terhadap titik sounding. Jarak antara elektroda arus adalah tiga kali jarak
antara elektroda potensial. Jadi, jika jarak antara masing-masing potensial adalah a, maka
jarak masing-masing elektroda arus adalah 3a. Perlu diingat bahwa ke-4 elektroda dengan
titik sounding harus membentuk satu garis.
Berdasarkan Gambar 2.2 untuk spasi elektroda a, maka faktor geometri konfigurasi
Wenner dapat diturunkan dengan menggunakan Persamaan (2.14)
K

2
1 1 1 1



r1 r2 r3 r4

2
2a
2 1

a a

(2.15)

Untuk jarak spasi yang lebar, maka faktor geometri konfigurasi Wenner menjadi:
10

K 2na

(2.16)

Sehingga diperoleh :
2na

2.6

V
I

(2.17)

Batuan dan Tanah Longsor

Batuan adalah massa dari satu atau lebih macam mineral yang membentuk
satuan terkecil dari kerak bumi dan mempunyai komposisi kimia dan mineral yang
tetap sehingga dengan jelas dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Atau dengan
kata lain, batuan adalah materi penyusun bumi yang terdiri dari mineral, bahanbahan anorganik dan bahan-bahan vulkanik sehingga dengan jelas dapat dipisahkan
satu dengan yang lain. Berdasarkan terjadinya, batuan digolongkan atas batuan
beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf (Munir 2003). Secara umum komposisi
batuan di kerak bumi terdiri dari sekitar 95 % batuan beku dan hanya sekitar 5 %
batuan sedimen dan batuan metamorf (Bowles, 1984). Batuan yang tersingkap di
permukaan bumi adalah 75 % berupa batuan sedimen. Jenis batuan yang terlihat
dipermukaan bumi dapat dilihat pada Tabel 2.3

Tabel 2.3. Jenis batuan dan jumlahnya di permukaan bumi (Bowles , 1984)
Batuan
Serpih
Batuan gamping
Batu pasir
Granit
Basal
Lain-lain

Jumlah (%)
52
7
15
15
3
8
11

Tanah longsor akan terjadi di suatu tempat apabila memenuhi hal-hal berikut
(Munir, 2003)
:
1. Adanya lereng yang cukup curam memungkinkan volume besar tanah
meluncur atau bergerak.
2. Adanya lapisan bawah permukaan yang kedap air dan lunak yang akan
merupakan bidang luncur.
3. Terdapat cukup air dalam tanah sehingga lapisan tanah yang berada tepat di
atas lapisan kedap air itu akan jatuh.
Berdasarkan corak gerakannya, tanah longsor dapat digolongkan menjadi beberapa jenis :
1. Guguran/runtuhan. Suatu guguran atau runtuhan adalah jatuhnya sejumlah batuan
atau bahan lain ke arah bawah dengan gerakan meluncur turun atau melenting di
udara. Umumnya terjadi disepanjang jalan yang kanan-kirinya bertebing curam.
Tebing batu/tanah yang besar dan rapuh bisa menyebabkan kerusakan besar bila
runtuh atau gugur.
2. Longsoran/luncuran sejumlah besar bahan. Bila guguran hanya meluncurkan
sejumlah kecil bahan dari permukaan yang lebih tinggi (hanya rontokan saja),
longsoran atau luncuran besar ini melibatkan sejumlah besar bahan yang tadinya
membentuk permukaan lebih tinggi, yang tergelincir ke bawah. Ini terjadi akibat
lapuk atau rapuhnya suatu bagian atau beberapa bagian dari permukaan yang lebih
tinggi.
3. Robohan. Sesuatu roboh apabila posisi semula yang membuatnya berdiri mantap
mengalami perubahan sehingga kedudukannya goyah dan jatuh.
Dalam kasus suatu tebing, keambrukan terjadi akibat gaya-gaya rotasi yang
memindahkan posisi batuan. Karena perubahan ini, batuan mungkin terdorong ke
posisi yang tidak stabil di puncak tebing. Keseimbangan hanya bertumpuk pada
12

