Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ingkar as-sunnah
Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap
sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka
membuat tetodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini
mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun
keseluruhannya.
Penyebutan ingkar as-sunnah tidak semata-mata berarti
penolakan total terhadap sunnah. Penolakan terhadap sebagian
sunnah

pun

termasuk

dalam

kategori

ingkar

as-sunnah,

termasuk di dalamnya penolakan yang berawal dari sebuah


konsep berpikir yang janggal atau metodologi khusus yang
diciptakan sendiri oleh segolongan orang, baik itu masa lalu
maupun masa sekarang. Sedangkan konsep tersebut tidak
dikenal dan diakui oleh ulama hadits dan fiqih.
Ada tiga jenis kelompok ingkar as-sunnah, yaitu:
1) Kelompok yang menolak hadits-hadits Rasulullah SAW secara
keseluruhan,
2) Kelompok yang menolak hadits-hadits yang tak disebutkan
dalam tersurat Al-Quran secara Al-Quran secara tersurat
ataupun tersirat,
3) Kelompok yang hanya menerima hadits-hadits mutawatir dan
menolak hadits-hadits ahad walaupun sahih dengan alasan
dengan ayat,



Artinya:

dan

mereka

tidak

mempunyai

sesuatu

pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah


mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan

itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. (QS.AnNajm: 28)


2.2 Pengertian Ingkar as-sunnah
2.2.1 Ingkar as-sunnah Klasik
Pada masa sahabat, seperti dituturkan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri
(110H), ada sahabat yang kurang begitu memerhatikan kedudukan sunnah Nabi
SAW, yaitu ketika sahabat Nabi SAW Imran bin Hushain (52 H) sedang
mengajarkan hadits, tiba-tiba ada seorang yang meminta agar ia tidak usah
mengajarkan hadits, tetapi cukup mengajarkan Al-Quran saja. Jawab Imran,
Tahukan Anda, seandainya Anda dan kawan-kawan Anda hanya memakai AlQuran, apakah Anda dapat menemukan dalam Al-Quran bahwa shalat Dhuhur
itu empat rakaat, shalat Ashar empat rakaat, dan shalat Maghrib tiga rakaat?
Apabila Anda hanya memakai Al-Quran, dari mana Anda tahu bahwa tawaf dan
sai (mengelilingi Kabah) antara Shafa dan Marwa itu tujuh kali? .
Mendengar jawaban itu, orang tersebut berkata, Anda telah menyadarkan
saya. Mudah-mudahan, Allah selalu menyadarkan Anda. Akhirnya, sebelum
wafat, orang itu menjadi ahli fiqih.
Hal serupa juga pernah terjadi pada Umayyah bin Abdillah bin Khalid (87
H), ketika ia mencoba mencari semua permasalahan dalam Al-Quran saja.
Karena tidak menemukan jawaban atas masalah yang dihadapinya, akhirnya ia
bertanya kepada Abdullah bin Umar (74 H). ia berkata, Di dalam Al-Quran,
saya hanya menemukan keterangan tentang shalat di rumah dan shalat dalam
peperangan (shalat al-khauf), sedangkan masalah shalat dalam perjalanan tidak
ditemukan. Abdullah bin Umar menjawab, Wahai kemenakanku, Allah SWT
telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita, sementara kita tidak
mengetahui apa-apa. Karena itu, kita kerjakan apa saja yang kita lihat dari Nabi
Muhammad SAW mengerjakannya.
Gejala-gejala ingkar as-sunnah seperti di atas, masih merupakan sikapsikap individual, bukan merupakan sikap kelompok atau mazhab, meskipun
jumlah mereka dikemudian hari semakin bertambah. Suatu hal yang patut dicatat,
bahwa gejala-gejala itu tidak terdapat di negeri-negeri islam secara keseluruhan,
melainkan secara umum terdapat di Irak. Karena Imran bin Hushain dan Ayyub
As-Sakhtiyani, tinggal di Bashrak Irak. Demikian pula, orang-orang yang

