Anda di halaman 1dari 10

BAB X

HAK ASASI MANUSIA


A. Pengertian.
Manusia dianugrahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang
memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk
yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani
hidupnya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan
dasar untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk
mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggungg
jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia
secar kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat
diingkari. Pengingkaran terhadap hak-hak tersebut berarti mengingkari martabat
kemanusiaan.

Oleh

karena

itu,

Negara,

Pemerintah,

atau

Organisasi

apapun

mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap
manusia tanpa kecuali. Hal ini berarti bahwa asasi manusia harus menjadi titik tolak dan
tujuan dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hak Asasi Manusia di suatu Negara berbeda dengan negara lain dalam hukum
dan

praktek

penegakan

hukumnya,

maupun

dalam

bentuk

perlindungan

dan

pelaksanaan hukumnya, Hak asasi manusia yang perlu ditegakkan itu haruslah disertai
dengan perlindungan hukum baik dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan.
Perlu dipertegas bahwa Hak Asasi Manusia itu berlaku Universal untuk semua orang
dan disemua Negara, namun demikian praktek penegakan, pemajuan dan perlindungan
Hak Asasi Manusia disuatu negara akan berbeda dengan negara lainnya.
Di Indonesia HAM ini sudah dikenal secara formal yaitu didalam UU D 1945,
termasuk

dalam

pembukaannya

meskipun

demikian

masih

banyak

hal

yang

menyangkut HAM yang belum dapat ditegakkan, antara lain belum adanya landasan
hukum nasional dipakai sebagai pedoman walaupun Universal Declaration Of
Human Rigt Untuk memperdalam pemahaman dalam pengertian HAM maka perlu
diambil pertimbangan yang terdapat dalani UU No.26 Tahun 2000 yang berbunyi
sebagai berikut:

Bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar secara kodrati melekat
pada diri manusia, bersfat Universal dan langgeng oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati dan tidak boleh diabaikan
Selain dari Undang-Undang No.26 Tahun 2000, juga definisinya tentang apa
yang dimaksud dengan HAM berpedoman pada apa yang tertuang secara normatif di
dalam Undang-Undang, dan menurut UU No.39 Tahun 1999, yang dimaksud dengan
HAM sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi:
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekatnya
dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dujunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
Hukum dan Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia
Hak Asasi Manusia (Fundamental Rights) artinya hak yang bersifat mendasar
(grounded), HAM adalah hak hak yang bersifat mendasar dan inheren dengan jati diri
manusia secara universal, oleh karena itu menelaah HAM adalah menelaah totalitas
kehidupan, sejauh mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada
kemanusiaan. Siapapun manusianya berhak memiliki hak tersebut, artinya disamping
keabsahannya terjaga dalam eksitensi kemanusian, manusia juga terdapat kewajiban
yang sungguh-sungguh untuk dimengerti, dipahami dan bertanggungjawab untuk
memeliharanya.
B.

Perkembangan Hak Asasi Manusia.


Keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak terlepas dari pengakuan terhadap

adanya hukum alam yang menjadi cikal bakal bagi kelahiran HAM. Hukum alam
menurut Marcus C. Singer merupakan satu konsep dan prinsip-prinsip umum moral
dan sistem keadilan dan berlaku untuk seluruh umat manusia. Stoa menegaskan
bahwa hukum alam diatur berdasarkan logika manusia, karenanya manusia akan
mentaati hukum alam tersebut. Seperti diakui Aristoteles bahwa hukum alam
merupakan produk rasio manusia demi terciptanya keadilan abadi. Salah satu muatan
hukum alam adalah hak-hak pemberian dan alam, karena dalam hukum alam ada
sistem keadilan yang berlaku universal. Dengan demikian, masalah keadilan yang
merupakan inti dan hukum alam menjadi pendorong bagi upaya penghormatan dan
perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan universal

Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di


kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain memuat
pandangan bahwa Raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang
menciptakan hukum, tetapi Ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya),
menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya di
muka hokum. Magna Charta telah menghilangkan hak absolutisme raja. Sejak itu mulai
dipraktikkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan mempertanggung jawabkan
kebijakan pemerintahannya kepada parlemen.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American
Declaration of Independence yang lahir dan paham Rousseau dan Montesquieu.
Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya,
sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu. Selanjutnya, pada 1789
lahirlah The French Dedaration (Deklarasi Perancis), di mana ketentuan tentang hal
lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi
tidak boleh

ada penangkapan

dan

penahanan yang

semena-mena,

termasuk

penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa surat perintah yang
dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of
innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak
dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap yang menyatakan ia bersalah. Kemudian prinsip itu dipertegas oleh prinsip
freedom of expression (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion
(bebas menganut keyakinan / agama yang dikehendaki), The right of property,
(perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration
sudah tercakup hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum.
Perkembangan yang lebih signifikan adalah dengan kemunculan The Four
Freedoms dari Presiden Roosevelt pada 6 Jannani 1941. Ada empat hak yaitu:
1. Hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat,
2. Hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang
dipeluknya,
3. Hak kebebasan dan kemiskinan dalam pengertian setiap bangsa berusaha mencapai
4.

tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya,


Hak kebebasan dan ketakutan, yang meliputi usaha, peng-urangan persenjataan,
sehmgga tidak satu pun bangsa (negara) berada dalam posisi berkeinginan untuk
melakukan serangan terhadap negara lain.

Selanjutnya pada tahun 1944 diadakan Konferensi Buruh Intemasional di


Philadelphia yang kemudian menghasilkan Deklarasi Philadelphia. Isi dan konferensi
tersebut tentang kebutuhan penting untuk menciptakan perdamaian dunia berdasarkan
keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apa pun ras, kepercayaan, atau jenis
kelaminnya, memiliki hak untuk mengejar perkembangan material dan spiritual dengan
bebas dan bermartabat, keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Semua hak di
atas sesudah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia)
dijadikan dasar pemikiran untuk menjadi embrio rumusan HAM yang bersifat universal
sebagaimana dalam Dekiarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ( The Universal
Declaration of Human Rights) PBB tahun 1948.
C.

Hak Asasi Manusia di Indonesia


Prof. Bagir Manan dalam bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan

HAM di Indonesia membagi perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dalam dua


periode yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan peniode setelah
kemerdekaan (1945 - sekarang).
a.

Periode sebelum kemerdekuan (1908-1 945)

Sebagai organisasi pergerakan, Boedi Oetomo telah menaruh perhatian


terhadap masalah HAM. Dalam konteks pemikiran HAM, pam pemimpm Boedi Oetomo
telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat
melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada Pemerintah Kolonial maupun dalam tulisan
yang dimuat surat kabar Goeroe Desa. Bentuk pemikiran HAM Budi Oetomo dalam
bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Selanjutnya, pemikiran
HAM Pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi oleh pa ra tokoh organisasi
seperti Mohammad Hatta, Nazir , Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis dan sebagainya.
Pemikiran HAM para tokoh tersebut lebih menitik beratkan pada hak untuk menentukan
nasib sendiri. Salah satu pemikiran dari Perhimpunan Indonesia seperti dalam pidato
Mohanimad Hatta:
Semenjak pasifik menunjukkan perkembangan ekonominya, sejak itu ia masuk
pada pusat politik dunia. Pertentangan kekuasaan sudah mulai, yang akan berkembang
menjadi drama-drama bangsa yang hebat, yang di masa sekarang kita belum dapat
menggambarkannya. Karena apabila peperangan pasifik berdarah antara tinmr dan
barat, tetapi juga akan menyudahi kekuasaan bangsa-bangsa kulit berwarna. Dimia
akan memperoleh wajah baru yang lebih baik kalau dan pertempuran itu bangsa kulit

