PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lereng adalah suatu permukaan tanah yang miring dan membentuk sudut tertentu
terhadap suatu bidang horizontal. Pada tempat dimana terdapat dua permukaan tanah yang
berbeda ketinggian, maka akan ada gaya-gaya yang bekerja mendorong sehingga tanah
yang lebih tinggi kedudukannya cenderung bergerak kearah bawah yang disebut dengan
gaya potensial gravitasi yang menyebabkan terjadinya longsor.
Diruas jalan Lakuan Laulalang - Lingadan Kabupaten Tolitoli terdapat daerah berlereng
dengan kondisi tanah secara visual adalah tanah lempung dan sangat rawan akan bahaya
kelongsoran. Pada daerah ini jalan raya yang ada menghubungkan Kota Tolitoli Buol
dengan arus lalu lintas yang termasuk sepi. Pada saat musim hujan lereng yang ada
disepanjang ruas jalan ini di beberapa lokasi ada yang longsor. Longsor merupakan salah
satu bencana alam geologi yang paling sering menimbulkan kerugian seperti jalan raya
rusak, kerusakan tata lahan, bangunan perumahan, bahkan sampai merenggut korban jiwa.
Kejadian longsor antara lain dikontrol oleh sifat fisik tanah dan batuan, struktur geologi,
kemiringan lereng, vegetasi penutup serta factor beban dan getaran. Agar tidak terjadi
kerugian material dan immaterial seperti tersebut diatas, maka permasalahan gerakan tanah
perlu mendapat perhatian.Dalam penelitian ini digunakan metode geolistrik tahanan jenis,
yang bertujuan untuk menentukan bidang gelincir yang diduga sebagai penyebab
terjadinya tanah longsor. Informasi tentang struktur dan perlapisan tanah tersebut
digunakan untuk mengetahui batas-batas kelabilan tanah yang dapat menjadi acuan dalam
pengembangan wilayah khususnya ruas jalan Lakuan Laulalang - Lingadan. Oleh karena
itu untuk mengetahui struktur dan perlapisan tanah di lokasi tersebut dilakukan penelitian
menggunakan metode geolistrik. Metode geolistrik adalah metode yang telah banyak
digunakan baik untuk kegiatan eksplorasi maupun masalah lingkungan termasuk masalah
gerakan tanah atau tanah longsor. Penelitian ini sangat penting dilakukan mengingat di
Indonesia umumnya sering terjadi longsor. Aplikasi metode ini pada masalah gerakan
tanah (longsor) antara lain telah dikembangkan oleh Sugito, dkk (2010), Suhendra (2005),
dan Nurul, P (2005). Medode geolistrik tidak merusak lingkungan, biasanya relatif murah
dan mampu mendeteksi sampai kedalaman tertentu (Reynold, 1997).
1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran
Manfaat Penelitian
Adapun hasil akhir dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
informasi kepada pihak kontraktor (perusahaan) atau instansi pemerintah terkait mengenai
gambaran bawah permukaan lokasi tersebut, untuk dijadikan sebagai acuan dalam
pengelolaan dan pengembangan jalan nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
macam yaitu : konduksi elektronik, konduksi elektrolit dan konduksi dielektrik. Konduksi
elektronik adalah tipe normal dari aliran arus listrik dalam batuan mineral. Hal ini terjadi
jika batuan atau mineral tersebut mempunyai banyak elektron bebas, akibatnya arus mudah
mengalir pada batuan ini. Konduksi Elektrolit, konduksi jenis ini banyak terjadi pada
batuan atau mineral yang sifat porus dan pori-porinya terisi oleh batuan elektrolit. Dalam
hal ini arus listrik mengalir akibat dibawa oleh ion-ion larutan elektrolit. Konduksi
Dielektrik, konduksi dengan cara ini lebih lambat daripada konduksi elektronik. Konduksi
ini terjadi pada batuan yang lebih bersifat dielektrik, artinya batuan tersebut mempunyai
elektron bebas sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Tetapi karena adanya pengaruh
medan listrik dari luar, maka elektron-elektron dalam batuan dipaksa berpindah dan
berkumpul terpisah dari intinya sehingga terjadi polarisasi (Telford, 1990).