disebutkan oleh Imam Syafii sebagai pengingkar sunnah juga tinggal di Bashrah.
Karena itu, pada masa itu, tampaknya di irak terdapat faktor-faktor yang
menunjang timbulnya paham ingkar as-sunnah.
Dan itulah gejala-gejala ingkar as-sunnah yang muncul dikalangan para
sahabat. Sementara menjelang akhir abad kedua Hijriah muncul pula kelompok
yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber syarian Islam, di samping ada
pula yang menolak sunnah yang bukan mutawatir saja.
2.2.1.1 Khawarij dan Sunnah
Dari sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata
kharij yang berarti sesuatu yang keluar. Sementara menurut pengertian
terminologis khawarij adalah kelompok atau golongan yang pertama keluar dan
tidak loyal terhadap pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan khawarij
disini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin
Abi Thalib r.a. Ada sumber yang mengatakan bahwa hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh para sahabat sebelum terjadinya fitnah yang mengakibatkan
terjadinya perang saudara. Yaitu perang jamal (antara sahabat Ali r.a dengan
Aisyah) dan perang Siffin ( antara sahabat Ali r.a dengan Muawiyah r.a). Dengan
alasan bahwa seelum kejadian tersebut para sahabat dinilai sebagai orang-orang
yang adil (muslim yang sudah akil-baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu
menjaga martabatnya). Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok
khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi SAW sudah keluar dari islam.
Akibatnya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat setelah kejadian
tersebut mereka tolak. Seluruh kitab-kitab tulisan orang-orang khawarij sudah
punah seiring dengan punahnya mazhab khawarij ini, kecuali kelompok Ibadhiyah
yang masih termasuk golongn khawarij. Dari sumber (kitab-kitab) yang ditulis
oleh golongan ini ditemukan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh atau
berasal dari Ali, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lainnya. Oleh
karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seluruh golongan khawarij menolak
Hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat Nabi SAW, baik sebelum maupun
sesudah peristiwa tahkim adalah tidak benar.
2.2.1.2 Syiah dan Sunnah
Kata syiah berarti para pengikut atau para pendukung. Sementara
menurut istilah, syiah adalah golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib lebih
4

utama daripada khalifah yang sebelumnya, dan berpendapat bahwa al-bhait lebih
berhak menjadi khalifah daripada yang lain. Golongan syiah terdiri dari berbagai
kelompok dan tiap kelompok menilai kelompok yang lain sudah keluar dari islam.
Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah kelompok Itsna
asyariyah. Kelompok ini menerima hadits nabawi sebagai salah satu syariat
islam. Hanya saja ada perbedaan nmendasar antara kelompok syiah ini dengan
golongan ahl sunnah (golongan mayoritas umat islam), yaitu dalam hal penetapan
hadits. Golongan syiah menganggap bahwa sepeninggal Nabi SAW mayoritas
para sahabat sudah murtad kecuali beberapa orang saja yang menurut menurut
merekamasih tetap muslim. Karena itu, golongan syiah menolak hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syiah hanya menerima
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahli baiat saja.
2.2.1.3 Mutazilah dan Sunnah
Arti kebahasaan dari kata mutazilah adala sesuatu yang mengasingkan
diri. Sementara yang dimaksud disini adalah golongan yang mengasingkan diri
mayoritas umat islam karena berpendapat bahawa seorang muslim yang fasiq idak
dapat disebut mukmin atau kafir. Imam SyafiI menuturkan perdebatannya dengan
orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menelaskan siapa arang yang
menolak sunah itu. Sementara sumber-sumber yang menerankan sikap mutazilah
erhadap sunnah masih terdapat kerancuan, apakah mutazilah menerima sunnah
keseluruhan, menolak keseluruhan, atau hanya menerima sebagian sunnah saja.
Kelompok mutazilah menerima sunnah seperti halnya umat islam, tetapi mungkin
ada beberapa hadits yang mereka kritik apabila hal tersebut berlawanan dengan
pemikiran mazhab mereka. Hal ini tidak berarti mereka menolak hadits secara
keseluruhan, melainkan hanya menerima hadits yang bertaraf mutawatir saja. Ada
beberapa hal yang perlu dicatat tentang ingkar as-sunnah klasik yaitu, bahwa
ingkar as-sunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat perseorangan
dan ha itu muncul akibat ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan kedudukan
hadist. Karena itu, setelah diberitahu tentang urgensi sunnah, mereka akhirnya
menerimanya kembali. Sementara lokasi ingkar as-sunnah klasik berada di Irak,
Basrah. Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya

sekelompok muslim yang berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah Nabi


Muhammad SAW. Dan tidak menggunakannya sebagai sumber atau dasar agama
Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok tersebut tampil secara terang-terangan
menyebarkan pahamnya dengan nama, misalnya, Jamaah al-Islamiah al-Huda,
dan Jamaah al-Quran dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan alQuran sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah
akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai
landasan agama.
2.2.1.4 Pembela Sunnah
Pada masa klasik, Imam Asy-Syafii telah memainkan perannya dalam
menundukan kelompok pengingkar sunnah. Seperti telah disebutkan dalam
kitabnya Al-Umm, beliau menuturkan pendebatanya dengan orang yang menolak
hadis. Setelah melalui perdebatan yang panjang, rasional, dan ilmiah pengingkar
Sunnah tersebut akhirnya tunduk dan menyatakan menerima hadist. Oleh karena
itu, Imam Asy- Syafii kemudian diberi julukan sebagai Nashir As-Sunnah
(pembela Sunnah).
Begitulah paham Ingkar as-sunnah pada masa klasik. Ia muncul pada
masa sahabat, kemudian berkembang pada abad II H, dan akhirnya lenyap dari
peredaran pada akhir abad III H. dan baru abad XIV H, paham itu muncul kembali
ke permukaan sebagai akibat adanya kolonialisme yang melanda umat islam.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat tentang ingkar as-sunnah, yaitu
bahwa ingkar as-sunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat
perseorangan dan hal itu muncul akibat ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan
kedudukan Sunnah dalam islam. Karena itu, setelah diberi tahu tentang urgensi
ingkar as-sunnah, mereka akhirnya menerimanya. Sementara lokasi ingkar assunnah klasik pada umumnya berada di Irak, khususnya Bashrah.
2.2.2

Inkar As-Sunnah Masa Kini


Sejak abad ke tiga sampai abad ke empat belas Hijriah, tidak ada catatan

sejarah yang menujukan bahwa kalangan umat islam mendapat pemikiranpemikiran untuk menolak Sunnah sebagai salah satu sumber syariat islam, baik

secara perseorangan maupun kolompok. Pemikiran untuk menolak Sunnah yang


muncul pada abad I H (ingkar as-sunnah klasik) sudah lenyap ditelan masa pada
akhir abad III H.
Pada abad keempat belas Hijriah, pemikiran seperti itu muncul kembali
kepermukaan, dan kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari
ingkar as-sunnah klasik. Apabila ingkar as-sunnah klasik muncul di Bashra, Irak
akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah,
ingkar as-sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran
kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia islam.
Apabila ingkar as-sunnah klasik masih banyak bersifat perorangan dan
tidak menamakan dan tidak menamakan dirinya mujtahid atau pembaharu, ingkar
as-sunnah modern banyak yang bersifat kelompok yang terorganisir, dan tokohtokohnya banyak yang mengklaim dirinya sebagi mujtahid dan pembaharu.
Apabila para pengingkar sunnah pada masa klasik mencabut pendapatnya
setelah mereka menyadari kekeliruannya, para pengingkar Sunnah, pada masa
modern banyak yang bertahan pada pendirianya, meskipun kepada mereka telah
diterangkan urgensi Sunnah dalam Islam. Bahkan, di antara mereka, ada yang
tetap menyebarkan pemikiranya secara diam-diam, meskipun penguasa setempat
telah mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut.
Kapankah aliran ingkar as-sunnah modern itu lahir? Muhammad Mustafa
Azami menuturkan bahwa ingkar as-sunnah modern lahir di kairo Mesir pada
masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323 H/1849-1905 M). Dengan kata lain,
Syeikh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan
ingkar as-sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih diberi catatan,
apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitabnya Adhwa ala As-Sunnah alMuhammadiyah itu benar.
Abu Rayyah menuturkan bahwa Syeikh Muhammad Abduh berkata,
Umat Islam pada masa sekarang ini tidak mempunyai imam (pimpinan) selain
Al-Quran, dan Islam yang benar adalah Islam pada masa awal sebelum terjadinya
fitnah (perpecahan). Beliau juga berkata, Umat Islam sekarang tidak mungkin
bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab yang diajarkan yang
diajarkan di Al-Azhar dan sekenisnya) masih tetap diajarkan. Umat islam tidak

