Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otak merupakan organ penting dalam tubuh kita, segala aktifitas tubuh
dikoordinir oleh organ ini. Berbagai keadaan atau penyakit dapat
menimbulkan herbagai gangguan fungsi otak yang dapat menyerang baik
bagian sensorik, motorik maupun pusat-pusat vital dengan akibat kematian.
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik yang relative sering
terjadi. Epilepsy merupkan suatu gangguan fungsionalkronik dan banyak
jenisnya dan ditandai oleh aktivitas serangan yang berulang. Serangan
Kejang merupakan gejala atau manieftasi utama epilepsy dapat
diakibatkan kelainan fungsional. Serangan tersebut tidak terlalu lam, tidak
terkontrol serta timbul secara episodic. Serangan ini mengganggu
kelangsungan kegiatan yang sedang dikerjakan pasien pada saat itu. Serangan
ini berkaitan dengan pengeluaran implus neuron serebral yang berlebihan dan
berlangsung local.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.
Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna
narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik,
tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas
dari narkotik.Di Inggris, satu orang diantara 131 orang mengidap epilepsi.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan
bayi yang baru lahir. Untuk itu saya menyusun makalah ini dengan
mengambil judul Asuhan Keperawatan Epilepsi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definisi dari epilepsi?
1.2.2 Apa etiologi dari epilepsi?
1.2.3 Bagaimana klasifikasi dari epilepsi?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi dari epilepsi?
1.2.5 Bagaimana manifestasi klinis dari epilepsi?
1.2.6 Apa komplikasi dari epilepsi?
1

1.2.7 Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada epilepsi?


1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan pada epilepsi?
1.2.9 Bagaimana pencegahan epilepsi?
1.2.10 Bagaimana asuhan keperawatan pada epilepsi?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari epilepsi.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari epilepsi.
1.3.3 Untuk mengetahui klasifikasi dari epilepsi
1.3.4 Untuk mengetahui patofisiologi dari epilepsi.
1.3.5 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari epilepsi.
1.3.6 Untuk mengetahui komplikasi dari epilepsi.
1.3.7 Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik pada epilepsi.
1.3.8 Untuk mengetahui Bagaimana penatalaksanaan pada epilepsi.
1.3.9 Untuk mengetahui Bagaimana pencegahan epilepsi.
1.3.10 Untuk mengetahui Bagaimana asuhan keperawatan pada epilepsi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Epilepsi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat
reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi (Arif, 2000)
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya
kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan
aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik (Doenges, 2000).
Kesimpulan: gangguan kronik otak yang disebabkan lepasnya muatan
listrikabnormal di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya
kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan
aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik.
2.2 Etiologi
a. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak
ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan
atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area
jaringan otak yang abnormal. Faktor genetik dimana bila salah satu orang
tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi,
sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya
epilepsi menjadi 20%-30%.
b. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Faktor herediter , seperti

neurofibromatosis, hipoparatiroidisme,

hipoglikemia.
Faktor genetik seperti pada kejang demam
Kelainan congenital otak seperti atropi, agenesis korpus kolosum

Gangguan metabolic seperti hipoglikemia, hipoklasemia, hiponatremia,

hipernatremia
Infeksi seperti radang yang disebabkan virus atau bakteri pada otak dan

selaputnya seperti toksoplasmosis, meningitis


Trauma seperti contusio cerebri, hematoma sub arachnoid, hematoma

subdural
Neoplasma otak dan selaputnya
Kelainan pembuluh darah, malformasi dan penyakit kolagen
Keracunan oleh timbal, kamper/kapur barus, fenotiazin
Lain-lain seperti penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon,
degenerasi cerebral
Faktor precipitasi atau faktor pencetus atau yang mempermudah

terjadinya gejala

Faktor sensoris seperti cahaya yang berkedip-kedip (fotosensitif),

bunyi-bunyi yang mengejutkan, air, dan lain-lain.


Faktor sistemis seperti demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu
(fenotiazin, klorpropamid, barbiturat, valium), perubahan hormonal

(hipoglikemia), kelelahan fisik.


Faktor mental seperti stress, gangguan emosional, kurang tidur.

2.3 Klasifikasi Epilepsi


Epilepsi umum
1. Petit mal/ Lena (absence)
a. Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi
bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama
menit dan biasanya dijumpai pada anak. Hanya penurunan kesadaran
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot
leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak
mengulai. Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otototot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala,

badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau


mengedang. Dengan automatisme. Dengan komponen autonom.
b. Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
-

Gangguan tonus yang lebih jelas.

Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

2. Grand Mal
a. Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau
berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
b. Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai
terutama sekali pada anak.
c.

Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan
dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.

d.

Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu
tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh
pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kirakira menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam

beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang


meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin
pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti
pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran
yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan
badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
e.

Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun
sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.

2.4 Patofisiologi
Konduksi atau hantaran merupakan proses aktif yang bekerja sendiri dan
memerlukan penggunaan energi oleh saraf. Konduksi impuls saraf walaupun
cepat, namun berlangsung lebih lambat daripada listrik, karena jaringan saraf
merupakan konduktor pasif yang relatif sangat buruk. Saraf memerlukan
potensial beberapa volt untuk dapat menghasilkan impuls, sebab sel saraf
mempunyai ambang yang rendah terhadap perangsangan (impuls). Di tingkat
membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
c. Peningkatan suhu tubuh misalnya pada kasus kejang demam dapat
mengakibatkan peningkatan metabolisme basal 10-15% sehingga
kebutuhan akan oksigen dalam metabolisme tersebut pun akan ikut
meningkat hingga 20%. Hal tersebut yang menyebabkan terganggunya
keseimbangan membran sel neuron. Seperti yang kita ketahui bahwa
membrane sel neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion
kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion
6

kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (
intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler
tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup
mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena
transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti
pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
d. Defisiensi vitamin B6, konsumsi MSG berlebih, dan adanya cedera
kepala dapat mengakibatkan sinkronisasi dalam aliran listrik dalam otak.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di
otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1) Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin)
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan.
2) Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan
Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan
juga.
e. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
f. Hipoglikemia

merupakan

salah

satu

penyakit

akibat

gangguan

metabolisme yang dapat mengakibatkan epilepsi. Kekurangan glukosa


dapat mempengaruhi suplai ke otak khususnya bagi metabolisme sel glia
pada otak. Epilepsi terjadi akibat adanya kerusakan membran pada sel
glia otak. Sel glia merupakan bagian dari sel otak yang multi fungsi.
Salah satu fungsi penting dari sel glia bila dikaitkan dengan penyakit
epilepsi ini adalah fungsi sel glia sebagai pensuplai nutrisi dan reservoar
dari elektrolit seperti ion K, Ca dan Na. Ketidakseimbangan pada sel ini
akan menyebabkan permasalahan pada sel saraf. Proses epileptogenik
akan terjadi bila ada pelepasan muatan paroksiman karena mekanisme
7

intrinsik dari membran neuron yang menjaga kestabilan ambang lepas


muatan terganggu sehingga bisa terjadi depolarisasi secara terus menerus
yang selanjutnya menyebabkan timbulnya letupan potensial aksi
(paroksismal depolarisasi shif).
g. Tumor atau neoplasma pada otak mengakibatkan terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial sehingga suplai oksigen ke otak melali pembuluh
darah pun terganggu. Oksigen yang diperlukan juga dalam metabolisme
sel glia akan berkurang. Begitu juga halnya dengan infeksi yang terjadi
pada otak seperti meningitis akan menggangu aliran darah pada
pembuluh darah otak yang kaya akan nutrisi dan elektrolit. Kedua hal
tersebutlah yang mengakibatkan metabolisme sel glia terganggu dan oleh
karenanya kestabilan ambang lepas muatan pun akan terganggu sehingga
terjadi epilepsi.
h. Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan acetilkolin sebagai zat
yang

merendahkan

potensial membran prosinaptik dalam hal

terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga


manisfestasi klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah
cukup tertimbun dipermukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel
saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf
kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran
awas waspada lebih banyak asetilkolin yang merembes keluar dari
permukaan otak daripada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak
asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor cerebri atau adanya
sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari
meningitis, encephalitis, kontusio atau trauma lahir, dapat terjadi
penimbunan setempat dari asetilkolin.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari epilepsi adalah sebagai berikut:
a. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau
gangguan penginderaan.
b. Kelainan gambaran EEG.
8

c. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen.
d. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik
(aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium baubauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit
kepala dan sebagainya).
e. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar.
f. Raut muka pucat dan badannya berkeringat.
g. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa
yang tidak normal seperti pada keadaan normal.
h. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan
terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus
tersebut lewat.
i. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara
secara tiba- tiba.
j. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang.
k. Gigi geliginya terkancing.
l. Bola matanya berputar- putar.
m. Terkadang keluar busa dari mulut dan diikuti dengan buang air kecil.
n. klien sadar kembali dengan lesu, nyeri otot dan sakit kepala.
2.6 Komplikasi
a. Retradasi mental
b. IQ rendah
c. Kerusakan otak akibat hipoksia jaringan otak
d. Hal ini akan menyebabkan efek samping pada penurunan prestasi belajar
terutama bagi penderita yang masih dalam masa belajar.
2.7 Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Elektrolit: tidak seimbang

dapat

berpengaruh

atau

menjadi

predisposisi pada aktivitas kejang


9

2) Glukosa : hipoglikemi, dapat menjadi presipitasi (pencetus kejang)