sudut tertentu yang masih berpijak. Bila terdapat pemicu yang menyebabkan titik
tumpu itu berubah, maka batuan akan terdorong ke depan dan berjatuhan ke
dataran di bawahnya. Robohan ini tidak memerlukan banyak gerakan dan tak harus
menyebabkan guguran atau longsoran batu.
4. Persebaran lateral. Bongkah-bongkah tanah yang berukuran besar bergerak
melintang (horizontal) dengan retaknya pusat semula. Sebaran lateral biasanya
terjadi di lereng-lereng landai, kurang dari 6 % dan umumnya menyebar sampai 35 meter (biasanya mencapai 30-50 meter bila kondisinya memungkinkan). Mulamula biasanya terjadi patahan/sesar dari dalam, membentuk banyak rekahan di
permukaan.
5. Aliran rombakan. Aliran tanah dan batuan yang longsor ini menyerupai cairan
kental, kadang bergerak sangat cepat, dan bisa menjangkau beberapa kilometer.
Biasanya terjadi setelah hujan lebat, meskipun air tidak selalu diperlukan untuk
menyebabkan aliran ini. Aliran lumpur sedikitnya 50% diantaranya berupa pasir,
lempung dan endapan.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dengan menggunakan metode geolistrik hambatan jenis
konfigurasi Wenner dilakukan di ruas jalan Lakuan Laulalang Lingadan.

13

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian

3.2

Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Satu Set alat ukur geolistrik hambatan jenis, yaitu:


a. Geoscience Resistivity
b. Elektroda besi 16 buah
c. Kabel multichanel 2 gulung
d. Meteran 2 buah
e. Sumber arus listrik (accu)
f. Kabel penghubung
2. Kompas, untuk menentukan arah lintasan pengukuran geolistrik.
3. GPS (Global Positioning System), berfungsi untuk menentukan koordinat posisi
titik ukur .
4. Palu, berfungsi untuk memukul patok elektroda potensial dan elektroda arus ke
dalam tanah.

3.3
3.3.1

Metode Pengambilan data


Survei Pendahuluan

14

Survey pendahuluan perlu dilakukan untuk :


a. Memperoleh gambaran kondisi geologi dan topografi lokasi penelitian
b. Menentukan titik lokasi pengukuan geolistrik hambatan jenis
3.3.2

Pengukuran
a. Pengukuran geolistrik hambatan jenis Konfigurasi Wenner
Untuk

mendapatkan profil bawah permukaan yang diiginkan

maka

akan

dilakukan pengukuran dengan metoda geolistrik hambatan jenis konfigurasi


Wenner di lokasi yang telah ditentukan, dimana data yang akan diperoleh dalam
V

pengukuran ini yaitu data arus (I), beda potensial

setrta jarak elektroda (a).

Adapun langkah-langkah dalam pengukuran ini yaitu :


1) Menentukan posisi titik ukur.
2) Menentukan arah bentangan dengan menggunakan kompas.
3) Menentukan jarak lintasan elektroda arus (C) dan elektroda potensial (P)
dalam hal ini C1P1, P1P2 dan P2C2.
4) Membentuk bentangan elektroda arus dan elektroda potensial sesuai dengan
jarak lintasan yang telah ditentukan.
5) Mengupayakan titik ukur sedemikian rupa sehingga membentuk garis lurus,
agar titik ukur dapat dikorelasikan satu samalain.
6) Mengukur elevasi setiap elektroda dengan menggunakan gps
7) Menginjeksikan arus kedalam tanah melalui elektroda arus dan selisih
potensial pada jarak elektroda yang telah ditentukan.
8) Data yang diperoleh dari pengukuran di lapangan adalah data arus (I) dan
V

beda potensial (

) serta jarak elektroda.