mungkin maju tanpa ada semangat yang menjiwai umat islam abad pertama, yaitu
Al-Quran. Semua hal selain Al-Quran akan menjadi kendala yang menghalangi
antara Al-Quran dan ilmu tentang amal.
Abu Rayyah dalam menolak sunnah banyak merujuk pada pendapat
Syeikh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha, sehingga kedua tokoh inikhususnya Syeikh Muhammad Abduh disebut-sebut sebagai pengingkar Sunnah.
Namun benarkah Syeikh Muhammad Abduh mengingkari Sunnah? Seperti
dituturkan di atas, Azami masih belum memastikan hal itu karena ia hanya
menukil pendapat Abu Rayyah yang belum dapat dipastikan kebenaranya.
Sementara Mustafa As-Sibai secara tidak langsung menuduh Syeikh
Muhammad Abduh sebagai pengingkar sunnah. As-SibaI menilai Abduh sebagai
orang yang sedikit perbendaharaan hadisnya.
Menurut As-Sibai, Syeikh Muhammad Abduh memiliki prinsip bahwa
senjata yang paling ampuh untuk membela islam adalah logika dan argument yang
rasional. Berangkat dari prinsip ini, Abduh kemudian mempunyai penilaianyang
lain terhadap Sunnah dan pada akhirnya dijadikan argument kuat oleh Abu
Rayyah dalam mengingkari Sunnah.
Sebenarnya keterangan Abduh, sebagaimana yang dinukil Abu Rayyah
masih perlu ditinjau kembali. Masalahnya, boleh jadi, Abduh ketika mengatakan
hal itu didorong oleh semangat yang menggebu-gebu untuk membumikan AlQuran sehingga ia berpendapat bahwa selain Al-Quran, tidak ada gunanya sama
sekali. Namun bagaimanapun, ia telah dituduh sebagai pengingkar Sunnah.
Sementara itu, ada suatu hal yang sudah kongkret tentang Syeikh
Muhammad Abduh dalam kaitanya dalam hadis, yaitu ia menolak hadis ahad
untuk dijadikan dalil dalam masalah akidah. Hadis ahad adalah hadis yang dalam
setiap jenjang periwayatannya (thabaqah al-ruwat) hanya terdapat maksimal
sembilan orang rawi. Sebaliknya, hadis mutawatir adalah hadis yang dalam setiap
jenjang periwayatannya terdapat minimal sepuluh orang rawi. Menurut Abduh,
untuk masalah-masalah akidah hanya dapat dipakai hadis-hadis mutawatir.
Pemikiran Syeikh Muhammad Abduh dalam menolak sunnah ini diikuti
oleh Taufiq Shidqi, yang menulis dua sebuah artikel dalam majalah Al-Manar
nomer 7 dan 12 tahun IX dengan judul Islam adalah Al-Quran itu sendiri.