Menurut Telford at all. (1990) berdasarkan harga resistivitasnya batuan dan mineral bumi
diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu:
1. Konduktor baik
: 10-6 m < < 1 m
2. Konduktor pertengahan : 1 m < < 107 m
3. Isolator
: 107 m
2.2
searah
luas permukaan
(J )
dengan kerapatan arus
adalah :
I J .A
(4)
(E )
(J )
Hubungan antara rapat arus
J E
(5)
(V )
Medan listrik merupakan gradient dari potensial skalar
, maka diperoleh
hubungan :
E V
(6)
Persamaan (6) disubtitusikan ke dalam Persaman (5) sehingga diperoleh persaman:
J V
(7)
Jika diasumsikan medium tertutup, yang berarti tidak ada arus yang mengalir ke luar atau
masuk ke dalam volume yang dilingkupi oleh permukaan A, maka menurut hukum Gauss
J .dA V .J .V 0
A
(8)
Jika
merupakan suatu volume tak terbatas yang meliputi suatu titik tertentu, maka
V .J 2V 0
(9)
Karena anggapan bumi homogen isotropis yang bersimetri bola, maka persamaan Laplace dapat
ditulis dalam bentuk :
2V 2r
0
r 2 rr
(10)
V (r )
C1
C2
r
C1
Dengan
(11)
C2
dan
adalah
C2 0
0, sehingga
V (r )
2.3
C1
r
(12)
Konduktivitas batuan
a W m
(1)
Dengan adalah hambatan jenis batuan yang terukur,
W
hambatan jenis air
pengisi pori yang diukur dari air formasi atau dihitung. a konstanta yang
mencirikan jenis karakter batuan (tekstur, bentuk dan lain-lain), sedangkan m
adalah konstanta yang mencirikan karakter sementasi. Beberapa harga resistivitas
batuan yang umum seperti yang dicantumkan pada Tabel (1) berikut :
Tabel 2.1 Harga hambatan spesifik listrik dari lapisan
Lapisan
Air Permukaan
80
200
Air Tanah
10
100
Cuprite (Cu2O)
10-3 - 300
(30)
Alluvium Dilluvium
10
200
Silt-lempung
1.000
6
Lapisan
100
1-
100
Neo-tersier
Batu Lempung
50 -
500
Batu Pasir
100
500
Konglomerat
100
2.000
Kelompok andesit
Diorit
104 -
105
Granit
100- 106
Unsur Kimia
Besi (Fe)
9.074 x 10-8
Stannite (Cu2FeSn2S)
10-3 6 x 103
2.4
digunakan untuk mempelajari keadaan bawah permukaan dengan cara mempelajari sifat
aliran listrik dalam batuan di bawah permukaan bumi. Pembahasan tentang kelistrikan
bumi, sesuai dengan sifatnya cenderung membahas sifat-sifat kelistrikan bumi. Dalam
tubuh bumi bentuk arus listrik adalah elektron, tapi dalam batuan sedimen yang tersaturasi
air, di laut dan atmosfer, kebanyakan berupa ion. Derajat ionisasi di udara bervariasi pada
elevasi, waktu, dan latitude.
Dalam survey geolistrik, bumi diasumsikan homogen isotropis, yang artinya bahwa
permukaan bumi diasumsikan sebagai satu permukaan yang rata dan sama. Pengukuran
resistivitas pada umumnya dilakukan dengan menginjeksikan arus ke dalam tanah melalui
7
dua elektroda arus C1 dan C2 seperti pada Gambar 2.1 dan pengukuran hasil beda potensial
yang ditimbulkan dari arus tadi yakni pada dua elektroda potensial P 1 dan P2 untuk setiap
jarak elektroda tertentu. Dari data harga arus I dan potensial V yang bervariasi, maka
dapat ditentukan harga resistivitas masing-masing lapisan dititik ukur yang di sebut juga
titik sounding (sounding poin).
VP1
1
2
1 1
r1 r2
(2.10)
VP 2
1 1 1
2 r3 r4
(2.11)
Dari Persamaan (2.10) dan (2.11) diperoleh beda potensial yang terjadi antara P1 dan
P2, sebagai berikut:
V VP1 V p 2
I 1 1
V
2 r1 r2
I
2
I 1 1
2 r3 r4
1 1 1 1
r1 r2 r3 r4
V
1 1 1 1 I
r1 r2 r3 r4
(2.12)
Dari besarnya arus dan beda potensial yang terukur maka nilai resistivitas dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan:
a K
V
I
(2.13)
2.5
1 1
r1 r2
2
1 1
r3 r4
(2.14)
Konfigurasi Wenner
Konfigurasi ini diambil dari nama Frank Wenner yang mempelopori penggunaannya
di Amerika Serikat. Pada konfigurasi Wenner jarak antara ke-4 elektroda (baik
antar
ke-4 elektroda harus dipindahkan secara serentak untuk memperoleh hasil pengukuran
dengan a yang berbeda, seperti yang di tunjukan pada Gambar 2.2 :
2
1 1 1 1
r1 r2 r3 r4
2
2a
2 1
a a
(2.15)
Untuk jarak spasi yang lebar, maka faktor geometri konfigurasi Wenner menjadi:
10
K 2na
(2.16)
Sehingga diperoleh :
2na
2.6
V
I
(2.17)
Batuan adalah massa dari satu atau lebih macam mineral yang membentuk
satuan terkecil dari kerak bumi dan mempunyai komposisi kimia dan mineral yang
tetap sehingga dengan jelas dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Atau dengan
kata lain, batuan adalah materi penyusun bumi yang terdiri dari mineral, bahanbahan anorganik dan bahan-bahan vulkanik sehingga dengan jelas dapat dipisahkan
satu dengan yang lain. Berdasarkan terjadinya, batuan digolongkan atas batuan
beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf (Munir 2003). Secara umum komposisi
batuan di kerak bumi terdiri dari sekitar 95 % batuan beku dan hanya sekitar 5 %
batuan sedimen dan batuan metamorf (Bowles, 1984). Batuan yang tersingkap di
permukaan bumi adalah 75 % berupa batuan sedimen. Jenis batuan yang terlihat
dipermukaan bumi dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3. Jenis batuan dan jumlahnya di permukaan bumi (Bowles , 1984)
Batuan
Serpih
Batuan gamping
Batu pasir
Granit
Basal
Lain-lain
Jumlah (%)
52
7
15
15
3
8
11
Tanah longsor akan terjadi di suatu tempat apabila memenuhi hal-hal berikut
(Munir, 2003)
:
1. Adanya lereng yang cukup curam memungkinkan volume besar tanah
meluncur atau bergerak.
2. Adanya lapisan bawah permukaan yang kedap air dan lunak yang akan
merupakan bidang luncur.
3. Terdapat cukup air dalam tanah sehingga lapisan tanah yang berada tepat di
atas lapisan kedap air itu akan jatuh.
Berdasarkan corak gerakannya, tanah longsor dapat digolongkan menjadi beberapa jenis :
1. Guguran/runtuhan. Suatu guguran atau runtuhan adalah jatuhnya sejumlah batuan
atau bahan lain ke arah bawah dengan gerakan meluncur turun atau melenting di
udara. Umumnya terjadi disepanjang jalan yang kanan-kirinya bertebing curam.
Tebing batu/tanah yang besar dan rapuh bisa menyebabkan kerusakan besar bila
runtuh atau gugur.
2. Longsoran/luncuran sejumlah besar bahan. Bila guguran hanya meluncurkan
sejumlah kecil bahan dari permukaan yang lebih tinggi (hanya rontokan saja),
longsoran atau luncuran besar ini melibatkan sejumlah besar bahan yang tadinya
membentuk permukaan lebih tinggi, yang tergelincir ke bawah. Ini terjadi akibat
lapuk atau rapuhnya suatu bagian atau beberapa bagian dari permukaan yang lebih
tinggi.
3. Robohan. Sesuatu roboh apabila posisi semula yang membuatnya berdiri mantap
mengalami perubahan sehingga kedudukannya goyah dan jatuh.
Dalam kasus suatu tebing, keambrukan terjadi akibat gaya-gaya rotasi yang
memindahkan posisi batuan. Karena perubahan ini, batuan mungkin terdorong ke
posisi yang tidak stabil di puncak tebing. Keseimbangan hanya bertumpuk pada
12
sudut tertentu yang masih berpijak. Bila terdapat pemicu yang menyebabkan titik
tumpu itu berubah, maka batuan akan terdorong ke depan dan berjatuhan ke
dataran di bawahnya. Robohan ini tidak memerlukan banyak gerakan dan tak harus
menyebabkan guguran atau longsoran batu.
4. Persebaran lateral. Bongkah-bongkah tanah yang berukuran besar bergerak
melintang (horizontal) dengan retaknya pusat semula. Sebaran lateral biasanya
terjadi di lereng-lereng landai, kurang dari 6 % dan umumnya menyebar sampai 35 meter (biasanya mencapai 30-50 meter bila kondisinya memungkinkan). Mulamula biasanya terjadi patahan/sesar dari dalam, membentuk banyak rekahan di
permukaan.
5. Aliran rombakan. Aliran tanah dan batuan yang longsor ini menyerupai cairan
kental, kadang bergerak sangat cepat, dan bisa menjangkau beberapa kilometer.
Biasanya terjadi setelah hujan lebat, meskipun air tidak selalu diperlukan untuk
menyebabkan aliran ini. Aliran lumpur sedikitnya 50% diantaranya berupa pasir,
lempung dan endapan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dengan menggunakan metode geolistrik hambatan jenis
konfigurasi Wenner dilakukan di ruas jalan Lakuan Laulalang Lingadan.
13
3.2
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
3.3
3.3.1
14
Pengukuran
a. Pengukuran geolistrik hambatan jenis Konfigurasi Wenner
Untuk
maka
akan
beda potensial (
15
3.3.3
beda potensial (
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran geolistrik dilakukan untuk pendugaan bidang gelincir pada lereng tepi
jalanan Lakuan Laulalang - Lingadan yang berpotensi longsor. Pengukuran geolistrik ini
dilakukan di lima titik yang diduga rawan longsor.
1. Lintasan Geolistrik KM 492
16
Hasil pengukuran pada lintasan ini dapat dilihat pada citra bawah permukaan 2D (Gambar
4.2). Lintasan pengukuran gl 02 berada pada posisi koordinat N 1o 18.182 / E120o 54.280
barada pada elevasi 25 m di atas permukaan laut.
Dari hasil pengamatan langsung, pada lokasi pengukuran ini lereng ditumbuhi oleh
vegetasi berupa tumbuhan Cingkeh, rumput, dan perdu berakar serabut, pendek dan tak
kuat.
pengukuran ini terdapat bidang gelincir yang ditandai oleh lapisan dengan nilai tahanan
jenis rendah. Nilai tahanan jenis kurang dari 100 Ohmmeter diduga merupakan lapisan
lempung, lapisan dengan nilai 100 ohmmeter sampai 300 ohmmeter diduga sebagai lapisan
batuan lempung, batu pasir yang disisipi lempung pasiran. Lintasan geolistrik tegak lurus
kemiringan lereng tebing. Lapisan yang diduga sebagai bidang gelincir dan tercover dalam
citra geolistrik di bawah memiliki kedalaman dan panjang yang berbeda. Bidang gelincir
yang pertama membentang tegak lurus lereng dengan panjang 30 m mulai dari titik
elektroda 6 sampai elektroda 9 dengan kedalaman rata-rata 5 m dari permukaan. Bidang
gelincir yang kedua kedua membentang tegak lurus lereng dengan panjang 20 m mulai
dari titik elektroda 12 elektroda 14 dengan kedalaman 2 m dari permukaan. Lapisan
yang diduga sebagai bidang gelincir merupakan material lempung yang memiliki tahanan
jenis kurang dari 100 m,
17
Bidang Gelincir
18
Bidang Gelincir
19
20
Bidang Gelincir
21
Hasil pengukuran pada lintasan ini dapat dilihat pada citra bawah permukaan 2D (Gambar
4.8). Lintasan pengukuran gl 04 berada pada posisi koordinat N1 19.409 E121 01.261.
