Anda di halaman 1dari 24

21

BAB II
TINAJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah
1. Sejarah Jurnalistik
Sejarah jurnalistik dimulai ketika tiga ribu tahun yang lalu, Firaun di Mesir,
Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya di provinsi-provinsi
untuk memberitahukan apa yang terjadi di ibu kota. Di Roma 2000 tahun yang lalu Acta
Diurna (tindakan-tindakan harian), tindakan-tindakan senat, peraturan-peraturan
pemerintah, berita kelahiran dan kematian ditempelkan di tempat-tempat umum. Selama
Abad Pertengahan di Eropa, siaran berita yang ditulis tangan merupakan media
informasi yang sangat penting bagi para usahawan.
Keperluan Untuk mengetahui apa yang terjadi merupakan kunci lahirnya
jurnalisme selama berabad-abad. Tetapi, jurnalisme itu baru benar-benar dimulai ketika
huruf-huruf untuk percetakan mulai digunakan di Eropa pada sekitar tahun 1440.
Dengan mesin cetak, lembaran-lembaran berita dan pamflet-pamflet dapat dicetak
dengan kecepatan yang lebih tinggi, dalam jumlah yang lebih banyak, dan dengan
ongkos yang lebih rendah35.
Sejarah Jurnalistik Indonesia tidak lepas dari sejarah jurnalistik di dunia.
Perkembangan jurnalistik di Indonesia juga tidak luput dari pengaruh jurnalistik di
negara lainnya. Perkembangan jurnalistik di Indonesia selalu berkaitan erat dengan
pemerintahan dan gejolak politik yang terjadi. Jurnalistik di Indonesia mulai masuk
pada masa pergerakan.
35

Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat,op.cit, hlm 16

22

Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari
mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu
penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Di Indonesia, perkembangan kegiatan
jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun
menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur,
Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit. Pada masa pendudukan
Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya
ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar
Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia
menggunakan Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai media komunikasi. Menjelang
penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun
1962 inilah Televisi Republik Indonesia (TVRI) muncul dengan teknologi layar hitam
putih.
Di

masa

kekuasaan

presiden

Soeharto,

banyak

terjadi

pembreidelan

(pemberangusan) media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo
merupakan dua contoh nyata dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui
Departemen Penerangan (Deppen) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Titik kebebasan Pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto
sebagai Presiden RI, pada 1998. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI
tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi kewartawanan. Kegiatan jurnalisme

23

diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan
Dewan Pers36.

2. Sejarah Pers
Sebagai negara yang relatif terbilang muda dibanding dengan banyak negara maju
lainnya, Pers Indonesia mau tidak mau dalam sejarah perjalannya juga menerima
pengaruh dari negara-negara yang lebih dahulu mengenal budaya Pers. Mula-mula
negara-negara Eropa yang menjajah di berbagai tempat, mulai menyebarkan pers
modern itu pada bangsa jajahannnya. Dari sana negara-negara jajahan mulai mengenal
pers dan lama kelamaan bisa pula mengeluarkan penerbitkan berkala37.
Perubahan dalam tahun 1965, 1966 dan tahun-tahun berikutnya, dari Orde Lama
ke Orde Baru, juga disrtai berubahnya sosok Pers. Orde Baru adalah sebutan bagi
masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde
Lama yang merujuk era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat
koreksi total atas penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama Soekarno38.
Pers bebas atau lebih bebas dari periode sebelumnya. Tetapi perubahan dalam
tahun enam puluhan itu berbeda secara subtansial dengan perubahan tahun 1998 dan
tahun-tahun selanjutnya.
Perubahan dari Orde lama ke Orde Baru disertai eforia kebebasan dan demokrasi,
namun segera dan tegas sosoknya. Yakni kembali ke pelaksanaan Undang-undang Dasar
Negara 1945 secara murni dan konsekuen. Kini, reformasi disertai perubahan Undang-

36

Asnawin, Pengertian Dan Sejarah


Jurnalistik,http://pedomanrakyat.blogspot.com/2008/05/pengertian-dan-sejarah-jurnalistik.html, di ambil tanggal
12 Februari 2012, PK.18.45 WIB
37
Edy Susanto, M. Taoufik Makarao, dan Hamid Syamsudin, Hukum di Pers Indonesia, PT Rineka Cipta,
Jakarta, 2010, hlm 8
38
Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.
119