Sambil mengutip ayat-ayat Al-Quran Taufiq Shidiq mengatakan bahwa islam


tidak memerlukan Sunnah.
Pendapat Taufiq Shidqi ini ditanggapi positif oleh Sayyid Rasyid Ridha,
antara lain dengan mengatakan, Dalam masalah ini ada suatu hal yang perlu
dikaji ulang, yaitu apakah hadis yang mereka sebut sebagai Sunnah Qauliyah itu
merupakan agama dan syariat yang bersifat umum, meskipun hal itu tidak
merupakan aturan-aturan yang harus dikerjakan, khususnya pada masa-masa
awal? Apabila kita menjawab Ya, ada pertanyaan besar yang perlu kita jawab,
yaitu mengapa Nabi SAW justru melarang penulisan apapun selain Al-Quran?
Begitupula, para sahabat, mengapa mereka tidak menulis hadis, bahkan para
ulama dari kalangan mereka seperti para Khalifah juga tidak terpanggil untuk
memerhatikan dan melestarikan hadist?
Sayyid Rasyid Ridha tampaknya sangat mendukung pemikiran Taufiq
Shidqi. Bahkan, ia berpendapat bahwa hadis-hadis yang sampai kepada kita
dengan riwayat mutawatir, seperti jumlah rakaat shalat, puasa, dan lain-lain,
haarus diterima dan hal itu disebut aturan agama secara umum. Akan tetapi, hadishadis yang periwayatanya tidak mutawatir disebut aturan agama secara khusus
dimana kita tidak wajib menerimanya.
Begitulah pendapat pemikiran Sayyid Rasyid tentang hadist. Namun
demikian, belakangan ia mencabut pendapatnya itu, bahkan dikenal sebagai
pembela hadis. As-Sibai menuturkan, Pada awalnya Sayyid Rasyid Ridha
terpengaruh dengan pemikiran gurunya, ia pun sedikit perbendarahannya dalam
masalah hadis dan tidak banyak mengetahui ilmu-ilmu hadis. Namun, sesudah
Syeikh Muhammad Abduh wafat dan Sayyid Rasyid Ridha menerima tongkat
estafet pembaharuan, ia banyak mendalami ilmu-ilmu fiqh, hadis, dan lain-lain,
sehingga ia menjadi tempat bertanya umat islam di seluruh dunia. Karena itu
pengetahuan beliau tentang hadis semakin dalam sehingga akhirnya ia menjadi
pengibar panji-panji Sunnah di Mesir.
Babak berikutnya, pada tahun 1929, Ahmad Amin menerbitkan buku Fajr
Al-Islamy ang mengulas masalah hadis dalam suatu bahasan khusus (bab IV pasal
2). Kemudian, pada tahun 1353 H (1933 M), Ismail Adham mempublikasikan
bukunya tentang sejarah hadis. Ia berkesimpulan bahwa hadis-hadis yang terdapat

dalam kitab-kitab sahih (antara lain Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) tidak
dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Menurutnya hadis-hadis itu secara
umum diragukan otentisitasnya.
Begitulah golongan ingkar as-sunnah terus menyebar ke
berbagai belahan bumi dimana Islam berkembang sebagai wujud
adanya kekuatan internal yang hendak melemahkan panji-panji
kebesaran Islam, tak luputnya tanah air tercinta.
2.3 Argumentasi Inkar AS-Sunnah dan Bantahan Para
Ahli
Sebagai suatu paham atau aliran, inkar al-sunnah baik
yang klasik maupun yang modern memiliki argumen-argumen
yang dijadikan pegangan oleh mereka. tanpa argumen-argumen
itu, barangkali pemikiran itu tidak mempunyai pengaruh apaapa. Berkut ini akan dijelaskan argumen-argumen mereka dan
sanggahan para ulama ahli hadist terhadap mereka.
2.3.1

Agama bersifat konkret dan pasti


Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada

suatu hal yang pasti. Apabila kita mengambil dan memakai


sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al-Quran yang
kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti, seperti dituturkan
dalam ayat berikut:

