Anda di halaman 1dari 11

MANAJEMEN LABA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Teori Akuntansi

Disusun oleh:
Roland Chevtroika

135020300111045

Ra. Ratih Triretno H

135020300111053

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Di dalam perusahaan, manajemen merupakan pihak yang mewakili pemilik atau


pemegang saham di dalam mengelola sumber daya dan menggunakan sumber daya tersebut
dalam aktivitas perusahaan yang bertujuan untuk menghasilkan laba yang maksimal bagi
kepentingan pemegang saham. Manajemen berperan sebagai agen, dan pemegang saham
berperan sebagai prinsipal. Dalam hal ini, akan tercipta hubungan keagenan, yaitu kontrak di
mana satu orang atau lebih (prinsipal) menyewa orang lain (agen) untuk melaksanakan
beberapa jasa demi kepentingan prinsipal yang melibatkan pendelegasian beberapa otoritas
pembuatan keputusan kepada agen (Jensen &Meckling,1976).
Sesuai dengan asumsi teori akuntansi positif, semua tindakan individu dikendalikan
oleh kepentingan pribadi dan bahwa individu akan bertindak dalam cara yang oportunistis
sejauh tindakan tersebut akan meningkatkan kesejahteraan mereka (Deegan,2004).
Berdasarkan asumsi tersebut, manajemen berupaya meningkatkan kesejahteraan pihaknya
meskipun akibat dari tindakan tersebut membawa dampak merugikan bagi pihak lain,
termasuk bagi pemegang saham. Seringkali, manajemen melakukan asimetri informasi dalam
hubungannya dengan pertanggungjawaban (Astika,2009). Hal ini disebabkan adanya
beberapa motif dari manajemen yang berpusat pada kepentingan pribadinya dengan cara
memperbagus laporan pertanggungjawaban yang mereka sampaikan melalui pelaporan
keuangan. Padahal pelaporan keuangan harus memiliki kualitas informasi yang andal supaya
dapat digunakan oleh pengguna untuk membuat keputusan berdasarkan atas informasi
tersebut.
Salah satu upaya yang digunakan oleh manajemen untuk memperlihatkan kinerja
keuangan yang baik adalah melalui manajemen laba (earnings management). Manajemen
berupaya menampilkan laba dalam laporan keuangan yang memberikan manfaat bagi
manajemen. Dengan adanya manajemen laba, informasi keuangan yang disampaikan dapat
menjadi terdistorsi dan kurang andal. Akan tetapi, praktik ini tidak dilarang selama berada
dalam koridor praktik akuntansi yang sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK)
yang berlaku.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Manajemen Laba


Manajemen Laba adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan
untuk mempengaruhi laba (income) yang dilaporkan yang dapat memberikan informasi
mengenai keuntungan ekonomis (economic advantage) yang sesungguhnya tidak dialami
perusahaan dalam jangka panjang bahkan merugikan perusahaan (Primanita&Setiono,2006).
Sementara itu, Philips, et al. (2003) dalam Ronen (2008) menyebutkan bahwa manajemen
laba adalah strategi untuk menghasilkan laba akuntansi yang dicapai melalui kebebasan
manajemen dalam memilih kebijakan akuntansi dan arus kas operasi. Definisi lain disebutkan
oleh Schiper (1989) dalam Kusuma (2006) yakni manajemen laba adalah suatu intervensi
yang disengaja dilakukan dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan
eksternal untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Untuk semua alasan tersebut,
terlihat bahwa manajer mempunyai kepentingan kuat terhadap laba (bottom line). Manajer
dapat memilih kebijakan akuntansi dari suatu rangkaian kebijakan, maka alamiah untuk
menganggap bahwa mereka akan memilih kebijakan yang akan memaksimalkan utilitas
mereka dan atau nilai pasar dari perusahaan. Hal inilah yang disebut sebagai manajemen laba.
Hal ini sesuai dengan asumsi Teori Keagenan, yang menyatakan bahwa setiap individu
cenderung untuk memaksimalkan utilitasnya (Kusuma&Sari,2003).
Manajemen laba dapat dilihat baik dari perspektif kontraktual maupun pelaporan
keuangan (Scott,2009).

