Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Akrodermatitis enteropatika merupakan suatu kelainan yang didapat dan


diturunkan secara autosomal resesif. Manifestasi penyakit ini biasanya pada daerah
akral dan dermatitis periorifisial, alopesia, diare, dan gangguan pertumbuhan.
Kelainan ini diturunkan secara autosomal oleh karena malabsorpsi dari zinc di
intestinal, sedangkan pada tipe yang didapat karena malnutrisi atau penurunan
pelepasan zinc dalam darah.1
Kelainan langka yang diturunkan secara autosomal resesif ini biasanya banyak
timbul pada bayi pada masa penyapihan. Akrodermatitis enteropatika biasanya
muncul beberepa hari atau minggu setelah kelahiran pada bayi yang diberi susu sapi,
atau segera setelah penyapihan (peralihan dari ASI eksklusif ke susu sapi).
Insidensinya diperkirakan sebesar 1 per 500.000 anak. 3 Akrodermatitis enteropatika
disebabkan oleh mutasi gen SLC39A4 pada kromosom 8. SLC39A4 merupakan
protein spesifik yang berperan dalam transportasi Zn dan Fe. Defisiensi Zn didapat
terutama disebabkan oleh nutrisi parenteral jangka panjang, eksisi traktus digestivus,
diare kronis atau muntah yang terus-menerus, dan dapat disebabkan oleh obat-obatan
anti rheumatoid dan penicillamin oral 1,3.
Manifestasi klinis pada ujud kelainan kulit dari penyakit ini banyak
menyerupai

penyakit

lain,

seperti

dermatitis

akibat

defisiensi

riboflavin. 1

Penatalaksanaan untuk kelainan ini meliputi asupan Zn yang adekuat dengan


suplementasi zinc oral.
Berdasarkan uraian di atas, berikut akan dilaporkan satu kasus mengenai
Acrodermatitis enteropatika. Pembahasan lebih ditekankan pada patofisiologi
Acrodermatitis enteropatika sehingga menimbulkan manifestasi klinis pada pasien.

PEMBAHASAN
A. Definisi
Akrodermatitis enteropatika adalah suatu penyakit langka yang diturunkan
secara autosomal resesif yang disebabkan oleh terhambatnya absorpsi zinc dalam
traktus digestivus1,3.
B. Etiologi
Akrodermatitis enteropatika disebabkan oleh mutasi gen SLC39A4 pada
kromosom 8. SLC39A4 merupakan protein spesifik yang berperan dalam
transportasi Zn dan Fe. Defisiensi Zn didapat terutama disebabkan oleh nutrisi
parenteral jangka panjang, eksisi traktus digestivus, diare kronis atau muntah
yang terus-menerus, dan dapat disebabkan oleh obat-obatan anti rheumatoid dan
penicillamin oral 1,3.
C. Peran Zinc dalam Tubuh
Zinc merupakan salah satu elemen mikro terpenting yang terkandung dalam
kacang-kacangan, padi-padian, keju, sayuran hijau dan protein hewani terutama
daging merah. Zinc yang diperoleh dari diet sehari-hari sebesar 10-15 g/hari.
Kebutuhan zinc untuk anak, laki-laki dewasa dan wanita dewasa berturut-turut
sebesar 10 mg, 15 mg, dan 12 mg hari1,4.
Zinc terkandung dalam seluruh organ, jaringan, dan cairan dalm tubuh
manusia. Kulit dan jaringan sekitarnya kaya akan zinc, yang mengandung sekitar
20% dari total zinc tubuh. Zinc berikatan dengan sejumlah molekul biologic dan
mempengaruhi stabilitas dan aktivitas molekul tersebut. Zinc berfungsi sebagai
katalisator bagi ensim yang bertanggung jawab terhadap replikasi DNA,
transkripsi gen, serta sintesis RNA dan protein. Pada tingkat seluler, zinc sangat
penting untuk ketahanan hidup sel dan mempengaruhi transduksi sinyal,
transkripsi, dan replikasi. Zinc berperan dalam banyak fungsi tubuh manusia,
yaitu dalam pertumbuhan dan perkembangan, metabolism tulang, fungsi imunitas
dan neuropsikiatri, serta dalam proses penyembuhan luka5.

