Anda di halaman 1dari 14

5.

PEMBAHASAN
Dalam praktikum ini, dilakukan proses pengujian karbohidrat secara kuantitatif untuk
menentukan kadar amilosa dari sampel yang digunakan serta pengujian secara kualitatif
untuk mengetahui jenis karbohidrat yang terkandung dalam sampel yang digunakan.
Menurut (Sudarmadji et al., 1989), ada beberapa macam pengujian jenis karbohidrat
secara kualitatif yaitu uji Benedict, uji Barfoed, uji Selliwanoff, dan uji Luff Schroll.
Yang

merupakan

macam

uji

dilakukan

dalam

praktikum

ini.

Menurut

Wirahadikusumah (1985), karbohidrat merupakan polihidroksi aldehid atau polihidroksi


keton, dimana ada macam golongan yang perbedaannya terletak pada letak gugus
karbonilnya, yang masuk dalam golongan aldosa memiliki gugus karbonil di paling
ujung dari rantai karbonnya, sedangkan yang memiliki gugus karbonil di urutan ke dua
dari rantai karbonnya masuk dalam golongan ketosa juga karbohidrat terdiri dari
beberapa monomer yang menjadi satu dengan ikatan kovalen atau lebih dikenal ikatan
glikosidik yang akan membentuk polimer yang rantainya lebih panjang dan strukturnya
lebih kuat. Martoharsono (1991) menambahkan bahwa tiap 1 gram karbohidrat
menghasilkan energi bagi tubuh manusia sebanyak 4 kkal. Karbohidrat juga berperan
penting sebagai sumber energi tubuh, mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein
tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral, membantu metabolisme lemak dan protein
serta mempunyai peranan dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya
rasa, warna, tekstur, dll.
Menurut Gaman & Sherrington (1994), karbohidrat merupakan monosakarida tidak
berwarna, merupakan kristal padat yang mudah larut dalam air, kelarutannya dalam
alkohol kecil sekali dan dalam eter sama sekali tidak larut, rasanya manis, dapat
dihirolisis menjadi senyawa penyusunnya oleh pengaruh asam-asam mineral encer
panas atau oleh enzim disakaridase, akan mengalami karamelisasi jika dipanaskan serta
merupakan gula pereduksi kecuali sukrosa. Ada 3 macam golongan besar karbohidrat
berdasarkan jumlah monomernya, yaitu monosakarida, oligosakarida dan polisakarida.
Monosakarida atau gula sederhana adalah karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis
menjadi senyawa yang lebih sederhana lagi. Contohnya adalah glukosa, fruktosa dan
galaktosa. Oligosakarida merupakan senyawa karbohidrat yang terdiri dari 20 atau lebih

monosakarida. Contohnya adalah disakarida seperti sukrosa, laktosa, maltosa dan


selobiosa yang merupakan senyawa-senyawa yang terbentuk dari dua molekul
monosakarida yang bergabung dengan melepaskan air. Reaksinya adalah sebagai
berikut :
C6H12O6 + C6H12O6 C12(H2O)11 + H2O
(disakarida)
Hidrolisa disakarida oleh pengaruh asam-asam mineral encer panas atau oleh enzim
disakaridase pada kondisi-kondisi tertentu akan menghasilkan monosakaridamonosakarida penyusunnya. Menurut Suhardjo & Kosbart, 1992, polisakarida
merupakan karbohidrat yang kompleks terdiri atas beberapa molekul atau satuan gula
sederhana (monosakarida). Beberapa contoh polisakarida adalah pati, selulosa, dekstrin,
glikogen, pektin dan inulin.
5.1. Uji Kuantitatif (Penentuan Kadar Amilosa)
Uji kuantitatif karbohidrat dilakukan dengan menetukan kadar amilosa pada bahan yang
diuji. Bahan yang digunakan adalah nasi (kelompok F1, F2, F3, dan F4) dan beras
(kelompok F5, F, F7, F8, F9 dan F10). Menurut Sudarmadji et al., (1989) uji kuantitatif
karbohidrat dapat dilakukan dengan menentukan kadar karbohidrat (data berupa angka)
dalam bahan yang diuji.
Langkah awal dari uji ini adalah sebanyak 100 mg bahan ditimbang dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Setelah itu, sebanyak 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N
ditambahkan dan dipanaskan dengan waterbath selama kurang lebih 10 menit hingga
terbentuk gel. Pemanasan ini dilakukan agar gel terbentuk melalui pross masuknya air
ke dalam granula pati sehingga granula pati akan membengkak dan tidak bisa kembali k
keadaan semula (irreversible) Keadaan ini disebut dengan gelatinasi (Winarno, 1997).
Kemudian seluruh gel dipindahkan ke labu takar 100 ml dan dikocok. Aquades
ditambahkan hingga tanda tera. Kemudian sebanyak 5 ml larutan tersebut diambil dan
dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sebanyak 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml
larutan iod ditambahkan. Scott (1992) memberi pendapat bahwa asam asetat dan larutan
iod ditambahkan dengan tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya pati dalam suatu bahan.

