Anda di halaman 1dari 10

1.

Tujuan preoperative
a. Mengkonfirmasikan bahwa tindakan bedah yang akan dilakukan akan memberikan
hasil yang optimal dengan segala resikonya
b. Dapat mengatasi masalah2 yang mungkin terjadi dan memastikan bahwa fasilitas dan
tenaga yang ada cukup terlatih untuk melakukan perawatan perioperasi yang
memuaskan
c. Memastikan bahwa penderita dipersiapkan dengan tepat untuk pembedahan dengan
mempertimbangkan faktor2 penyulit yang mungkin ada yang dapat meningkatkan
resiko buruk dari hasil tindakan
d. Mendapatkan informasi yang tepat tentang keadaan pasien dan dapat merencanakan
tekhnik anestesi yang tepat
e. Meresepkan atau melakukan premedikasi dan/atau obat obatan profilaksis spesifik
lainnya yang mungkin diperlukan
2. Tujuan premedikasi
a. Menghilangkan kecemasan dan ketakutan ansiolitik benzodiazepine
b. Mengurangi secret antikolinergik
c. Memperkuat efek hipnotik dari agen anestesi umum (sedasi)
d. Mengurangi volume dan meningkatkan keasaman isi lambung
e. Mengurangi mual muntah paska operasi
f. Menghindari terjadinya vagal reflex
3. Sirkuit alat dalam anesstesi
a. System terbuka (open)
Digunakan sungkup yang menutup hidung dan mulut. Memakai agen etes atau
chloraethyl yang diteteskan perlahan-lahan pada sungkup tersebut dan dibawa
sungkup dialirkan O2. Pada system ini tidak ada rebreathing
b. System setengah terbuka (semi open) dan system setengah tertutup (semi closed)
Kedua system ini dapat digunakan untuk anestesi dengan menggunakan sungkup saja
maupun intubasi, dengan nafas spontan maupun terkontrol. Diperlukan CO2 absorber
(soda lime). Pada system semi open: terdapat inspirasi dari udara luar sebagian dan
rebreathing sebagian. Pada system semi closed: tidak terjadi inspirasi dari udara luar,
tetapi terjadi ekspirasi ke udara luar dan rebreathing
c. System tertutup (closed system)
Pada system ini udara ekspirasi dihirup kembali seluruhnya, masuk kedalam alat
anastesi jadi hanya rebreathing. Disini CO2 absorber sangat berperan.
4. Reaksi anafilaktik dan anafilaktoid:
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap
alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem
pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma & pembentukan IgE
spesifik terhadap alergen tertentu. IgE kemudian terikat pada reseptor permukaan
mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik
1

dan memicu terjadinya reaksi Ag-Ab yg terlepasnya mediator (histamin dari


granula yang terdapat dalam sel). Ikatan Ag-Ab ini juga memicu sintesis SRS-A
(Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik pada
membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera
mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan
prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan
timbulnya gejala pernafasan dan syok.
Reaksi anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid : reaksi yg timbulnya gejala & keluhan yg sama dengan reaksi
anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan Ag-Ab. Pelepasan mediator
biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya
dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah
kontras radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain
itu aspirin maupun NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang
diduga sebagai akibat terhambatnya enzim siklooksgenase.

5. Hal-hal yg perlu diperhatikan bagi pengguna diazepam sebagai berikut :


a. Pada ibu hamil diazepam sangat tidak dianjurkan karena dapat sangat berpengaruh
pada janin. Kemampuan diazepam untuk melalui plasenta tergantung pada derajat
relativitas dari ikatan protein pada ibu dan janin. Hal ini juga berpengaruh pada tiap
tingkatan kehamilan dan konsentrasi asam lemak bebas plasenta pada ibu dan janin.
Efek samping yang dapat timbul pada bayi neonatus selama beberapa hari setelah
kelahiran disebabkan oleh enzim metabolism obat yang belum lengakp. Kompetisi
antara diazepam dan bilirubin pada sisi ikatan protein dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia pada bayi neonatus.
b. Sebelum menggunakan diazepam harap kontrol pada dokter terlebih dahulu.
c. Jika berusia diatas 65 tahun dosis yang diberikan tidak boleh terlalu tinggi karena
dapat membahayakan jiwa pasien tersebut. Usia lanjut dapat mempengaruhi
distribusi, eliminasi dan klirens dari benzodiazepine.
d. Obat ini tidak diperbolehkan diminum pada saat membawa kendaraan karena obat ini
menyebabkan mengantuk.
e. Pada pasien yang merokok harus konsultasi pada dokter lebih dahulu sebelum
menggunakan diazepam, karena apabila digunakan secara bersamaan dapat
menurunkan efektifitas diazepam.
f. Jangan menggunakan diazepam apabila menderita glukoma narrowangle karena dapat
memperburuk penyakit
g. Katakan pada dokter jika memiliki alergi.
h. Hindarkan penggunaan pada pasien dengan depresi CNS atau koma, depresi
pernafasan, insufisiensi pulmonari akut,, miastenia gravis, dan sleep apnoea
i. Hati-hati penggunaan pada pasien dengan kelemahan otot serta penderita gangguan
hati atau ginjal, pasien lanjut usia dan lemah.
j. Diazepam tidak sesuai untuk pengobatan psikosis kronik atau obsesional states.
2