.
(2-1 : )


,




Artinya: Alif Laam Miim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan
padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah
(2): 1-2)


: )










(31

10

Artinya: Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu AlKitab (Al-Quran) itulah yang benar, dengan membenarkan kitabkitab sebelumnya.
(QS. Al-Faathir (35):31)
Sementara apabila agama islam itu bersumber dari hadist,
ia tidak akan memiliki kepastian sebab keberadaan hadist,
khususnya hadist ahad- bersifat dhanni (dugaan yang kuat), dan
tidak sampai pada peringkat pasti. Karena itu, apabila agama
Islam berlandaskan hadist disamping Al-Quran, Islam akan
bersifat ketidak pastian. Dan ini dikecam oleh Allah dalam
firmannya,


(28: )





Sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tiadalah berfaedah
sedikit pun terhadap kebenaran. (QS. An-Najm (53): 28)
Demikianlah, argumen pertama inkar al-sunnah, baik yang
klasik maupun yang modern, seperti diungkapkan oleh Taufiq
Sidqi (Mesir) dan Jamiyah Ahl Al-Quran (Pakistan).
2.3.2

Al-Quran sudah lengkap


Dalam syariat Islam, tidak ada dalil lain, kecuali Al-Quran.

Allah SWT berfirman,


(38: )




Artinya: Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Quran).
(QS. Al-Anam: 38)
Jika

kita

berpendapat

Al-Quran

masih

memerlukan

penjelasan, berarti kita secara tegas mendustakan Al-Quran dan


kedudukan Al-Quran yang membahas segala hal secara tuntas.
Padahal, ayat di atas membantah Al-Quran masih mengandung
keekurangan. Oleh karena itu, dalam syariat Allah tidak mungkin
diambil pegangan lain, kecuali Al-Quran. Argumen ini dipakai
oleh Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.

11

2.3.3

Al-Quran tidak memerlukan penjelas


Al-Quran tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya

Al-Quran merupakan penjelasan terhadap segala hal. Allah SWT


berfirman,











(89 : )
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS.
An-Nahl (16):89)


(114: )






Artinya: Dan Dialah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran)
kepadamu dengan teperinci. (QS. Al-Anam: 114)
Ayat-ayat ini dipakai dalil oleh para pengingkar Sunnah,
baik dulu maupun kini. Mereka menganggap Al-Quran sudah
cukup karena memberikn penjelasan terhadap segala masalah.
Mereka

adalah

orang-orang

yang

menolak

hadist

secara

disebutkan

diatas,

keseluruhan, seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.


Selain

tiga

argument

yang

telah

terdapat beberapa argument lain yang dipakai oleh para


pengingkar sunnah diantaranya yaitu:
1) Al-Quran diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad
melalui malaikat jibril dalam bahsa arab. Orang-orang yang
memiliki pengetahuan bahsa arab mampu memahami Al-Quran
secara langsung tanpa bantuan penjelasan dari hadis Nabi.
Dengan demikian hadis Nabi tidak diperlukan untuk memahami
petunjuk Al- Quran.
2) Dalam sejarah, umat

islam

telah

mengalami

berbagai

kemunduran disegala bidang. Umat islam mundur karena mereka

12

terpecah belah menjadi berbagai golongan dan firqoh-firqoh


yang beraneka macam ragamnya. Perpecahan itu terjadi karena
umat islam berpegang pada hadis nabi. Jadi menurut pengingkar
as-sunnah hadist Nabi merupakan sumber kemunduran umat
islam.

Agar

umat

islam

maju,

maka

umat

islam

harus

meninggalkan hadist Nabi.