24

undang Dasar lewat amandemen. Dulu Undang-undang 1945 tetap tidak tersentuh, kini
justru diteliti dan dianalisa kembali, kecuali Pembukaannya.
Reformasi tahun 1998 membawa perubahan besar dan cukup mendasar. Seluruh
negeri bergerak dan bergejolak. Hampir-hampir seperti dinamikanya revolusi, tetapi
dinamika revolusi yang diberi format dan saluran reformasi Perubahan tahun 1998
sunguh-sunguh perubahan besar yang bahkan menyentuh sendi dan tata kehidupan
masyarakat bangsa dan bernegara. Perangkat-perangkatnya juga ikut disentuh,
dirombak, diubah, direposisikan kembali.
Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan
kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan Pers ikut merugikan posisinya dalam
pemilihan Presiden. Urusan ijin terbit dipermudah dan diperlancar. Oleh Undangundang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers39.
Sama halnya dengan di banyak negara jajahan lainnya, kisah Pers di Indonesia
merupakan cerita penekanan yang pahit. Sejak pertama menampakan dirinya, sampai
kini Pers Indonesia terus bergerak di bawah bayang-bayang tekanan. Sepanjang tahun
1980 misalnya, fungsi Pers masih mengalami penciutan. Kendati begitu, sampai kini
Pers di Indonesia tetap dapat bertahan sebagai sistem komunikasi40.
3. Sejarah Dewan Pers
Dewan Pers pertama kali dibentuk pada tahun 1968. Pembentukannya
berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno, tanggal 12 Desember 1966. Dewan Pers
kala itu, sesuai pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No.11/1966, berfungsi mendampingi
pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
Sedangkan Ketua Dewan Pers dijabat oleh Menteri Penerangan (pasal 7 ayat 1).

39
40

Jakob Oetama, Hukum, Etika Dan Kemerdekaan Pers, Jakarta 6 Juni 2000 hlm. 1-3
Ibid hlm. 9

25

Pemerintah Orde Baru melalui Undang-undang No.21 Tahun 1982 Tentang perubahan
atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
Fungsi Dewan Pers Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 yang ditandatangani Presiden Soeharto
pada tanggal 20 September 1982, tidak banyak mengubah keberadaan Dewan Pers.
Kedudukan dan fungsinya sama, menjadi penasihat pemerintah, khususnya bagi
Departemen Penerangan. Sedangkan Menteri Penerangan tetap merangkap sebagai
Ketua Dewan Pers.
Perubahan yang terjadi, menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tersebut,
ialah penyebutan dengan lebih jelas keterwakilan berbagai unsure dalam keanggotaan
Dewan Pers. Pasal 6 angka 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 Menyatakan,
Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil pemerintah dan wakil
masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain. Undangundang sebelumnya hanya menjelaskan anggota Dewasn Pers terdiri dari wakil-wakil
organisasi pers dan ahli-ahli dalam bidang pers.
Perubahan pundamental terjadi pada tahun 1999, seiring dengan terjadinya
pergantian kekuasaan Orde Baru ke Reformasi. Melalui Undang-undang Nomor 40
Tahun 1999 Tentan Pers yang diundangkan pada tanggal 23 September 1999 dan
ditandatangani oleh Presiden Baacharudin Jusuf Habibie, Dewan Pers berubah menjadi
Dewan Pers (yang) Independen. Pasal 15 angka 1 Undang-undang No 40 Tahun 1999
Tentang Pers menyatakan, dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers (yang) Independen.
Fungsi Dewan Pers Independen (selanjutnya disebut Dewan Pers saja) tidak lagi
menjadi penasihat Pemerintah, tetapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural
antara Dewan Pers dengan Pemerintah diputus, terutama sekali dipertegas dengan

26

dibubarkannya Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurahman Wahid. Tidak ada


lagi wakil Pemerintah dalam keanggotaan Dewan Pers seperti yang berlangsung semasa
Orde Baru. Meskipun pengangkatan anggota Dewan Pers tetap melalui Keputusan
Presiden, namun tidak ada lagi campur tangan Pemerintah terhadap institusi maupun
keanggotaan Dewan Pers yang Independen. Jabatan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers
tidak lagi dicantumkan dalam Keputusan Presiden namun diputuskan oleh seluruh
anggota Dewan Pers dalam Rapat Pleno41.
Dewan Pers yaitu untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan
kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang Independen. Dewan Pers
melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut42 :
a. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
b. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik
c. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
d. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
e. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan peraturan
di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
f. Mendata perusahaaan Pers
B. Pengertian
1. Pengertian Jurnalistik
Jurnalistik berasal dari bahasa Latin yaitu diurnal, berarti harian atau tiap hari.
Acta diurnal adalah catatan harian atau pengumuman tertulis setiap hari di papan
pengumuman tentang kegiatan senat di jaman Kaisar Romawi Julius Caesar pada abad
60 sebelum masehi43. Sedangkan dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan atau
laporan harian. Secara sederhana, definisi jurnalistik adalah kegiatan yang berhubungan

41

Edy Susanto, M. Taoufik Makarao, dan Hamid Syamsudin, op, cit, hlm 137
42

Pasal 15 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers


. A. Muis, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers Bunga Rampai Masalah Komunikasi Jurnalistik etika
dan Hukum Pers, PT Mario Grafika, Jakarta, 1996, hlm.13
43

