2 Limfadenitis TB
a. Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening, sedangkan
limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening
yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher
disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling
sering terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar.
Infeksi M. tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberculosis ke kulit dari
struktur dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak dengan M. tuberculosis yang disebut
dengan scrofuloderma.4
b. Epidemiologi
Tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian tersering pada golongan penyakit
infeksi. WHO memprediksi insidensi penyakit tuberculosis ini akan terus meningkat, di mana
akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun.
Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan leh epidemic HIV, di mana
tuberculosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita AIDS.4
Di Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB tertinggi
di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan
(0,40-0,59), dan Nigeria (0,37-0,55 juta).5
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ tubuh. Meskipun TB pulmoner
adalah kasus yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah yang
tidak kalah penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain
pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua
kasus TB pada pasien HIVnegatif, di mana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35%
dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner
adalah lebih dari 50% kasus TB, di mana limfadenitis tetap terbanyak yaitu 35% dari Tb
ekstrapulmoner.5
c. Etiologi Limfadenitis TB
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacterium tergolong dalam family Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Spesies
patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen penyebab
1
penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong
dalam Mycobacterium tuberculosis complex adalah M.tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M.
africanum, M. microti, M. pinnipedii, M. canettii. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan
epidemiologi.6
Basil TB adalah bakteri aerobic obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran 0,4 x 3
m dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi
dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai
dengan pewarnaan gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus yang sangat kuat
mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam
alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan asam. M. tuberculosis mudah mengikat pewarna
Ziehl-Neelsen atau karbol fuchsin.6
Dinding bakteri Mycobacteria kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat, lilin, dan
fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan
pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri
Mycobacteria.6
e. Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan Tb
ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB
pulmoner post-primer (sekunder). Basil tuberculosis juga dapat menginfeksi organ lain selain
paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh
basil tuberkulosis adalah kelanjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, menigens,
peritoneum, dan pericardium.8
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis.
Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan
difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati
difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju
kelenjar limfe regional di hilus, di mana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi
inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada
orang yang mempunyai imunitas baik, dalam waktu 3-4 minggu setelah ineksi akan terbentuk
imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara
menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu focus primer yang disebut focus
Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan limfadenitis regional disebut dengan
komplek Ghon. Terbentuknya focus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, focus
Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil
TB. Kedua, focus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB
dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi
kembali menimbulkan penyakit. 8
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas
seluler, hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya imunitas seluler akan mebatasi
peneybaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju
(kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basic TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama
melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus,
mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada
parenkim paru. 8
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru.
Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet.
Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan di bawa ke tonsil, selanjutnya
akan di bawa ke kelenjar limfe di leher. 8
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti
demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak
menunjukkan gejala sistemik.
abses
Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess
Stadium 5, pembentukan traktus sinus
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang
terkena biasanya tidak nyeri kecuali : terjadi infeksi sekunder bakteri, pembesaran kelenjar yang
cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian
kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus.
Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis. Berdasarkan penelitian
oleh Jniene (2010) dari 69 pasien limfadenitis TB didapat 11 orang dengan pembengkakan
kelenjar yang nyeri dan 6 orang dengan adanya pembentukan fistula. Terdapat juga 10 orang
dengan pembengkakan kelenjar yang disertai adanya tanda-tanda inflamasi tetapi tidak disertai
oleh adanya fistula. Secara klasik, sinus tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis, kebirubiruan, dan rapuh dengan pus cair yang sedikit. Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada
kulit disebabkan oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh
paparan langsung terhadap basil TB. 4-7
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa
limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada pasien
dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal,
dan fistula tracheo-oesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas
juga dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun
chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat
menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat
limfadenitis mediastinal. 4-7
c. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi kelenjar
limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan
diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99%. CT scan dapat digunakan untuk membantu
pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal. Pada pemeriksaan
sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa.
Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid
atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik dapat digunakan
sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell.
Didapati bahwa aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat
memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru pada
14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan
dewasa, yaitu sekitar 15% kasus.
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel
hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan
untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau
reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya
ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes.
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya cincin
irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang
bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan pada
limfadenitis TB.
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens. Fokus
nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini
bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik.3
h. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian, yakni secara
farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan pembedahan,
sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan
tuberkulosis paru. 7
Terapi Non Farmakologis
Pembedahan bukan pilihan terapi yang utama. Prosedur pembedahan yang dapat
dilakukan adalah dengan: 7
a. Biopsi eksisional : Limfadenitis yang disebabkan oleh karena atypical mycobacteria
b. Aspirasi
c. Insisi dan drainase
Indikasi pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat radang tuberkulosis sudah
terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa. Adanya jaringan nekrosis akan
menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif.
Oleh karena itu sarang infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang
harus dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain itu
tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada tuberkulosis paru yang
menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi
atau perforasi, dan osteitis atau artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat.7
Terapi Farmakologis
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan limfadenitis TB
ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kategori I.
Regimen obat yang digunakan adalah 2HRZE/4H3R3. Obat yang digunakan adalah Rifampisin,
Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol.1
Table 1. Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)1
10
11
intensif
terdiri
dari
Rifampisin,
Isoniazid,
Pirazinamid,
Etambutol,dan
Streptomisin. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan dengan diikuti pengobatan
dengan regimen yang sama, tanpa disertai Streptomisin selama satu bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, dan Etambutol
selama 5 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk :
- Pasien kambuh
- Paien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 4. Dosis untuk Panduan OAT KDT Kategori 21
12
13