Kajian Harmonisasi Pengelolaan Tujuh Taman Nasional Laut PDF
Kajian Harmonisasi Pengelolaan Tujuh Taman Nasional Laut PDF
KAJIAN
HARMONISASI PENGELOLAAN
TUJUH TAMAN NASIONAL LAUT
Oleh: Dr. Ir. Matheus H. Halim
Laporan Konsultansi
2014
Laporan konsultansi ini disusun oleh Dr. Ir. Matheus H. Halim didanai oleh United States Agency for International Development
(USAID) melalui Marine Protected Areas Governance (MPAG)
Foto sampul muka: Petugas Taman Nasional Wakatobi sedang memantau aktivitas nelayan di perairan
Tomia, Wakatobi.
Juergen Freund / Nikon D700
ii
KAJIAN
HARMONISASI PENGELOLAAN
TUJUH TAMAN NASIONAL LAUT
Oleh: Dr. Ir. Matheus H. Halim
: AID-497-LA-12-00001
Disunting oleh
Dicetak di
: Indonesia
Dana untuk melakukan kajian dan penulisan laporan ini disediakan oleh USAID melalui Marine Protected Areas Governance
(MPAG). MPAG merupakan sebuah konsorsium beranggotakan Conservation International (CI), Coral Triangle Center (CTC),
The Nature Conservancy (TNC), Wildlife Conservation Society (WCS), dan WWF Indonesia.
@2014 Marine Protected Areas Governance. Cetak ulang atau diseminasi laporan ini untuk tujuan pendidikan atau tujuan lain
yang tidak bersifat komersil tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta selama sumber-sumbernya disebutkan diperbolehkan.
Penggandaan materi atau laporan ini untuk diperjual-belikan atau untuk tujuan-tujuan komersil tanpa persetujuan tertulis
pemegang hak cipta tidak diperbolehkan. Izin tertulis dapat ditujukan ke:
Pahala Nainggolan
Chief of Party, Marine Protected Areas Governance
(MPAG)
Jl. Ciragil 2 no. 8
Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12180
Phone: 62 21 2932 9420
Email: pahala.nainggolan@usctsp.org
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kajian Harmonisasi Pengelolaan Tujuh Taman Nasional Laut ini merupakan upaya MPAG-CTSP (Marine
Protected Area Governance Coral Triangle Support Partnership) untuk membantu Kementerian Kelautan
dan Perikanan (Kemen KP) dalam bentuk masukan strategis terkait dengan upaya persiapan harmonisasi
pengelolaan tujuh Taman Nasional Laut yang saat ini dikelola oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut).
Pelaksanaan kajian ini berawal dari adanya komitmen pemerintah untuk memiliki 20 (dua puluh juta)
hektare Kawasan Konservasi Perairan (KKP) pada tahun 2020 dan mengelolanya secara efektif.
Disamping itu secara spesifik, kajian ini diminta oleh KKP pada pertemuan koordinasi antara Marine
Resource Program-USAID dimana MPAG termasuk didalamnya dengan KKP pada Juni 2012.
Meskipun memakan waktu panjang untuk finalisasinya, namun kajian ini kini mendapatkan relevansinya
dengan pengesahan UU no. 1 Tahun 2014 tentang perubahan UU no.27 tahun 2007. Pada regulasi
terbaru ini diindikasikan adanya peralihan pengelolaan kawasan konservasi ke KKP. Dengan demikian,
kajian ini memberikan gambaran teknis awal mengenai kawasan yang dikelola oleh Kemenhut dan
diharapkan dapat membantu pembuatan peta jalan (road map) bagi pembangunan strategi pengalihan
kedepan.
Kajian dilakukan selama tiga bulan (15 September 15 Desember 2012) termasuk pengumpulan data
sekunder dari laporan-laporan dan publikasi yang terkait, wawancara dengan pihak yang relevan serta
kunjungan ke lapangan. Kajian dilakukan dengan pemetaan dan identifikasi aspek-aspek pengelolaan pada
tujuh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional Laut di bawah Kementerian Kehutanan (Taman
Nasional (TN) Kepulauan Seribu, TN Wakatobi, TN Takabonerate, TN Karimun Jawa, TN Bunaken, TN
Togian, dan TN Teluk Cendrawasih).
Selanjutnya, dilakukan perbandingan dengan pengelolaan pada (10) sepuluh Kawasan Konservasi Perairan
(KKPN) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan yang terdiri dari 8 (delapan) kawasan yang
diserahterimakan dari Kementerian Kehutanan (Pulau Pieh, Aru Tenggara, Raja Ampat, Waigeo Barat,
Kapoposang, Gili Matra, Biak-Padaido, Laut Banda) dan 2 (dua) kawasan yang dibentuk oleh Kemen KP
yaitu: Anambas dan Laut Sawu.
Untuk memudahkan analisa, perbandingan aspek pengelolaan ini dilakukan terhadap enam aspek
pengelolaan, yaitu:
Aspek regulasi dan kebijakan yang mencakup ketersediaan peraturan yang mendukung
pengelolaan kawasan;
Aspek kelembagaan yang mencakup bentuk serta struktur lembaga pengelola kawasan
Aspek sumberdaya manusia yang mencakup jumlah pegawai, keberadaan jabatan fungsional
serta struktural pengelola kawasan.
Aspek sarana dan prasarana termasuk ketersediaan sarana dan sarana penunjang pengelolaan
di masing masing kawasan
Aspek pendanaan, mencakup besaran anggaran pengelolaan yang dialokasikan setiap tahun dan
penerimaan pendapatan negara bukan pajak dari kawasan.
Beberapa perbedaan penting atas pengelolaan kedua kelompok kawasan ini dapat disarikan sebagai
berikut:
Aspek regulasi dan kebijakan
Kementerian Kehutanan relatif sudah memiliki regulasi dan kebijakan yang mendukung pengelolaan.
Misalnya pengaturan kawasan, struktur organisasi, jabatan fungsional, sarana dan prasarana, pengawasan
dan penegakan hukum, pungutan pemanfaatan wisata serta dukungan pendanaan konservasi. Sementara
itu, pada kawasan Kemen KP masih terbatas pada pengaturan kawasan dalam bentuk rencana
pengelolaan kawasan serta zonasi. Regulasi teknis lain seperti SOP pengelolaan sedang dibangun.
Aspek kelembagaan
Terdapat perbedaan struktur eselon lembaga pengelola dan pola pengelolaan. Kemenhut memiliki enam
UPT Balai setingkat eselon IIIa dan satu UPT Balai Besar setingkat eselon IIb. Sedangkan pada kawasan
dibawah Kemen KP pengelola kawasan adalah non-eselon yang berada di bawah unit kerja eselon 3 (Balai
KKPN Kupang) dan eselon 4 (Loka KKPN Pekanbaru). UPT Balai Taman Nasional Laut berkedudukan di
lokasi kawasan. UPT pengelola kawasan Kementerian KP berkedudukan di Kupang (membawahi 8
kawasan di Indonesia Timur dan NTB) serta di Pekan Baru (membawahi kawasan di Anambas dan Pulau
Pieh).
Aspek SDM
Terdapat perbedaan yang signifikan menyangkut jumlah dan sistem jabatan fungsional pengelola kawasan
dari kedua kelompok kawasan. Kelompok Taman Nasional Laut dikelola oleh 550 orang PNS dengan
rincian 3 orang golongan I, 260 orang golongan II, 277 orang golongan III, dan 10 orang golongan IV.
Sementara itu, KKPN dikelola oleh 58 orang PNS (38 orang PNS Balai KKPN Kupang dan 20 orang PNS
Loka KKPN Pekanbaru). Dibandingkan dengan luasan yang dikelola, pada 7 taman nasional Kemenhut,
satu orang PNS bertanggung jawab terhadap 7.350 ha Taman Nasional Laut sedangkan di Kemen KP,
satu orang PNS bertanggung jawab terhadap 94.962 ha KKP Nasional.
Selanjutnya, terdapat 3 (tiga) jabatan fungsional di Kementerian Kehutanan yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan, yaitu Pengendali Ekosistem Hutan (83 orang), Penyuluh Kehutanan (6 orang), dan
Polisi Kehutanan (219 orang). Adapun KKPN belum memiliki skema jabatan fungsional yang terkait
dengan pengelolaan kawasan konservasi. Implikasinya adalah kebutuhan sumberdaya manusia pengelola
kawasan dengan kompetensi khusus belum dapat dipenuhi.
Sarana dan prasarana
Terdapat perbedaan yang signifikan, baik jumlah maupun jenis sarana antara kedua kelompok kawasan ini.
Kelompok kawasan yang dikelola oleh Kemenhut sudah berdiri relatif lebih lama dibandingkan KKPN.
Dengan demikian, sarana prasarana yang dimiliki relatif lebih lengkap karena didukung oleh anggaran
pemerintah pada tahun tahun sebelumnya. Sementara KKPN belum mencapai usia 5 tahun sejak dibentuk
atau diterima dari Kemenhut sebelumnya. Sehingga ketersediaan sarana dan prasarana masih jauh dari
cukup dan sedang dalam proses untuk melengkapi. Implementasi program Coremap-CTI direncanakan
akan melengkapi sebagian dari kebutuhan sarana dan prasarana pada KKPN.
vi
KATA PENGANTAR
Pemerintah Indonesia melalui pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang Pertemuan
Para Pihak dalam Convention on Bio-diversity (CBD), Maret 2006, di Brasil mencanangkan komitmen
Indonesia untuk memiliki setidaknya 10(sepuluh juta) hektare Kawasan Konservasi Perairan (KKP) pada
2010. Komitmen tersebut kemudian diperbarui pada Coral Triangle Initiative (CTI) Summit pada bulan Mei
2009 di Manado, menjadi 20 Juta hektar KKP yang terkelola secara efektif pada tahun 2020 .