berwarna mendapat kemenangan. Karena kelemah lembutan dan perasaan damainya


bangsa kulit berwarna akan menjadi tanggungan untuk perdamaian dunia Dengan
sendirinya perhubungan kolonial akan digantikan oleh masyarakat dunia yang di
dalamnya hidup bangsa-bangsa merdeka yang berkedudukan sama .
Selanjutnya, pemikiran HAM pada Sarekat Islam (organisasi kaum santri yang
dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis) menekankan pada usaha-usaha untuk
memperoleh penghidupan yang Iayak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi
rasial. Sedangkan pemikiran HAM dalam Partai Komunis Indonesia sebagai partai
yang berlandaskan paham Marxisme Iebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial
dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat produksi. Konsentrasi terhadap
HAM juga ada pada Indische Partij. Pemikiran HAM yang paling menonjol pada
Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan
perlakuan yang sama dari hak kemerdekaan. Sedangkan pemikiran HAM pada Partai
Nasional Indonesia mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan (the
right of self determination). Adapun pemikiran HAM dalam organisasi Pendidikan
Nasional Indonesia ( organisasi yang didirikan Mohammad Hatta setelah Partai
Nasional Indonesia dibubarkan dan merupakan wadah perjuangan yang menerapkan
taktik non kooperatif melalui program pendidikan politik, ekonomi, dan social )
menekankan pada hak politik, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk
mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka
hukum, serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara.
Pemikiran HAM juga terjadi dalam perdebatan di sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara Soekarno dan
Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohamad Yamin pada pihak
lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan
masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat,
hak berkumpul, hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Dengan demikian gagasan dan pemikiran HAM di Indonesia telah menjadi
perhatian besar dan para tokoh pergerakan bangsa dalam rangka pengho rmatan dan
penegakan HAM, karena itu HAM di Indonesia mempunyai akar sejarah yang sangat
kuat.
b. Periode seielah kemerdekaan (1945-sekarang)Periode 1945-1950

Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan pada hak
untuk merdeka (self determination), hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi
politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di
parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah
memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam Hukum Dasar Negara (konstitusi) yaitu
UUD 1945. Bersamaan dengan itu pninsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan
atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan negara Indonesia merdeka.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan
partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November
1945 yang antara lain menyatakan:
1.

Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai


politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam

2.

masyarakat;
Pemenintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkanya
pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada Januari 1946.
Hal yang sangat penting dalam kaitan dengan HAM adalah adanya perubahan
mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dan Sistem Presidensial
(menurut UUD 1945) menjadi sistem Parlementer sebagaimana tertuang dalam
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945.

Periode 1950-1959.
Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan
periode Demokrasi Parmelenter. Pemikiran HAM periode ini mendapatkan momentum
yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat
Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit
politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM
pada periode ini mengalami pasang dan menikmati bulan madu kebebasan.
Indikatornya menurut ahli hukum tata negara ini ada lima aspek.
1.

Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya

2.

masing-masing.
Kedua, kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati

3.

kebebasannya.
Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dan demokrasi berlangsung dalam suasana
kebebasan, adil dan demokratis.

4.

Keempat, parlemen sebagal representasi kedaulatan rakyat melakukan kontrol yang

5.

semakin efektifterhadap eksekutif.


Kelima, pemikinan HAM mendapatkan iklim yang kondusif dengan tumbuhnya
kekuasaan membenikan ruang kebebasan.
Dalam perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda
aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM
masuk dalam UUD serta menjadi bab tersendiri.
Periode 1959-1966.
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem Demokrasi
Terpimpin

sebagai

reaksi

penolakan

Soekarno

terhadap

sistem

Demokrasi

Parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di
tangan Presiden. Akibat dan sistem demokrasi terpimpm Presiden melakukan tindakan
inkonstitusional baik pada tataran supra stuktur politik maupun dalam tataran
infrastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi
masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Dengan kata lain telah tenjadi sikap restriktif
(pembatasan yang ketat oleh kekuasaan ) terhadap hak sipil dan hak politik warga.
Periode 1966-1998
Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM.
Salah

satu

seminar

tentang

HAM

dilaksanakan

pada

tahun

1967

yang

merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM,


Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970 sampai periode akhir tahun 1980,
persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati,
dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran Elit Penguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh
sikap penolakannya terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik serta
bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah
pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dan produk hukum
yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam
ungkapan bahwa HAM adalah produk Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur
budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta Bangsa Indonesia sudah terlebih
dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir
lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Selain itu, sikap defensif

pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM sering kali digunakan oleh
negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an tampak
memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah
dari represif dan defensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan
dengan penegakan HAM salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan
penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM) berdasarkan KEPRES No.50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Dampak dan sikap akomodatif pemerintah dan dibentuknya KOMNAS HAM
sebagai lembaga independen adalah bergesernya paradigma pemerintah terhadap
HAM dan partikularistik ke universalistik serta semakin kooperatifnya pemerintah
terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia.
Periode 1998-sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada 1998 memberikan dampak yang sangat
besar pada perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian
terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan
dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan
dan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula dilakukan pengkajian dan ratifikasi
terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian
tersebut meriunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional, khususnya
yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional
dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui tahap status
penentuan yaitu telah ditetapkannya beberapa ketentuan perundang-undangan tentang
HAM seperti amandemen konstitusi negara (UUD 1945), Ketetapan MPR (TAP MPR),
Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah dan ketentuan perundang-undangan
lainnya. Pada masa sekarang ini penghormatan dan pemajuan HAM mengalami
perkembangan yang signifikan, dengan dirumuskan dalam amandemen UUD 1945 dari
pasal 26 sampai pasal 34, kemudian terdapat sepuluh pasal khusus tentang HAM, yaitu
pasal 28A sampai dengan pasal 28J, pada amandemen yang kedua tahun 2000.

Komentar
ebagai dasar hukum mengenai pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
dimana pasal 1 ayat 3 dari undang-undang tersebut menyebutkan bahwa
pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan khusus yang bertugas dan
berwenang memeriksa serta memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat seperti kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagaian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1. Membunuh anggota kelompok
2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok
Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa :
1.Pembunuhan
2.Pemusnahan
3.Perbudakan
4.Pengusiran atau pemindahan penduduk
5.Penyiksaan
6.Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara
7.Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional

Saya berpendapat bahwa hal itu sangat sekali diperlukan karena dengan begitu
diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang
mendambakan penegakan hak-hak asasinya.
Terlebih lagi bagi Bansa Indonesia yang dalam UUD 1945 meskipun dibuat sebelum
diproklamasikannya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, namun sudah memuat
ketentuan tentang penghormatan beberapa HAM yang sangat penting, seperti hak
semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama pembukaan), hak atas
kewarganegaraan (Pasal 26), persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia
atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)), hak berserikat dan berkumpul bagi semua warga
negara (Pasal 28), hak setiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut
agama dan kepercayaannya masing-masing (pasal 19 ayat (2)), dan hak setiap
warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31).
Pengadilan Hak Azasi Manusia sebagai lembaga yang membela hak asasi manusia
di Indonesia, keberadaan pengadilan HAM sendiri sangat urgen dan relevan saat ini.
Sebab, di tengah euforia kebebasan pada masa reformasi sekarang ini, pelanggaran
dan penindasan atas hak asasi orang lain justru banyak terjadi. Di tengah
kemiskinan rakyat akibat krisis ekonomi dan krisis multidimensi lainnya, pengisapan
manusia yang kuat atas manusia lainnya yang lemah tetap merajalela. Ironisnya,
eksplisit atau implisit itu dilakukan justru dengan alasan kebebasan.
Namun, dalam tataran praktik harus kita akui, kebijakan politik dan pembangunan
di seluruh aspek kehidupan bangsa ini telah menempatkan hak-hak asasi manusia
menjadi simbol tak bermakna ketika harus berhadapan dengan kepentingan
pembangunan dan stabilitas. Pihak yang seringkali menjadi korban adalah
kelompok warga negara miskin, perempuan dan anak, dan juga kelompok minoritas.
Hal tersebut yang menjadikan perlu dibentuknya pengadilan Hak Asasi Manusia,
dengan begitu jelas mempertegas komitmen bangsa Indonesia terhadap hak asasi
manusia dan membawa dampak bagi penegakan hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, adanya pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut haruslah membawa
dampak positif terhadap upaya penegakan hukum terutama yang berkaitan dengan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
(Halomoan Napitupulu, NIM:214420315,2-AH)

Anda mungkin juga menyukai