15

3.3.3

Pengolahan Data dan Interpretasi Data


Data yang diperoleh dari pengukuran di lapangan dengan menggunakan metoda
geolistrik hambatan jenis Konfigurasi Wenner adalah berupa nilai arus (I) dan
V

beda potensial (

) titik pengukuran, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menghitung faktor geometri K dari hasil pengukuran dengan menggunakan


Persamaan (2.16)
2. Menghitung hambatan jenis dari hasil pengukuran dengan menggunakan
Persamaan (2.17)
Berdasarkan Persamaan (2.17), diperoleh hasil pengukuran hambatan jenis kemudian
diinver

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran geolistrik dilakukan untuk pendugaan bidang gelincir pada lereng tepi
jalanan Lakuan Laulalang - Lingadan yang berpotensi longsor. Pengukuran geolistrik ini
dilakukan di lima titik yang diduga rawan longsor.
1. Lintasan Geolistrik KM 492

16

Gambar 4.1 Lokasi pengukuran geolistrik

Hasil pengukuran pada lintasan ini dapat dilihat pada citra bawah permukaan 2D (Gambar
4.2). Lintasan pengukuran gl 02 berada pada posisi koordinat N 1o 18.182 / E120o 54.280
barada pada elevasi 25 m di atas permukaan laut.
Dari hasil pengamatan langsung, pada lokasi pengukuran ini lereng ditumbuhi oleh
vegetasi berupa tumbuhan Cingkeh, rumput, dan perdu berakar serabut, pendek dan tak
kuat.

Berdasarkan citra bawah permukaan 2D diinterpretasikan pada lokasi

pengukuran ini terdapat bidang gelincir yang ditandai oleh lapisan dengan nilai tahanan
jenis rendah. Nilai tahanan jenis kurang dari 100 Ohmmeter diduga merupakan lapisan
lempung, lapisan dengan nilai 100 ohmmeter sampai 300 ohmmeter diduga sebagai lapisan
batuan lempung, batu pasir yang disisipi lempung pasiran. Lintasan geolistrik tegak lurus
kemiringan lereng tebing. Lapisan yang diduga sebagai bidang gelincir dan tercover dalam
citra geolistrik di bawah memiliki kedalaman dan panjang yang berbeda. Bidang gelincir
yang pertama membentang tegak lurus lereng dengan panjang 30 m mulai dari titik
elektroda 6 sampai elektroda 9 dengan kedalaman rata-rata 5 m dari permukaan. Bidang
gelincir yang kedua kedua membentang tegak lurus lereng dengan panjang 20 m mulai
dari titik elektroda 12 elektroda 14 dengan kedalaman 2 m dari permukaan. Lapisan
yang diduga sebagai bidang gelincir merupakan material lempung yang memiliki tahanan
jenis kurang dari 100 m,

17

Bidang Gelincir

Gambar 4.2 Penampang topografi geolistrik lintasan 1

2. Lintasan Geolistrik KM 509

18

Gambar 4.3 Lokasi pengukuran geolistrik


Hasil pengukuran pada lintasan ini dapat dilihat pada citra bawah permukaan 2D (Gambar
4.4). Lintasan pengukuran gl 02 berada pada posisi koordinat N1 20.528 E120 58.218
barada pada elevasi 69 m di atas permukaan laut.
Berdasarkan citra bawah permukaan 2D diinterpretasikan pada lokasi pengukuran
ini terdapat bidang gelincir yang ditandai oleh lapisan dengan nilai tahanan jenis rendah.
Nilai tahanan jenis kurang dari 100 Ohmmeter diduga merupakan lapisan lempung, lapisan
dengan nilai 100 ohmmeter sampai 300 ohmmeter diduga sebagai lapisan batuan lempung,
batu pasir yang disisipi lempung pasiran. Lintasan geolistrik tegak lurus kemiringan lereng
tebing. Lapisan yang diduga sebagai bidang gelincir dan tercover dalam citra geolistrik di
bawah memiliki kedalaman dan panjang yang berbeda. Bidang gelincir yang pertama
membentang tegak lurus lereng dengan panjang 20 m mulai dari titik elektroda 2 sampai
elektroda 4 dengan kedalaman rata-rata 2 m dari permukaan. Bidang gelincir yang kedua
kedua membentang tegak lurus lereng dengan panjang 20 m mulai dari titik elektroda 9
elektroda 14 dengan kedalaman bervariasi 5 15 m dari permukaan. Lapisan yang diduga
sebagai bidang gelincir merupakan material lempung yang memiliki tahanan jenis kurang
dari 100 m,