MPAG yang merupakan program kerjasama pemerintah Indonesia dan USAID sejak pendiriannya di
tahun 2012 berupaya membantu Kemen KP dalam mewujudkan komitmen pemerintah diatas. Kajian yang
merupakan pemetaan dan perbandingan kondisi pengelolaan antara kawasan yang dikelola oleh
Kementerian Kehutanan dan kawasan dibawah pengelolaan Kemen KP.
Pemetaan dan perbandingan ini dilakukan untuk memberikan masukan yang lebih akurat dan terkini
kepada Kemen KP dalam kerangka harmonisasi pengelolaan kawasan konservasi perairan. Dengan
disahkannya UU no. 1 tahun 2014 tentang perubahan UU no. 27 Tahun 2007, maka informasi yang
disajikan pada laporan konsultansi ini diharapkan dapat membantu proses pengambilan keputusan untuk
pengelolaan kawasan konservasi oleh Kemen KP.
Pemetaan yang dilakukan pada enam aspek pengelolaan yang penting yaitu : regulasi dan kebijakan,
kelembagaan, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, pendanaan, dan operasional pengelolaan
diharapkan dapat memberikan dukungan yang konstruktif bagi upaya peningkatan pengelolaan kawasan
konservasi.
Dalam proses penyusunannya, penulis merasa perlu berterima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, baik berupa informasi, data-data maupun bantuan lain sejak dimulainya proses ini hingga
finalisasinya. Semoga kajian ini dapat diambil manfaatnya dalam pencapaian target konservasi dan
terwujudnya pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dan pada akhirnya, bermanfaat bagi masyarakat
sekitar.
Jakarta, Mei 2014
Penulis,
vii
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF.............................................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR...................................................................................................................................................... vii
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................................................................................. xii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................................................................................................... 3
1.3 Ruang Lingkup ......................................................................................................................................................... 3
1.4 Metode Kajian ......................................................................................................................................................... 3
1.5 Sejarah Konservasi Perairan di Indonesia ......................................................................................................... 3
BAB II. PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL (LAUT) ......................................................................................... 5
2.1 Aspek Regulasi dan Kebijakan ............................................................................................................................. 5
2.2 Aspek Kelembagaan ............................................................................................................................................... 9
2.3 Aspek Sumberdaya Manusia ............................................................................................................................... 10
2.4 Aspek Sarana dan Prasarana .............................................................................................................................. 15
2.5 Aspek Pendanaan.................................................................................................................................................. 16
2.6 Aspek Operasional Pengelolaan ........................................................................................................................ 17
BAB III. PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI KEMEN KP ........................................ 25
3.1 Aspek Regulasi ...................................................................................................................................................... 25
3.2 Aspek Kelembagaan ............................................................................................................................................. 27
3.3 Aspek Sumberdaya Manusia ............................................................................................................................... 29
3.4 Aspek Sarana dan Prasarana .............................................................................................................................. 30
3.5 Aspek Pendanaan.................................................................................................................................................. 30
3.6 Aspek Operasional Pengelolaan ........................................................................................................................ 31
BAB IV. ANALISIS KONDISI PENGELOLAAN ....................................................................................................... 34
4.1 Aspek Regulasi ...................................................................................................................................................... 34
4.2 Aspek Kelembagaan ............................................................................................................................................. 34
4.3 Aspek Sumberdaya Manusia ............................................................................................................................... 35
4.4 Aspek Sarana dan Prasarana .............................................................................................................................. 36
4.5 Aspek Pendanaan.................................................................................................................................................. 36
4.6 Aspek Operasional Pengelolaan ........................................................................................................................ 37
BAB V. REKOMENDASI ................................................................................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................................... 40
LAMPIRAN ........................................................................................................................................................................ 42
viii
DAFTAR ISTILAH
ABRI
APBN
Bakorstranas
BBTN
BKKPN
BKSDA
BTN
CA
CAL
CBD
CTI
CTSP
Diklat
DIPA
Dit
Ditjen
Dirjen
DR
FAO
GPS
HP
IHH
jo.
Juklak
Juknis
Kabag
Kapolri
Kasi
Kasubag
Kasubdit
Kemenhut
Kemen KP
Kepmen
Kepmenhut
Kepmenhutbun
Kepmen KP
Kepmen PAN
Keppres
KKJI
KKL
KKM
KKP
KKPD
KKP3K
KKPN
KPA
KP3K
KSA
KSBTU
KTNL
LKKPN
LSM
MPAG
NOAA
PEH
Permen
Permenhut
Perpres
PHKA
PHP
PHPA
Pindad
PNBP
PNS
Polhut
Polsus
Polri
PP
PPA
PPNS
PPP
PSDH
PSDKP
PuslatBPSDM
RM
Satker
SAP
SAR
Sesditjen
Setditjen
SDI
SDM
SK
SKB
SKRT
SM
SML
SOP
SPORC
SSB
TKP
TL
TN
TNI
TNL
TNP
TU
TWA
TWAL
TWP
UNDP
UPT
UU
WOC
WWF
= Surat Keputusan
= Surat Keputusan Bersama
= Sarana Komunikasi Radio Terpadu
= Suaka Margasatwa
= Suaka Margasatwa Laut
= Prosedur Operasional Standar
= Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat
= Single-Side Band
= Tempat Kejadian Perkara
= Taman Laut
= Taman Nasional
= Tentara Nasional Indonesia
= Taman Nasional Laut
= Taman Nasional Perairan
= Tata Usaha
= Taman Wisata Alam
= Taman Wisata Alam Laut
= Taman Wisata Perairan
= United Nation Development Program
= Unit Pelaksana Teknis
= Undang-Undang
= World Ocean Conference
= World Wildlife Fund
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
Tabel 2
Jumlah Pejabat Eselon Masing-masing Balai dan Balai Besar Taman Nasional .
10
Tabel 3
Jumlah PNS dan golongannya pada Balai dan Balai Besar Taman Nasional
11
Tabel 4
Sebaran Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai dan Balai Besar Taman
Nasional.........................................................................................................................
12
Tabel 5
Sebaran Penyuluh Kehutanan pada Balai dan Balai Besar Taman Nasional
13
Tabel 6
Sebaran Polisi Kehutanan pada Balai dan Balai Besar Taman Nasional
14
Tabel 7
14
Tabel 8
Sebaran PPNS Kemenhut pada Balai dan Balai Besar Taman Nasional menurut
Provinsi..
15
Tabel 9
16
Tabel 10
17
Tabel 11
29
Tabel 12
31
xii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen Indonesia untuk pengembangan Kawasan
Konservasi Perairan (KKP) seluas dua puluh juta hektar yang dikelola secara efektif selambatnya tahun
2020 pada saat Coral Triangle Initiative (CTI) Summit di Manado, bersamaan dengan pelaksanaan World
Ocean Conference (WOC) pada tahun 2009. Komitmen ini merupakan target yang diperbaharui dimana
sebelumnya Pemerintah Indonesia mentargetkan membangun sepuluh juta hektare kawasan konservasi
hingga tahun 2010, sebagaimana diutarakan oleh Presiden RI dalam pidatonya pada Pertemuan Para Pihak
dalam Convention on Bio-diversity (CBD), Maret 2006, di Brasil.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kemen KP), sebagai kementerian teknis yang bertanggung jawab
atas KKP tersebut, telah menyusun Rencana Strategis yang diikuti dengan penetapan target setiap tahun
untuk penjabarannya. Sampai dengan Juli 2012, luas KKP sudah mencapai 15,78 juta hektare di bawah
pengelolaan tiga lembaga, yaitu Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kemen KP, dan Pemerintah
Daerah. Perincian pengelolaan KKP dari setiap lembaga dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Status Kawasan Konservasi Perairan sampai dengan Juli 2012
No
A
Jumlah
32
7
Luas (ha)
4.694.947,55
4.043.541,30
14
491.248,00
5.678,25
154.480,00
10
1
445.630,00
1.541.040,20
66
108
5.507.800,21
3.521.130,01
5.581.381,76
15.784.129,52
Pengelolaan KKP oleh Kemenhut dilakukan melalui Balai Taman Nasional (BTN) dan Balai Konservasi
Sumberdaya Alam (BKSDA). BTN adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) pengelola Taman Nasional (TN),
termasuk Taman Nasional Laut (TNL), sedangkan kawasan konservasi lainnya dikelola melalui BKSDA
berdasarkan wilayah kerjanya. Terdapat tujuh BTN yang mengelola sekitar empat juta hektare TNL, yaitu
BTN Kepulauan Seribu, BTN Wakatobi, BTN Takabonerate, BTN Karimun Jawa, BTN Bunaken, BTN
Togian, dan Balai Besar TN Teluk Cendrawasih. Kebijakan pengelolaan ketujuh Taman Nasional yang
berada di perairan ini mengikuti kebijakan nasional pengelolaan kawasan konservasi yang ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kemenhut. Pengelolaan Taman
Nasional tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No.
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah
(PP) No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Sementara itu, Kemen KP mengelola sepuluh KKPN, yang delapan KKP di antaranya merupakan hasil
kesepakatan pengalihan kewenangan pengelolaan dari Kemenhut, yaitu Suaka Alam Perairan (SAP)
Kepulauan Aru Tenggara, SAP Raja Ampat, SAP Kepulauan Waigeo sebelah Barat, Taman Wisata
Perairan (TWP) Kepulauan Kapoposang, TWP Pulau Gili Air-Gili Meno-Gili Terawangan, TWP
Kepulauan Padaido, TWP Laut Banda, dan TWP Pulau Pieh1. Adapun dua KKPN lainnya merupakan hasil
initiatif Kemen KP, yaitu Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu (3,52 juta ha) dan TWP Kepulauan
Anambas (1,26 juta ha). Pengelolaan sepuluh KKPN oleh Kemen KP dilaksanakan melalui dua UPT, yaitu
Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang (BKKPN Kupang) dan Loka Kawasan Konservasi
Perairan Nasional Pekanbaru (LKKPN Pekanbaru), dengan mengacu pada UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU
No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.