Dalam tubuh, zinc diserap di jejunum dan ileum. Untu memaksimalkan


absorpsi, suplemen oral harus mengandung methionin, sedangkan vitamin B6
membantu memudahkan asimilasi zinc. Kalsium dapat menghambat absorpsi
zinc, sehingga kalsium dan suplemen zinc sebaiknya tidak dikonsumsi pada saat
yang bersamaan5.
D. Patogenesis
Penyebab defisiensi zinc dapat digolongkan dalam 2 kategori utama, yaitu
akibat konsumsi makanan dengan kadar zinc yang rendah atau sama sekali tidak
mengandung zinc, serta defisiensi sekunder yang berhubungan dengan suatu
penyakit dan malfungsi genetik yang mengganggu absorpsi zinc intestinal
dan/atau meningkatkan kehilangan zinc intestinal6.
Defisiensi zinc terjadi secara genetik dan didapat. Bentuk genetik dikenal
sebagai dermatitis enteropatika yang merupakan kondisi autosomal resesif yang
langka. Bentuk defisiensi zinc didapat dikenal sebagai dermatitis yang
berhubungan dengan defisiensi zinc dan terjadi pada pasien yang mendapat
nutrisi parenteral total secara berkepanjangan pada pasien dengan diare kronis
atau pasien inflammatory bowel syndrome 1,4.
Kondisi ini biasanya muncul beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
kelahiran pada bayi yang hanya diberi susu sapi atau segera muncul pada bayi
yang lebih besar saat peralihan dari ASI ke susu sapi. Walaupun ASI dan susu sapi
mengandung zinc kadar dalam kadar yang sama, zinc pada ASI memiliki
bioavailabilitas yang lebih tinggi dalam tubuh bayi. Zinc dalam ASI berikatan
dengan ligan berberat molekul rendah yang diproduksi oleh pancreas, sedangkan
susu sapi berikatan dengan ligan yang berat molekulnya tinggi. Ikatan zinc-ligan
ini terbentuk di lumen intestinal dan berfungsi membantu transportasi zinc di
mukosa. Malfungsi pada produksi, strktur, atau fungsi ligan berberat molekul
rendah ini dapat menjadi defek dasar pada akrodermatitis enteropatika4.
Gen yang dianggap terlibat pada akrodermatitis enteropatika adalah gen
SLC39A4 yang berlokasi di kromosom 8q24.3 yang berfungsi mengkode Zip4,
suatu protein yang berfungsi dalam transportasi zinc. Mekanisme pasti gen ini dan

signifikansinya dalam proses terjadinya akrodermatitis enteropatika belum


sepenuhnya dapat dijelaskan. Gen ini berhasil diidentifikasi pada delapan
keluarga yang mengalami akrodermatitis enteropatika3,4.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis akrodermatitis enteropatika ditandai dengan trias yang
meliputi tiga hal berikut 1,2,6,7:
1. Dermatitis akral
Perubahan kulit awal berupa eritema dan skuama pada lipatan nasolabial dan
retroaurikula, yang berkembang ke leher, inguinal, axilla, dan perineum.
Secara bersamaan, cheilitis angular, stomatitis, dan glossitis dapat terjadi. Lesi
juga sering melibatkan area yang rentan terhadap gesekan dan trauma seperti
lutut, siku, tumit, dan kulit kepala belakang. Lesi bersifat simetris, berupa plak
eritematosa kecoklatan annular yang berskuama dan berkrusta dengan batas
tegas. Seiring waktu. plak ini dapat menjadi hiperkeratotik dan menyerupai
psoriasis. Seiring perkembangan penyakit, plak ini menjadi plak vesikobulosa,
pustule, dan erosif. Vesikel atau bula dapat timbul pada ujung jari dan telapak
tangan. Perubahan pada kuku dapat terlihat sebagai perubahan warna menjadi
kecoklatan, dan paronikia sering ditemukan1,5,6. Distribusi ruam pada wajah,
tangan, tungkai dan area anogenital merupakan tanda patognomonik kelainan
ini2.
2. Alopesia
Hilangnya rambut terjadi secara difus pada kulit kepala, alis, dan bulu mata9.
3. Diare
Diare dengan defisiensi zinc berat pada anak telah dilaporkan di berbagai
negara berkembang. Terdapat data dari banyak penelitian klinis bahwa
suplementasi zinc, baik digunakan terpisah maupun bersamaan dengan cairan
rehidrasi oral dapat menurunkan durasi dan tingkat keparahan diare akut dan
diare

persisten

serta

disentri

pada

anak

secara

signifikan.

Efek

menguntungkan suplementasi zinc dalam penyembuhan diare dilaporkan lebih

banyak pada anak dengan gangguan pertumbuhan, suatu kondisi yang


berhubungan dengan defisiensi zinc6.
Selain tiga hal tersebut, manifestasi klinis yang lain meliputi adanya
konjunctivitis, sensitivitas terhadap cahaya, stomatitis, gangguan nafsu makan,
apatis, mood yang irritabel (bayi menangis dan merengek terus-menerus),
gangguan pertumbuhan, kegagalan berkembang, dan kelambatan penyembuhan
luka. Pubertas yang terlambat dan hipogonadisme pada remaja laki-laki
merupakan efek jangka panjang yang dapat terjadi1,9.