6. Pengertian dehidrasi : hipotonik, hipertonik dan isotonic


Klasifikasi dehidrasi menurut Donna D. Ignatavicus ada 3 jenis:
a. Dehidrasi Isotonik adalah air yang hilang diikuti dengan elektrolit sehingga
kepekatannya tetap normal, maka jenis dehidrasi ini biasnaya tidak mengakibatkan
cairan ECF berpindah ke ICF.
b. Dehidrasi Hipotonik adalah kehilangan pelarut dari ECF melebihi kehilangan
cairan, sehingga dipembuluh darah menjadi lebih pekat. Tekanan osmotik ECF
menurun mengakibatkan cairan bergerak dari EFC ke ICF. Volume vaskuler juga
menurun serta terjadi pembengkakan sel.
c. Dehidrasi Hipertonik adalah kehilangan cairan ECF melebihi pelarut pada
dehidrasi ini non osmotik ECF menurun, mengakibatkan cairan bergerak dari ICF ke
ECF.

1. Dehidrasi Ringan (jika penurunan cairan tubuh 5 persen dari berat badan)
Muka memerah
Rasa sangat haus
Kulit kering dan pecah-pecah
Volume urine berkurang dengan warna lebih gelap dari biasanya, dll
2. Dehidrasi Sedang (jika penurunan cairan tubuh antara 5-10 persen dari berat badan)
Gejala:
Gelisah, cengeng
Kehausan
Mata cekung
Kulit keriput, misalnya kita cubit kulit dinding perut, kulit tidak segera kembali ke
posisi semula.
Tekanan darah menurun
Pingsan
Ubun-ubun cekung
3

Denyut nadi cepat dan lemah


3. Dehidrasi berat (jika penurunan cairan tubuh lebih dari 10 persen dari berat badan)
Gejala:
Berak cair terus-menerus
Muntah terus-menerus
Kesadaran menurun, lemas luar biasa dan terus mengantuk
Tidak bisa minum, tidak mau makan
Mata cekung, bibir kering dan biru
Cubitan kulit baru kembali setelah lebih dari 2 detik
Kesadaran berkurang
Tidak buang air kecil
Tangan dan kaki menjadi dingin dan lembab
Denyut nadi semakin cepat dan lemah hingga tidak teraba
Tekanan darah menurun drastis hingga tidak dapat diukur
Ujung kuku, mulut, dan lidah berwarna kebiruan

7. Tujuan transfuse darah

Meningkatkan volume darah sirkulasi

Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin
pada klien anemia.

Memberikan komponen seluler tertentu sebagai terapi (misalnya: faktor pembekuan


untuk membantu mengontrol perdarahan pada pasien hemofilia).

Meningkatkan oksigenasi jaringan.

Memperbaiki fungsi Hemostatis.

8. Keuntungan PRC:

Kecepatan transfuse Pada anemia kronik dan gagal jantung kecepatan transfusi pada
dasarnya diusahakan tidak melebihi 2 ml/kgBB/jam.

Reaksi post transfusi


Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat dan lambat.
Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah
transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan
reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus,
urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedangberat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan
nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit,
urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi ringan diatasi dengan pemberian antipiretik,
antihistamin atau kortikosteroid, dan pemberian transfusi dengan tetesan diperlambat.
Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam
akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit),
kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri
di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan dispnea.
Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun 20% tekanan darah
sistolik), takikardia (naik 20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini
disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan
cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.
Hemolisis intravaskular akut
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas
sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang
inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah
dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka
akan semakin meningkatkan risiko.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat
kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang
belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa
identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam
a.

plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah
yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal
transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak
sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin
merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan pasien dilakukan sejak
awal transfusi dari setiap unit darah.
Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini dapat terjadi
bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan fungsi
ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronik dan memiliki
penyakit dasar kardiovaskular.
Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma
merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu.
Selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat
disebabkan produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam beberapa
menit awal transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress pernapasan
dan tanpa demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan
agresif dengan antihistamin dan adrenalin.
Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung injury =
TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang
melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal
transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik,
namun diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.
2. Reaksi Lambat
Reaksi hemolitik lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda
demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan
mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan
dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan
sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut.
Purpura pasca transfusi
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial
membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya
antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak
terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya
trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung
trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit
50.000/uL dan perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung trombosit 20.000/uL.
Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang kompatibel dengan antibodi
pasien.
Penyakit graft-versus-host
6

Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya terjadi


pada pasien imunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan
pasien imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan
kompatibel (HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah.
Gejala dan tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis,
pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik,
terapi hanya bersifat suportif.
Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang
akan mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai
dengan gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk
menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan
untuk meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000
mg/l.
Infeksi
Infeksi yang berisiko terjadi akibat transfusi adalah Hepatitis B dan C, HIV, CMV, malaria,
sifilis, bruselosis, tripanosomiasis)
9. Syarat HD cito (Indikasi)
- Asidosis metabolic yg sulit dikoreksi
- Uremia>200 mg/dl
- Hiperkalemia >7 meq/l
- Perikarditis & ensefalopati uremikum
- Overload
10. Cara mengetahui adanya sumbatan jalan napas
Look : Melihat, yaitu melihat dinding dada. apakah ada pergerakan naik turun tidak.
Listen : Mendengarkan, yaitu mendengarkan apakah adanya bunyi pernapasan
dengan cara
menempelkan cuping telinga kita ke dekat hidung
pasien/penderita/korban.
Feel : Merasakan, yaitu merasakan apakah adanya hembusan angin atau udara
pernapasan berbarengan dengan (listen).
Pada sumbatan jalan nafas total tidak terdengar suara nafas atau tidak terasa
adanya aliran udara lewat hidung atau mulut. Terdapat pula tanda tambahan yaitu adanya
retraksi pada daerah supraklavikula dan sela iga bila penderita masih bisa bernafas
spontan dan dada tidak mengembang pada waktu inspirasi. Pada sumbatan jalan nafas
total bila dilakukan inflasi paru biasanya mengalami kesulitan walaupun dengan tehnik
yang benar. Pada sumbatan jalan nafas partial terdengar aliran udara yang berisik dan
kadang-kadang disertai retraksi. Bunyi lengking menandakan adanya laringospasme, dan
bunyi seperti orang kumur menandakan adanya sumbatan oleh benda asing.

Cara membuka jalan napas jika dipastikan pasien tidak bernapas/mengalami


sumbatan jalan napas, yaitu dengan cara Manuver Jalan Napas:
Kepala ekstensi pada sendi otot atlanto-oksipital
Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
7

Mulut dibuka

11. Respon tubuh bila kehilangan darah <15%


Berdasarkan persentase kehilangan volume darah yang akut, syok hemoragik dibedakan
atas kelas-kelas, yaitu:
1. Pendarahan kelas I : kehilangan volume darah hingga 15%
Gejala klinis minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak
ada perubahan berarti dari tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernapasan. Pada
penderita yang dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak perlu diganti,
karena pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi akan memulihkan volume
darah dalam 24 jam.
2. Pendarahan kelas II: kehilangan volume darah 15-30%. Pada laki-laki 70 kg,
kehilangan
volume
darah
750-1500
cc.
Gejala klinis berupa takikardi ( >100 x/menit), takipneu, penurunan tekanan nadi,
perubahan sistem saraf sentral yang tidak jelas seperti cemas, ketakutan, atau sikap
permusuhan. Walau kehilangan darah dan perubahan kardiovaskular besar, namun
produksi urin hanya sedikit terpengaruh (20-30 ml/jam untuk orang dewasa).
3.
Pendarahan
kelas
III:
kehilangan
volume
darah
30-40%
Kehilangan darah dapat mencapai 2000 ml. Penderita menunjukkan tanda klasik perfusi
yang tidak adekuat, antara lain: takikardi dan takipneu yang jelas, perubahan status
mental dan penurunan tekanan darah sistolik. Penderitanya hampir selalu memerlukan
transfusi darah. Keputusan untuk memberikan transfusi darah didasarkan atas respon
penderita terhadap resusitasi cairan semula, perfusi dan oksigenasi organ yang adekuat.
4.
Pendarahan
kelas
IV:
kehilangan
volume
darah
>
40%
Jiwa penderita terancam. Gejala: takikardi yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik
yang besar, tekanan nadi sangat sempit (atau tekanan diastolik tidak teraba), kesadaran
menurun, produksi urin hampir tidak ada, kulit dingin dan pucat.
Penderita membutuhkan transfusi cepat dan intervensi pembedahan segera. Keputusan
tersebut didasarkan atas respon terhadap resusitasi cairan yang diberikan. Jika kehilangan
volume darah >50%, penderita tidak sadar, denyut nadi dan tekanan darah menghilang.

12. Premedikasi pada pasien COPD


COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten dengan
meningkatnya residual volume dan function residual capacity. Resiko anestesi adalah :
hipoksemia, hiperkarbia, bronkospasme dan peningkatan insiden Postoperative Pulmonary
Complication (PPC), termasuk atelektasis, pneumonia dan gagal nafas.