Menurut Day & Underwood (1992) iodin digunakan dalam reaksi terhadap pati
bertujuan untuk mendeteksi adanya amilum pada suatu bahan pangan. Selain itu
penambahan larutan iod bertujuan untuk mengidentifikasi gula apa yang ada pada bahan
yang diuji. Hal tersebut dikarenakan larutan iodine akan memberikan hasil warna reaksi
yang berbeda pada jenis gula yang berbeda pula. Hal ini sesuai dengan teori Gaman &
Sherrington (1994) bahwa larutan iodin tidak akan menimbulkan warna jika bereaksi
dengan monosakarida ataupun disakarida, dan akan berwarna coklat jika bereaksi
dengan glikogen maupun dekstrin. Setelah itu aquades ditambahkan sampai tanda tera,
kemudian dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Pengenceran yang dilakukan
sebanyak 2 kali dan penambahan etanol 95% bertujuan untuk menjernihkan sampel.
Menurut Sudarmadji et al., (1989) dalam analisa karbohidrat, langkah awal yang
dilakukan adalah pemisahan larutan dari zat pencampur sehingga diperoleh sampel yang
jernih. Bahan digiling hingga halus, namun komposisi kimiawi dan sifat fisiknya harus
tetap dijaga. Pomeranz & Meloan (1987) juga menambahkan bahwa sangat penting
untuk membersihkan sampel dari bahan pengganggu ketika hendak menghitung
komposisi karbohidrat dari ekstrak air.
Kemudian intensitas warna yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 625 nm. Day & Underwood (1992) menyatakan bahwa panjang
gelombang 625 nm digunakan karena bahan uji berwarna biru hijau. Pengukuran ini
bertujuan untuk mendapatkan nilai absorbansi. Hal ini sesuai dengan Ebbing (1976)
bahwa prinsip kerja dari analisa kuantitatif adalah penggunaan spektrofotometri yang
membandingkan absorbansi pada panjang gelombang tertentu dari larutan sampel
dengan larutan standar. Larutan standar dijadikan acuan karena di dalamnya terkandung
senyawa yang akan dianalisa dalam bentuk murni. Menurut Wilford (1987), nilai
konstan yang diperoleh dari intensitas penyerapan adalah absorbansi. Nilai absorbansi
dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti konsentrasi, tebal intensitas penyinaran, zat
terlarut yang ada pada larutan, panjang gelombang yang digunakan, dan suhu. Suhu
mempengaruhi konsentrasi dan berubahnya volume. Nilai absorbansi akan tinggi jika
konsentrasi larutan yang diuji juga tinggi.
Hasil pengamatan yang diperoleh menunjukkan data bahwa nilai absorbansi yang