Bidang Gelincir

19

Gambar 4.4. Penampang geolistrik lintasan 2 topografi

3. Lintasan Geolistrik 3 KM 513

Gambar 4.3 Lokasi pengukuran geolistrik


Gambar 4.5. Pengambilan data Geolistrik lintasan 3
Hasil pengukuran pada lintasan ini dapat dilihat pada citra bawah permukaan 2D (Gambar
4.6). Lintasan pengukuran gl 03 berada pada posisi koordinat N 1o 19.930 E120o 59.694 .
Berdasarkan citra bawah permukaan 2D diinterpretasikan pada lokasi pengukuran
ini terdapat bidang gelincir yang ditandai oleh lapisan dengan nilai tahanan jenis rendah.
Nilai tahanan jenis kurang dari 100 Ohmmeter diduga merupakan lapisan lempung, lapisan
dengan nilai 100 ohmmeter sampai 300 ohmmeter diduga sebagai lapisan batuan lempung,
batu pasir yang disisipi lempung pasiran. Lintasan geolistrik tegak lurus kemiringan lereng
tebing. Lapisan yang diduga sebagai bidang gelincir dan tercover dalam citra geolistrik di
bawah memiliki kedalaman dan panjang yang berbeda. Bidang gelincir membentang tegak
lurus lereng dengan panjang 120 m mulai dari titik meteran 15 m 135 m dengan

20

kedalaman bervariasi 5 10 m dari permukaan. Lapisan yang diduga sebagai bidang


gelincir merupakan material lempung yang memiliki tahanan jenis kurang dari 100 m,

Bidang Gelincir

Gambar 4.6. Penampang geolistrik lintasan 3 topografi

4. Lintasan Geolistrik KM 519

Gambar 4.7 Lokasi pengukuran geolistrik

21

Hasil pengukuran pada lintasan ini dapat dilihat pada citra bawah permukaan 2D (Gambar
4.8). Lintasan pengukuran gl 04 berada pada posisi koordinat N1 19.409 E121 01.261.
Berdasarkan citra bawah permukaan 2D diinterpretasikan pada lokasi pengukuran
ini terdapat bidang gelincir yang ditandai oleh lapisan dengan nilai tahanan jenis rendah.
Nilai tahanan jenis kurang dari 100 Ohmmeter diduga merupakan lapisan lempung, lapisan
dengan nilai 100 ohmmeter sampai 300 ohmmeter diduga sebagai lapisan batuan lempung,
batu pasir yang disisipi lempung pasiran. Lintasan geolistrik tegak lurus kemiringan lereng
tebing. Lapisan yang diduga sebagai bidang gelincir dan tercover dalam citra geolistrik di
bawah memiliki kedalaman dan panjang yang berbeda. Bidang gelincir membentang tegak
lurus lereng dengan panjang 115 m mulai dari titik meteran 15 m 130 m dengan
kedalaman bervariasi 5 m dari permukaan. Bidang gelincir yang kedua dengan panjang 20
meter mulai dari titik meteran 70 m 90 m dengan kedalaman 5 m dari permukaan.
Lapisan yang diduga sebagai bidang gelincir merupakan material lempung yang memiliki
tahanan jenis kurang dari 100 m,

Gambar. 4.8 Penampang geolistrik lintasan 4

22

5. Lintasan Geolistrik KM 524

Gambar 4.9 Lokasi pengukuran geolistrik


Hasil pengukuran pada lintasan ini dapat dilihat pada citra bawah permukaan 2D (Gambar
4.10). Lintasan pengukuran gl 05 berada pada posisi koordinat N1 18.704 E121 02.718.
Berdasarkan citra bawah permukaan 2D diinterpretasikan pada lokasi pengukuran
ini terdapat bidang gelincir yang ditandai oleh lapisan dengan nilai tahanan jenis rendah.
Nilai tahanan jenis kurang dari 100 Ohmmeter diduga merupakan lapisan lempung, lapisan
dengan nilai 100 ohmmeter sampai 300 ohmmeter diduga sebagai lapisan batuan lempung,
batu pasir yang disisipi lempung pasiran. Lintasan geolistrik tegak lurus kemiringan lereng
tebing. Lapisan yang diduga sebagai bidang gelincir dan tercover dalam citra geolistrik di
bawah memiliki kedalaman dan panjang yang berbeda. Bidang gelincir membentang tegak
lurus lereng dengan panjang 40 m mulai dari titik meteran 15 m 55 m dengan
kedalaman bervariasi 5 m dari permukaan. Bidang gelincir yang kedua dengan panjang 20
meter mulai dari titik meteran 70 m 90 m dengan kedalaman 5 m dari permukaan.
Lapisan yang diduga sebagai bidang gelincir merupakan material lempung yang memiliki
tahanan jenis kurang dari 100 m,

23

Bidang Gelincir

Gambar.4.10 Penampang lintasan geolistrik 5

Pada saat musim penghujan, air akan mengisi pori-pori batuan,


meresap sampai kelapisan lempung dan lempung pasiran. Lapisan lempung
yang sudah tersaturasi air akan berubah menjadi labil dan mudah bergerak.
Lapisan lempung yang berada diposisi kemiringan lereng dengan beban
lapisan atas yang lebih dapat mempecepat terjadinya pergeseran lapisan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

51.

Kesimpulan
1. Berdasarkan citra bawah permukaan 2D diinterpretasikan pada lokasi pengukuran
ini terdapat bidang gelincir yang ditandai oleh lapisan dengan nilai tahanan jenis
rendah. Nilai tahanan jenis kurang dari 100 Ohmmeter diduga merupakan lapisan
lempung, lapisan dengan nilai 100 ohmmeter sampai 300 ohmmeter diduga sebagai
lapisan batuan lempung, batu pasir yang disisipi lempung pasiran.
24

2. Bidang gelincir terjadi disebabkan oleh lapisan lempung yang berada diposisi
kemiringan dengan beban atas berlebih.
3. Lapisan batu pasir dan lempung pasiran yang sifatnya tidak stabil,juga
diindikasikan menjadi penyebab terjadinya bidang gelincir
5.2

Saran
Untuk memperoleh hasil yang lebih akurat maka penulis menyarankan :
1. Perlu dilakukan penelitian dengan metode geoteknik lainya sehingga dapat
dilakukan perbandingan untuk memperoleh hasil yang lebih akurat.
2. Perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan yakni dengan penambahan titik
ukur dan memperkecil spasi elktroda. Hal ini dimaksutkan agar profil bawah
permukan dapat terdeteksi secara keseluruhan .

DAFTAR PUSTAKA

Hendrajaya, lilik dan idham arif., 1990, Geolistrik Tahanan Jenis , Laboratorium Fisika Bumi,
Jurusan Fisika ITB, Bandung.
Musa, Dahlan Th., 2004, Tesias : Pemetaan Sebaran Aquifer di Bagian Timur Cekungan
Air Tanah (CAT) Gorontalo Dengan Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan
Jenis, Tesis ITB, Bandung.
Reitz, R.J., Milfrod. JF., dan Christy, W.R., 1993, Dasar Teori Listrik Magnet, ITB,
Bandung
Sugito, Irayani, Z., dan Jati, I. P., 2010. Investigasi bidang gelincir tanah longsor
menggunakan metode geolistrik tahanan jenis di Desa Kebarongan Kecamatan
Kemranjen Kab. Bayumas. Jurnal Berkala Fisika. Vo. 13. No. 2. Hal. 49-54 8.
Telford, W. M., Geldart, L. P., dan Sherif, R. E., 1990. Applied Geophysics
Suhendra,2005. Penyelidikan daerah rawan gerakan tanah dengan metode geolistrik
tahanan jenis. Jurnal Gradien . Vol. 1. Hal. 1-5.
25

T.A.Sanny.,1998, Metode Tahanan jenis, Buku pegangan kuliah lapangan Geofisika,


Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknologi Mineral ITB, Bandung.
Taib, Tachyudin M.I., 1999, Eksplorasi Geolistrik, Institut teknologi Bandung,

Bandung.

26

Anda mungkin juga menyukai