Penyerahan kewenangan pengelolaan delapan kawasan konservasi di atas merupakan hasil kerja Tim
Penyelarasan Urusan Departemen Kelautan dan Perikanan dan Departemen Kehutanan, yang dibentuk
pada tahun 2006 berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Kelautan dan Perikanan
dan Menteri Kehutanan. SKB tersebut masih berlaku sampai sekarang karena tidak disebutkan jangka
waktunya (Wahyu Rudianto, komunikasi pribadi). Lebih lanjut, sudah ada kesepakatan antara Menteri
Kelautan dan Perikanan Sarwono dan Menteri Kehutanan Nur Mahmudi pada rapat dengar-pendapat
Komisi VIII DPR RI, 13 Maret 2001, bahwa enam TNL (Kepulauan Seribu, Karimun Jawa, Taka Bonerate,
Wakatobi, Bunaken, dan Teluk Cendrawasih) segera dilimpahkan kewenangan pengelolaannya kepada
Kemen KP. Namun telah lebih dari sepuluh tahun sejak rapat dengar-pendapat dengan Komisi VIII,
kesepakatan tersebut belum ditindaklanjuti.
Salah satu tindak lanjut penyerahan kewenangan pengelolaan KKP adalah rencana upaya harmonisasi
tujuh Taman Nasional Laut yang sekarang masih dikelola oleh Kemenhut. Upaya harmonisasi ini semata1
Penyesuaian nama dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang dilimpahkan dari
Kementerian Kehutanan, yaitu Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Kapoposang, TWAL Padaido, TWAL Gili Air - Gili
Meno - Gili Terawangan, TWAL Pulau Pieh, Cagar Alam Laut (CAL) Aru Tenggara, Suaka Margasatwa (SM) Raja
Ampat, SM Pulau Panjang, dan CAL Taman Laut Banda. Pelimpahan tersebut tertuang dalam hasil kesepakatan
pada tanggal 4 Maret 2009 antara Kemen KP dengan Kemenhut melalui Berita Acara Serah Terima KSA dan KPA
No. BA.01/Menhut-IV/2009 BA.108/MEN/KP/III/2009.
2
mata untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan semua KKP yang ada di Indonesia sehingga menghindari
tumpang-tindih kewenangan, ketidakefisienan pengalokasian sumberdaya, pengaturan berstandar ganda,
dan benturan kepentingan. Dalam rangka mendukung proses harmonisasi tersebut, maka kajian ini
dilakukan.
1.2 TUJUAN
Kajian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi strategis kepada Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam rangka upaya harmonisasi pengelolaan tujuh Taman Nasional Laut yang sekarang
kewenangan pengelolaannya berada di bawah Kementerian Kehutanan.
Konservasi Perairan di Indonesia dimulai dengan Lokakarya Taman Laut yang dilaksanakan pada tanggal
1114 Januari 1978 di Bogor. Lokakarya tersebut diselenggarakan oleh Direktorat Perlindungan dan
Pengawetan Alam (PPA), Ditjen Kehutanan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan beberapa
lembaga konservasi internasional. Melalui lokakarya tersebut, pengembangan perlindungan dan
pelestarian alam di wilayah perairan laut diterima sebagai konsep baru dan dibahas pada tingkat nasional
secara lintas sektoral.
Salah satu rekomendasi lokakarya tersebut adalah menentukan pola perlindungan dan pelestarian
sumberdaya alam laut berupa Taman Laut (TL), Cagar Alam Laut (CAL), dan Taman Wisata Laut (TWL)
serta perlindungan jenis-jenis biota laut khusus. Selanjutnya direkomendasikan juga pembentukan Panitia
Pengarah di bawah naungan Direktorat PPA untuk membuat kegiatan lintas sektoral dalam menyusun
rencana terpadu konservasi sumberdaya alam laut, termasuk studi khusus dari lokasi-lokasi yang
diusulkan menjadi kawasan konservasi laut/perairan. Lokasi yang direkomendasikan terdapat pada
Lampiran 1 (Anonim, 1978).
Untuk merealisasikan rekomendasi lokakarya tersebut di atas, pada tahun yang sama Direktorat
Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) dibantu dan difasilitasi oleh FAO, UNDP, dan Program WWFIndonesia menerbitkan buku rencana konservasi laut Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Marine
Conservation Data Atlas (Salm and Halim, 1984). Buku tersebut kemudian dijadikan dasar pemilihan lokasi
kawasan konservasi laut di Indonesia, yang dibagi dalam empat tahap prioritas dari 179 calon lokasi. Buku
tersebut sampai sekarang masih digunakan oleh Kemenhut dalam mencari lokasi laut yang berpotensi
untuk dijadikan kawasan konservasi laut/perairan.
Selanjutnya, Departemen Kehutanan berdiri pada tahun 1982 dan penanganan konservasi laut berada di
bawah kewenangan eselon I Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA)
sebagai peningkatan status dari Direktorat PPA (eselon II). Sejak tahun 1982, program konservasi laut
dilembagakan dalam struktur organisasi Departemen Kehutanan dan dilanjutkan dengan penetapan target
kawasan konservasi laut seluas sepuluh juta hektar dalam Pelita III (1985-1989). Sementara itu, Unit
Pelaksana Teknis (UPT) yang menangani taman nasional pertama kali dibentuk pada tahun 2002 dan
menjadi satuan kerja setingkat eselon IIIa, yaitu UPT Taman Nasional Kepulauan Seribu. Hal ini berarti
bahwa sejak munculnya Program Konservasi Laut pada Direktorat PPA pada tahun 1978 hingga
dibentuknya UPT Balai Taman Nasional (Laut) Kepulauan Seribu pada tahun 2002, dibutuhkan waktu 24
tahun dari setingkat program menjadi satuan kerja setingkat eselon IIIa tersebut.
dan Kawasan Pelestarian Alam. Kawasan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa sedangkan Kawasan Pelestarian Alam terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya,
dan Taman Wisata Alam.
- PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian alam,
sebagai pengganti PP No. 68 Tahun 1998, yang mengatur tata kelola penyelenggaraan KSA (Cagar
Alam dan Suaka Margasatwa) dan KPA (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam), termasuk kriteria penunjukan dan penetapan kawasan, ciri-ciri kawasan, penyelenggara
pengelolaan, kerjasama penyelenggaraan, peran serta masyarakat, dan pendanaan konservasi.
- Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, yang menjelaskan pengertian kolaborasi di Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam serta pelaksanaan kolaborasi pengelolaan, pembinaan kolaborasi,
pemantauan dan pengendalian serta pelaporan.
- Permenhut No. P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Taman Nasional, yang menjelaskan bentuk UPT Balai Besar Taman Nasional setingkat eselon IIb
(tipe A dan tipe B) dan UPT Balai Taman Nasional setingkat IIIa (tipe A dan tipe B). Kepala Balai
Besar TN dibantu oleh Kepala Bagian dan Kepala Bidang setingkat eselon IIIb sedangkan Kepala
Balai TN dibantu oleh para Kepala Seksi Wilayah dan Kepala Sub-bagian Tata Usaha setingkat
eselon IVa. Baik Kepala Balai Besar TN maupun Kepala Balai TN dibantu oleh para pejabat
fungsional.
b. Lingkup Sumberdaya Manusia
b.1 Jabatan fungsional Pengendali Ekosistem Hutan meliputi peraturan:
- Kepmen PAN No. 54/KEP/M.PAN/2003 tentang Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem
Hutan (PEH) dan Angka Kreditnya. Keputusan menteri ini berisi ketentuan-ketentuan jabatan
fungsional PEH dan sistem angka kreditnya yang digunakan untuk kenaikan pangkat.
- Juklak Kepala Badan Kepegawaian Negara SK No. 10 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Jabatan Fungsional PEH dan Angka Kreditnya. Juklak ini berisi petunjuk pelaksanaan
pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkat bagi jabatan fungsional PEH.
- Kepmenhut No. SK.86/Menhut-II/2004 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional PEH dan
Angka Kreditnya, Kepmen ini berisi tata cara teknis pengumpulan dan penilaian angka kredit
bagi jabatan fungsional PEH untuk kenaikan pangkat beserta pemberhentiannya.
b.2 Jabatan fungsional Penyuluh Kehutanan meliputi peraturan:
- Kepmen PAN No. 130/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan
dan Angka Kreditnya. Kepmen ini berisi ketentuan-ketentuan jabatan fungsional Penyuluh
Kehutanan beserta sistem angka kreditnya untuk kenaikan pangkat.
- Kepmenhut No. 272/Kpts-II/2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh
Kehutanan dan Angka Kreditnya. Juknis ini berisi tata cara teknis pengumpulan dan penilaian
angka kredit bagi jabatan fungsional Penyuluh Kehutanan untuk kenaikan pangkat, termasuk
pengangkatan dan pemberhentiannya.
b.3 Jabatan fungsional Polisi Kehutanan meliputi peraturan:
- Peraturan Presiden RI No. 42 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Polisi
Kehutanan. Perpres ini mengatur tunjangan bagi jabatan fungsional Polisi Kehutanan (Polhut)
pada Departemen Kehutanan.
- Kepmen PAN No. 55/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Jabatan Fungsional Polhut dan Angka
Kreditnya. Kepmen berisi ketentuan-ketentuan jabatan fungsional Polhut pada Departemen
Kehutanan dan sistem angka kreditnya.
- Kepmen PAN dan Reformasi Birokrasi No. 17 Tahun 2011 tentang Jabatan Fungsional Polhut
dan Angka Kreditnya. Kepmen ini merupakan penyempurnaan dari Kepmen PAN No.
55/KEP/M.PAN/7/2003 mengenai ketentuan-ketentuan jabatan fungsional Polhut dan sistem
angka kreditnya, termasuk pengangkatan dan pemberhentiannya.
- Permenhut No. P.71/Menhut-II/2008 tentang Pakaian, Atribut, dan Kelengkapan Seragam Polisi
Kehutanan. Permen ini mengatur desain dan jenis-jenis pakaian, bentuk dan jenis-jenis atribut
beserta kelengkapan seragam lainnya yang digunakan oleh Polhut Laki-laki dan Polhut
Perempuan pada Departemen Kehutanan.