Dari perspektif kontraktual, manajemen laba dapat digunakan sebagai cara


menurunkan biaya untuk melindungi perusahaan dari konsekuensi realisasi yang

tidak terduga ketika adanya kontrak yang kaku dan tidak lengkap.
Dari perspektif pelaporan keuangan, manajer akan mampu mempengaruhi nilai pasar
dari saham perusahaan dengan manajemen laba.

Dari dua perspektif tersebut, kita dapat melihat bahwa manajemen laba memiliki sisi yang
baik dan sisi yang buruk. Namun, beberapa manajer mungkin menyalahgunakan manajemen

laba. Selain itu, manajemen laba yang berlebihan dapat mengurangi keandalan dari pelaporan
keuangan.

B. Pola Manajemen Laba


1. Taking a bath. Pola ini sering terjadi selama periode tekanan organisasi atau
reorganisasi, termasuk perekrutan CEO baru. Ketika perusahaan harus melaporkan
kerugian, manajemen akan melaporkan kerugian yang berjumlah besar. Pola ini
dilakukan dengan menghapus aset, menyediakan biaya di masa depan yang
diperkirakan, dan secara umum clear the decks. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan probabilitas laba di masa depan.
2. Minimisasi laba. Pola ini serupa dengan taking a bath tetapi lebih halus, dan biasanya
dilakukan pada saat perusahaan memiliki profitabilitas tinggi. Kebijakan minimisasi
laba termasuk penghapusan terhadap aset modal dan intangibles, pembebanan iklan
dan pengeluaran R&D.
3. Maksimisasi laba. Sebagaimana kita lihat pada kajian Healy, manajer mungkin
menggunakan dalam pola maksimisasi laba bersih dilaporkan untuk tujuan bonus.
Pola ini juga dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian
hutang
4. Income smoothing (meratakan laba). Ini merupakan pola manajemen laba yang paling
menarik. Manajer memiliki insentif untuk meratakan laba secukupnya agar berada
antara bogey dan cap. Jika tidak berada dalam rentang tersebut, laba secara temporer
maupun permanen hilang untuk tujuan bonus. Perataan laba juga mungkin digunakan
oleh :
Manajer yang menentang risiko, yang mana mereka akan memilih aliran bonus yang
kurang bervariasi, oleh sebab itu ingin meratakan laba bersih.
Manajer yang bermaksud mengurangi volatilitas laba bersih dilaporkan untuk
mengurangi probabilitas terjadinya pelanggaran perjanjian pinjaman jangka panjang.
Manajer yang ingin mengurangi kemungkinan pemecatan dari jabatan.
Manajer yang ingin meratakan laba bersih dilaporkan untuk tujuan pelaporan
eksternal. Hal ini dapat menyampaikan inside information kepada pasar dengan
memungkinkan perusahaan untuk mengkomunikasikan kekuatan laba persisten yang
diperkirakan.

C. Motivasi Manajemen Laba


1. Untuk Tujuan Bonus
Dalam Teori Akuntansi Positif sebagaimana yang dikemukakan oleh Watts and
Zimmerman (1990), salah satu hipotesis kunci adalah hipotesis rencana bonus. Dalam
kondisi ceteris paribus, hipotesis ini memprediksi bahwa jika seorang manajer diberi
reward atas ukuran kinerja seperti laba akuntansi, manajer tersebut akan cenderung
meningkatkan laba dengan maksud agar bonus yang diperolehnya pun akan
meningkat. Berkaitan dengan manajemen laba, pada perusahaan yang memiliki
rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi
yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa kini sehingga dapat menaikkan
laba saat ini. Hal ini dikarenakan manajer lebih menyukai pemberian upah yang lebih
tinggi untuk masa kini (Halim,et al, 2005) .
Berkaitan dengan hipotesis tersebut, Healy (1985, dalam Scott,1999) dalam
papernya yang berjudul The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions,
melakukan penyelidikan yang terus berkembang untuk manajemen laba dengan
motivasi kontraktual. Paper ini merupakan perluasan dari hipotesis rencana bonus,
yang menyatakan bahwa manajer dari perusahaan dengan rencana bonus akan
berusaha memaksimalkan laba saat ini. Dengan melihat lebih dekat pada struktur
rencana bonus, Healy muncul dengan prediksi khusus terhadap bagaimana dan dalam
kondisi apa manajer akan terlibat dalam tipe manajemen laba.
Bonus kas biasanya berdasarkan laba bersih. Dalam kontrak bonus dikenal dua
istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap
(tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey, tidak ada bonus yang
diperoleh manajer sedangkan jika laba berada di atas cap, manajer tidak akan
mendapat bonus tambahan. Studi Healy terbatas pada perusahaan yang rencana
kompensasinya didasarkan hanya pada laba bersih yang dilaporkan saat ini. Dalam
sampel Healy, tidak semua skema memiliki cap, meskipun mereka semua memiliki
bogey. Dalam gambar di bawah ini, terlihat bahwa bonus meningkat secara linier
(misalnya 10% dari laba bersih) antara bogey dan caps. Di bawah bogey, bonus nol.
Jika tidak ada cap, bonus akan meningkat sepanjang garis titik-titik. Namun, bonus
menjadi

konstan

untuk

laba

bersih

yang

melebihi

cap.

Dengan melihat pada skema di atas, kita dapat melihat bagaimana terdapat insentif
untuk mengelola laba bersih yang dilaporkan oleh manajemen. Jika laba bersih berada
di bawah bogey, manajer cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh
bonus lebih besar pada periode berikutnya, demikian pula jika laba berada di atas cap.
Jadi hanya jika laba bersih berada di antara bogey dan cap, manajer akan berusaha
menaikkan laba bersih perusahaan. Berdasarkan skema di atas, Healy mempersempit
hipotesis rencana bonus, yaitu bahwa motivasi manajemen untuk menaikkan laba
bersih benar-benar terjadi ketika laba bersih diantara bogey dan cap.
Untuk mengetahui bagaimana manajer mengelola laba bersih, Healy
mempertimbangkan dua pendekatan. Pertama dengan mengendalikan beragam akrual,
dimana akrual didefinisikan secara luas untuk menyertakan porsi dari item pendapatan
dan beban pada laporan laba rugi yang tidak ditampilkan di laporan arus kas. Kedua
adalah dengan mengubah kebijakan akuntansi itu sendiri (per se). Berkaitan dengan
akrual, formula akrual dalam pembentukan laba bersih adalah sebagai berikut :
- Laba bersih = arus kas operasi ditambah (atau dikurangi) akrual bersih
- Laba bersih = arus kas operasi ditambah (atau dikurangi) akrual non-diskresioner
bersih ditambah (atau dikurangi) akrual diskresioner bersih

Dalam penelitian Healy, beberapa akrual yang dipertimbangkan antara lain :


a. Beban amortisasi.
Beban amortisasi tahunan ditetapkan berdasarkan kebijakan amortisasi perusahaan
dan estimasi atas masa manfaat aset. Berdasarkan kebijakan ini, beban amortisasi
adalah akrual nondiskresioner.

b. Peningkatan dalam piutang bersih.


Mengasumsikan bahwa peningkatan ini berasal dari penurunan akun cadangan
piutang ragu-ragu, yang dihasilkan dari estimasi konservatif yang lebih kecil dari
tahun sebelumnya. Akrual ini merupakan diskresioner, karena manajemen memiliki
fleksibilitas untuk mengendalikan jumlahnya. Alasan lain untuk peningkatan piutang
adalah kebijakan kredit yang lebih lunak, pembukuan yang tetap terbuka melewati
akhir tahun,atau peningkatan dalam volume bisnis. Dua alasan pertama merupakan
akrual diskresioner dan yang ketiga non-diskresioner.
c. Peningkatan dalam persediaan.
Mengasumsikan bahwa peningkatan ini berasal dari stok perusahaan selama periode
yang melebihi kapasitas manufaktur. Hasilnya adalah untuk memasukkan biaya
overhead tetap dalam persediaan daripada membebankannya dalam beban sebagai
varian volume yang tidak menguntungkan.
d. Penurunan dalam hutang dan kewajiban akrual.
Mengasumsikan bahwa penurunan ini berasal dari perusahaan yang optimistik
terhadap klaim jaminan (warranty) atas produknya dibanding tahun sebelumnya.
Alternatif lainnya, penurunan ini karena mempertimbangkan item seperti kontijensi
dibandingkan dengan akrual. Dalam hutang juga terdapat ruang yang luas untuk
akrual diskresioner.
2. Motivasi Kontraktual Lainnya
Selain motivasi rencana bonus, kita dapat melihat motivasi kontraktual lain dalam
manajemen laba, meliputi :
a. Dilihat dari segi perilaku oportunistik manajer (perspektif oportunistik) untuk
memaksimalkan utilitasnya dalam hal kompensasi dan biaya kontrak utang dan biaya
politis.
b. Dilihat dari perspektif kontrak efisien. Ketika menyusun kontrak kompensasi,
perusahaan akan mengantisipasi insentif manajer untuk me-manage laba dan akan
mengijinkan hal ini dalam sejumlah kompensasi yang ditawarkan. Pemberi pinjaman
akan melakukan hal yang sama dengan memutuskan tingkat bunga yang diminta.
Kontrak akan menjadi lebih efisien karena mereka mengantisipasi manajemen laba
dan menyesuaikan pembayaran sesuai dengan itu. Juga, karena kontrak bersifat kaku
dan tidak lengkap, manajemen laba memberikan manajer beberapa fleksibilitas untuk
melindungi perusahaan dalam menghadapi realisasi yang tidak diantisipasi demi
kepentingan semua pihak yang terlibat dalam kontrak.