F. Kriteria Diagnosis
Diagnosis definitif ditentukan oleh kadar zinc yang rendah. Pada orang
normal, kadar Zn serum sebesar 60-130 g/dl, dan kadarnya dalam urin sebesar
300-600 g/hari. Keadaan ini juga disertai kadar ekskresi zinc dalam urin dan
kadar alkali fosfatase serum yang rendah akibat kadar Zn yang rendah. Biopsi
pada lesi bermanfaat untuk menunjang diagnosis lebih jauh dan menyingkirkan
diagnosis banding4,9.
G. Diagnosis Diferensial
1. Impetigo1
2. Dermatitis seboroik1,10
3. Kandidiasis kutan1,10
4. Dermatitis akibat defisiensi asam lemak atau isoleusin1,10
5. Dermatitis akibat defisiensi riboflavin
Ujud kelainan kulit yang ada menyerupai dermatitis enteropatika, namun
ditambah

dengan

gambaran

yang

menyerupai

vaskularisasi kornea dan keratitis interstitial1.


H. Penatalaksanaan

dermatitis

seboroik,

Sebelum pengobatan dengan zinc sulfat pertama kali diperkenalkan pada


tahun 1973, akrodermatitis enteropatika biasanya berakibat fatal. Penatalaksanaan
meliputi asupan Zn yang adekuat dengan suplementasi zinc oral. Zinc glukonat
dapat ditoleransi tubuh dengan lebih baik daripasa zinc sulfat. Respon terapi
biasanya tampak pada hari ke-2 sampai ke-7. Lesi biasanya menyembuh dalam 24 minggu4,9. Zinc oral yang diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari terbukti
menyembuhkan seluruh manifestasi klinis dalam 1-2 minggu. Kadar zinc serum
meningkat dari sebesar 6 g/dl menjadi sebesar 75 g/dl setelah 3 hari terapi zinc.
Dalam laporan kasus yang lain, zinc sulfat yang diberikan dalam dosis 5
mg/kgBB/hari mengakibatkan penyembuhan cepat diare dalam 24 jam dan
penyembuhan lesi dalam 1-2 minggu1.
Walaupun zinc tidak bersifat toksik dan aman diberikan bagi ibu hamil, dosis
tinggi jangka panjang dapat menyebabkan efek samping berupa nyeri kepala dan
defisiensi tembaga yang dapat mengarah pada anemia. Infeksi sekunder pada lesi
akibat bakteri ditangani dengan terapi antibiotik yang sesuai9.
Walaupun terapi zinc juga merupakan terapi yang penting, namun pemberian
terapi ini dapat memberikan efek samping seperti nyeri perut, dyspepsia, mual,
muntah diare, gastritis, sakit kepala atau bahkan letargi.2
Sumber: acquired acrodermatitis due t zinc.
.

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Sung-Yul L, Ye-Jin J, Tak Heon O, Eung Ho C. Acrodermatitis Enteropathica


Localized on the Hands and Feet with a Normal Serum Zinc Level. Department of
Dermatology, Yonsei University Wonju College of Medicine, Wonju, Korea. Vol.
23, Suppl. 1, 2011: 88-9.
2. Mittal R, Sudha R, Murugan S, Adhikrisnan, Shobana S, Anandan S.
Acrodermatitis entheropatica: A case report. Sri Ramachandara Journal of
Medicine. 2007; 1: 57-9.
3. Mashhod, AA. Role of correct dose of zinc sulphate in the treatment of
acrodermatitis enteropathica in two siblings. Journal of Pakistan Association of
Dermatologist. 2007; 17: 116-21.
4. Gonzales G. Acrodermatitis enteropathica in a breast-fed infant. Actas DermoSifiliograficas. 2012; 103: 170-2.
5. Jensen SL, McCuaig C, Zembowics A, Hurt MA. Bullous lesions in
acrodermatitis enteropathica delaying diagnosis of zinc deficiency: A report of
two cases and review of the literature. Journal of Cutaneous Pathology. 2008; 35:
1-13.
6. Rostan EF, DeBuys HV, Madey DL, Pinnel SR. Evidence supporting zinc as an
important antioxidant for skin. International Journal of Dermatology. 2002; 41:
606-11.

7. Nriagu, Jerome. Zinc Deficiency in Human Health. University of Michigan. 2007.


8. Ackland ML, Michalczyk A. Zinc deficiency and its inherited disorders-a review.
Genes and Nutrition. 2006; 1: 41-50.
9. Hoffnung LA, Bilavsky E, Amir J. Acrodermatitis enteropathica in a 9 month old
infant. IMA Journal. 2011; 13: 258.
10. Oakley A. Acrodermatitis enteropathica. New Zealand Dermatological Society.
2008.
11. Roman MAT, Arroyo AEH. Acrodermatitis enteropathica. Bol Med Hosp Infant
Mex. 2012; 89 (6); 584-9.

Anda mungkin juga menyukai