- Permenhut No. P.05/Menhut-II/2008 tentang Standar Peralatan dan Sarana Polisi Kehutanan.
Peraturan ini berisi ketentuan-ketentuan yang harus diikuti dalam penggunaan jenis-jenis
peralatan dan sarana Polhut pada Departemen Kehutanan.
- Juklak Keputusan Badan Kepegawaian Negara No. 41 Tahun 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Jabatan Fungsional Polhut dan Angka Kreditnya. Juklak ini berisi petunjuk
pelaksanaan pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkat bagi jabatan fungsional Polhut
pada Departemen Kehutanan.
- Juknis Kepmenhut No. 347/Kpts-II/2003 tentang Jabatan Fungsional Polhut dan Angka
Kreditnya. Juknis ini berisi tata cara teknis pengumpulan dan penilaian angka kredit bagi jabatan
fungsional Polhut untuk kenaikan pangkat beserta pemberhentiannya.
- Kepmenhut No. 476/Menhut-II/2006 tentang Pembentukan Satuan Polisi Kehutanan Reaksi
Cepat (SPORC) di setiap provinsi seluruh Indonesia. Keputusan ini berisi visi dan misi SPORC
serta tata cara dan ketentuan perekrutan dan pengelolaannya.
c. Lingkup Sarana dan Prasarana, termasuk kepemilikan senjata api meliputi peraturan sebagai berikut:
- Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, yang berisi kewenangan
Polhut dalam penggunaan senjata api dalam operasi pengamanan hutan dan hasil hutan.
- Keputusan Presiden No. 372 Tahun 1962 tentang Koordinasi dan Pengawasan Alat-alat Kepolisian
Khusus. Keppres ini berisi penjelasan umum jalur koordinasi Polsus Kehutanan, yang pada
umumnya ditempatkan pada instansi non-Polri serta pembinaan dan pengawasan yang dilakukan
oleh Polri.
- Kepmenhutbun No. 597/Kpts-II/1998 tentang Satuan Tugas Operasional Jagawana. Kepmen ini
berisi tata kerja operasional Polisi Kehutanan (Jagawana), yang meliputi tugas dan kewajiban Polisi
Kehutanan.
- Permenhut No. P.04/Menhut-II/2008 tentang Pengurusan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan,
berisi tata cara, perlakuan, dan penanganan barang bukti tindak pidana kehutanan seperti
pengangkutan, penyimpanan, dan penggunaan barang bukti perkara.
- Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Kapolri No. 10/Kpts-II/1993 dan Skep/07/1993
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Jagawana. Surat keputusan bersama ini menegaskan
bahwa pembina dan pengawas Polhut adalah Polri melalui organisasi dan tata kerja yang telah
ditetapkan.
- Keputusan Kapolri No. Skep/244/XI/1981 tentang Senjata Api Alat-alat Kepolisian Khusus. Isinya
menegaskan bahwa senjata api yang digunakan oleh Polhut/Polsus adalah senjata non-standar ABRI.
7
- Surat Panglima ABRI No. R/60-01/29/02/Set tanggal 31 Januari 1994 tentang Izin Penggunaan
Senjata Api Produk Pindad untuk Jagawana pada Departemen Kehutanan. Surat terbut berisi
penegasan bahwa senjata api yang digunakan oleh Polhut/Jagawana wajib menggunakan produk
Pindad.
- Surat Panglima ABRI No. B/1764 01/26/02/Set tanggal 9 Juni 1994 tentang Rekomendasi Pengadaan
Senjata Api untuk Jagawana, berisi persetujuan Panglima ABRI atas pengadaan senjata api bagi
kelengkapan tugas Jagawana pada Departemen Kehutanan.
- Surat Ketua Bakorstranas No. K/52/Stanas/I/1995 tanggal 25 Januari 1995 tentang Penggunaan
Senjata Api untuk Kelengkapan Tugas bagi Jagawana Departemen Kehutanan. Surat ini berisi
persetujuan Bakorstranas atas penggunaan senjata api untuk kelengkapan tugas bagi Jagawana pada
Departemen Kehutanan.
- Surat Badan Intelijen ABRI No. R/1087/IV/1995/A tanggal 6 April 1995 tentang Rekomendasi Izin
Pengadaan Senjata Api untuk Jagawana Departemen Kehutanan. Isinya ialah persetujuan Badan
Intelijen ABRI atas pengadaan senjata api bagi kelengkapan tugas Jagawana pada Departemen
Kehutanan.
- Surat Kapolri No. SI/548/IV/1995 tanggal 13 April 1995 tentang Izin Pembelian Senjata Api dan
Amunisi untuk Keperluan Departemen Kehutanan. Isinya ialah persetujuan Kapolri atas pembelian
senjata api dan amunisinya oleh Departemen Kehutanan pada Pindad.
- Keputusan Dirjen PHPA No. 50/Kpts/Dj-VI/1996 tentang Prosedur Tetap Penggunaan dan
Pengamanan Senjata Api. Keputusan ini berisi penjelasan tentang ketentuan-ketentuan mengenai
penyimpanan, pemeliharaan, penggunaan, pengawasan, pengendalian, administrasi, dan pelaporan.
1.4. Lingkup Pendanaan, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak, meliputi peraturan sebagai berikut;
- UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang berisi ketentuan-ketentuan
umum yang berlaku bagi semua lembaga negara, antara lain mengenai ketentuan umum, jenis dan
tarif PNBP, pengelolaan PNBP, pemeriksaan PNBP, keberatan, dan ketentuan pidana.
- PP No. 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP. PP ini berisi tata cara penerimaan,
jenis-jenis penerimaan, penyetoran, dan penggunaan PNBP oleh masing-masing Departemen dan
Lembaga non-Departemen.
- PP No. 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kehutanan
dan Perkebunan. PP ini berisi ketentuan-ketentuan dan daftar tarif jenis PNBP per satuan atau tarif
per satuan. Contohnya antara lain daftar jenis PNBP dari penerimaan Pengusahaan Pariwisata Alam,
yaitu berupa: 1) Pungutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam, 2) Iuran Hasil Usaha Pariwisata Alam,
3) Iuran Hasil Usaha Perburuan pada Departemen tersebut.
- PP No. 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan PNBP yang bersumber dari kegiatan
tertentu, yang berisi ketentuan-ketentuan penerimaan dan penggunaan PNBP dari jenis sumbersumber yang ditentukan.
- PP No. 22 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan PNBP. PP ini berisi tata cara pemeriksaan terhadap
penerimaan, penggunaan, penyimpanan, dan penyetoran PNBP.
- PP No. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di SM, TN, THR, dan TWA. Isinya
mengatur ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pengusahaan pariwisata alam dalam Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, termasuk proses
perizinan, hak dan kewajiban pengusaha serta kerjasama pengusahaan pariwisata alam.
- Kepmenkeu No. 656/KMK.06/2001 tanggal 27 Desember 2001 tentang Tata Cara Pengenaan,
Pemungutan, Penyetoran Pungutan dan Iuran Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Kepmen ini berisi petunjuk pelaksanaan pengenaan, pemungutan, penyetoran pungutan dan iuran
Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam pada Departemen Kehutanan.
- Kepmenhut No. 28/Kpts-II/2003 jo. Kepmenhut No. SK. 223/Menhut-II/2004 tentang Pembagian
Rayon di TN, THR, TWA, dan TB dalam rangka Pengenaan PNBP. Keputusan ini berisi pembagian
kawasan konservasi di Indonesia menjadi tiga rayon untuk keperluan tarif pungutan dan jenis PNBP.
- Permenhut No. 48 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di SM, TN, THR, dan TWA.
Peraturan menteri ini merupakan penjabaran teknis dari PP No. 36 Tahun 2010 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di SM, TN, THR, dan TWA.
- Peraturan Dirjen PHKA No. P.7/IV-SET/2011 tanggal 9 Desember 2011 tentang Tata Cara masuk
Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru. Peraturan ini berisi ketentuanketentuan masuk KSA dan KPA untuk kegiatan wisata, pendidikan, dan penelitian, yang dibedakan
untuk orang asing dan dalam negeri.
- SK Kepala Balai di masing-masing UPT tentang Standar Prosedur Operasional Penatausahaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Fungsional di setiap Balai. Ini merupakan petunjuk operasional di
masing-masing UPT Taman Nasional, yang berlaku hanya bagi staf TN dan diterbitkan oleh Kepala
UPT Taman Nasional setempat.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT Taman
Nasional menjelaskan bahwa pengelolaan Taman Nasional Laut dikelola oleh UPT Ditjen PHKA dan
dipimpin oleh enam orang pejabat eselon IIIa sebagai Kepala Balai Taman Nasional dan satu orang pejabat
eselon IIb sebagai Kepala Balai Besar TN Teluk Cendrawasih. Masing-masing Kepala Balai TN dibantu
oleh tiga atau empat orang pejabat eselon IV, yang terdiri dari satu orang Kepala Sub-bagian Tata Usaha
dan dua atau tiga orang Kepala Seksi Konservasi Wilayah. Selain dibantu oleh pejabat struktural dalam
organisasi balai, Kepala Balai TN dibantu juga oleh pejabat fungsional, yang terdiri dari pejabat fungsional
Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), Penyuluh Kehutanan, dan Polhut yang bertanggung jawab langsung
kepada Kepala Balai Taman Nasional. Selanjutnya, Kepala Balai Taman Nasional ini bertanggung jawab
langsung kepada Direktur Jenderal PHKA.
Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih dipimpin oleh seorang Kepala Balai Besar setingkat
eselon IIb atau setingkat dengan Direktur dalam struktur di Kementerian sedangkan kelompok
fungsionalnya sama seperti pada UPT Balai TN. Demikian juga, Kepala Balai Besar TN bertanggung jawab
langsung kepada Direktur Jenderal PHKA. Sebaran pejabat eselon pada 7 UPT TN dapat dilihat pada
Tabel 2 di bawah ini.
