Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai adanya
mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas, termasuk
dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World Health Organization (WHO)
memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini
diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun.
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak
dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat
serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab(2).
Disisi lain di Indonesia, kebiasaan merokok masih merupakan perilaku yang sulit
dihentikan disamping polusi udara dan lingkungan yang belum dapat dikendalikan.
Menuurut WHO, tahun 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari posisi 12 ke 5
sebagai penyakit terbanyak di dunia dan dari posisi 6 ke 3, sebagai penyebab kematian
terbanyak. Polusi udara terutama asap rokok ditengarai penyebab meningkatnya prevalensi
penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
PPOK sebenarnya merupakan penyakit yang preventable dan treatable. Pada
penyakit ini terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi kronis terhadap partikel gas
yang menyebabkan terjadinya hambatan jalan nafas yang tidak sepenuhnya bisa reversibel
dan bersifat progresif. Selain itu kelainan ini juga memberi dampak gangguan di luar paru
secara bermakna sehingga memperberat derajat penyakit. Hambatan jalan nafas tersebut
terjadi akibat obstruksi jalan nafas kecil (obstructive bronchiolitis) dan destruksi parenkim
(emfisema). Proses inflamasi juga menyebabkan hilangnya alveolar attachment terhadap
jalan nafas kecil dan menurunnya elastic recoil paru sehingga kemampuan jalan nafas tetap
membuka saat ekspirasi menjadi terganggu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
ASMA
1. Definisi
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakea
dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimulan tertentu (Smeltzer, 2006)
Asma bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus mengalami inflamasi/peradangan dan
hiperresponsif. (Reeves, 2001). Penderita asma mengalami gangguan inflamasi kronik
saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemen nya. Inflamasi kronik menyebabkan
peningatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala epidosik berulang berupa
sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Epidosik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan nafas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2. Faktor resiko dan Etiologi


Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi)

Reaksi antigen-antibodi
Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang)

Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi)

Infeksi
: parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasma
Fisik
: cuaca dingin, perubahan temperatur
Iritan
: kimia
Polusi udara : CO, asap rokok, parfum
Emosional
: takut, cemas dan tegang
Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :


1. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic danaspirin) dan
spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetusyang
tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkanoleh
adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan
sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik
dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.
Ada beberapa hal

yang

merupakan

faktor

predisposisi

dan

presipitasi

timbulnyaserangan asma bronkhial.


1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan
faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisaditurunkan.
2. Faktor presipitasi.
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang,serbuk bunga,
spora jamur, bakteri dan polusi)
Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan jam
tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhiasma. Atmosfir
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinyaserangan asma. Kadang-

kadang serangan berhubungan dengan musim, sepertimusim hujan, musim kemarau,


musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arahangin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selainitu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul haru
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka
gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya seranganasma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas.Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukanaktifitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudahmenimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadisegera setelah selesai aktifitas tersebut.
3. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap
benda- benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi
dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk
membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini
menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody
ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan
erat dengan brokhiolus dan bronchus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka
antibody IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah
terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient),
faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.

Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada
dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhioulus
dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi
sanga tmeningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian
luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya
adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan
adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas
residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma
akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel
chest.