c. Dilihat dari perspektif adanya kontrak implisit atau kontrak relasional. Kontrak ini
muncul dari hubungan yang terus-menerus antara perusahaan dan para stakeholder
dan menunjukkan perilaku yang diharapkan berdasarkan pada urusan bisnis masa lalu.
Contohnya, jika perusahaan dan manajernya mengembangkan reputasi dengan selalu
memenuhi komitmen kontrak formal, mereka akan menerima persyaratan yang lebih
baik dari supplier, tingkat bunga yang lebih rendah dari pemberi pinjaman, dan
sebagainya. Dampaknya, para pihak bertindak seolah-olah terdapat kontrak yang
menguntungkan.
3. Untuk mengkomunikasikan informasi kepada investor
Manajemen secara khusus memiliki inside information terbaik mengenai
prospek laba di masa depan. Jika laba dilaporkan dikelola pada jumlah yang
merepresentasikan estimasi terbaik manajemen tentang kekuatan laba persisten, dan
pasar merealisasikannya, harga saham secara cepat akan merefleksikan inside
information. Efeknya, penggunaan secara bertanggung jawab terhadap manajemen
laba dapat meningkatkan probabilitas diagonal utama terhadap sistem informasi.

4. Penawaran Saham
a. Initial Public Offerings (IPO)
Perusahaan yang melakukan IPO masih belum mempunyai harga pasar. Untuk itu,
perusahaan menggunakan informasi keuangan termasuk pada prospektus sebagai
sumber informasi yang berguna. Contohnya, Hughers (1986, dalam Scott,2009)
menunjukkan bahwa informasi seperti laba bersih berguna dalam membantu
menunjukkan nilai perusahaan kepada investor. Sefcik (1992) dalam Scott (2009)
menemukan bukti empiris bahwa pasar merespon positif terhadap ramalan laba
sebagai sinyal dari nilai perusahaan. Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan
beberapa hasil yang berbeda mengenai motivasi ini. Irawan & Gumanti (2009) dalam
penelitiannya pada 61 sampel perusahaan yang go public selama 2000-2005
menunjukkan bahwa indikasi manajemen laba tidak terbukti dilakukan oleh
manajemen pada periode sebelum maupun sesudah go public. Hasil yang berbeda
ditemukan oleh

Rahman dan Hutagaol (2007, dalam Irawan&Gumanti) yang

menemukan bukti kuat manajemen laba dilakukan oleh manajemen di seputar IPO di
Indonesia.