Penetapan Taman Nasional yang berada di laut menjadi UPT tersendiri pertama kalinya sejak Menteri
Kehutanan menetapkan Proyek Taman Nasional Kepulauan Seribu menjadi UPT Balai Taman Nasional
Kepulauan Seribu pada tahun 2002 melalui Kepmenhut No. 6310/KPTS-II/2002 tentang Penetapan
sebagai Taman Nasional. UPT selanjutnya dibentuk di setiap TN lainnya, yang dilengkapi dengan pejabat
struktural dan fungsional sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Tabel 2. Jumlah Pejabat Eselon Masing-masing Balai dan Balai Besar Taman Nasional
No.
Balai
Taman Nasional
II
III
IV
2.
3.
4.
5.
6.
7.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
4
10
3
3
4
3
4
8
29
Jumlah
tujuh TNL tersebut 550 orang (467 orang laki-laki dan 83 orang perempuan), yang terdiri dari golongan 1
(3 orang), golongan II (260 orang), golongan III (277 orang), dan golongan IV (10 orang). BTN Togian
mempunyai jumlah PNS paling sedikit sedangkan Balai Besar Taman Nasional Teluk Cendrawasih
memiliki jumlah PNS paling banyak. Perincian dapat dilihat pada Tabel 3.
Selain PNS, terdapat juga pegawai honorer atau tenaga upah yang jumlahnya berubah setiap tahun karena
penggunaannya bersifat insidental dan tergantung kebutuhan di lapangan. Tenaga upah atau pegawai
honorer tersebut diangkat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Balai dan Kepala Balai Besar TN di lokasi
masing-masing untuk jangka waktu tertentu. Balai TN dan Balai Besar TN mempekerjakan tenaga upah
atau pegawai honorer, terutama untuk mengatasi kekurangan tenaga di lapangan dalam pengawasan dan
pengamanan kawasan TN. Sebagian besar di antara mereka ditempatkan di pos-pos jaga yang letaknya
tersebar di dalam kawasan. Tugas dan penempatan mereka diatur melalui Surat Keputusan Kepala Balai
TN dan Kepala Balai Besar TN masing-masing dimana tenaga upah tersebut bernaung.
Tabel 3. Jumlah PNS dan Golongannya pada Balai dan Balai Besar Taman Nasional
No.
Balai
Taman Nasional
II
III
IV
Jumlah
1. Kepulauan Seribu
44
44
89
2. Karimun Jawa
26
56
83
3. Takabonerate
30
33
66
4. Wakatobi
32
35
67
5. Bunaken
24
34
61
6. Togian
23
19
43
7. Teluk Cendrawasih
81
56
141
260
277
10
550
Jumlah
Dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Laut, terdapat tiga jabatan fungsional, yaitu 1) Pengendali
Ekosistem Hutan (PEH); 2) Penyuluh Kehutanan; dan 3) Polisi Kehutanan (Polhut). Semua jabatan
fungsional sudah memiliki mekanisme perekrutan, jejang jabatan, dan mekanisme kerja, termasuk
perhitungan angka kredit bagi setiap kegiatan yang diatur melalui peraturan perundang-undangan.
1). Sistem jabatan fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH)
Jabatan fungsional PEH diatur dalam Kepmen PAN No. 54/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Jabatan
Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dan Angka Kreditnya; SK Kepala Badan Kepegawaian Negara
No.10 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dan
Angka Kreditnya; dan SK Kemenhut No. SK68/Menhut-II/2004 tentang Petunjuk Teknis Jabatan
Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dan Angka Kreditnya.
PEH dibagi dalam dua kategori yaitu PEH tingkat Terampil dan PEH tingkat Ahli. PEH tingkat Terampil
terdiri dari: a) PEH Pelaksana Pemula, b) PEH Pelaksana, c) PEH Pelaksana Lanjutan, dan d) PEH penyelia,
11
sedangkan untuk PEH tingkat Ahli dibagi dalam jenjang jabatan a) PEH Pertama, b) PEH Muda dan c) PEH
Madya. Jumlah pejabat fungsional PEH di tujuh Taman Nasional dijelaskan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4.Sebaran Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai dan Balai Besar Taman Nasional
No.
Balai
Taman Nasional
II
III
IV
Jumlah
1. Kepulauan Seribu
10
2. Karimun Jawa
14
20
3. Takabonerate
11
4. Wakatobi
5. Bunaken
6. Togian
7. Teluk Cendrawasih
18
23
35
49
84
Jumlah
Jumlah PEH pada ketujuh TNL tersebut 84 orang, yang terdiri dari 35 orang golongan II dan 49 orang
golongan III, yang meliputi 66 orang laki-laki dan 18 orangperempuan. Setiap TNL memiliki 6 sampai 23
orang PEH; yang paling sedikit adalah BTN Togian sedangkan yang paling banyak adalah BBTN Teluk
Cendrawasih, yang memang memiliki cakupan wilayah kerja yang paling luas.
2). Sistem jabatan fungsional Penyuluh Kehutanan
Jabatan fungsional Penyuluh Kehutanan diatur melalui Kepmen PAN No. 130/KEP/M.PAN/12/2002
tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya; dan Kepmenhut No. 272/KptsII/2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya.
Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dibagi dalam dua kategori, yaitu Penyuluh Kehutanan Terampil
dan Penyuluh Kehutanan Ahli. Penyuluh Kehutanan tingkat Terampil terdiri dari: a) Penyuluh Kehutanan
Pelaksana, b) Penyuluh Kehutanan Pelaksana Lanjutan, dan c) Penyuluh Kehutanan Penyelia; sedangkan
Penyuluh Kehutanan Ahli mempunyai 3 jenjang juga, yaitu; a) Penyuluh Kehutanan Ahli Pertama, b)
Penyuluh Kehutanan Ahli Muda, dan 3) Penyuluh Kehutanan Ahli Madya.
Jumlah seluruh Penyuluh Kehutanan di tujuh Balai dan Balai Besar Taman Nasional enam orang (lima
orang laki-laki dan satu orang perempuan) dimana BTN Wakatobi dan BTN Kepulauan Seribu tidak
mempunyai pejabat fungsional Penyuluh Kehutanan (Tabel 5).
12
Tabel 5. Sebaran Penyuluh Kehutanan pada Balai dan Balai BesarTaman Nasional
No.
Balai
Taman Nasional
II
III
IV
Jumlah
1.
Kepulauan Seribu
2.
Karimun Jawa
3.
Takabonerate
4.
Wakatobi
5.
Bunaken
6.
Togian
7.
Teluk Cendrawasih
Jumlah
No.
Balai
Taman Nasional
II
III
IV
Jumlah
26
13
39
24
33
3. BTN Takabonerate
11
17
28
4. BTN Wakatobi
17
16
33
13
5. BTN Bunaken
12
10
22
6. BTN Togian
11
11
44
17
61
130
97
227
Jumlah
Selain tiga jabatan fungsional di atas, terdapat juga Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC), PPNS
Kehutanan, dan Masyarakat Mitra Polhut, yang mempunyai fungsi utama dalam pengawasan dan
penegakan hukum dalam kawasan. SPORC adalah Polhut regular yang merupakan pejabat tertentu dalam
lingkup Kemenhut yang mengemban tugas, fungsi, dan wewenang khusus sesuai peraturan perundangundangan. Wilayah kerja SPORC meliputi wilayah provinsi di tempat SPORC berada, termasuk kawasan
Taman Nasional. Sekarang, sudah terbentuk 11 brigade di 11 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Papua,
Papua Barat, dan DKI Jakarta. Pembentukan SPORC oleh Kemenhut merupakan upaya untuk
memperkuat Polhut dalam penjagaan dan perlindungan kawasan hutan (termasuk Taman Nasional) serta
pengamanan peredaran hasil hutan Indonesia. Sebaran SPORC di tujuh Balai dan Balai Besar TN dapat
dilihat pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Sebaran SPORC pada Balai dan Balai Besar Taman Nasional (orang)
No.
Brigade
Provinsi
Jumlah
Elang
DKI Jakarta
21
Elang
DKI Jakarta
3. BTN Takabonerate
Anoa
Sulsel
14
4. BTN Wakatobi
Anoa
Sulsel
10
5. BTN Bunaken
Anoa
Sulsel
6. BTN Togian
Anoa
Sulsel
Kasuari
Papua Barat
28
90
Jumlah
Sumber: Dit. Penyidikan dan Pengamanan Hutan, 2011
PPNS Kehutanan adalah penyidik Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai kualifikasi Polhut dan non-Polhut.
Terdapat 497 orang PPNS Kehutanan yang menjadi tulang punggung penanganan perkara pelanggaran
dalam Taman Nasional di tujuh provinsi terkait, dimana 223 orang berkualifikasi Polhut dan sisanya 274
orang direkrut dari PNS non-Polhut. Sementara itu, Masyarakat Mitra Polhut adalah masyarakat yang
dipekerjakan di pos-pos Polhut yang berdampingan dengan tempat permukiman untuk membantu tugas
dan fungsi Polhut. Masyarakat Mitra Polhut ini diangkat dan diberhentikan melalui SK Kepala Balai TN
setempat yang diperbarui setiap tahunnya. Sebagai contoh di Pos Polhut Kampung Rinca, Balai Taman
Nasional Komodo, terdapat 5 orang Masyarakat Mitra Polhut yang direkrut dari penduduk kampung
setempat. Tabel 8 memperlihatkan sebaran PPNS yang terdapat di tujuh provinsi tempat Taman Nasional
berada.
14
Tabel 8. Sebaran PPNS Kemenhut pada Balai dan Balai Besar Taman Nasional menurut Provinsi
(orang)
No.