3) Asal mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis
adalah dongeng-dongeng semata. Dinyatakan demikian karena
hadis nabi lahir setelah lama wafat Nabi. Dalam sejarah sebagian
hadis baru muncul pada zaman tabiin dan atba at tabiin yakni
pada tahun sekitar 40 atau lima puluh tahun sesudah Nabi wafat.
Kitab-kitab hadis yang terkenal misalnya, shahih al-bukhori dan
shahih muslim, adalah kitab-kitab yang menghimpun berbagai
hadis palsu. Disamping itu banyak matan hadist yang termuat
dalam berbagai kitab hadist, isinya bertentangan dengan AlQuran ataupun logika.
4) Menurut dokter Taufik Sidqi tiada satupun hadis nabi yang dicatat
pada zaman Nabi. Pencatatn hadis terjadi setelah Nabi wafat.
Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang
untuk mempermaiankan an merusak hadis sebagaimana yang
telah terjadi.
5) Menurut para pengingkar as sunnah, kritik sanad yang terkenal
dalam ilmu hadis sangat lemah untuk menentukan kesahihan
hadis

dengan

alasan

Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadis dikenal dengan
istilah ilmu jarh wa at tadil (ilmu yang membahas ketercelaan
dan keterpujian para periwayat hadis) baru muncul setelah satu
setengah abad Nabi wafat. Dengan demikian para periwayat
generasi sahabat Nabi, al tabiin dan atba at tabiin tidak dapat
ditemui dan diperiksa lagi.
2.4 Bantahan para Ahli terhadap Argumentasi Inkar AsSunnah

13

Argumen-argumen para pengingkar sunnah mendapat


bantahan yang tegas dari para ulama. Diantara bantahan
tersebut:
2.4.1

Bantahan terhadap Argumen Pertama


Alasan mereka bahwa Sunnah itu dhanni (dugaan kuat) sedang kita

diharuskan mengikuti yang pasti (yakin), masalahnya tidak demikian. Sebab, AlQuran sendiri meskipun kebenaranya sudah diyakini sebagai Kalamullah, tidak
semua ayat memberikan petunjuk hukum yang pasti sebab banyak ayat yang
pengertiannya masih dhanni (dhanni ad-dalalah). Bahkan orang yang memakai
pengertian ayat seperti ini juga tidak dapat meyakinkan bahwa pengertian itu
bersifat pasti. Dengan demikian, berarti ia juga tetap mengikuti pengertian ayat
yang masih bersifat dugaan kuat (dhanni ad-dalalah) adapun firman Allah SWT,

(36: )
Artinya: Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti, kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu sedikitpun tidak berguna untuk mencapai
kebenaran. (Q.S. Yunus: 36)
Yang dimaksud dengan kebenaran (al-haq) disini adalah masalah yang
sudah tetap dan pasti. Jadi, maksud ayat ini selengkapnya adalah, bahwa dhanni
tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap dengan pasti, sedangkan dalam
hal menerima hadis, masalahnya tidak demikian.
Untuk membantah orang-orang yang menolak hadis ahad, Abu Al-Husain
Al-Bashri Al-Mutazili mengatakan, Dalam menerima hadis-hadis ahad,
sebenarnya kita memakai dalil-dalil yang pasti yang mengharuskan untuk
menerima hadis-hadis itu. Jadi, sebenarnya kita tidak memakai dhann yang
bertentangan dengan haq,

tetapi kita mengikuti atau memakai dhann yang

memang diperintahkan Allah.


Para ingkar Sunnah juga mengkritik Imam Syafii yang menetapkan
hukum dengan hadis ahad yang bersifat dhann. Mereka bertanya, Apakah ada
dalil yang bersifat dhann yang dapat menghalalkan suatu masalah yang sudah