Merokok adalah faktor predisposisi yang besar yang menyebabkan COPD, dimana
sebagian besar diklasifikasikan dalam bronchitis kronis dan emfisema. Gabungan dari keduanya
dapat terjadi. Penyebab minor dari emfisema adalah defisiensi homozygot a-1 antitripsin, dimana
hal tersebut juga berperan sebagai penyebab sirhosis. Merokok lebih dari 20 pak/tahun, usia
lanjut, obesitas, status ASA yang tinggi, serta operasi thorax dan upper abdominal merupakan cofaktor COPD untuk PPC. COPD dini dengan atau tanpa gejala, tes fungsi paru rutin (PFTs) tidak
diperlukan, kecuali sebelum reseksi paru. Dispnu (terutama pada saat istirahat), batuk dan
produksi sputum menandakan perlunya persiapan yang intensif, termasuk PFTs dasar dan
pengukuran gas darah arteri.

Perbandingan FEV1/FVC menunjukkan beratnya COPD. Resiko PPC meningkat setelah


pembedahan upper abdominal, jika pada preoperative nilai dari FEV1/FVC < 70%, FEV2575%/FVC < 50%, FVC < 75%, dan MVV < 50%. Gagal nafas sering terjadi jika FEV1/FVC <
50% dan PaCO2 > 50 mmHg. Retensi CO2 sering terjadi jika FEV1/FVC < 35%. Perbaikan nilai
aliran ekspirasi dan PaCO2 setelah pemberian bronkodilator menurunkan resiko PPC. Malnutrisi
dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan karena keduanya menyebabkan penurunan fungsi otot
pernapasan. Selanjutnya dapat terjadi hipoksemia dan hiperkarbia menunjukan adanya
polisitemia, hipertensi pulmonal dan cor-pulmonal. Pada COPD dini, foto thorax normal, tetapi
dapat terlihat pembesaran paru pada emfisema dan blood diversion pada lobus atas serta
kardiomegali pada bronchitis kronik.

Sebelum operasi elektif, fungsi paru harus optimal. Merokok harus dihentikan pada yang
berat; untuk menurunkan level carboxyhemoglobin dibutuhkan 12-18 jam. Pengobatan penuh
pada infeksi saluran nafas akut dan dilanjutkan dengan inhalasi bronkodilator serta obat
anticholinergik. Jaga atau tingkatkan terapi steroid. Koreksi hipokalemi, tunjang gizi dan
manuver ventilasi untuk meningkatkan cadangan nafas. Sediakan cadangan oksigen (O2) untuk
memperbaiki hipertensi pulmonal. Pengobatan right ventricular failure dengan digoksin, diuretik
9

dan vasodilator. Waktu yang inadekuat untuk mengoptimalkan keadaan sebelum operasi
meningkatkan resiko PPC dan merupakan operasi yang emergensi.

Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik anestesi dan tingkat monitoring.
Blok spinal dan epidural lebih tinggi dari T6 menurunkan volume cadangan ekspirasi dan refleks
batuk serta menghilangkan sekresi. Penggunaan sedative dibatasi karena efeknya terhadap
depresi pernafasan. Bronkospasme saat dilakukan anestesi umum pada pasien dapat disebabkan
oleh intubasi endotrakheal, rangsang nyeri dan pelepasan histamin karena obat. Nitrogen oksida
dihindari jika terdapat bulla atau hipertensi pulmonal. Jaga pH normal arteri, tetapi tidak
PaCO2 , pada pasien dengan retensi CO2 preoperative untuk menjaga kompensasi metabolik.
Gradien antara CO2 tidal dan CO2 arteri bisa meningkat. CVP menggambarkan fungsi ventrikel
kanan lebih baik daripada volume intravaskuler jika terdapat hipertensi pulmonal.

Hindari atau minimalkan bronkospasme selama keadaan gawat extubasi dalam keadaan
tidak sadar atau sadar setelah profilaksis dengan lidokain IV atau inhalasi bronkodilator. Pasienpasien seperti ini memiliki level PaCO2 yang rendah dan desaturasi oksigen pada analgesia
epidural kemudian kontrol nyeri dengan opioid parenteral. Pengaturan FiO2 tergantung ventilasi
pada hipoksia. Mobilisasi dini dan manuver ventilator merupakan anjuran. Hindari hidrasi yang
berlebihan. CO2 yang berlebihan pada sepsis atau intake kalori yang berlebihan membutuhkan
bantuan ventilasi. Kontrol ventilasi juga diperlukan pada tindakn di daerah thorax dan upper
abdominal sampai fungsi paru diperbaiki
13. Premedikasi pada pasien gang.hepar

10

Anda mungkin juga menyukai