: 112015365
Pembimbing:
Dr. Daneswary, Sp.THT-KL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian
rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis
kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,
rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan
jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada
rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.1
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.2
Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau
allergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan,
polesan genetic dari individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh pejamu.3
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab
utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. 1
Yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus
frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut juga
antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah
menyebar ke sinus sehingga disebut sinusitis dentogen. Sinusitis dapat menjadi
berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta
menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati. 1
Maksud Penulis
Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai
Rhinitis Alergi dan rhinoinusitis dengan harapan pembaca dapat mengerti dan
memahami lebih dalam dan perjalanan penyakit ini berdasarkan teori dan
membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di lapangan.
Tujuan Penulis
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK
UKRIDA di RSUD Tarakan.
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Hidung dan Fisiologi Hidung
Anatomi Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar
seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung
(bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). 1Hidung terhubug dengan os frontale
dan maksila melalui pangkal hidung yang dibentuk ossa nasalia. Kulit pembungkus
hidung tertambat erat pada dasar hidung dan memiliki kelenjar sebasea, yang dapat
mengalami hipertrofi pada keadaan rhinophyma.3
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os
nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.2
3.
4.
5.
refleks nasal.2
RHINITIS ALERGI
Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.2
Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau
allergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan,
polesan genetic dari individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh pejamu.5
Rhinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah
mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung:
reseptor histamin H1, adrenoseptor-alfa, adrenoseptor-beta2, kolinoseptor, reseptor
histamin H2 dan reseptor iritan. Dari semua ini yang terpenting adalah reseptor
histamin H1, dimana bila terangsang oleh histamine akan meningkatkan tahanan jalan
napas hidung, meneybabkan bersin, gatal, dan rinore.5
Etiologi Rhinitis Alergi
Etiologi rinitis alergi Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan
dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi.Penyebab rinitis alergi tersering
adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak
sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab
rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif
terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman
biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya
debu
tungau,
terdapat
dua
spesies
utama
tungau
yaitu
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang
kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.6
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari
2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan
Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan
dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.2
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.2
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL
4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),
Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).2
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular
Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan
berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada
secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.2
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila
Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin
(delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak
dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.
Klasifikasi Rhinitis Alergi
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu : 3
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau
rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung
dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling
sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen
ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan
alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab
pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti
urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial
dalam
berbagai
konsentrasi
yang
bertingkat
kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui.2
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun
sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test).2
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada
Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang
bekerja secara inhibitorkomppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti
pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan
generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik
golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan
atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian
secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung
akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang
sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid,
flusolid,
flutikason,
mometasonfuroat
dan
triamsinolon).
Preparat
Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
Patofisiologi
Ada
beberapa
mekanisme
yang
berinteraksi
dengan
hidung
yang
olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika bagian anterior
hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta emosi, maka akan
menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi fungsi syaraf
parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan manifestasi
klinis berupa rhinitis vasomotor. 2
Gejala Klinis
Gejala penderita rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit
dibedakan karena gejala-gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan bersin.
Biasanya penderita rhinitis alergik lebih merasakan gatal dan bersin berulang seperti
staccato. Biasanya ia tidak ditemukan atau tidak jelas pada rinitis vasomotor. Reaksi
bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom, tetapi disamping itu, obstruksi
hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh faktor iritasi, fisik, endokrin dan
faktor lain. Hidung mungkin sensitif terhadap pengaruh hormon, oleh karena itu
reaksi rhinitis vasomotor mungkin berhubungan dengan kehamilan atau kontrasepsi
per oral, tetapi rhinitis vasomotor pada kehamilan segera menyembuh setelah
melahirkan dan mungkin berhubungan dengan keseimbangan hormon.
Biasanya penderita rhinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada
keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia dewasa. Jarang
terjadi bersin dan rasa gatal.Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung
pada posisi pasien. Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak.
Jarang disertai bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi
hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga
karena asap rokok dan sebagainya.2
Tabel 1. Perbedaan rhintis alergi dengan rhinitis vasomotor.2
Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan
adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesa
dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Rhinitis vasomotor dibuat dengan
menyingkirkan kemungkinan lainnya dengan anamnesa, pemeriksaan fisik pada
hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan konka nasalis berwarna merah gelap
atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema mukosa hidung dan permukaan konka
dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret
mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan
serosa yang banyak jumlahnya. 2
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan rhinitis
alergik karena dapat ditemukan eosinofil di dalam sekresi hidung, akan tetapi dalam
jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negative, kadar IgE spesifik tidak meningkat.
Perubahan foto rontgen, penebalan membrana mukosa sinus tidaklah spesifik dan
tidak bernilai untuk diagnosis. Rhinitis vasomotor bisa terjadi bersama-sama dengan
rhinitis alergik.2
Penatalakasanaan
Non Farmakologik
Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah
dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan
mukosa nasal secara periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan
menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator seperti Grossan
irigator.2
Farmakologik
Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada
pasien dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian
antikolinergik juga efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini
adalah antagonis muskarinik. Obat yang disarankan seperti Ipratropium
bromida, juga terdapat formula topikal dan atrovent, yang mempunyai efek
sistemik lebih sedikit. Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien dengan
takikardi dan glaukoma sudut sempit. 2
Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti,
rinorea dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan
oleh vasoaktif mediator yang dapat menghambat Phospolipase A2,
mengurangi aktivitas reseptor asetilkolin, menurunkan basofil, sel mast dan
eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan
jangka panjang, minimal sampai 2 gr sebelum hasil yang diinginkan tercapai.
Steroid topikal yang dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide dan
Fluticasone. Efek samping dengan steroid yaitu edema mukosa dan eritema
ringan. 2
Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama
hidung tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan dekongestan yang
diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan
seperti
Pseudoefedrin,
Phenilprophanolamin
dan
Phenilephrin
serta
paranasal, yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, yang salah satunya harus ada
berupa obstruksi (hidung tersumbat) atau nasal discharge (sekret hidung baik anterior
atau posterior nasal drip): nyeri pada wajah dan berkurangnya sensitivitas pembau.
Pada rhinosinusitis kronis akut gejala berlangsung 12 minggu dan rinosinusitis
kronis berlangsung 12 minggu.
Diagnosis rhinosinusitis ditegakkan berdasarkan European Position Paper On
Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 adanya dua atau lebih gejala,
salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat / pembengkakan /
keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui
anterior maupun posterior) disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah
atau berkurang / hilangnya penciuman dan salah satu dari temuan nasoendoskopi
yaitu:
- polip dan/ atau
- sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- edema/ obstruksi mukosa di meatus medius
dan/ atau gambaran tomografi komputer (CT scan):
- perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus.1
Klasifikasi rhinosinusitis
Rhinosinusitis diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan dan lama
serangan. Berdasarkan beratnya penyakit, penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan,
sedang dan berat berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan skor 0-10
cm:
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang= VAS > 3-7
- Berat= VAS > 7-10
adalah
kembalinya
fungsi
drainase
ostium
sinus
dengan
2.
3.
Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana
dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih
endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi ialah:1
1.
Sinus maksila:
a.
b.
Nasal antrostomi
c.
Operasi Caldwell-Luc
2.
Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3.
Sinus frontal:
a.
Intranasal, ekstranasal
b.
c.
Fronto-etmoidektomi
4.
Sinus sfenoid :
a.
Trans nasal
b.
Trans sfenoidal
5.
e. Sinusitis jamur
Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali
membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan
antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari. 1 Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.
1.1.
Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
1.2.
1.3.
a)
b)
Abses otak
c)
Meningitis
d)
Serebritis
e)
Nama
: Ny. F
Umur
: 19 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: pelajar
Alamat
: Jln. Sabeni
Status pernikahan
: belum menikah
II. ANAMNESIS
26
Telinga
Bentuk daun telinga
Kelainan Kongenital
Dextra
Sinistra
Normotia
Normotia
Mikrotia (-), anotia (-), atresia Mikrotia (-), anotia (-), atresia
Radang, Tumor
hiperemis
(-),edema (-)
Nyeri tekan (-)
Nyeri (-)
(-),
(-),
sekret
27
Kelainan
pre-,
infra-, Massa
(-),
hiperemis
(-), Massa
(-),
hiperemis
(-),
retroaurikuler
Region Mastoid
liang telinga
(-),
serumen granulasi
(-),
serumen
bulging (-),
bulging (-),
perforasi
(-),
sekret
Kanan
Kiri
perforasi (-),
Tes Penala
Rinne
Positif
Positif
Weber
Tidak ada lateralisasi
Swabach
Sama dengan pemeriksa
sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai
512 Hz
512 Hz
Kesan : Tidak terdapat gangguan pendengaran
Hidung
Dextra
Normal, tidak deformitas
Hiperemis (-), Odem (-), nyeri
Sinistra
Normal, tidak deformitas
Hiperemis (-), Odem (-), nyeri
(-)
Hiperemis (-), Odem (-), nyeri
(-)
Hiperemis (-), Odem (-), nyeri
maxillaris
Vestibulum
(-)
Laserasi
(-)
Laserasi
Cavum Nasi
Konka inferior
hiperemis (-)
Hipertrofi
(-),
hiperemis (-)
Hipertrofi
(-),
(-),livide (+)
Tertutup, sekret (-)
Bentuk
Tanda peradangan
Daerah
sinus
frontalis
dan
(-),
massa
(-),
hiperemis
(-),
massa
(-),
hiperemis
(-),livide (+)
Tertutup, sekret (-)
28
Konka Medius
Hipertrofi
(-),
hiperemis
Hipertrofi
(-),
hiperemis
(-),livide (+)
Tidak terlihat
Deviasi (-), hematoma (-),
(-),livide (+)
Tidak terlihat
Deviasi (-), hematoma (-),
abses (-)
abses (-)
Rhinopharhinx
Koana
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
Tuba eustachius
: Tidak dilakukan
Torus tubarius
: Tidak dilakukan
Pemeriksaan Transluminasi
Sinus Frontas kanan, Kiri
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
Tenggorokan
Pharynx
Dinding pharynx
Arcus
Tonsil
Uvula
Gigi
Larynx
Epiglotis
: Tidak dilakukan
Plica aryepiglotis
: Tidak dilakukan
Arytenoidds
: Tidak dilakukan
Ventricular band
: Tidak dilakukan
Pita suara
: Tidak dilakukan
29
Rima glotidis
: Tidak dilakukan
Cincin trachea
: Tidak dilakukan
Sinus Piriformis
: Tidak dilakukan
Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan palpasi.
RESUME
Anamnesis
Seorang gadis berusia 19tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan hidung tersumbat
sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengatakan sering bersin-bersin dan hidung tersumbat
yang hilang timbul sudah sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan muncul terutama pada pagi hari dan
saat terkena udara dingin atau terpapar AC. . Pasien mengatakan ibu dan kakak pasien
mempunyai riwayat penyakit yang sama seperti ini. Saat ini pasien tidak ada alergi seperti
terhadap makanan maupun obat-obatan.
Pemeriksaan Fisik
Telinga
-
Hidung
Konka inferior kanan dan kiri tampak livid. Terdapat sekret pada cavum nasi kanan dan
kiri. Meatus nasi dextra sinistra tertutup.
Tenggorok
Pada pemeriksaan faring dinding posterior tidak hiperemis dan tampak bergranul.
Rhinosinusitis Akut
Dasar yang mendukung :
Anamnesis :
- Sekret hidung encer dan banyak, namun kelamaan menjadi kental
- Keluhan ini sering dialami pasien
Pemeriksaan Fisik :
- Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior terdapat sekret di vestibulum, meatus nasi
-
inferior tertutup
Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior terlihat meatus nasi inferior tertutup
Medika mentosa :
Antihistamin
Antihistamin generasi pertama, yang dapat menyebabkan gejala mengantuk pada
kebanyakan orang. Contoh obat antihistamin ini yaitu diphenhydramine dan klorfenamin
Antihistamin generasi kedua, yang biasanya tidak menyebabkan gejala mengantuk dan
contoh obat antihistamin atau merk obat antihistamin ini termasuk loratadin dan
cetirizine
Dekongestan
31
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset obat topikal
jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa
bila digunakan dalam jangka waktu lama.
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine HCl dan
Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis
obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa,
diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia
dan iritabilitas.
Antibiotik
Pemberian antibiotik harus berdasarkan gejala klinis. Pada pasien ini diduga disebabkan
oleh bakteri karena gejala sudah berlangsung selama 7 hari dan terdapatnya perubahan sekret
menjadi kental yang menandakan adanya infeksi bakteri akut. Dapat diberikan golongan
penisilin (amoksisilin 500 mg 3 kali sehari) atau eritromisin bagi yang alergi.
-
PROGNOSIS
Ad vitam
: Bonam
Pemberian pengobatan antihistamin. Antihistamin yang diberikan dalam hal ini adalah
antihistamin generasi kedua yang tidak menimbulkan efek sedatif seperti loratadin 10 mg
diberikan 1 kali sehari selama 5 hari, dekongestan oral seperti pseudoefedrin 60 mg 3x1 selama
3 hari, NaCl cuci hidung untuk membersihkan hidung, steroid topikat (intranasal) flutikasone
propionat 2x2 semprot sehari, dan antibiotik cefixime 100mg 2xsehari
Prognosis ad vitam adalah bonam karena tidak mengancam nyawa pasien. Ad sanationam
adalah dubia ad bonam karena bila pengobatan tidak adekuat dan kontak dengan alergen tidak
dihindari maka dapat memperparah sinusitis. Ad functionam adalah dubia ad bonam
KESIMPULAN
Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE. Pemeriksaan alergi dengan tes kulit terhadap berbagai alergen mungkin dapat menunjang
penegakan diagnosis rinitis alergi. Pengobatan rinitis alergi bergantung pada tingkat keparahan
penyakit. Namun yang terpenting adalah dengan menghindari alergen pemicu.
Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi sinus paranasalis. Penyebab utamanya
ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling
sering terkena adalah sinus etmoid dan maksilla. Rhinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari
keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Rhinosinusitis bisa
bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 38 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, teggorok, kepala dan leher.
Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h. 118-310.
2. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h. 34-41.
3. Boies, L. R. Penyakit telinga luar: BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Balai
Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta: 1997.h.76-9.
33
34