diperoleh dari uji ini beragam. Nilai absorbansi tertinggi pada bahan beras kelompok F9
(15418 ppm), lalu beras kelompok F6 (15364 ppm), nasi kelompok F4 (14406 ppm),
nasi kelompok F1 (13919 ppm), beras kelompok F7 (10270 ppm), nasi kelompok F2
(8216 ppm), beras kelompok F10 (8134 ppm), nasi kelompok F3 (7594 ppm), lalu beras
F8 (5892 ppm). Dan data yang menunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar amilosanya
terendah adalah bahan beras kelompok F5 (5136 ppm).
Kadar amilosa tiap bahan yang digunakan memang berbeda-beda walaupun termasuk
dalam satu golongan beras-berasan. Beras dengan berbagai varietas ini memiliki
komposisi penyusun yang berbeda-beda pula, terutama kandungan amilosa-amilopektin
beras tersebut. Perbedaan komposisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah
pertanian, pemupukan, lingkungan tempat tumbuhnya dan iklim. Perbandingan antara
amilosa dan amilopektin ini dijadikan dasar atau merupakan faktor tunggal dalam
menentukan mutu rasa dan tekstur nasi. Kandungan amilosa tersebut berkorelasi positif
dengan tingkat kelemahan, kelengketan, warna dan kilap. Semakin tinggi kadar amilosa
volume nasi yang diperoleh makin besar tanpa kecenderungan mengempes, hal ini
dikarenakan amilosa mempunyai kemampuan retrogadasi yang lebih besar. Beras
dengan kandungan amilosa tinggi menghasilkan nasi pera dan kering, sebaliknya beras
dengan kandungan amilosa rendah menghasilkan nasi yang lengket dan lunak
(Abubakar, 2005). Hasil pengamatan yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa beras
kelompok F9 yang memiliki nilai absorbansi tinggi memiliki kadar amilosa tinggi
sedangkan beras kelompok F5 yang memiliki nilai absorbansi rendah memiliki kadar
amilosa rendah. Diperoleh kadar amilosa tinggi dan amilosa rendah dari bahan yang
sama yaitu beras. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Abubakar (2005) bahwa beras
yang memiliki konsentrasi amilosa paling tinggi dengan tekstur yang pera dan kering,
sebaliknya justru nasi yang harusnya memiliki konsentrasi amilosa terendah (tinggi
amilopektin) dengan tekstur yang lengket dan lunak bukan beras.
5.2. Uji Kualitatif
5.2.1. Persiapan Bahan (Ekstraksi Pati dan Larutan Sampel)
Ekstraksi pati dilakukan untuk memisahkan komponen non-karbohidrat dari karbohidrat
sehingga tidak terjadi reaksi-reaksi yang tidak diinginkan, sehingga hasil yang diperoleh

lebih tepat (Lehninger, 1982). Langkah awal yang dilakukan dalam uji kualitatif adalah
penghancuran bahan hingga benar-benar halus. Palmer (1991) menyatakan bahwa
dalam proses ekstraksi, penghancuran bahan dilakukan untuk meningkatkan
homogenitas dari bahan. Selain itu ketika dihancurkan, enzim yang ada di dalam bahan
akan keluar sehingga memudahkan kita untuk melakukan proses ekstraksi. Tranggono
& Sutardi (1989) menambahkan bahwa ekstraksi diawali dengan proses penghancuran
bahan jaringan tanaman atau hewan sampai benar-benar rata dalam air atau larutan
buffer. Setelah itu, sebanyak 30 gram bahan diambil dan sebanyak 30 ml larutan buffer
fosfat pH 7,5. Menurut Winarno (1995) larutan buffer merupakan larutan yang
mengandung campuran basa lemah dengan garamnya atau asam lemah dengan
garamnya. Larutan tahan panas ini memiliki kemampuan untuk mempertahankan pH
larutan jika ditambahkan asam atau basa dalam jumlah sedikit, dan ketika larutan
sampel diencerkan. Tranggono & Sutardi (1989) mendukung pernyataan Winarno
bahwa larutan buffer fosfat pH 7,5 ditambahkan untuk mempertahankan pH larutan
sehingga terjadinya denaturasi protein dapat dihambat dan larutan tetap dalam kondisi
pH optimum.
Kemudian campuran yang terbentuk disaring dengan menggunakan kain saring dan
dialasi dengan es baru. Menurut Tranggono & Sutardi (1989) penyaringan dengan kain
saring dilakukan untuk memisahkan bagian yang tidak larut sehingga diperoleh ekstrak
berupa cairan. Filtrat yang didapat disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm suhu 5C
selama 15 menit. Bagian yang cair diambil dengan pipet dan diletakkan ke dalam
Erlenmeyer. Cairan ini selanjutnya digunakan untuk uji kualitatif karbohidrat. Kimbal
(1992) berpendapat bahwa dengan sentrifugasi, suatu substansi dapat diendapkan
berdasarkan berat jenisnya. Hasilnya adalah substansi dengan berat jenis yang lebih
tinggi akan mengendap. Selain itu, proses sentrifugasi bertujuan untuk meningkatkan
homogenitas larutan. Stanbury & Whitaker (1984) mengatakan bahwa pada saat ingin
melakukan sentrifugasi, berat tabung yang berhadapan harus sama. Hal ini bertujuan
agar pada saat proses sentrifugasi dengan kecepatan tinggi berlangsung, tabung
sentrifuge tidak pecah.
Selanjutnya dilakukan pembuatan larutan sampel. Bahan yang telah dihancurkan

diambil sebanyak 20 gram dan dilarutkan dalam 100 ml aquades. Campuran tersebut
disaring dengan kain saring dan dialasi es batu. Setelah itu, cairan tersebut digunakan
untuk uji kualitatif.