Provinsi
PPNS +
Polhut
PPNS
nonPolhut
Jumlah
PPNS
DKI Jakarta
94
49
143
Jateng
68
23
91
3. BTN Takabonerate
Sulsel
43
50
4. BTN Wakatobi
Sultra
17
39
56
5. BTN Bunaken
Sulut
17
50
67
6. BTN Togian
7. BBTN Teluk Cendrawasih
Jumlah
Sulteng
Papua Barat
59
11
274
78
12
497
19
1
223
15
Tabel 9. Data Sarana dan Prasarana pada Tujuh UPT Taman Nasional Laut Kemenhut
No.
A
BTN
Kep. Seribu
BTN
Bunaken
BTN
BBTN
BTN
Takaboner
Tel.
Wakatobi
ate
Cendrawasih
BTN
Togian
Jumlah
Sarana Penunjang
Kantor
Rumah Dinas
Mes, wisma,bungalow
Mobil dinas
Sepeda motor dinas
Kapal motor
Perahu & perahu karet
Dermaga
Papan pengumuman
Peralatan selam
Teropong
Kamera bawah-air
Bak penampung air
GPS
Tanda batas
Kompas
BTN
Kr. Jawa
Sarana Pengamanan
Kantor resor
Pos Jaga
Pondok kerja
Kapal patroli
Mobil patroli
Motor patroli
Speedboat
Barak polhut/asrama
Menara pengintai
Gedung laboratorium
Sarana Komunikasi/
SKRT Kehutanan
Handy talky
Radio multiband & lainnya
Marine band
SSB
Telepon (telepon + HP + faks)
2
4
2
27
1
9
1
24
23
20
1
3
11
13
7
6
5
1
1
1
1
10
6
7
13
1
3
4
2
2
1
5
13
8
14
6
5
9
5
2
3
20
4
1
1
9
12
9
2
12
5
5
2
5
27
8
5
4
2
10
3
14
1
2
5
7
5
38
16
20
8
11
5
5
15
8
5
20
7
5
3
7
8
1
1
2
16
4
5
21
1
3
1
21
42
14
12
22
4
5
1
4
1
6
1
4
7
14
2
13
1
3
5
2
30
5
2
5
2
44
21
27
1
1
2
7
17
33
22
22
19
111
5
31
6
46
106
92
31
19
76
18
24
57
31
16
33
20
52
7
6
1
132
29
3
25
30
16
Besar Taman Nasional pada tahun 2012 Rp77,9 miliar (di luar gaji PNS). Tabel 10 menunjukkan anggaran
yang disediakan untuk tujuh Taman Nasional antara tahun 2009 sampai dengan 2012.
Tabel 10. Pendanaan Pengelolaan Tujuh UPT Taman Nasional, 2009-2012
Jumlah
(Rp juta)
No
BalaiTaman
Nasional
1.
Kepulauan Seribu
9.061
13.353
10.290
11.890
44.594
2.
Karimun Jawa
8.950
11.242
10.243
10.884
41.319
3.
Wakatobi
8.022
10.114
8.982
10.832
37.950
4.
Takabonerate
6.316
8.267
7.947
9.012
31.542
5.
Bunaken
6.098
6.987
8.022
9.170
30.277
6.
Togian
3.094
4.994
5.918
8.018
22.024
7.
Teluk Cendrawasih
11.392
13.822
16.206
18.151
59.571
52.933
68.779
67.608
77.957
267.277
Jumlah
2009
2010
2011
2012
Pemanfaatan pariwisata alam di Taman Nasional Laut telah berjalan cukup lama. Jumlah pungutan PNBP
sangat bervariasi dari satu TN ke TN lainnya dan telah diatur melalui PP No. 59 Tahun 1998. Dalam PP
tersebut dijelaskan bahwa Kementerian Kehutanan (pada waktu itu Departemen Kehutanan dan
Perkebunan) dapat melakukan dua jenis pungutan dalam kawasan Taman Nasional dari sebelas jenis yang
ada. Kedua jenis pungutan tersebut adalah: 1) Penerimaan dari pengusahaan pariwisata alam dalam Taman
Nasional dan 2) Penerimaan dari pungutan masuk ke Taman Nasional.
Salah satu TN yang banyak mendapatkan PNBP adalah Balai TN Komodo, yang pada tahun 2012
mencapai Rp3 miliar. Pengenaan tarif pungutan masuk ke wilayah Taman Nasional didasarkan pada
Keputusan Menteri Kehutanan No. 878/Kpts-II/92. Objek pengenaan tarif masuk dilakukan terhadap
pengunjung dan kendaraan yang digunakan, apakah kendaraan air atau kendaraan darat, yang besarnya
dibedakan di ketiga rayon. Perincian tentang PNBP disajikan pada Lampiran 2 dan 3.
17
Dalam operasionalnya sehari-hari, pengelolaan kawasan Taman Nasional ini dibagi dalam beberapa
wilayah kerja setingkat eselon IV sehingga beberapa kantor wilayah dibangun di wilayah masing-masing di
dalam kawasan Taman Nasional tersebut. Sebuah Taman Nasional memiliki dua atau tiga kantor seksi
wilayah, yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Seksi Konservasi Wilayah setingkat eselon IV.
Selanjutnya, setiap kantor seksi wilayah dibagi dalam dua atau tiga resor, yang masing-masing resor
mempunyai beberapa Pos Jaga yang letaknya menyebar secara strategis di dalam wilayah kerja resor.
2). Pengamanan kawasan Balai Taman Nasional
PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan memberi kewenangan kepada Polisi Kehutanan untuk
melakukan patroli, memeriksa surat-surat atau dokumen, mencari keterangan dan barang bukti, dan
dapat menangkap tersangka apabila tertangkap tangan. Dalam melakukan patroli, setiap Polhut dilengkapi
dengan senjata laras panjang jenis/tipe PM 1A1 kaliber 9 x 21 mm serta pistol tipe Revolver (S&W 32)
dan pistol Ceska Zbrojovka kaliber 32. Pengaturan penempatan Polhut dan kegiatan patroli dikendalikan
langsung di bawah komando Kepala Balai Taman Nasional. Operasi pengamanan kawasan dibedakan atas
patroli rutin oleh Polhut sendiri dan operasi gabungan yang melibatkan Polhut, aparat kepolisian, dan
aparat penegak hukum lainnya. Untuk menunjang operasional pengamanan kawasan agar berhasil guna
dan tepat guna, Kepala Balai Taman Nasional mengeluarkan Pedoman Teknis Patroli Pengamanan
Kawasan Taman Nasional.
Untuk menangani pelanggaran berat yang memerlukan penanganan cepat dan lintas sektor, Kemenhut
merekrut Polhut yang terlatih dalam reaksi cepat atau satuan Brigade SPORC yang sekarang tersebar di
sebelas provinsi. Selain itu, untuk mempercepat penanganan kasus-kasus pelanggaran, Kepala Balai Taman
Nasional mempunyai kualifikasi sebagai PPNS sehingga dapat langsung melakukan pemeriksaan dan
pemberkasan perkara yang dibantu oleh Polhut setempat. Setiap Taman Nasional biasanya mempunyai
beberapa orang PPNS yang direkrut dari Polhut setempat. Biasanya, setiap tahun Polhut mendapatkan
program Pelatihan Penyegaran di Taman Nasional masing-masing, termasuk di antaranya latihan
menembak, pemberkasan perkara, dan simulasi penegakan hukum.
18
26
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, BangkaBelitung, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Untuk
mengelola masing-masing kawasan, BKKPN dan LKKPN mempunyai satuan kerja (Satker) setingkat gugus
tugas non-eselon yang mempunyai jumlah staf tiga sampai sepuluh orang.
Untuk mengelola KKP Nasional, LKKPN Pekanbaru mempunyai dua Satker, yaitu Satker TWP Anambas
yang berkedudukan di Tarempa dan Satker TWP Pulau Pieh yang berkedudukan di Padang. Sementara
itu, BKKPN Kupang mempunyai tujuh Satker di tiap lokasi, yaitu:
1. Satker Dobo untuk mengelola SAP Kepulauan Aru Bagian Tenggara,
2. Satker Raja Ampat untuk mengelola SAP Kepulauan Raja Ampat dan SAP Kepulauan Waigeo
sebelah Barat,
3. Satker Kapoposang untuk mengelola TWP Kepulauan Kapoposang,
4. Satker Gili Matra untuk mengelola TWP Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan,
5. Satker Biak untuk mengelola TWP Kepulauan Padaido,
6. Satker Banda untuk mengelola TWP Laut Banda, dan
7. Satker Kupang untuk mengelola TNP Laut Sawu.
28
Nomor
Pelatihan
Pelatihan
Pelatihan
Dasar A
Lanjutan B
Menengah
(orang)
(orang)
(orang)
1.
Perencanaan Pengelolaan
660
484
396
2.
Ilmu Kelautan
660
220
176
3.
Pelibatan Masyarakat
704
440
132
4.
660
220
132
5.
660
484
6.
572
484
88
7.
Operasional Pengelolaan
616
484
8.
Teknologi Informasi
484
88
88
29
9.
176
10.
572
264
132
11.
Co-management
308
220
132
12.
308
176
176
13.
440
296
296
14.
Kelembagaan
792
176
132
Keterangan:
A: Peserta pelatihan dasar mencakup pegawai yang dirancang akan mengikuti pelatihan lanjutan dan pelatihan
menengah
B: Peserta pelatihan lanjutan mencakup pegawai yang dirancang akan mengikuti pelatihan menengah
Pengawas Perikanan bidang konservasi di Kemen KP pada waktu ini sedang dalam tahap pengusulan.
Pengawasan Perikanan diatur berdasarkan pasal 66, ayat 2 dan 3, UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45
Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyatakan bahwa pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi
tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bidang perikanan, yang meliputi
penangkapan ikan, pembudidaya ikan dan pembenihan, pengolahan dan distribusi keluar-masuk ikan, mutu
hasil perikanan, distribusi keluar-masuk obat ikan, konservasi, pencemaran akibat perbuatan manusia,
plasma nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan, dan ikan hasil rekayasa genetik.