Berdasarkan citra bawah permukaan 2D diinterpretasikan pada lokasi pengukuran
ini terdapat bidang gelincir yang ditandai oleh lapisan dengan nilai tahanan jenis rendah.
Nilai tahanan jenis kurang dari 100 Ohmmeter diduga merupakan lapisan lempung, lapisan
dengan nilai 100 ohmmeter sampai 300 ohmmeter diduga sebagai lapisan batuan lempung,
batu pasir yang disisipi lempung pasiran. Lintasan geolistrik tegak lurus kemiringan lereng
tebing. Lapisan yang diduga sebagai bidang gelincir dan tercover dalam citra geolistrik di
bawah memiliki kedalaman dan panjang yang berbeda. Bidang gelincir membentang tegak
lurus lereng dengan panjang 115 m mulai dari titik meteran 15 m 130 m dengan
kedalaman bervariasi 5 m dari permukaan. Bidang gelincir yang kedua dengan panjang 20
meter mulai dari titik meteran 70 m 90 m dengan kedalaman 5 m dari permukaan.
Lapisan yang diduga sebagai bidang gelincir merupakan material lempung yang memiliki
tahanan jenis kurang dari 100 m,
22
23
Bidang Gelincir
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
51.
Kesimpulan
1. Berdasarkan citra bawah permukaan 2D diinterpretasikan pada lokasi pengukuran
ini terdapat bidang gelincir yang ditandai oleh lapisan dengan nilai tahanan jenis
rendah. Nilai tahanan jenis kurang dari 100 Ohmmeter diduga merupakan lapisan
lempung, lapisan dengan nilai 100 ohmmeter sampai 300 ohmmeter diduga sebagai
lapisan batuan lempung, batu pasir yang disisipi lempung pasiran.
24
2. Bidang gelincir terjadi disebabkan oleh lapisan lempung yang berada diposisi
kemiringan dengan beban atas berlebih.
3. Lapisan batu pasir dan lempung pasiran yang sifatnya tidak stabil,juga
diindikasikan menjadi penyebab terjadinya bidang gelincir
5.2
Saran
Untuk memperoleh hasil yang lebih akurat maka penulis menyarankan :
1. Perlu dilakukan penelitian dengan metode geoteknik lainya sehingga dapat
dilakukan perbandingan untuk memperoleh hasil yang lebih akurat.
2. Perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan yakni dengan penambahan titik
ukur dan memperkecil spasi elktroda. Hal ini dimaksutkan agar profil bawah
permukan dapat terdeteksi secara keseluruhan .
DAFTAR PUSTAKA
Hendrajaya, lilik dan idham arif., 1990, Geolistrik Tahanan Jenis , Laboratorium Fisika Bumi,
Jurusan Fisika ITB, Bandung.
Musa, Dahlan Th., 2004, Tesias : Pemetaan Sebaran Aquifer di Bagian Timur Cekungan
Air Tanah (CAT) Gorontalo Dengan Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan
Jenis, Tesis ITB, Bandung.
Reitz, R.J., Milfrod. JF., dan Christy, W.R., 1993, Dasar Teori Listrik Magnet, ITB,
Bandung
Sugito, Irayani, Z., dan Jati, I. P., 2010. Investigasi bidang gelincir tanah longsor
menggunakan metode geolistrik tahanan jenis di Desa Kebarongan Kecamatan
Kemranjen Kab. Bayumas. Jurnal Berkala Fisika. Vo. 13. No. 2. Hal. 49-54 8.
Telford, W. M., Geldart, L. P., dan Sherif, R. E., 1990. Applied Geophysics
Suhendra,2005. Penyelidikan daerah rawan gerakan tanah dengan metode geolistrik
tahanan jenis. Jurnal Gradien . Vol. 1. Hal. 1-5.
25
Bandung.
26