Faktor Risiko

Faktor Risiko
Inflamasi

Hiperaktivitas

Obstruksi

Bronkus

Bronkus
Faktor Risiko

Gejala

Gambar . Proses imunologis spesifik dan non-spesifik

4. Gambaran klinis dan klasifikasi


Gambaran asma secara klasik adalah episodik batuk, mengi dansesak nafas. Pada
periode awal gejala sering tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma tipe
alergenik sering disertai bersin-bersin dan pilek. Walaupun awalnya batuk tanpa sekret
dalam perjalanannya terjadi sekret yang berwarna mukoid sampai dengan purulen. Pada
sebagian penderita gejala klinis hanya batuk tanpa disertai mengi atau dikenal dengan
cough variant asthma bila hal ini muncul maka konfirmasi dengan pemeriksaan spirometri
dan lakukan bronkodilator tes atau ujiprovokasi bronkus dengan metakolin.Pada asma
alergenik sering tidak jelas adanya hubungan antara paparan alergen dengan gejala asma
yang timbul. Terlebih pada penderita yang memberikan respon terhadap pencetus non
alergenik sperti faktor cuaca, asap rokok ataupun infeksi saluran pernafasan atas.Diagnosis
asma ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesa dijumpai adanya keluhan batuk, sesak, mengi dan rasa tidak enak pada
dada. Terdapat riwayat alergi dalam keluarga ataupun pada diri penderita sendiri seperti
rinitis alergi, dermatitis alergi. Gejala asma sering timbul pada malam hari tetapi dapat
muncul pada setiap waktu tergantung pada ada tidak nya faktor pencetus.
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa1
Derajat Asma
Gejala
Gejala Malam
Faal Paru
intermitten
Bulanan
2 kali sebulan APE 80%
Gejala <1x/minggu,
VEP1
tanpa gejala di luar
80% nilai
serangan
prediksi
Serangan singkat
APE 80%
nilai
terbaik
Variabilitas
APE <20%
Persisten ringan Mingguan
>2 kali sebulan APE >80%
Gejala >1x/minggu,
VEP1
tetapi <1x/hari
80% nilai
Serangan dapat
prediksi
menggangu
APE 80%

aktivitas dan tidur

Persisten
sedang

Persisten berat

nilai
terbaik
Variabilitas APE
20-30%
Harian
>2 kali sebulan APE 60-80%
Gejala setiap hari
-VEP1 60Serangan
80% nilai
menggangu
prediksi
aktivitas dan tidur
APE 60Bronkodilator setiap
80% nilai
hari
terbaik
-Variabilitas APE
>30%
Kontinyu
Sering
APE 60%
Gejala terus
VEP1 60%
menerus
nilai
Sering kambuh
prediksi
aktivitas fisik
APE 60%
terbatas
nilai
terbaik
Variabilitas APE
>30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma9


Ringan
Sedang
Aktivitas
Dapat
Jalan
berjalan
terbatas
Dapat
Lebih
berbaring
suka
duduk
Bicara
Beberapa
Kalimat
kalimat
terbatas
Kesadaran
Mungkin
Biasanya
terganggu
terganggu
Frekuensi
Meningkat
Meningka
napas
t
Retraksi
Umumnya
Kadang
otot-otot
tidak ada
kala ada
bantu napas
Mengi
Lemah
Keras
sampai
sedang

Berat
Sukar
berjalan
Duduk
membungku
k ke depan
Kata demi
kata
Biasanya
terganggu
Sering >30
kali/menit
ada
Keras

Frekuensi
nadi
Pulsus
paradoksus
APE sesudah
bronkodilato
r (%
prediksi)
PaCO2

<100

100-120

>120

Tidak ada
(<10mmHg
)
>80%

Mungkin
ada (1025mmHg)
60-80%

Sering ada
(>25 mmHg)
<60%

<45mmHg

<45mmH
<45mmHg
g
SaCO2
>95%
91-95%
<90%
Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi.9

5. Pemeriksaan penunjang
1. Evaluasi laboratorium
Eosinofilia pada darah dan sputum terjadi pada penderita asma. Eosinofilia darah >
250-400sel/mm. sputum penderita asma sangat kental, elastic, dan keputih-putihan.
2. Skin prick test
Skin prick test digunakan untuk mengidentifikasi factor ekstrinsik. Timbulnya
urtikaria di sekitar tempat tusukan menunjukkan sensitivitas alergen. Pajanan
terhadap alergen yang teridentifikasi harus segera diminimalkan.
3. Tes faal paru
Bermanfaat dalm mengevaluasi anak yang diduga menderita asma. Pada mereka
yang diketahui menderita asma, tes faal paru berguna dalam menilai tingkat
penyumbatan jalan nafas, dan gangguan pertukaran gas. Penilaian fungsi paru pada
asma paling bermanfaat bila dibuat sebelum dan sesudah diberikan aerosol
bronkodilator. Kenaikan PFR atau FEV1, sekurang-kurangnya 10% sesudah terapi
aerosol, sangat memberi kesan asma.
Kriteria obstruksi terpenuhi bila ratio FEV1/FVC < 70%. Obstruksi sedang : FEV1
40-60%, dan berat : FEV1< 40%.
4. Rontgen thoraks
Rontgen digunakan untuk mengesampingkan kemungkinan diagnosis lainnya
ataupunkomplikasi, seperti atelektasis atau pneumonia.Pada asma akan didapatkan
gambaran paru yang lebih lusen akibat gangguan ekspirasi sehingga banyak udara