3) Ureum atau kreatinin: meningkat, dapat meningkatkan resiko
timbulnya aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrotoksik
yang berhubungan dengan pengobatan.
4) Pungsi lumbal (PL): untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS,
tanda-tanda infeksi, perdarahan (hemoragik subarachnoid, subdural)
sebagai penyebab kejang tersebut.
b. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi.
Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal,
multifokal, kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan
secara berkala (kira-kira 8-12 % pasien epilepsi mempunyai rekaman
EEG yang normal).
c. MRI : melokalisasi lesi-lesi fokal.
d. Pemeriksaan radiologis
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak,
destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda
peninggian TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika dan
sebagainya
Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran
ventrikel, sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak.
Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali
pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma dan hematoma
2.8 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
1) Farmakoterapi : Anti kovulsion untuk mengontrol kejang
2) Pembedahan : Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses,
kista atau adanya anomali vaskuler
3) Jenis obat yang sering digunakan
a) Phenobarbital (luminal).
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas
rendah.
b) Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan
phenyletylmalonamid.
c) Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak
dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal,
fokal dan lobus temporalis.
10

Tak berhasiat terhadap petit mal.


Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus, ataxia,

hiperlasi gingiva dan gangguan darah.


d) Carbamazine (tegretol).
Mempunyai khasiat psikotropik

yang

mungkin

disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itu sendiri


atau mungkin juga carbamazine memang mempunyai

efek psikotropik.
Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus

temporalis yang sering disertai gangguan tingkah laku.


Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus,
vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan

gangguan fungsi hati.


e) Diazepam.
Biasanya dipergunakan pada kejang yang

sedang

berlangsung (status konvulsi.).


Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena
penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra

rektal.
f) Nitrazepam (Inogadon).
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan
mioklonus.
g) Ethosuximide (zarontine)
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
h) Na-valproat (dopakene)
Obat pilihan kedua pada petit mal
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
Efek samping mual, muntah, anorexia
i) Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam

pengobatan epilepsi.
Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga
pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya

membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.


j) ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme
infantil.
b. Penatalaksanaan keperawatan
11

Cara menanggulangi kejang epilepsi :


1) Selama Kejang
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton

yang ingin tahu


Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari
bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda

berbahaya.
Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya
kesamping

untuk

mencegah

lidahnya

menutupi

jalan

pernapasan.
Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras
diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah.
Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan
kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi

jalan pernapasannya.
Ajarkan penderita untuk

mengenali

tanda-tanda

awal

munculnya epilepsi atau yang biasa disebut aura. Jika


Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti
melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk

langsung beristirahat atau tidur.


Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau
penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit

terdekat.
2) Setelah Kejang
Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah
aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas tidak mengalami

gangguan.
Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal.
Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-

tiba setelah kejang.


Pasien pada saat bangun, harus diorientasikan terhadap

lingkungan
Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yang
hilang selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.
12

Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang


(postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan

yang lembut dan member restrein yang lembut


Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini

penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.


Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut
penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih
penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul
akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah
stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
2.9 Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus
ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi
dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau
kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh
proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada
bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang
mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar
melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di
identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau
cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin
selama

kehamilan

dan

persalinan.

Program

skrining

untuk

mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program


pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan
bagian dari rencana pencegahan ini.

13

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Identitas: Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama: Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita
leukimia untuk masuk RS. keluhan utama pada penderita leukemia yaitu
perasaan lemah, nafsu makan turun, demam, perasaan tidak enak badan,
nyeri pada ektremitas.
c. Riwayat penyakit sekarang: Merupakan riwayat klien saat ini meliputi
keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai
dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi
pendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa
sebab), kelemahan tedapat pembesaran hati, limpa, dan kelenjar limpe,
kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
d. Riwayat penyakit dahulu: Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang
berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.
e. Riwayat kehamilan dan kelahiran: Dalam hal ini yang dikaji meliputi
riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu
diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal
perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak
karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak.
Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya
aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk
mengetahui keadaan anak setelah

14

f. Riwayat penyakit keluarga: Merupakan gambaran kesehatan keluarga,


apakah ada kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini
status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita
gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar
monozigot.
g. Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu
dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
h. Pemeriksaan fisik
1. Aktivitas
2. Sirkulasi
3. Eliminasi
4. Makanan / cairan
5. Integritas ego
6. Neurosensori
7. Nyeri / kenyamanan
8. Pernafasan
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan aktivitas kejang yang
tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah
di endotrakea, peningkatan sekresi saliva.
c. Isolasi sosial berhubungan dengan rendah diri terhadap keadaan penyakit
dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat.
3.3 Intervensi

15

a. Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan aktivitas kejang yang


tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).

Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan


dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman
untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh.

Batasan karakteristik : laporan jatuh pada saat kejang terjai, memar,


aktifitas jejal keras saat kejang

Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi
aman, tidak ada memar, tidak jatuh

Intervensi Rasional
1. Observasi:
- Pantau Hasil darah menunjukkan terapi anti konvulsan
R/ untuk mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil
yang diharapkan.
-

Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya


cedera
R/Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi
kejang

Pantau status neurologis setiap 8 jam


R/Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang
diharapkan

2. Mandiri
-

Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera


pada pasien saat terjadi kejang

16

R/Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang


tidak terkontrol
-

Pasang penghalang tempat tidur pasien


R/Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh.

Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar


R/Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera
pada pasien

Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang.


R/Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan
terjadi kejang kembali.

Lakukan kewaspadaan yang tepat bila terjadi kejang.

Kaji fungsi saluran pernapasan. Gunakan ambu-bag bila perlu


sebagai ventilasi. Masukan alat untuk pernapsan mulut hanya bila
serangan

dengan

status

epileptikus

reda

sejenak.

Lakukan

penghisapan bila perlu.


-

Pasang infuse untuk sarana pengobatan


R/ tindakan-tindakan khusus menbantu mengenali jenis kejang dan
melindungi pasien dari cedera fisik. Untuk mengnrol aktivitas
kejang. Keutuhan jalan napas dapat terganggu dengan aktivitas
kejang yang berkepanjangan, yang mngurangi supali oksigen ke
otak.

Menyiapkan kain lunak/mayo untuk mencegah terjadinya tergigitnya


lidah saat terjadi kejang.
R/Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar

Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami
beberapa saat sebelum kejang.
17

R/Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya


kejang pada pasien
-

Kolaborasi
R/Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat
mengurangi suplai oksigen ke otak.

Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang
tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai
permulaan terjadinya kejang.
R/Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan
sebelum terjadinya kejang berkelanjutan.

b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah


di endotrakea, peningkatan sekresi saliva.

Tujuan : jalan nafas menjadi efektif

Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi,
tidak ada dyspnea

Intervensi
-

Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut


R/ menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing
ke faring.

Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar

Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen


R/ meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan
menyumbat jalan nafas untuk memfasilitasi usaha bernafas /
ekspansi dada.

Melakukan suction sesuai indikasi


18

R/ Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi


atau asfiksia.
-

Berikan oksigen sesuai program terapi


R/Membantu memenuhi kebutuhan oksigen

c. Isolasi sosial berhubungan dengan rendah diri terhadap keadaan penyakit


dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat.

Tujuan: mengurangi rendah diri pasien

Kriteria hasil:

adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar

menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat


Intervensi:
-

Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada


perasaan isolasi sosial pasien.
R/Memberi

informasi

pada

perawat

tentang

factor

yang

menyebabkan isolasi sosial pasien


-

Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien


R/Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih
percaya diri

Kolaborasi dengan tim psikiater


R/Konseling

dapat

membantu

mengatasi

perasaan

terhadap

kesadaran diri sendiri.


-

Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa


penyakit epilepsi tidak menular.

19

R/Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa


penyakit epilepsi dapat menular).

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan
oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan
(unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi
fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari
sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya
epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.
Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna
narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik,
tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas
dari narkotik. Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak
dalam process kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang
epilepsi mungkin juga karena genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan.
Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.
4.2 Saran
Kritik dan saran sangat diharapkan penulis untuk penyempurnaan makalah
ini yang bersifat membangun.
Disarankan kepada pembaca agar menghindari faktor resiko penyebab
epilepsi karena epilepsi dapat ditimbulkan karena kebiasaan yang salah.

20

Diharapkan juga pembaca mengerti tentang epilepsi beserta asuhan


keperawatan epilepsi.

DAFTAR PUSTAKA
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Sau unuk
Brunner dan Suddarth. EGC : Jakarta.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol 3.
EGC : Jakarta.
Wong, Donna L., et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Volume 2.
Alih bahasa Agus Sunarta, dkk. EGC : Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai