Anda di halaman 1dari 4

Jiwa mandiri knci harga diri

Assalamu'alaikum wr.wb.
Segala puji bagi Allah yang menguasai seluruh alam. Rahmat dan salam semoga tetap
dilimpahkan kepada seorang Nabi yang tidak akan ada Nabi sesudahnya, Nabi Muhammad
Saw. , kepada keluarga dan sahabatnya seluruhnya.
Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudaraku yang hadir disini, yang di rahmati Allah.
Semoga dalam diri kita sudah muncul semangat dan jiwa mandiri. kita paham, lebih dari
setengah abad bangsa kita senantiasa morat-marit ekonominya. Kita tidak mampu berkutik
manakala negara lain dengan seenaknya mengeruk kekayaan kita. Diperparah utang kita
keluar negeri begitu besar padahal kekayaan alam kita sungguh luar biasa.
Karenanya marilah kita evaluasi diri kita masing-masing dan bertekad mulai saat ini untuk
menamkan jiwa mandiri dalam diri kita.
Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara yang hadir disini, yang kami banggakan.
Kehormatan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketika hati kita bebas dari bergantung
kepada selain Allah SWT. Perjuangan kita untuk menjaga harga diri dari meminta-minta
kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan kita. Jiwa mandiri adalah kunci harga diri.
Segera setelah berhijrah ke Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan orang-orang
Anshar dan Muhajirin. Ada satu kisah menarik yang terjadi ketika Rasulullah SAW
mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa'ad bin Rabi--orang paling kaya dari
golongan Anshar.
Ketika itu Sa'ad berkata kepada Abdurrahman: "Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah
yang kaya raya, silakan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang
isteri, coba perhatikan mana yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga
anda dapat memperistrinya.
Jawab Abdurrahman bin 'Auf: "Semoga Allah memberkati anda, juga isteri dan harta anda!
Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga....! Abdurrahman pergi ke pasar, dan
berjualbelilah di sana.......

Hingga suatu ketika Rasul menyapanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang, wahai


Abdurrahman?" Ia pun menjawab, "Ya Rasulullah, saya sudah menikah dan maharnya saya
bayar dengan emas. SAHABAT, kita sangat layak untuk meneladani sikap yang ditunjukkan
Abdurrahman bin Auf di atas. Itulah kemandirian yang berakar dari terjaganya harga diri.
Sebuah sikap terpuji yang mulai hilang dalam kehidupan masyarakat kita.
Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara yang hadir disini, yang diberkahi Allah.
Sudah menjadi keniscayaan, jika kita bersandar kepada selain Allah, pasti kita akan takut
kalau sandaran itu diambil orang. Tapi bila kita bergantung kepada Allah SWT, maka tak ada
sedikitpun keraguan dan kecemasan yang akan menghampiri. Allah tidak akan mengabaikan
orang yang bersungguh-sungguh berharap kepada-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi
disebutkan, "Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan
mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan
mendekatinya satu hasta".
Jiwa mandiri adalah kunci harga diri. Selain akan merdeka dalam hidupnya, orang yang
mandiri akan lebih rasa percaya diri, sehingga bisa melakukan pekerjaan lebih banyak,
ucapannya lebih bermakna, dan waktunya akan lebih efektif. Karena itu, perjuangan kita
untuk menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti
kemuliaan sejati.
Tapi kenapa ada orang yang begitu "tega" menggadaikan harga dirinya demi harta duniawi
yang sedikit? Ataupun--dalam skala luas--kenapa bangsa kita yang demikian kaya harus
mengemis minta bantuan negara lain? Jawabnya, kita terlalu menganggap topeng dunia
sebagai sumber harga diri. Sebagian besar kita terlalu sibuk membangun aksesoris duniawi,
tanpa disertai kesibukan membangun harga diri. Tak mengherankan apabila ada orang yang
jabatannya tinggi tapi perbuatannya rendah. Atau ada yang hartanya banyak, tapi jiwanya
miskin.
Para hadirin yang dicintai Allah.
KITA harus mulai bangkit menjadi manusia-manusia berjiwa mandiri. Ada beberapa cara
yang bisa kita lakukan. Pertama, tekadkan dalam diri untuk menjadi orang yang mandiri.
Dalam hidup yang hanya sekali ini, kita harus terhormat dan jangan menjadi budak dari
apapun selain Allah SWT. Tekadkan terus untuk selalu menjaga kehormatan diri dan pantang
menjadi beban. Andai pun hidup kita membebani orang lain, kita harus berusaha membalas