27

dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari44. Jadi jurnalistik bukanlah pers atau media
massa, karena jurnalistik merupakan sesuatu yang memungkinkan pers atau massa
bekerja dan di akui eksitensinya dengan baik45.
Sebagaimana mengutip pendapat Adinegoro dalam buku Haris Sumadria bahwa
definisi jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi
perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya atas seluas-luasnya46.
Menurut Astrid S. Susanto jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan atau
pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari47. Sedangkan menurut Djen
Amar, kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khlayak
seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya48.
Disamping itu kita perlu mengetahui penggolngan jurnalistik dapat dibagi atas49 :
a. Jurnalistik media cetak (news and magazine journalism), yang meliputi
jurnalistik surat kabar harian, jurnalistik surat kabar mingguan, jurnalisitik
tabloid mingguan, dan jurnalistik majalah.
b. Jurnalistik media elektronik audikatif, yang meliputi radio siaran.
c. Jurnalistik media elektronik audiovisual yang meliputi jurnalistik televisi
siaran dan jurnalistik media on line (internet)
McDaugall50,menyebutkan bahwa jurnalisme adalah kegiatan menghimpun
berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting dimana dan
kapan pun. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis. Tak peduli apa
pun perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan baik sosial, ekonomi, politik
maupun yang lainnya. Tak dapat dibayangkan, akan pernah ada saatnya ketika tiada
seorang pun yang fungsinya mencari berita tentang peristiwa yang terjadi dan

50

44
AS Haris Sumadria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature:Panduan Praktis Jurnalis
Professional, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2005, hlm.2
45
Ibid
46
Ibid, hal 3
47
Ibid
48
Ibid
49
Ibid, hal 4
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori & Praktik, op, cit, hlm.15

28

menyampaikan berita tersebut kepada khalayak ramai, dibarengi dengan tentang


penjelasan peristiwa itu.
2. Pengertian Wartawan
Pasal 1 angka 4 Undang-undang Tentang Pers mengatakan wartawan ialah orang
yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, wartawan diartikan sebagai orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun
berita untuk dimuat di surat kabar, majalah, radio, atau televisi 51. Dalam kamus lengkap
Inggris-Indonesia, Indonesia-inggris, kata wartawan diartikan journalist atau reporter52.
Menurut Jakob Oetama, bahwa pengertian wartawan adalah jenis pekerjaan yang
tidak saja berhubungan dengan perusahaan tempat dia (wartawan) bekerja, tetapi juga
dan terutama berhubungan dengan suatu publik pembaca53.
Wartawan sama dengan kaum professional lainnya seperti dokter, pengacara,
akuntan dan dosen. Untuk menekuni profesi-profesi tersebut, harus memiliki keahlian
khusus yang didasari pada ilmu pengetahuan dan keterampilan. Khusus wartawan,
disyaratkan memiliki kemampuan dan keterampilan menulis (bagi wartawan media
cetak dan media online) serta kemampuan berbicara (bagi wartawan elektronik)54.
Dalam persepsi diri para wartawan sendiri istilah professional memiliki tiga arti
:pertama, professional adalah kebalikan dari amatir, kedua, sifat pekerjaan wartawan
menuntut pelatihan khusus, ketiga, norma-norma yang mengatur prilakunya dititik
beratkan pada kepentingan khlayak pembaca. Selanjutnya, terdapat dua norma yang
dapat diidentifikasikan, yaitu : pertama, norma teknis (keharusan menghimpun berita
dengan cepat, keterampilan menulis dan menyunting dsb), dan kedua, norma etis
51

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
1990, hlm. 387
52
Rudy Haryono Dan Mahmud Mahyong, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia,Indonesia-inggris, Cipta
Media, Surabaya, hlm.264
53
Jacob Oetama, Pers Indonesia (Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus), Buku Kompas,
Jakarta, 2001, hlm.80
54

Zaenuddin HM, The Journalist, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2011 hlm 17

29

(kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggungjawab, sikap tidak


memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif dan lain-lain yang semuanya harus tercermin
dalam produk penulisannya)55.
Oleh karena itulah wartawan sebagai professional dalam menjalankan tugasnya
dibimbing oleh kode etik. Ini sama halnya dengan profesi dokter, pengacara, atau
akuntan yang senantiasa berpijak pada kede etik mereka dalam melaksanakan
pekerjaannya. Dalam halnya wartawan Indonesia, kode etik yang saat ini dikenal adalah
Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Beruntung mereka yang menjalani karir jurnalistik di surat kabar yang memiliki
reputasi dan senantiasa berpedoman kepada kode etik, sehingga kepercayaan
masyarakat yang diberikan kepada surat kabarnya meringankan pekerjaan di lapangan.
Reputasi baik ini sudah tentu tidak didapat begitu saja. Reputasi sebuah surat kabar
diperoleh karena sikap, prilaku dan peforma yang diperlihatkan kepada public
pembacanya. Hal ini tidak aka nada apabila tidak terlebih dahulu ditanamkan dengan
konsisten selama bertahun-tahun oleh para wartawan senior surat kabar bersangkutan
sejak awal-awal pendiriannya56.
3. Pengertian Organisasi Wartawan
Pada umumnya, kalangan professional memiki organisasi, seperti Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikadin (Ikatan Advokat
Indonesia) dan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI). Kalangan wartawan Indonesia
juga membentuk organisasi yang sudah cukup popular sejak lama yakni Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI).
Melalui PWI lah para wartawan Indinesia mengatur berbagai masalah yang terkait
dengan profesinya. Misalnya, memecahka msalah atau kasus-kasus pers yang dialami

55
56

Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori & Praktik, op, cit, hlm 115
Ibid hlm 116-117

30

wartawan, melindungi dan membela wartawan yang mengalami kasus kekaryawanan di


media tempatnya bekerja, serta meningkatkan skill dan kemampuan profesi para
anggota PWI. Organisasi PWI berpusat di Jakarta dengan sejumlah cabangnya di
daerah-daerah.
Pada masa kekuasaan Orde Baru, PWI merupakan organisasi tunggal bagi
wartawan Indonesia. Yang tidak menjadi anggota PWI, tidak diakui sebagai wartawan.
Namun, sejak masa reformasi, PWI tidak lagi menjadi organisasi tunggal, dilakukan
deregulasi pers. Hal ini dilaancarkan oleh Menteri Penerangan (ketika itu) Junus
Yosfiah, yang salah satunya telah mengubah tatanan organisasi pers. Melalui SK
Menpen No.133/SK/Menpen/1998, kedudukan PWI yang semasa Orde Baru ditetapkan
sebgai wadah tunggal untuk organisasi wartawan, berakhir sudah. Dengan demikian,
terbuka peluang bagi masyarakat pers untuk membangun organisasi pers diluar PWI.
Maka itu, bermunculah organisasi-organisasi baru bagi wartawan Indonesia.
Berdasarkan inventarisasi Departemen Penerangan (kini dibawah naungan Menteri
Komunikasi dan Informasi, Menkominfo), hingga 7 April1999, tercatat 24 organisasi
wartawan berdiri. Wartawan televise, yang pada era tunggal bergabung dengan PWI,
kini mendirikan organisasi sendiri, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Pengelompokan wartawan tidak hanya didasarkan pada perbedaan jenis media massa,
tetapi juga pada bidang liputanya.
Kelompok wartawan yang biasa meliput masalah-masalah ekonomi mendirikan
Asosiasi Wartawan Ekomomi (AWE). Muncul pula organisasi wartawan dengan dasar
keagamaan, yaitu Himpunan Wartawan Muslim Indonesia (Himawi) dan Asosiasi
Wartawan Muslim (Awam) Indonesia. Kalangan wartawan foto tidak mau ketinggalan
dengan membentuk Persatuan Wartawan Foto Republik Indonesia (PWFI) dan Pewarta
Foto Indonesia (PFI). Para penyiar pun membentuk Himpunan Praktisi Penyiaran

31

Indonesia (HPPI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). PWI sendiri kemudian
mendapat tandingan organisasi sempalannya, yakni PWI Reformasi, meski organisasi
tandingannya itu kini tak terdengar lagi kabar beritanya57.
4. Pengertian Oknum Wartawan Ilegal
Menurut Kamus Populer (Ilmu Pengetahuan) oknum adalah orang atau anasir,
pelaku yang kurang baik58. Oknum adalah orang berstatus resmi sebagai karyawan sebuah
lembaga, namun tindak-tanduknya katanya berada di luar koridor aturan dan kebijakan lembaga.
Oknum laksana musang berbulu domba yang keberadaannya seperti duri dalam daging dan
beraksi dengan menggunting dalam lipatan.
Oknum punya nilai strategis bagi organisasi. Berkat oknum, kebobrokan organisasi akan
tetap tersamar. Berkat oknum, caci maki bisa dibendung. Berkat oknum, perkara dapat cepat
selesai. Namun walaupun punya jasa besar bagi organisasi, yang namanya oknum besar
kemungkinan akan ditendang, dipecat secara tidak hormat oleh organisasi. Organisasi lepas
tangan, untuk tidak mengatakan cuci tangan alias lepas tanggung jawab 59.

Beberapa tahun terakhir ini telah beredar dengan sebutan wartawan amplop yaitu
wartawan beneran, dengan kata lain memiliki media tempat bekerja. Mereka selalu
menerima, bahkan terkadang mencari uang dari narasumber. Pokoknya, mereka punya
hobi mencari keuntungan pribadi dengan status kewartawanannya.
Orang-orang seperti itu bukanlah wartawan melaikan oknum- oknum yang
menyalah gunakan profesi wartawan, merekalah yang dapat merusak citra profesi
wartawan60.
5. Pengertian Pers

57
58

Zaenuddin HM, op, cit, hlm. 66-67


S. Hassan Masdoeki, Kamus Populer (Ilmu Pengetauan), Pustaka Amani, Jakarta, 1997, hlm. 311

59

Andri, Tajuk:Kebijakan Patgulifat, http:deltafmjakarta.com/index.php?option=com


content&view=artcle&id=527:tajukkebijakan-patgulipat&catid=1:latest-news&Itemid=27, diambil tanggal 22
Februari 2012, PK.22.00 WIB
60

Zaenuddin HM, op, cit, hlm.62

32

Dalam rentang waktu peradaban manusia, Pers merupakan salah satu sarana
perubahan dan kemajuan masyarakat dan negara. Hal ini dikarenakan pers berfungsi
menyebarluaskan informasi, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan
aspirasi rakyat, dan meluaskan komunikasi socsal dan partisipasi masyarakat. Demikian
signifikansinya fungsi Pers maka seyogyanya Pers harus mendapat tempat dan
perlakuan yang sama dalam mengembangkan jati dirinya.
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia 61.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia62, Pers diartikan :
1. Usaha Percetakan dan Penerbitan.
2. Usaha pengumpulan data dan penyiaran berita.
3. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio.
4. Orang yang bergerak dalam penyiaran berita.
5. Medum penyiaran berita sperti surat kabar, majalah, dan radio,
televisi, dan film.
Sedangkan dalam kamus hukum pers diartikan sebagai usaha-usaha yang
berhubungan dengan percetakan, penerbitan, kewartawanan, penyiaran berita di surat
kabar, majalah radio, film dan televisi63.
Oemar Seno Adji member definisi Pers yang dapat ditinjau dari arti sempit dan
arti luas yaitu64:
1. Pers dalam arti sempit mengandung di dalamnya penyiaran-penyiaran pikiran,
gagasan ataupun berita dengan jalan kata tertulis

61
62

63
64

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers


Edy Susanto, M. Taoufik Makarao, dan Hamid Syamsudin, op.cit, hlm 8
Zainul Bahry, Kamus umum(khususnya bidang hukum dan politik), Angkasa, Bandung,1996, hlm. 245
Oemar Seno Adji, mass Media dan Hukum, Cet 2, Erlangga, Jakarta, 1977, hlm.13

33

2. Pers dalam arti luas memasukan di dalamnya semua mass media komunikasi
yang memancarkan pikiran dan perasaaan seseorang baik dengan kata-kata
tertulis maupun dengan kata-kata lisan
Leksikom komunikasi, memberikan definisi yang serupa tentang Pers dengan
kedua definisi di atas sebagai berikut65:
1. Usaha percetakan atau penerbitan
2. Usaha pengumpulan dan penyiaran berita
3. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan televisi
Pers mempunyai segi lain, bukan sekedar mencerminkan apa yang terjadi secara
reaktif, secara paska kejadian, post facktum, tetapi melihat lebih dulu, merencanakan
dan mengagendakan. Pers bukan saja riding the news, tetapi, sebutlah sekedar untuk
membedakan, making the news, planning the news. Dari sisi inilah, pers dikatakan tidak
sekedar terbawa oleh peristiwa dan masalah, tetapi semacam membuat, menentukan
atau lebih proposional mempengaruhi agenda66.
6. Asas Pers
Pasal 2 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers menyatakan,
kemerdekaan pers ialah suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum67.
Demokrasi ialah Bentuk atau system pemerintahan yang segenap rakyat turut serta
memerintah dengan perantaraan wakilnya (pemerintah dan rakyat), gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan
yang sama bagi semua warga negara 68. Keadilan berasal dari kata adil yaitu tidak berat
sebelah, tidak memihak. Keadilan merupakan sifat (perbuatan, perlakuan, dsb) yang

65

Eko Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, Pustaka Bumi Qurasy, Bandung, 2004,
hlm.39
66
Jakob Oetama, Kebebasan Pers Dalam Masyarakat Transisi, Jakarta 7 Agustus 2000, hlm. 8
67
Edy Susanto, M. Taoufik Makarao, dan Hamid Syamsudin, op, cit, hal.38
68
Ibid

34

adil69. Supremasi diartikan sebagai kekuasaan tertinggi (teratas). Jadi supremasi hukum,
dimana hukum merupakan kekuasaan tertinggi atau kekuasaan teratas70.
7. Fungsi Pers
Pasal 3 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 menentukan bahwa fungsi pers
adalah sebagai berikut71 :
a. Pers nasional mempunyai fungsi sebgai media informasi, pendidikan, hiburan,
dan control sosial.
b. Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers berfungsi sebagai lembaga
ekonomi.
Sedangkan Kusumaningrat mengemukakan fungsi pers tersebut adalah sebagai
berikut72 :
a. Fungsi Informatif
Fungis informative merupakan fungsi memberi informasi melalui berita secara
teratur kepada khlayak. Pers menghimpun berita yang dianggap berguna dan
penting bagi orang banyak dan kemudian menulisnya.
b. Funsi Kontrol
Pers yang bertanggung jawab tentu akan akan masuk ke balik ke panggung
kejadian, menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan. Pers harus
meberitakan apa yang berjalan baik dan berjalan tidak baik.
C. Dasar Hukum
1. Undang-undang Tentang Pers
Dasar pertimbangan dilakukannya reformasi hukum pers ada lima, yang dapat
dilihat di bagian konsiderans menimbang dalam undang-undangnya73.
Pertama, kemerdekaan Pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan
menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan
69