Pengawas Perikanan yang ada sekarang adalah: 1) Pengawas Perikanan bidang Penangkapan ikan, 2)
Pengawas Perikanan bidang Mutu Ikan dan 3) Pengawas Perikanan bidang Budidaya Ikan. Pengawas
Perikanan bidang Penangkapan Ikan mengikuti pedoman Kepmen KP No. KEP.02/MEN/2002 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan.
sedangkan untuk tahun 2013 telah dialokasikan sebesar Rp21,4 miliar. Secara terperinci, pembiayaan
sepuluh KPPN di bawah kewenangan Kemen KP melalui dua UPT tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Pendanaan Pengelolaan Sepuluh KKPN, 20112013
KKPN
2011
(Rp juta)
2013
2012
7.421
6.050
7.530
12.337
14.344
13.709
19.758
20.394
21.239
31
KPPN Kupang. Implikasinya adalah pengukuran kinerja kawasan, alokasi sumberdaya seperti SDM,
anggaran, dan sebagainya lebih sulit dilakukan.
35
Karena belum adanya jabatan fungsional untuk pengelolaan kawasan konservasi di lingkup Kemen KP,
maka kebutuhan SDM pengelola kawasan dengan kompetensi khusus belum dapat dipenuhi (misalnya
untuk perencanaan atas pengawasan, manajemen kawasan, pemantauan, dan lain-lain). Pengawasan
perikanan yang mencakup bidang konservasi belum ada, kecuali untuk bidang penangkapan ikan, mutu
ikan, dan budidaya ikan. Implikasinya, Kemen KP masih kesulitan menangani pelanggaran-pelanggaran
dalam KKPN, terutama terhadap kasus-kasus yang memerlukan penanganan cepat.
36
Pemanfaatan pariwisata alam di Taman Nasional Laut telah berjalan cukup lama. Jumlah pungutan PNBP
sangat bervariasi dari satu TN ke TN lainnya. Salah satu TN yang banyak mendapatkan PNBP adalah Balai
TN Komodo, yang pada tahun 2012 mencapai Rp3 miliar. Pengenaan tarif pungutan masuk ke wilayah
Taman Nasional telah diberlakukan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 878/Kpts-II/92.
Objek pengenaan tarif masuk dilakukan atas pengunjung dan kendaraan yang digunakan, apakah
kendaraan air atau kendaraan darat, yang besar pungutan ini dikelompokkan menurut tiga rayon.
Kewenangan mengeluarkan izin pemanfaatan pariwisata alam di zona pemanfaatan dalam KKP belum
dimiliki oleh Kemen KP. Peruntukan pariwisata dan rekreasi untuk zona perikanan berkelanjutan dan
zona pemanfaatan termuat dalam Permen KP No. PER.30/MEN/2010, Pasal 18 huruf d dan Pasal 25 huruf
b. Namun, belum ada perangkat hukum atau kebijakan di lingkup Kemen KP atas pungutan-pungutan
pengusahaan pariwisata alam tersebut. Dalam PP No. 60 Tahun 2007, dijelaskan bahwa kegiatan wisata
alam perairan dan/atau pengusahaan pariwisata alam perairan wajib memiliki izin yang diberikan oleh
menteri, gubernur, bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin pariwisata alam perairan di zona pemanfaatan dan/atau
zona perikanan berkelanjutan dalam KKP diatur dengan Peraturan Menteri. Namun demikian, Permen KP
tentang pemanfaatan KKP untuk pariwisata alam ini masih belum ada sehingga pungutan terhadap
pengusahaan pariwisata alam dalam zona pemanfaatan KKP belum dapat dilakukan. Yang sekarang berlaku
adalah Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) yang diatur melalui
Kepmen KP No. Kep.22/MEN/2004 tentang Tata Cara Pungutan PNBP.
Dengan demikian, dalam aspek pendanaan, pengelolaan sepuluh KKPN mempunyai alokasi anggaran yang
jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran pengelolaan tujuh TNL. Implikasinya, pengembangan
pariwisata alam di zona pemanfaatan KKPN terhambat atau dapat berkembang tidak terkendali, atau
tidak sesuai dengan Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKPN tersebut.
kolaborasi dapat dibentuk kelembagaan kolaborasi guna memperlancar pelaksanaan kolaborasi seperti
menyusun rencana kegiatan, pelaksanaan kegiatan, dan melakukan pemantauan dan evaluasi.
Kemen KP masih memiliki keterbatasan sarana dan prasarana operasional pengelolaan sepuluh KKPN.
Pengelolaan KKPN di lokasi dilakukan oleh staf non-eselon dengan jumlah yang belum memadai. Jabatan
fungsional dan jejang karir pengelola KKPN belum ditetapkan. Dalam bidang pengawasan, sekarang sudah
ada Polsus Perikanan dan Pengawas Perikanan dalam lingkup kerja yang lebih luas, serta berada dalam
jalur komando yang berbeda. Polsus Perikanan dan Pengawasan Perikanan berada di bawah tanggung
jawab Direktur Jenderal PSDKP sedangkan UPT KKPN berada di bawah kendali Direktur Jenderal KP3K.
Dengan demikian, dalam aspek operasional pengelolaan, terdapat adanya perbedaan dalam operasional
dan pendekatan pengelolaan. Implikasinya, Kemen KP sulit melakukan pengelolaan yang optimal dan
penegakan hukum terhadap pelanggaran di dalam wilayah KKPN; apalagi apabila memerlukan tindakan
cepat.
38
BAB V. REKOMENDASI
Pemetaan dan pembandingan aspek-aspek pengelolaan kelompok Taman Nasional di bawah kewenangan
Kementerian Kehutanan dan Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KPPN) di bawah Kementerian
Kelautan dan Perikanan menunjukkan beberapa perbedaan yang sangat signifikan. Dengan demikian, bila
akan dilakukan harmonisasi pengelolaannya oleh Kemen KP untuk menjalankan mandat UU no.1 tahun
2014, maka perlu dirancang serangkaian upaya yang perlu dijabarkan dalam dua rencana kerja. Pertama,
rencana dalam tataran strategi yang berjangka waktu panjang misalnya 3-5 tahun. Kedua, rencana dalam
tataran operasional yang merupakan penjabaran strategi harmonisasi pengelolaan.
Strategi untuk harmonisasi pengelolaan seyogyanya mengadopsi mekanisme transisi yang terrencana
dengan output dan jadwal yang terukur. Transisi menjadi pilihan strategi yang rasional mengingat
perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam pengelolaan kawasan konservasi selama ini antara kelompok
kawasan di bawah pengelolaan Kementerian Kehutanan dan kelompok kawasan di bawah pengelolaan
Kemen KP. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain ketersediaan sumberdaya pengelolaan
serta jangka waktu pengelolaan yang sudah berjalan. Kawasan di bawah pengelolaan Kementerian
Kehutanan sudah dikelola sejak beberapa dasawarsa silam, dibandingkan dengan kelompok kawasan
Kemen KP yang baru diserahkan dan dikelola kurang dari 5 tahun yang lalu.
Strategi berikutnya adalah adopsi langkah bersamaan. Serangkaian upaya perlu dilakukan di internal
Kemen KP dan melibatkan banyak unit kerja terkait. Sementara itu upaya upaya lain yang menyangkut
Kementerian/Lembaga diluar Kemen KP secara simultan dapat dilakukan. Kementerian/Lembaga di luar
KemenKP yang teridentifikasi dan terkait dengan harmonisasi pengelolaan ini antara lain: Kementerian
Kehutatan, Kementerian Keuangan, Kementerian PAN-RB, dan Bappenas.
Rencana operasional akan menyangkut komponen yang didefinisikan pada kajian ini dan unit kerja yang
terlibat dapat diringkaskan sebagai berikut:
1. Sumberdaya Manusia dari Internal Kemen KP terdiri dari: Setjen Kemen KP Biro Kepegawaian,
Biro Hukum, Biro Perencanaan, BPSDM-KP Pusat Penyuluhan, Pusat Pelatihan serta Pusat
Pendidikan, Ditjen PSDKP, Ditjen KP3K. Eksternal KKP : Kementerian PAN-RB
2. Kelembagaan, dari internal Kemen KP: Setjen KKP Biro Kepegawaian, Biro Hukum, Biro
Perencanaan, Ditjen KP3K. Eksternal KKP : Kementerian PAN-RB
3. Regulasi dan Peraturan: dari internal Kemen KP: Setjen Kemen KP Biro Hukum, Ditjen KP3K
4. Keuangan: internal Kemen KP Setjen Biro Keuangan, Biro Perencanaan, Ditjen KP3K, Ditjen
KP3K. Eksternal Kemen KP: Kementerian Keuangan, Bappenas, DPR
5. Sarana dan Prasarana: internal KKP: Setjen Kemen KP Biro Umum, Biro Keuangan, Ditjen
KP3K, Eksternal Kemen KP: Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan.
39
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1978. Hasil Keputusan Lokakarya Pelestarian Sumber Daya Alam Laut. Direktorat Perlindungan
dan Pengawetan Alam. Direktorat Jenderal Kehutanan. Bogor. 20 hal.
Anonim, 2008. Kompilasi Peraturan tentang Kelembagaan. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan
Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 151 hal.
Anonim, 2010. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Terkait dengan Bidang PNBP. Kementerian
Kehutanan. Jakarta. 73 hal.
Anonim, 2011. Penyelarasan Urusan Konservasi Sumberdaya Ikan. Position Paper. Direktorat
Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 17 hal.
Hardjodiwirjo, S. 1986. Buku Kumpulan Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan Tugas dan
Tanggung Jawab PPNS sebagai Petunjuk Kerja bagi PPNS di Lingkungan Kehutanan. Direktorat
Perlindungan Hutan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Departemen
Kehutanan. Jakarta. 214 hal.
Maarif, S. 2009. Pedoman Uraian Tugas dan Fungsi UPT Ditjen KP3K. 1. Loka PSPL dan 2. Loka KPPN.
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.
Mulyana, Y. 2006. Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut. Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. COREMAP II. Jakarta. 76 hal.