tertinggal di paru. Selain itu, bertambahnya volume udara di paru juga


menyebabkan diafragma terdorong ke bawah, sehingga jantung terlihat seperti
menggantung (tear drops).
5. Penentuan gas dan Ph darah arterial
Penting dalam evaluasi penderita asma selama masa eksaserbasi yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Selama masa perbaikan (remisi), tekanan parsial O 2
(PO2), tekanan parsial karbondioksida (PCO2), dan Ph mungkin normal.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma
yang beratatau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap
pengobatan yang lazimdiberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau
perbaikan yang sifatnya hanyasingkat, dengan waktu pengamatan antara satu
sampai dua jam.
Gambaran klinis status asmatikus
Penderita tampak sakit berat dan sianosis.
Sesak nafas, bicara terputus-putus.
Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita
sudah jatuh dalam dehidrasi berat.
Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat
laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke
dalam koma.

6. Tatalaksana
Obat pengontrol membantu meminimalkan peradangan yang menyebabkan serangan asma
akut.

Beta agonis kerja panjang:


obat kelas ini secara kimia berhubungan dengan adrenalin, hormon yang diproduksi
oleh kelenjar adrenal. Beta agonis kerja panjang untuk inhalasi bekerja untuk menjaga
saluran pernapasan terbuka selama 12 jam atau lebih. Obat asma ini mengendurkan

otot-otot saluran pernapasan, melebarkan saluran dan mengurangi resistensi terhadap


aliran udara yang dihembuskan, sehingga lebih mudah untuk bernapas. Mereka juga
dapat membantu untuk mengurangi peradangan, tetapi obat asma ini tidak berpengaruh
pada penyebab yang mendasari serangan asma. Efek samping obat asma ini termasuk
detak jantung yang lebih cepat dan kegoyahan. Formoterol , Salmeterol , Arformoterol

adalah obat asma beta agonis kerja panjang.


Kortikosteroid inhalasi adalah obat utama untuk obat pengontrol asma. Steroid hirup ini
bertindak lokal dengan berkonsentrasi pada efek langsung dalam saluran pernapasan,
dengan efek samping yang sangat sedikit di luar paru-paru. Ciclesonide,
Beclomethasone, Fluticasone, Budesonide, Mometasone, Triamcinolone, Flunisolide,

adalah obat asma kortikosteroid yang dihirup.


Inhibitor leukotriene adalah kelompok lain obat pengontrol asma. Leukotrien adalah zat
kimia kuat yang menyebabkan respon inflamasi yang terlihat selama serangan asma
akut. Dengan menghalangi bahan kimia ini, inhibitor leukotriene mengurangi
peradangan. Inhibitor leukotriene dianggap sebagai lini kedua pertahanan terhadap
asma dan biasanya digunakan untuk asma yang tidak memerlukan kortikosteroid oral.
Zileuton, zafirkulast dan montelukast adalah contoh inhibitor leukotriene.
Methylxanthine adalah kelompok lain obat pengontrol yang berguna dalam pengobatan
asma. Kelompok obat asma ini secara kimiawi berkaitan dengan kafein. Methylxanthine
bekerja sebagai bronkodilator kerja panjang, dahulu obat asma ini umum digunakan
untuk mengobati asma. Saat ini, karena efek samping yang signifikan seperti kafein,
obat asma sering digunkaan untk pengobatan asma rutin. Teofilin dan aminofilin adalah

contoh obat asma golongan methylxanthine.


Obat asma lain adalah Natrium kromolin yang dapat mencegah pelepasan bahan kimia
yang menyebabkan peradangan pada asma. Obat asma ini terutama bermanfaat bagi
orang yang mengalami serangan asma akibat respon penyebab alergi. Bila diminum
secara teratur sebelum terkena allergen, natrium kromolin dapat mencegah
perkembangan serangan asma. Namun, obat asma ini tidak ada gunanya setelah
serangan asma tercetus.

Omalizumab adalah kelas baru obat asma yang bekerja dalam system kekebalan tubuh.
Penderita asma yang memiliki kadar immunoglobulin E (Ig E) tinggi, sebuah antibody
alergi, obat ini diberikan melalui suntikan yang dapat membantu gejala yang sulit
dikontrol. Obat asma ini menghambat pengikatan IgE pada sel-sel yang melepaskan
bahan kimia yang memperburuk gejala asma. Pengikatan ini mencegah pelepasan
mediator ini, sehingga membantu dalam mengendalikan penyakit.
Obat penyelamat digunakan setelah serangan asma telah terjadi. Obat asma ini tidak
menggantikan obat pengontrol asma. Jangan hentikan obat pengontrol asma selama
serangan asma.
Obat Agonis beta kerja cepat adalah obat penyelamat yang paling sering digunakan.
Beta agonis kerja cepat bekerja cepat, dalam beberapa menit, untuk membuka saluran
pernapasan, dan memberi efek biasanya selama empat jam. Salbutamol Sulfat adalah
obat asma kerja cepat yang paling sering digunakan dari golongan obat agonis beta.
Antikolinergik adalah golongan lain obat asma yang berguna sebagai obat
penyelamat selama serangan asma. Obat antikolinergik inhalasi membuka saluran
pernapasan, mirip dengan aksi agonis beta. Antikolinergik mempunyai efek sedikit di
bawah agonis beta, tetapi efeknya berlangsung lebih lama daripada agonis beta. Obat
antikolinergik sering digunakan bersama dengan obat agonis beta untuk menghasilkan
efek yang lebih besar daripada efek tunggalnya.

Ipratropium bromide dalah obat

antikolinergik inhalasi saat ini yang digunakan sebagai obat asma penyelamat.
7. Diagnosis Banding dan Komplikasi Asma
1. Diagnosis banding
a. Bronkitis kronik
Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau
keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya
didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya
dimulai dengan batuk pagi hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya
kemampuan kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan
tanda-tanda cor pulmonal.
b. Emfisema paru

Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak
pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor,
pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto dada
menunjukkan hiperinflasi.
c. Gagal jantung kiri akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul
pada malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien tiba-tiba terbangun
pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk.
Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala gagal
jantung. Disamping ortopnea pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan
edema paru.
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, gagal
jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk-natuk yang
dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan,
pleural

friction,

irama

derap,

sianosis,

dan

hipertensi.

Pemeriksaan

elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara lain aksis jantung ke kanan.


e. Penyakit lain yang jarang
Seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliartritis nodusa.
2. Komplikasi asma
a. Pneumothoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Atelektasis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PPOK

1. Definisi
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) atau COPD (Chronic Obstructive
Pulmonary Disease) ditujukan untuk mengelompokkan penyakit-penyakit yang mempunyai
gejala berupa terhambat nya arus udara pernafasan. Masalah yang menyebabkan
terhambatnya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran pernafasan maupun pada
parenkim paru.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease/COPD adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang
disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis. PPOK ditandai oleh hambatan aliran udara
di saluran nafas yang bersifat progresif non-reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
a. Bronkitis kronik
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya.
b. Emfisema
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tandatanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang
tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK. (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia)
2. Faktor Resiko
1. Genetik.

PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan merupakan contoh klasik
interaksi gen dan lingkungan. Faktor resiko genetik yang telah diketahui adalah
defisiensi alpha-1 antitrypsin, suatu penghambat yang bersikulasi dari protease
serine.1
2. Merokok.
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala dan gangguan
fungsi paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka mortalitas PPOK yang lebih
besar. Resiko PPOK pada perokok, bergantung pada banyaknya rokok yang
dikonsumsi, usia pertama kali mulai merokok, jumlah total rokok yang dihisap
pertahun dan status merokok saat ini.
2. Debu dan Bahan Kimia Okupasi.
Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan faktor resiko
berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia dan debu organik dan anorganik serta
bau-bauan.
3. Polusi Udara Dalam Rumah.
Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi dengan baik, dapat
menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.
4. Polusi Udara Di Luar Rumah.
Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan PPOK tidak jelas, tetapi
tampaknya lebih kecil dibandingkan merokok. Polusi udara dari pembakaran hutan,
asap kendaraan bermotor dan asap-asap pabrik.
5. Stress Oksidatif.
Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang dikeluarkan secara
endogendari fagosit dan jenis sel lainnya, atau secara eksogen dari polusi udara atau
asap rokok. Akibat dari ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan maka
paru-paru mengalami stress oksidatif. Selain menghasilkan perlukaan langsung,
juga mengaktivase mekanisme molekuler yang menginisiasi inflamasi paru.
6. Infeksi.

Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran nafas, dapat juga
berperan dalam eksaserbasi. Akibatnya akan menyebabkan penurunan fungsi paru
dan menimbulkan gejala gangguaan pernafasan.
7. Status Sosioekonomi
8. Nutrisi.
9. Asma.
Pada orang dewasa dengan asma memeliki resiko 12x lipat lebih besar menderita
PPOK, dibandingkan orang dewasa tanpa menderita asma
10. Patofisiologi PPOK :
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,

terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan

terbanyak pada paru bagian bawah


Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

Konsep Patogenesis PPOK

Inhalasi Bahan Berbahaya

Inflamasi
Mekanisme
Perlindungan

Mekanisme
Perbaikan
Kerusakan Jaringan Paru

Penyempitan Saluran
Nafas dan Fibrosis

Destruksi Parenkim

Hipersekresi
Mukus

11. Klasifikasi
DERAJAT
Derajat 0 :

KLINIS
Gejala kronik (batuk, dahak)

FAAL PARU
Spirometri normal

beresiko
Derajat I :

Terpajan faktor resiko


Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%

PPOK Ringan
Derajat II A:

klinik (
VEP1 80% prediksi
Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%

PPOK Sedang

klinik

Derajat II B:

Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%

PPOK Sedang

klinik

Derajat III:

Gagal

50 % VEP1 80% prediksi

30 % VEP1 50% prediksi


napas

atau

gagal VEP1/KVP < 75%

PPOK Berat

jantung kanan

VEP1 30% prediksi

12. Diagnosis
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
b. Pemeriksaan Penunjang
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
a. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %.
b. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
c. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
a. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
b. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awal dan < 200 ml.
c. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen

- Ruang retrosternal melebar


- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
c. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total
(KPT)
- VR/KRF, VR/KPT meningkat
- Variabilitas Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktivitas, bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan
VEP1pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang
tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.

8. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
6. Tatalaksana
1.Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Yaitu menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Edukasi yang tepat
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup
walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian
edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan
sosial, kultural dan kondisiekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus
diberikanadalah:
1). Pengetahuan dasar tentang PPOK
2). Obat obatan, manfaat dan efek sampingnya
3). Cara pencegahan perburukan penyakit
4). Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5). Penyesuaian aktivitas.
2. Obat obatan
a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikandengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long
acting).
Macam macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaandapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama
pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak
(pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
a. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi
menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

b. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein.
Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin
e.Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang kental. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Gejala
Golongan Obat

Obat & Kemasan

Dosis

Tanpa gejala

Tanpa obat

Gejala intermiten
Agonis 2
(pada waktu aktivitas)

Inhalasi kerja cepat

Gejala terus menerus

Ipratropium bromida 2 4 semprot


20 gr
3 4 x/hari

Antikolinergik

Bila perlu

Inhalasi Agonis 2 Fenoterol


kerja cepat
100gr/semprot

2 4 semprot
3 4 x/hari

salbutamol
100gr/semprot

2 4 semprot
3 4 x/hari

Terbutalin
0,5gr/semprot

2 4 semprot
3 4 x/hari

Prokaterol
10gr/semprot

2 4 semprot
3 x/hari

Kombinasi terapi

Ipratropium bromid 2 4 semprot


20gr+salbutamol
3 4 x/hari
100gr persemprot

Pasien memakai
Inhalasi Agonis 2 Formoterol 6gr,
Inhalasi agonis 2 kerja kerja lambat (tidak 12gr/semprot
dipakai untuk
eksaserbasi )