Ibid, hlm.39
Ibid
71
Ibid
72
Mondry, Pemahaman Teori Dan Pratik Jurnalistik, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm.80-83
73
Hinca IP Pandjaitan, Gunakan Hak Jawab, Hak Koreksi & Kewajiban Anda, Om-budsman
Memfasilitasinya, Tim Ombudsman Jawa Pos Grup, Jakarta, 2004, hlm. 4 - 5.
70

35

pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar


1945 harus dijamin.
Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang demokratis,
kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak
memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang
diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan
umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ketiga, Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan
pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan
peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional,
sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dalam campur
tangan dan paksaan dari mana pun.
Keempat, karena pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kelima, karena Undang-undang Pers Lama sudah tidak sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman.
Selain kelima dasar pertimbangan di atas, dalam Penjelasan Umum Undangundang Pers disebutkan enam pokok pikiran yang dirumuskan dalam membentuk
Undang-undang Pers74.
Pertama, agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28
Undang-undang Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-undang Pers.
Kedua, adanya keyakinan bahwa dalam kehidupan yang demokratis itu
pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang
transaparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud.
Ketiga, dipahami bahwa pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan
menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia

74

Ibid, hlm. 6-8

36

(HAM) yang dijamin dengan Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
No. XVII/MPR/1998 Tentang HAM.
Keempat, diyakini bahwa pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat
penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi
nepotisme (KKN), maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Kelima, dalam
melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, Pers menghormati hak asasi
setiap orang, karena itu dituntut Pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh
masyarakat.
Keenam, untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, Undang-undang
Pers ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Senada dengan kelima dasar pertimbangan dan keenam pokok pikiran
diundangkannya Undang-undang Pers di atas, pada akhir bulan April 2004 Komisi
Konstitusi (KK) setuju memasukkan perlindungan kebebasan pers di dalam UUD 1945,
dan akan diatur dalam Pasal 28 huruf G. Bunyi rumusan pasal yang disepakati akan
masuk dalam Pasal 28 huruf G UUD 1945 itu adalah, negara melindungi kebebasan
Pers dan kebebasan menyatakan pendapat. Kebebasan Pers adalah bagian dari hak azasi
manusia yang harus diakui dan dilindungi dalam konstitusi. Penyebutan secara eksplisit
ini sangat penting, dan dimaksudkan agar pemerintah atau parlemen yang melaksanakan
konstitusi tidak seenaknya menjabarkan perlindungan kemerdekaan pers sesuai dengan
politik hukum penguasa saat itu.
Seperti sudah disebutkan di atas, Undang-undang Pers diundangkan pada tahun
1999, sedangkan Komisi Konstitusi baru pada akhir April 2004 menyetujui
dimasukkannya perlindungan negara atas kebebasan Pers di dalam Undang-udang 1945.
Undang-undang Pers menggunakan istilah kemerdekaan Pers, dan Komisi Konstitusi

37

menggunakan istilah kebebasan Pers. Dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya tidak ada
perbedaan prinsip antara istilah kemerdekaan Pers dengan istilah kebebasan Pers. Istilah
yang dipergunakan secara normatif adalah kemerdekaan Pers, tetapi dalam bahasa lisan,
lebih suka digunakan istilah kebebasan Pers. Kemerdekaan Pers adalah kebebasan Pers,
dan sebaliknya kebebasan Pers adalah kemerdekaan Pers. Kemerdekaan Pers dijamin
sebagai hak asasi warga negara, tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran, dan sebagai jaminan kemerdekaan Pers, Pers nasional
mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Kemerdekaan Pers dengan demikian akan disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 28
huruf G Undang-undang 1945, dan dalam Undang-undang Pers.
2. Kode Etik Jurnalistik
Pasal 7 angka 2 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
menerangkan, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Menindaklanjuti
mengenai Kode Etik Jurnalistik ini, Dewan Pers telah mengeluarkan peraturan Dewan
Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers
Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan
Pers. Dalam lampiran peraturan Dewan Pers tersebut dikatakan75 :
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi dan pers adalah hak asasi manusia yang
dilindungi Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan deklarasi Universal
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan Pers ialah sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi
kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam
mewujudkan kemerdekaan per situ, wartawan Indonesia juga menyadari adanya
kepentingan bangsa, tanggungjawab social, keberagaman masyarakat dan normanorma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati has asasi setiap orang, karena itu pers dituntut professional dan
terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan
memenuhi hak public memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia
memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam
75

Edy Susanto, M. Taoufik Makarao, dan Hamid Syamsudin, op, cit, hlm 88

38

menjaga kepercayaan public dan menegakan integeritas serta profesionalisme.


Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik
Jurnalistik.
Selanjutnya dalam pasal 1 Kode Etik Jurnalistik dikatakan, wartawan Indonesia
bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad
buruk. Penafsiran pasal ini menguraikan76 :
a. Independen, berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati
nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk
pemilik perusahaan pers.
b. Akurat, berarti bias dipercaya benar, sesuai dengan keadaan objektif ketika
peristiwa terjadi.
c. Berimbang, berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk, berarti tidak ada niat secara sengaja untuk menimbulkan
kerugian pihak lain.

D. Perlindungan Hukum.
Pengertian Perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan
sebagainya) memperlindungi. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pengertian perlindungan adalah segala
upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh
pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak
lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Sedangkan perlindungan yang tertuang dalam PP No.2 Tahun 2002 Tentang Tata
Cara Perlindungan Korban Dan saksi Dalam Pelanggaran Hak asasi Manusia adalah
suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat
keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan
saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan
76

Ibid hlm. 89

39

pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang


pengadilan77.
Hukum menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto adalah :
Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.
Menurut R. Soeroso hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang
berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan
menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya 78.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Pengertian hukum yang memadai harus tidak
hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga
(institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan79.
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh yang
berwenang yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karenanya harus di taati oleh
masyarakat tersebut, pelanggaran terhadapnya dikenakan sanksi-sanksi. Jadi dengan
demikian pegertian hukum meliputi unsur-unsur80:
1. Peraturan-peraturan dari yang berwenang.
2. Mengurus tata tertib.
3. Harus ditaati.
4. Pelanggaran dan sanksi hukum
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana
77

Prasko, Definisi Perlindungan Hukum, http://www.prasko.com/2011/02/pengertian-perlindunganhukum.html, diambil tanggal 22 Februari 2012, PK.23.00 WIB
78
Ibid
79
Ibid
80
Zainul Bahry, Kamus umum(khususnya bidang hukum dan politik), Angkasa, Bandung 1996, hlm.98

40

hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan


kedamaian81.
Philipus Hadjon82 membedakan dua macam perlindungan hukum bagi rakyat,
yaitu: perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif. Pada
perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Dengan demikian, perlindungan hukum
yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa sedangkan sebaliknya
perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang
didasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum
yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil
keputusan yang didasarkan pada diskresi.

dengan pengertian yang demikian,

penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan umum di Indonesia


termasuk kategori perlindungan hukum yang represif; demikian juga halnya dengan
peradilan administrasi negara andaikata satu-satunya fungsi peradilan administrasi
negara adalah fungsi peradilan(justitiele functie-judical function).
Dalam ilmu Hukum terdapat beberapa pengertian dari hukum yang dijadikan
bahan rujukan yang konkret terhadap pengertian perlindungan hukum bagi wartawan,
meliputi definisi hukum, sifat dan tujuan hukum pada umumnya. Menurut J.C.T.
Simorangkir, SH Hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan

81

Prasko, op, cit


Kusumayudha, Oka, Pemasyarakatan Pers Nasional Sebagai Pers Pancasila, Penerbit Departemen
Penerangan RI,Jakarta, 1987.hlm.1-3
82

41

resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi mengakibatkan


timbulnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu83.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun1999, bahwa : Dalam melaksanakan
profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Yang dimaksud dengan
Perlindungan Hukumadalah jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau
masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan
peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
E. DELIK PERS
Secara sederhana, delik pers dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dapat
dipidana (strafbaarfeit) yang dilakukan dengan atau menggunakan Pers. Dengan kata
lain, delik Pers dapat diartikan sebagai perbuatan pidana baik kejahatan ataupun
pelanggaran yang dilakukan dengan atau menggunakan pers84.
Umar Senoadji membedakan pers dalam arti sempit dan luas. Pers dalam arti
sempit adalah media cetak, sedangkan pers dalam arti luas memasukkan di dalamnya
semua bentuk media (termasuk media elektronik: radio dan televisi)85. Bagi beberapa
ahli hukum, istilah delik pers sering dianggap bukan suatu terminologi hukum, karena
ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa
delik pers bukanlah delik yang semata-mata dapat ditujukan kepada pers, melainkan
ketentuan yang berlaku secara umum untuk semua warga negara Indonesia. Akan
tetapi, karena jurnalis dan Pers merupakan kelompok pekerjaan yang definisinya
berdekatan dengan usaha menyiarkan, mempertunjukkan, memberitakan, dan
83

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm.36
84
R. Soebijakto, Delik Pers: Suatu Pengantar, Jakarta: IND-Hill, 1990, hlm. 1
85
Komariah E. Sapardjaja, Delik Pers dalam KUHP dan RKUHP dalam Kebebasan Pers
dan Penegakan Hukum, Jakarta: Dewan Pers, 2003, hlm. 45.