dengan apa-apa yang bisa kita lakukan. Ketika kita membebani orangtua, maka harga diri kita
adalah membalas kebaikan mereka. Begitupun kepada guru, teman, atau tetangga. Jangan
sampai diri kita terhina karena menjadi benalu dan peminta-minta yang hanya menyusahkan
orang lain.
Kedua, berani memulai. Hanya dengan keberanian orang bisa bangkit untuk mandiri. Tidak
pernah kita berada di atas tanpa terlebih dahulu memulai dari bawah. Adalah mimpi
menginginkan hidup sukses tanpa mau bersusah payah terlebih dulu.
Sungguh, dunia ini hanyalah milik para pemberani. Kesuksesan, kebahagiaan, dan
kehormatan sejati hanyalah milik pemberani. Orang pengecut tidak akan pernah mendapatkan
apa-apa karena ia melumpuhkan kekuatannya sendiri. Kejarlah dunia ini dengan keberanian.
Lawanlah ketakutan dengan keberanian. Takut gelap, berjalanlah di tempat gelap. Takut
berenang, segeralah menceburkan diri ke air. Semakin kita mampu melawan rasa takut, rasa
malas, dan rasa tidak berdaya, maka akan semakin dekat pula keberhasilan itu dengan diri
kita. Memang, segala sesuatu ada resikonya. Tapi inilah harga yang harus kita bayar dalam
mengarungi hidup. Kalau kita tidak mau membayar harganya, kita pasti akan tersisih.
Ketiga, nikmatilah proses. Segalanya tidak ada yang instan, semua membutuhkan proses.
Keterpurukan yang menimpa negeri kita, salah satu sebabnya karena kita ingin segera
mendapatkan hasil. Padahal, tidak mungkin ada hasil tanpa memperjuangkannya terlebih
dahulu.
Kita harus mau belajar menikmati proses perjuangan, menikmati tetesan keringat dan air
mata. Dengan perjuangan nilai kehormatan yang sesungguhnya bisa terwujud. Kita jangan
terlalu memikirkan hasil. Tugas kita adalah melakukan yang terbaik. Allah tidak akan
memandang hasil yang kita raih, tapi Ia akan memandang kegigihan kita dalam berproses.
Kita tidak tahu kapan negeri ini akan bangkit. Tetapi bagaimana pun kita harus memulai
dengan sesuatu. Ingatlah selalu kisah seorang kakek yang dengan semangat menanam pohon
kurma. Ketika ditanya untuk apa ia melakukan semua itu, maka ia menjawab, "Bukankah kita
makan kurma sekarang karena jasa orang-orang yang sudah meninggal. Kenapa kita tidak
mewariskan sesuatu untuk generasi sesudah kita?".
Namun, jangan sampai kegigihan dan kemandirian kita mendatangkan rasa ujub akan
kemampuan diri. Kemandirian yang sejati seharusnya membuat kita tawadhu, rendah hati.
Sertailah kegigihan kita untuk mandiri dengan sikap tawadhu dan tawakal kepada Allah SWT.

Jadi, kemandirian bukan untuk berbangga diri, tapi harus membuat kita lebih memiliki harga
diri, bisa berprestasi, dan tidak membuat kita tinggi hati.
Demikian uraian ini, semoga bermanfaat. Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak
berkenan.

Anda mungkin juga menyukai