Mulyana, Y. dan A. Dermawan. 2008. Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia.
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan
Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 97 hal.
Panjaitan, R. B. 2012. Buku Saku Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC). Direktorat Penyidikan
dan Pengamanan Hutan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Kementerian Kehutanan. 96 hal.
Panjaitan, Raffles B. 2012. Statistik Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan. Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kementerian Kehutanan. 105 hal.
Saparjadi, K. 2004. Pengelolaan Kolaboratif. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta. 38 hal.
Saparjadi, K. 2004a. Kumpulan Peraturan Perundangan Terkait dengan Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya. Kerjasama antara Departemen Kehutanan dan JICA. Jakarta. Buku I, II,
dan III.
Soedarsono, A. 1992. Kumpulan Peraturan tentang Pungutan dan Iuran Bidang Pariwisata Alam serta
Pungutan Masuk Kawasan Pariwisata Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta. 63 hal.
40
Susanto, H.A. 2011. Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi Perairan Indonesia. A
Consultancy Report. Kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Coral Triangle
Support Partnership (CTSP). Jakarta. 48 hal.
41
LAMPIRAN
Lampiran 1. Lokasi Suaka Alam Laut Rekomendasi Lokakarya Taman Laut 1978
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Nama Lokasi
Kepulauan Mentawai
Kepulauan Riau
Perairan Bengkulu
Perairan Belitung
Teluk Lampung
Kep. Krakatau
Kompleks P. Panaitan dan P
Peucang U. Kulon
8.
P. Seribu
9.
Pelabuhan Ratu
10.
Pantai Pangumbahan
11.
Perpanjangan muara Citarum
12.
Segara Anakan
13.
Nusa Kambangan
14.
Nusa Penida (Bali selatan)
15.
Lombok Barat
16.
Perairan antara Lombok dan
Sumbawa
17.
Perairan Komodo
18.
Perairan Kupang
19.
Pantai Barat Kalimantan Selatan
20.
Perairan Bontang Kaltim
21.
Telok Ayer, Kalbar
22.
Perairan Sulawesi Selatan
23.
Perairan Kendari
24.
Perairan Sulteng
25.
Karimun Jawa
26.
Sangir Talaud
27.
Teluk Ambon
28.
P. Pombo, Maluku Tengah
29.
Gugusan P. Maluku, Tenggara Aru
dan Kai
30.
Maluku Utara
31.
Perairan Kepala Burung Irian Jaya
Sumber: Anonim, 1978
Pertimbangan
Status
TNL
CAL
TL
CAL
CAL/CBL
Pertimbangan Urgensi
CAL
TL
TL
TL
CAL
CAL
CAL
CAL
TL
TL
CAL
Burung, karang
Rekreasi
Tempat penyu bertelur
Daerah ruaya
Pembibitan udang selatan Jawa
Perlindungan bakau dan lumba-lumba
Ikan laut
Ikan hias, burung
Ikan, penyu
CAL
CAL
CAL
CAL
CAL
TL
CAL
CAL
CAL
CAL
CAL
TNL
CAL
CAL
CAL
Bandeng
Penyu belimbing, burung
42
Lampiran 2. Tarif PNBP di kawasan Taman Nasional (PP No. 59 Tahun 1998)
No.
1.
2.
Satuan
Pengunjung
a. Rayon I
1) Wisatawan Mancanegara
2) Wisatawan Nusantara
b. Rayon II
1) Wisatawan Mancanegara
2) Wisatawan Nusantara
b. Rayon II
1) Wisatawan Mancanegara
2) Wisatawan Nusantara
Peneliti
a. Rayon I
1) Wisatawan Mancanegara
a. 1-15 hari/0,5 bulan
b. 16-30 hari/0,5 bulan
c. 1-6 bulan/0,5 tahun
d. 0,5-1 tahun
e. di atas 1 tahun
2) Wisatawan Nusantara
a. 1-15 hari/0,5 bulan
b. 16-30 hari/0,5 bulan
c. 1-6 bulan/0,5 tahun
d. 0,5-1 tahun
e. di atas 1 tahun
b. Rayon II
1) Wisatawan Mancanegara
a. 1-15 hari/0,5 bulan
b. 16-30 hari/0,5 bulan
c. 1-6 bulan/0,5 tahun
d. 0,5-1 tahun
e. di atas 1 tahun
2) Wisatawan Nusantara
a. 1-15 hari/0,5 bulan
b. 16-30 hari/0,5 bulan
c. 1-6 bulan/0,5 tahun
d. 0,5-1 tahun
e. di atas 1 tahun
c. Rayon III
1) Wisatawan Mancanegara
a. 1-15 hari/0,5 bulan
b. 16-30 hari/0,5 bulan
c. 1-6 bulan/0,5 tahun
d. 0,5-1 tahun
e. di atas 1 tahun
2) Wisatawan Nusantara
orang
orang
20.000,2.500,-
orang
orang
15.000,1.500,-
orang
orang
10.000,6.000,-
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
100.000,200.000,400.000,600.000,800.000,-
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
45.000,75.000,125.000,200.000,250.000,-
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
43
Tarif Satuan
(Rp)
75.000,150.000,300.000,450.000,200.000,25.000,50.000,100.000,150.000,200.000,-
60.000,120.000,150.000,300.000,450.000,-
3.
4.
5.
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
20.000,40.000,50.000,100.000,150.000,-
Buah
Buah
Buah
3.000,2.000,1.000,-
Buah
Buah
Buah
6.000,2.000,1.000,-
Buah
Buah
Buah
50.000,25.000,10.000,-
Buah
Buah
Buah
75.000,50.000,25.000,-
Buah
Buah
Buah
100.000,75.000,50.000,-
Buah
Buah
Buah
2.000,1.500,1.000,-
Sekali masuk
Dok. cerita
Non komersial
Non komersial
3.000.000,2.500.000,150.000,50.000,-
Sekali masuk
Dok. cerita
Non komersial
Non komersial
2.000.000,1.500.000,15.000,5.000,-
Sekali masuk
Dok. cerita
Non-komersial
44
2.500.000,2.000.000,125.000,-
6.
d. Foto
2) Wisatawan Nusantara
a. Film Komersial
b. Video Komersial
c. Handycam
d. Foto
b. Rayon III
1) Wisatawan Mancanegara
a. Film Komersial
b. Video Komersial
c. Handycam
d. Foto
2) Wisatawan Nusantara
a. Film Komersial
b. Video Komersial
c. Handycam
d. Foto
Olah Raga/Rekreasi Alam Bebas
a. Rayon I
1) Wisatawan Mancanegara
a. Menyelam (diving)
b. Snorkling
c. Berkemah
d. Kano
e. Selancar
2) Wisatawan Nusantara
a. Menyelam (diving)
b. Snorkling
c. Berkemah
d. Kano
e. Selancar
b. Rayon II
1) Wisatawan Mancanegara
a. Menyelam (diving)
b. Snorkling
c. Berkemah
d. Kano
e. Selancar
2) Wisatawan Nusantara
a. Menyelam (diving)
b. Snorkling
c. Berkemah
d. Kano
e. Selancar
c. Rayon III
1) Wisatawan Mancanegara
a. Menyelam (diving)
b. Snorkling
45
Non-komersial
30.000,-
Sekali masuk
Dok. cerita
Non-komersial
Non-komersial
1.500.000,1.000.000,12.500,3.000,-
Sekali masuk
Dok. cerita
Non-komersial
Non-komersial
2.000.000,1.500.000,100.000,25.000,-
Sekali masuk
Dok. cerita
Non-komersial
Non-0komersial
1.000.000,500.000,10.000,2.500,-
1 jam
1 jam
1 hari
1 jam
1 jam
75.000,60.000,30.000,40.000,60.000,-
1 jam
1 jam
1 hari
1 jam
1 jam
50.000,40.000,20.000,25.000,40.000,-
1 jam
1 jam
1 hari
1 jam
1 jam
50.000,40.000,20.000,25.000,40.000,-
1 jam
1 jam
1 hari
1 jam
1 jam
40.000,30.000,15.000,20.000,30.000,-
1 jam
1 jam
40.000,30.000,15.000,-
c. Berkemah
d. Kano
e. Selancar
2) Wisatawan Nusantara
a. Menyelam (diving)
b. Snorkling
c. Berkemah
d. Kano
e. Selancar
1 hari
1 jam
1 jam
1 jam
1 jam
1 hari
1 jam
1 jam
46
20.000,30.000,30.000,20.000,10.000,15.000,20.000,-
47
c) Kendaraan darat: dibedakan atas roda 2, roda 4, roda 6, kuda dan sepeda yang dibagi
dalam tiga rayon tempat TN; makin banyak roda yang dimiliki kendaraan tersebut, tarif
yang dikenakan makin tinggi. Demikian juga bagi wisatawan mancanegara, tarif yang
dikenakan lebih tinggi.
d) Kendaraan air: dibedakan kapal motor dengan mesin 0 sampai 40 PK, 41 80 PK, dan
lebih dari 80 PK; makin besar mesinnya, tarif yang dikenakan makin tinggi, dan wisatawan
asing dikenai tarif yang lebih tinggi dari wisatawan nusantara; demikian juga tempat
Taman Nasional dalam Rayon I, II atau III; tarif di Rayon I tertinggi.
e) Pengambilan gambar/snapshot: dikenakan pada kegiatan pembuatan film komersial, video
komersial, handycam, dan foto yang dilakukan oleh wisatawan mancanegara tarifnya lebih
tinggi dari wisatawan Nusantara. Dan tarif dibedakan menurut tiga rayon.
f) Olah raga dan rekreasi alam bebas: dikenakan pada kegiatan seperti: menyelam,
snorkeling, berkemah, kano (canoeing), dan selancar; tarif dibedakan dalam tiga rayon
serta terhadap wisatawan mancanegara dikenakan tarif lebih tinggi.
Gambar:
Contoh Karcis Pengambilan Gambar dan Karcis Masuk bagi Wisatawan Mancanegara
48
49