5.2.2. Uji Benedict Larutan Sampel dan Ekstraksi Pati


Salah satu uji kualitatif karbhidrat adalah uji Benedict. Uji Benedict dilakukan untuk
mendeteksi ada tidaknya gula reduksi pada larutan. (Sudarmadji et al., 1989). Reaksi
pada uji Benedict: R-C-H + 2 Cu 2+ + 5 OH- R-C-O- + Cu2O (endapan merah coklat) +
3H2O (Wirahadikusumah, 1985).
Langkah awal yang dilakukan adalah sebanyak 1 ml larutan sampel dan ekstrak pati
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berbeda. Kemudian, sebanyak 3 ml larutan
Benedict ditambahkan dan dipanaskan dengan menggunakan waterbath selama 10
menit. Lalu perubahan warna yang terjadi diamati. Hal ini sesuai dengan teori
Sudarmadji et al., (1989) bahwa reagen yang digunakan pada uji Benedict adalah
campuran CuSO4 dan hasil dari penyaringan campuran Na-Sitrat berhidrat dengan Na
karbonat berhidrat. Campuran ini disebut dengan larutan benedict yang kemudian
ditambahkan dalam larutan sampel yang diuji dan pemanasan dilakukan. Daintith
(1999) menambahkan bahwa larutan Benedict akan berwarna biru karena kandungan
CuSO4, Na2CO3, dan Na-sitrat. Tujuan dari pemanasan ini, menurut Hein et al., (1993)
adalah untuk memecah karbohidrat menjadi bentuk yang lebih sederhana lagi.
Pada kelompok F1 yang menggunakan nasi, larutan sampel awalnya berwarna putih
keruh dan menjadi biru kehijauan pada akhirnya sedangkan ekstrak pati awalnya putih
keruh dan muncul warna biru kehijauan juga. Kelompok F2 yang menggunakan nasi,
larutan sampel awal putih keruh dan akhirnya hijau kebiruan sedangkan ekstrak pati
awalnya putih keruh dan akhirnya menjadi hijau kebiruan. Kelompok F5 menggunakan
bahan beras, ekstrak pati dan larutan sampelnya, awalnya berwarna putih keruh dan
akhirnya menjadi hijau kebiruan. Kelompok F6, F7, F8 yang menggunakan bahan beras
pada larutan sampel, warna awalnya putih keruh menjadi hijau kebiruan Sedangkan
ekstrak patinya dari putih keruh menjadi hijau. Kelompok F9 menggunakan bahan beras

larutan sampel warna awal putih keruh dan akhirnya muncul warna hijau. Sedangkan
ekstrak patinya dari putih keruh menjadi hijau tua. Dan kelompok F10 menggunakan
bahan beras, larutan sampel awal putih keruh dan akhirnya muncul warna biru ada
gelembung. Sedangkan ekstrak patinya dari putih keruh menjadi biru bening kehijauan.
Pada hasil pengamatan kelompok F1, F2, F5, F6, F7, F8, F9, dan F10 Menurut (Gaman
& Sherrington, 1994), warna yang dihasilkan pada larutan glukosa cair menunjukkan
jumlah glukosa yang terdeteksi. Glukosa 0% (air murni) akan berwarna biru tua,
glukosa 0,5% akan berwarna biru muda, glukosa 2% akan berwarna kuning dengan
sedikit bagian jernih.
Kelompok F3 yang menggunakan nasi, larutan sampel awalnya putih keruh dan
akhirnya muncul warna biru. Sedangkan pada ekstrak pati, awalnya putih keruh dan
akhirnya hijau tua kebiruan dengan endapan merah tua. Dengan demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa pada bahan nasi kelompok F3 terdapat kandungan gula pereduksi
karena terjadi perubahan warna larutan dan terdapat endapan berwarna gelap.
Kelompok F4 yang menggunakan bahan nasi, larutan sampel awal putih keruh dan
akhirnya muncul warna biru. Sedangkan ekstrak patinya dari putih keruh menjadi hijau
tua kebiruan dengan endapan merah tua. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan
bahwa pada bahan nasi kelompok F4 terdapat kandungan gula pereduksi karena terjadi
perubahan warna larutan dan terdapat endapan berwarna gelap. Pada hasil pengamatan
kelompok F3 dan F4 sesuai dengan pernyataan Kusnawidjaya (1993) bahwa konsentrasi
dari gula reduksi akan menyebabkan warna yang berbeda. Warna merah dari endapan
kupro oksida menandakan konsentrasi gula reduksi yang

tinggi, sedangkan warna

kuning atau hijau akan terbentuk bila konsentrasi gula reduksi rendah. Warna biru akan
tidak berubah jika pada sampel tidak ditemukan adanya gula reduksi.Larutan yang
kompleks tidak dapat menghasilkan endapan CuO pada hasil akhir uji Benedict
sehingga perubahan warna dan endapan tidak terbentuk, walaupun sudah dipanaskan.
5.2.3. Uji Barfoed Larutan Sampel dan Ekstrak Pati
Uji ini diawali dengan pengisian tabung reaksi dengan 2 ml larutan sampel atau ekstrak
pati. Lalu sebanyak 2 ml larutan barfoed ditambahkan ke masing-masing tabung reaksi
dan dipanaskan selama 10 menit degan menggunakan waterbath. Perubahan warna yang

terjadi diamati. Hal ini sesuai dengan teori Daintith (1999), uji Barfoed digunakan untuk
mendeteksi adanya gula monosakarida pereduksi dalam suatu larutan. Reagen yang
digunakan adalah asam etanoat atau asam asetat yang dicampur dengan tembaga II
asetat dan ditambahkan ke dalam larutan dan dididihkan. Jika pada suatu larutan
ditemukan ada gula pereduksi, maka endapan berwarna merah akan dihasilkan sebagai
hasil dari tembaga (II) oksida. Reaksi ini bersifat negatif terhadap disakarida karena
disakarida bersifat pereduksi lemah. Robert (1972) menambahkan juga bahwa uji ini
dilakukan dengan menambahkan larutan Barfoed kurang lebih sebanyak 2 ml dan
dilakukan pemanasan pada larutan tersebut.
Sudarmadji et al., (1989) menyatakan pendapatnya bahwa uji Barfoed dapat digunakan
untuk mengidentifikasi mana karbohidrat yang merupakan monosakarida dan mana yag
tergolong disakarida. Disakarida akan memberikan hasil positif dengan uji Barfoed bila
dididihkan cukup lama sehingga disakarida akan terurai menjadi monosakarida
penyusunnya. Hasil positif ditandai dengan adanya larutan biru dan endapan merah pada
bagian dasar tabung. Hasil pengamatan percobaan ini karbohidrat direduksi dalam
suasana asam. Larutan sampel pada kelompok F1, F2, F3 bahan nasi larutan sampel
awalnya berwarna putih keruh menjadi biru muda, pada kelompok F4 bahan nasi larutan
sampel awalnya berwarna putih keruh menjadi biru, pada kelompok F5, F6, F7, F8, F9
larutan sampel bahan beras awalnya berwarna putih keruh menjadi biru, dan pada
kelompok F10 larutan sampel awalnya berwarna putih keruh menjadi biru bening.
Sedangkan ekstrak pati pada kelompok F1, F3, F4 bahan nasi larutan sampel awalnya
berwarna putih keruh menjadi biru muda dengan gumpalan putih, pada kelompok F2
bahan nasi awalnya berwarna putih keruh menjadi biru muda pekat, pada kelompok F5
bahan beras awalnya berwarna putih keruh menjadi biru muda dengan gumpalan, pada
kelompok F6 dan F7 bahan beras awalnya berwarna putih keruh menjadi biru muda
dengan gumpalan putih, pada kelompok F8 bahan beras awalnya berwarna putih keruh
menjadi biru, pada kelompok F9 bahan beras awalnya berwarna putih keruh menjadi
biru muda, dan pada kelompok F10 bahan beras awalnya berwarna putih keruh menjadi
biru keruh. Menurut teori, disakarida juga memberikan hasil positif bila dididihkan
cukup lama hingga terhidrolisis menjadi monosakarida. Hasil positif ditandai dengan
larutan biru dan bagian bawah terdapat endapan kemerahan (Sudarmadji et al., 1989).

Berdasarkan teori dari Daintith (1999) dan Sudarmadji et al (1989) maka hasil
pengamatan yang diperoleh kurang sesuai karena tidak ada terbentuk endapan merah.
Hal ini bisa terjadi dikarena waktu pengamatan yang terlalu singkat sehingga endapan
merah tidak tampak. Namun jika dilihat secara keseluruhan larutan yang diuji dengan
uji Barfoed berubah warnanya menjadi warna biru dengan endapan putih, hal ini jika
sesuai dengan teori maka berarti bahwa bahan yang digunakan merupakan bahan yang
memberikan uji positif pada uji Barfoed, yaitu merupakan yang mengandung
monosakarida.
5.2.4. Uji Selliwanoff Larutan Sampel dan Ekstrak Pati
Uji Selliwanoff diawali dengan pengisian tabung reaksi dengan 2 ml larutan sampel atau
ekstrak pati. Kemudian sebanyak 2 ml HCl pekat ditambahkan ke masing-masing
tabung reaksi dan dipanaskan dengan menggunakan waterbath selama 30 menit. Hal ini
sesuai dengan teori Daintith (1999) bahwa uji Selliwanoff adalah uji untuk mendeteksi
keberadaan gula ketosa dalam larutan, contohnya adalah fruktosa. Reagen terdiri dari
kristal resorcinol yang dilarutkan dalam air dan asam hidroklorida dalam jumlah
seimbang. Kemudian larutan dipanaskan bersama dengan larutan sampel uji. Hasil
positif ditandai dengan adanya endapan merah yang menandakan keberadaan fruktosa
dalam sampel. Reagen. Uji ini dilakukan dengan penambahan HCl pekat ke dalam
larutan sampel yang kemudian dipanaskan (Robert, 1972). Scott et al., (1992)
menambahkan bahwa pati dapat diubah menjadi glukosa jika ditambahkan sedikit asam
(HCl dan H2SO4) dan pemanasan air. Jadi HCl yang ditambahkan berfungsi sebagai
pengurai polisakarida menjadi monosakarida. Setelah itu sebanyak 0,5 ml larutan
resorcinol 1,5% dalam alkohol ditambahkan. Perubahan warna yang terjadi diamati. Hal
ini sesuai dengan teori Winarno (1992)

bahwa reagen uji Selliwanoff terdiri dari

resorcinol dan HCl pekat.


Hasil pengamatan yang diperoleh pada kelompok F1 larutan sampel awalnya putih
keruh menjadi merah muda keruh, pada kelompok F2 larutan sampel awalnya putih
keruh menjadi merah kecoklatan, pada kelompok F3 laurtan sampel awalnya putih
keruh menjadi putih sekdikit keruh (data ini memang salah karena tidak diberi larutan
recolcinol setelah dipanaskan, pada kelompok F4 larutan sampel awalnya putih keruh

menjadi merah muda dengan endapan, pada kelompok F5, F7 larutan sampel awalnya
putih keruh menjadi merah kecoklatan, pada kelompok F6, F8, F9 larutan sampel
awalnya putih keruh menjadi merah bata, dan kelompok F10 larutan sampel awalnya
putih keruh menjadi putih bening endapan putih. Sedangkan larutan ekstrak pati pada
kelompok F1, F2, F3, F4, F5, F6, F7, F8, F9 awalnya putih keruh menjadi merah bata
dan pada kelompok F10 awalnya putih keruh menjadi merah bening endapan putih.
Secara keseluruhan hasil pengamatan yang diperoleh adalah larutan berwarna merah
bata. Berdasarkan teori yang ada, maka baik pada larutan sampel maupun pada larutan
ekstrak pati hasil pengamatan yang diperoleh menandakan adanya perubahan warna
larutan menjadi berwarna merah bata. Warna merah ini menandakan reaksi positif pada
uji Selliwanoff yang berarti bahan yang diuji mengandung gugus ketosa. Hal ini sesuai
dengan teori Daintith (1999) bahwa hasil positif ditandai dengan adanya endapan merah
yang menandakan keberadaan fruktosa dalam sampel. Sudarmadji et al., (1989)
menambahkan bahwa hasil positif uji Selliwanoff ditandai dengan warna merah gelap
apabila pada sampel ditemukan gugus ketosa. Pada uji ini, furfural yang terbentuk dari
proses dehidrasi akan bereaksi dengan reagen resorcinol dan membentuk senyawa
kompleks yang memiliki warna merah. Asam klorida 12%, asam asetat atau asam sulfat
alkoholik dapat digunakan untuk zat dehidrator (Sudarmadji et al., 1989).
5.2.5. Uji Luff Schorll Larutan Sampel dan Ekstrak Pati
Menurut Gaman & Sherington (1994), Luff merupakan campuran dari CuSO 4, Na2CO3,
dan asam nitrat. Dimana keberadaan gula pereduksi akan membentuk endapan warna
kuning-oranye atau merah bata dari Cu2O. Banyaknya CuO tersebut ekuivalen dengan
banyaknya iod yang dibebaskan. Asam sulfat yang ditambahkan akan bereaksi dengan
CuO membentuk CuSO4, kemudian akan bereaksi dengan KI membentuk CuI 2 yang
nantinya akan terurai menghasilkan I2 bebas. Menurut Sudarmadji et al. (1989), reaksi
yang terjadi dalam penentuan gula cara Luff dapat dituliskan sebagai berikut:
R COH

+ CuO Cu2O + R COOH

H2SO4

+ CuO CuSO4

+ H2O

CuSO4

+ 2 Kl Cu l2

+ K2SO4

2 Cul2

Cu2l2

+ l2

l2 + Na2S2O3

Na2S4O6

+ Nal

l2 + amilum : biru
Percobaan uji Luff Schroll diawali dengan pengisian tabung reaksi dengan 5 ml larutan
sampel atau ekstrak pati. Kemudian, sebanyak 2 ml larutan CuSO4 5%, 1 ml larutan
asam nitrat pekat 65%, dan 1 ml Na2CO3 5% ditambahkan ke masing-masing tabung
reaksi. Perubahan warna yang terjadi diamati. Menurut Riawan (1990) Luff terdiri dari
campuran CuSO4, Na2CO3, dan HNO3. Gula pereduksi dengan reagen Luff akan
menghasilkan endapan warna kuning-oranye atau merah bata dari Cu2O.
Hasil pengamatan yang diperoleh dari larutan sampel dan ekstrak pati kelompok F1
awalnya putih keruh menjadi 2 lapisan biru muda dengan endapan, pada kelompok F2
larutan sampel awalnya putih keruh menjadi 2 lapisan hijau keruh dan endapan kuning
sedangkan ekstrak pati awalnya putih keruh menjadi hijau keruh, pada kelompok F3
larutan sampel awalnya putih keruh menjadi biru muda dengan endapan kuning
sedangkan ekstrak pati awalnya putih keruh menjadi 2 lapisan biru muda dengan
endapan, pada kelompok F4 larutan sampel awalnya putih keruh menjadi biru kehijauan
dengan endapan sedangkan ekstrak pati awalnya putih keruh menjadi 2 lapisan bagian
atas hijau bagian bawah biru kehijauan, pada kelompok F5 putih keruh menjadi hijau
bening dan sedikit endapan sedangkan ekstrak pati awalnya putih keruh menjadi hijau
kekuningan dan terdapat endapan, pada kelompok F6 putih keruh menjadi bening
kehijauan dengan endapan kuning sedangkan ekstrak pati awalnya putih keruh menjadi
bening kehijauan terdapat endapan kuning, pada kelompok F7 putih keruh menjadi
bening kehijauan terdapat endapan kuning sedangkan ekstrak pati awalnya putih keruh
menjadi bening kehijauan terdapat endapan kuning, pada kelompok F8 putih keruh
menjadi hijau muda terdapat endapan kuning sedangkan ekstrak pati awalnya putih
keruh menjadi hijau kekuningan, pada kelompok F9 putih keruh menjadi bening
kehijauan terdapat endapan kuning sedangkan ekstrak pati awalnya putih keruh menjadi
bening kehijauan terdapat endapan kuning, dan pada kelompok F10 putih keruh menjadi
biru ada gelembung sedangkan ekstrak pati awalnya putih keruh menjadi biru keruh.
Secara keseluruhan hasil pengamatan yang diperoleh adalah larutan biru yang terbentuk
endapan berwarna kuning. Menurut Gaman & Sherington (1994), warna seperti itu
menandankan indikator positif terhadap uji Luff Schroll yang berarti bahan yang diuji

tersebut mengandung gula pereduksi.