1 2 semprot
2 x/hari tidak
melebihi 2
x/hari

Atau
timbul gejala pada
waktu malam atau pagi
hari

salmeterol
25gr/semprot

Teofilin

Teofilin lepas lambat 400


Teofilin/ aminofilin 800mg/hari 3
150 mg x 3 4x/hari 4 x/hari

Anti oksidan

N asetil sistein

Pasien tetap
Kortikosteroid oral Prednison
mempunyai gejala dan (uji
Metil prednisolon
atau terbatas dalam
kortikosteroid )
aktivitas harian
meskipun mendapat
pengobatan
bronkodilator
maksimal
Uji kortikosteroid
memberikan respons
positif

Sebaiknya pemberian
kortikosteroid inhalasi
dicoba bila mungkin
untuk memperkecil
efek samping

13. Terapi Oksigen

1 2 semprot
2 x/hari tidak
melebihi 2
x/hari

Inhalasi
Kortikosteroid

600mg/hr
30 40mg/hr
selama 2mg

Beklometason 50gr, 1 2 semprot


250gr/semprot
2 4 x/hari
Budesonid 100gr,
250gr,
400gr/semprot

200 400gr
2x/hari maks
2400gr/hari

Flutikason
125gr/semprot

125 250gr
2x/hari maks
1000gr/hari

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan


kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untukmempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ organ lainnya.
Manfaat oksigen :
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktivitas
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi :
- PaO2< 60 mmHg atau Sat O2 < 90%
- PaO2 diantara 55 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan
P pulmonal, Ht >55% dan tanda tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit

paru lain
Macam terapi oksigen :
Pemberian oksigen jangka panjang
Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi

oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal
napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut
di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita
PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy = LTOT)
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian
oksigen dengan nasal kanul 1 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan
mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.

Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah
atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen
-

Nasal kanul
Sungkup venturi
Sungkup rebreathing
Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi

analisis gas darah pada waktu tersebut.


4

Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal
napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi
5

Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi
akibat kerja ototpernafasan yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnea
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas
PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas
darah.
8. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas
hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah
mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :

- Simptom pernapasan berat


- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualitas hidup yang menurun
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisik, psikososial, dan latihan
pernapasan.
9. Diagnosis Banding

Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pascatu
berculosis dengan lesi paru yang minimal.

Pneumotoraks
Gagal jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.

Perbedaan Patogenesis PPOK dan Asma


PPOK

Asma

Bahan Berbahaya

Bahan Sensitif

Mediator Inflamasi
CD4 + T-Limposit
Makrofag Neutrofil

Mediator Inflamasi
CD4 + T-Limposit
Eosinopil

Ireversibel

Hambatan Aliran Udara

Reversibel

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya
berbeda.
Asma
Timbul pada usia muda
++
Sakit mendadak
++
Riwayat Merokok
+/Riwayat atopi
++
Sesak dan Mengi berulang
+++
Batuk kronik berdahak
+
Hipereaktivitas bronkus
+++
Reversibilitas obstruksi
++
Variabilitas harian
++
Eosinofil sputum
+
Neutrofil sputum
Makrofag sputum
+
DAFTAR PUSTAKA

PPOK
+++
+
+
++
+
_
+
+
_

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.
2. OByrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global
Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006.
3. GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension. www. Ginaasthma.org.2010.
4. Suyono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI
5. Konsensus PDPI. 2011. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta:PDPI

6. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno


B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
7. PPOK. ETHICAL DIGEST, Semijurnal Farmasi dan Kedokteran no 37 Maret 2007
8. Konsensus PDPI. 2011. PPOK. Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta:PDPI

Anda mungkin juga menyukai