D. Sisi Baik dan Sisi Buruk Manajemen Laba


Dalam SFAC 8 disebutkan bahwa pelaporan keuangan harus menyediakan informasi
yang berguna bagi investor saat ini dan investor potensial dan kreditor dan pengguna lain
dalam membuat keputusan yang rasional mengenai investasi, kredit dan keputusan lain yang
sejenis (FASB,2010). Kriteria utama dari informasi akuntansi adalah relevan dan reliable
(andal). Informasi akuntansi dikatakan relevan apabila dapat mempengaruhi keputusan
dengan menguatkan atau mengubah pengharapan para pengambil keputusan, dan informasi
tersebut adalah andal apabila dapat dipercaya dan menyebabkan pemakai informasi
tergantung dengan informasi tersebut (Kusuma,2006). Manajemen laba dapat menimbulkan
kontroversi karena dapat menyesatkan pemakai laporan keuangan (Primanita &
Setiono,2006). Loomis (1999) dalam Elias (2002) menegaskan bahwa manajemen laba
mengakibatkan investor tidak mengetahui nilai bisnis yang sebenarnya.
Meskipun demikian, manajemen laba tetap dilakukan oleh perusahaan. Salah satu
alasannya adalah adanya halangan dan mahalnya biaya bagi pihak lain untuk menemukan
informasi di dalam perusahaan yang dimiliki manajer. Selain itu, pihak di luar perusahaan
sulit menginterpretasikan teknik manajemen laba yang nampak, seperti perubahan kebijakan
akuntansi, waktu keuntungan dan kerugian modal, dan persyaratan restrukturisasi. Alasan lain
mengapa manajemen laba tetap berlangsung adalah karena manajemen laba memiliki sisi
baik, yaitu sebagai berikut :

Manajemen laba dapat dilakukan oleh manajer dalam rangka mengantisipasi kontrak

yang kaku dan tidak lengkap.


Manajemen laba dapat menjadi perangkat untuk menyampaikan inside information ke
pasar, memungkinkan harga saham untuk merefleksikan dengan lebih baik prospek
perusahaan di masa depan.
Berkaitan dengan penyampaian inside information, seringkali informasi tersebut

menjadi sangat mahal untuk dikomunikasikan pada prinsipal. Manajemen laba dapat menjadi
alat untuk menghilangkan atau mengurangi blocked information. Contohnya ditunjukkan oleh
Feltham dan Ohlson (1996, dalam Scott,2009) yang menganalisis kondisi dimana manajer
dengan pilihan kebijakan amortisasi, dapat mengungkapkan inside information kepada

investor tentang komponen goodwill dari nilai perusahaan. Feltham dan Ohlson menunjukkan
bahwa manajemen dapat mengkomunikasikan informasi ini dengan memilih kebijakan
amortisasi yang sesuai. Analisis Feltham dan Ohlson menunjukkan bahwa manajemen laba
dapat menjadi hal yang baik jika manajemen menggunakannya dengan penuh tanggung
jawab. Bukti lain juga ditunjukkan oleh Barth, Elliot dan Finn (1999, dalam Scott, 2009).
Berdasarkan penelitiannya pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat sepanjang tahun
1982-1992, mereka menunjukkan bahwa perusahaan dengan pola laba yang terus meningkat
dengan stabil selama lima tahun, akan menikmati harga lebih tinggi/laba lebih banyak dalam
waktu yang lebih lama daripada perusahaan lain yang memiliki variabilitas pertumbuhan
laba, namun tidak memiliki pola laba yang meningkat secara stabil. Dalam hal pola laba yang
meningkat secara stabil ini adalah hasil manajemen laba, pasar tampaknya memberi reward
terhadap manajemen laba yang tidak overstate dalam menunjukkan kekuatan laba masa
depannya. Penjelasan untuk hal ini adalah adanya pola laba yang meningkat mengungkapkan
inside information mengenai peluang pertumbuhan.

E. Konklusi Manajemen Laba


Manajemen Laba mungkin terjadi karena kenyataan bahwa GAAP tidak secara
sempurna membatasi pilihan manajer atas kebijakan dan prosedur akuntansi. Pilihan
kebijakan akuntansi:

jauh lebih kompleks & menantang daripada memilih secara sederhana untuk

menginformasikan yang terbaik untuk investor.


Sering dimotivasi oleh pertimbangan strategis, e.g: mencapai harapan laba, kontrak
yang tergantung pada variabel akuntansi keuangan, pajak, penerbitan saham baru,
tawaran pengambil alihan, tekanan persaingan potensial, rilis informasi dalam

perusahaan
Manajer akan bereaksi melawan perubahan aturan yang menurunkan fleksibilitas
pilihan akuntansi manajer

Perlu diketahui bahwa seorang akuntan perlu menyadari atas kebutuhan legitimasi
manajemen, seperti halnya investor.

DAFTAR PUSTAKA

Deegan, Craig. (2004). Financial Accounting Theory. North Ryde : The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Scott, W.R. (2009). Financial Accounting Theory. Kanada: Prentice Hall

Anda mungkin juga menyukai