Dari data hasil percobaan, juga dapat kita lihat bahwa secara umum reaksi perubahan
yang diberikan oleh ekstrak pati berbeda dengan larutan sampel. Padahal bahan yang
digunakan sama. Hal ini dikarenakan karena adanya perbedaan perlakuan yang
diberikan. Mungkin hal ini disebabkan karena pada ekstraksi pati, dilakukan proses
sentrifugasi sehingga sampel yang diuji hanya yang berasal dari filtrat saja. Sehingga
terjadi perbedaan kandungan kadar gula dalam kedua tipe sampel tersebut. Hal yang
perlu diperhatikan dalam praktikum ini adalah pembuatan larutan sampel dengan benar
sehingga tidak ada komponen lain yang tidak diinginkan terlibat dalam proses yang
dilakukan. Ketepatan penggunaan bahan dan gelombang untuk mencari nilai absorbansi
menggunakan spektrofotometer yang kemudian digunakan untuk menghitung kadar
amilosa juga harus tepat. Dengan demikian diharapkan bisa diperoleh data yang tepat
mengenai kandungan-kandungan zat dalam sampel tersebut.

6. KESIMPULAN

Ada tiga golongan besar karbohidrat menurut jumlah monomernya yaitu

monosakarida, oligosakarida dan polisakarida.


Kadar amilosa secara kuantitatif ditentukan dengan menghitung nilai absorbansi

larutan uji.
Semakin tinggi nilai absorbansinya maka semakin tinggi konsentrasi amilosanya.
Kadar amilosa beras lebih tinggi dibanding nasi, sebab tekstur nasi lebih lunak dan

lengket karena telah mengalami proses pemasakan dengan air.


Uji karbohidrat secara kuantitatif berguna untuk menentukan kadar amilosa
sedangkan secara kualitatif untuk mengetahui keberadaan gula pereduksi meliputi uji

Benedict, uji Barfoed, uji Selliwanoff, dan uji Luff Schroll.


Semua monosakarida (glukosa, galaktosa, fruktosa) dan disakarida (kecuali sukrosa)

merupakan gula pereduksi.


Sukrosa bukan gula pereduksi sehingga tidak akan memberikan hasil positif terhadap

pengujian Fehling, Benedict, Luff dan Barfoed.


Amilosa dengan iodin akan berwarna biru; amilopektin akan berwarna merah violet;

sedangkan glikogen maupun dekstrin akan berwarna merah coklat.


Uji Benedict menggunakan larutan yang mengandung CuSO 4, Na2CO3, dan Na-sitrat
memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan gula pereduksi bila

menghasilkan endapan merah bata, hijau, kuning


Warna hasil uji Benedict menunjukkan jumlah glukosanya, dimana glukosa 0% (air
murni) berwarna biru tua, glukosa 0,5% berwarna biru muda, dan glukosa 2%

berwarna kuning serta ada bagian yang jernih.


Uji Barfoed menggunakan campuran kupri asetat dan asam asetat digunakan untuk
mendeteksi gula pereduksi berupa monosakarida, dimana hasil yang positif akan

menghasilkan endapan merah dari tembaga (II) oksida (kupro oksida).


Namun dalam suasana asam, gula reduksi yang termasuk disakarida memberikan

reaksi endapan merah terhadap uji Barfoed jika percobaan diperlama.


Uji selliwanoff menggunakan reagen kristal resorsinol yang dilarutkan dalam air dan
asam hidroklorida berfungsi untuk mengidentifikasi keberadaan gula ketosa, seperti

fruktosa dalam suatu larutan.


Uji Selliwanoff dinyatakan positif bila terbentuknya warna merah pada larutan.

Uji Luff Schroll menggunakan campuran CuSO 4, Na2CO3, dan asam nitrat
memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan gula pereduksi bila terbentu
warna kuning-oranye atau merah bata dari Cu2O.

Semarang, 28 September 2015


Praktikan,

Onny Shelvia (14.I1.0045)


Kelompok F7

Asisten Dosen,
-Helen Novita Sari

Anda mungkin juga menyukai