42

sebagainya, maka unsur-unsur delik Pers dalam KUHP itu akan lebih sering ditujukan
kepada jurnalis dan Pers. Hal ini disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar,
terlihat, atau terdengar di kalangan khalayak ramai dan bersifat umum86.
Tidak semua delik bisa dikategorikan sebagai delik Pers. Menurut Van Hattum,
yang dikutip oleh ahli Hukum Pidana Indonesia, Oemar Senoadji, ada tiga kriteria
yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana pers87:
1. Ia harus dilakukan dengan barang cetakan;
2. Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan;
3. Dari perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat
untuk menumbuhkan kejahatan, apabila kejahatan tersebut dilakukan dengan
suatu tulisan.
Dari tiga kriteria tersebut, kriteria yang ketiga adalah kriteria paling
penting, dan bisa membedakan mana delik yang termasuk ke dalam delik Pers dan
mana yang bukan. Kriteria yang ketiga secara khusus mengangkat suatu delik
mendapat sebutan delik pers dalam arti yuridis88.

Perbuatan pidana yang

dilakukan dengan menggunakan pikiran atau perasaan, tidak dapat dikatakan sebagai
delik Pers selama belum dipublikasikan. Sebagai contoh, meskipun tindakan membuka
atau mempelajari rahasia negara sudah termasuk dalam delik pidana, tetapi tindakan
itu belum bisa disebut sebagai delik Pers. Tindakan tersebut masuk dalam
kategori delik Pers jikalau seseorang mempublikasikan rahasia negara tersebut,
misalnya dimuat dalam media cetak dan atau media lainnya. Contoh lain, tindakan
fitnah atau mencemarkan nama baik, adalah tindakan pidana, tetapi tindakan ini baru
86

Umar Senoadji, Mass Media dan Hukum, Jakarta: Erlangga, 1973, hlm. 12-13.
Dikutip dalam Rudy S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers dalam RKUHP Nasional,
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RKUHP Nasional,
AJI, Jakarta, 24 Agustus 2006.
87

88

Ibid

43

masuk ke dalam delik Pers jikalau fitnah atau pencemaran nama baik itu
dipublikasikan (diberitakan lewat media). Selama fitnah atau pencemaran nama baik
itu tidak dipublikasikan, ia hanya menjadi delik pidana biasa.
Tidak kurang dari 36 pasal dalam KUHP berkaitan dengan delik Pers. Setiap
tindak pidana yang berkaitan dengan pengungkapan pikiran atau perasaan, selalu
disertai dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan publikasi atas pernyataan tersebut.
Sebagai contoh, tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden
(Pasal 134, 136 bis). Delik penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang
dirumuskan dalam pasal ini adalah delik yang menyertakan serangkaian tindakan
berupa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan dan gambar (Pasal
137)89.
Contoh lain adalah tindak pidana pencemaran nama baik terhadap orang yang
sudah meninggal (Pasal 320). Tindak pidana pencemaran nama baik terhadap orang
yang meninggal yang dirumuskan dalam pasal ini juga dilakukan lewat upaya
menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan gambar dan tulisan (Pasal 321).
Ilustrasi ini menunjukkan bahwa dalam KUHP terdapat banyak pasal mengenai
delik pers karena pidana yang berkaitan dengan pengungkapan pikiran atau perasaan
(misalnya, penghinaan, penghasutan, pencemaran nama, permusuhan, membuka
rahasia, dan sebagainya) selalu diikuti oleh pasal-pasal yang berkaitan dengan
publikasi pikiran atau perasaan tersebut lewat Pers. Dari berbagai dinamika Pers di
89

Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum melalui keputusan Mahkamah
Konstitusi RI No. 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.

44

atas, satu hal yang menarik dan selalu menjadi masalah bahkan mungkin momok
yang menakutkan bagi dunia Pers adalah delik Pers yang katanya identik dengan
upaya pengekangan kebebasan Pers. Kebanyakan delik Pers dimulai dari pengaduan
pihak yang merasa dirugikan atas sebuah pemberitaan kepada pihak yang berwajib
dengan menggunakan pasal "pencemaran nama baik" dalam KUHP. Hal inilah yang
dinilai kalangan Pers sebagai kriminalisasi terhadap Pers, di mana menggunakan
ketentuan KUHP, padahal sudah ada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Makna Delik Pers dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
dan Etika Profesi Wartawan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang
Pers diundangkan pada 23 September 1999. Dalam sejarah perkembangan Pers, telah
terjadi beberapa kali amandemen, yang mana sebelumnya ada Undang-Undang No 11
Tahun 1966, Undang-Undang No. 4 Tahun 1967, dan Undang-Undang No. 21 Tahun
1982.

Anda mungkin juga menyukai