14

diharamkan dengan dalil qathi (pasti dan yakin)? Imam Syafii menjawab, Ya,
ada. Mereka bertanya lagi, apakah itu? Imam Syafii menjawab dengan
melontarkan pertanyaan, Bagaimana pendapatmu tentang orang membawa harta
yang ada disebelah saya ini, apakah orang itu haram dibunuh dan hartanya haram
dirampas? mereka menjawab, Ya demikian, haram dibunuh dan hartanya haram
dirampas. Imam SyafiI bertanya lagi, Apabila ternyata ada dua saksi yang
mengatakan bahwa orang tersebut baru membunuh orang lain dan merampok
hartanya, bagaiman pendapatmu? mereka menjawab, Ia mesti di qisas dan
hartanya harus dikembalikan kepada ahli waris yang terbunuh. Imam Syafii
bertanya lagi, Apakah tidak mungkin dua orang saksi tersebut bohong atau
keliru? mereka menjawab, Ya, mungkin Kalau begitu, kata Imam SyafiI
selanjutnya,Kamu telah membolehkan membunuh (mengqisas) dan merampas
harta dengan dalil yang dhanni, padahal dua masalah itu sudah diharamkan
dengan dalil yang pasti. Ya, komentar mereka lagi, Karena kita diperintahkan
untuk menerima kesaksian.
2.4.2

Bantahan terhadap Argumen kedua dan ketiga


Kelompok pengingkar Sunnah, baik pada masa lalu maupum belakangan,

umumnya kekurangan waktu dalam mempelajari Al-Quran. Hal itu karena


mereka kebanyakan hanya memakai dalil ayat 89 surat An-Nahl, yaitu,

(89: )
Artinya: Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu danpetunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri" . (Q.S. An-Nahl: 89)
Padahal, dalam ayat 44 surat An-Nahl itu juga, Allah berfirman,

(44: )
Artinya: Dan kami turunkan kepada Al-Quran, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka
memikirkan" . (Q.S. An-Nahl:44)

15

Apabila

Allah

sendiri

yang

menurunkan

Al-Quran

itu

sudah

membebankan kepada Nabi-Nya agar ia menerangkan isi Al-Quran, dapatkah


dibenarkan seorang muslim menolak keterangan atau penjelasan tentang isi AlQuran tersebut, dan memakai Al-Quran sesuai pemahamanya sendiri seraya
tidak mau memakai penjelasan-penjelasan yang beraasal dari Nabi SAW? Apakah
ini tidak berati percaya kepada sejumlah ayat Al-Quran dan tidak percaya kepada
ayar-ayat yang lain? Allah SWT berfirman,

,


,
(85: ),
Artinya: Apakah kamu beriman pada sebagian Al-Kitab dan ingkar kepada
sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian diantara
kamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat
mereka, dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari yang
kamu perbuat". (Q.S. Al-Baqarah: 85)
Sedangkan argument mereka dengan ayat 38 surat Al-Anaam,

(85: )
Artinya: Dan tidaklah kami alpakan sesuatupun dalam Al-kitab.
(Q.S. Al-Anaam: 38)
Hal itu tidak pada tempatnya sebab Allah juga menyuruh kita untuk
memakai apa yang disampaikan oleh Nabi SAW, seperti dalam firman-Nya,

(7: )
Artinya: Dan apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah, dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (Q.S. Al-Hasyr: 7)
Allah SWT juga berfirman,

16

,
(36 : )


Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi
prempuan mukminah, apabila Allah dan Rosul-Nya, telah menetapkan suatu
ketetapan mereka mempunyai pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang
siapa mendurhakai Allah dan Rosul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat yang
nyata. (Q.S. Al-Ahzab: 36)
Berdasarkan teks Al-Quran Rasulullah SAW sajalah yang memberi tugas
untuk menjelaskan kandungan Al-Quran, sedangkan kita diwajibkan untuk
menerima dan mematuhi penjelasan-penjelasan beliau, baik berupa perintah
maupun larangan. Semua ini bersumber dari Al-Quran. Kita tidak memasukan
unsur lain ke dalam Al-Quran sehingga masih dianggap memiliki kekurangan.
Hal ini tak ubahnya seperti seorang yang diberi istana yang megah yang lengkap
dengan segala fasilitasnya. Akan tetapi, ia tidak mau memakai lampu sehingga
pada malam hari, istana itu gelap. Sebab, menurut dia sudah paling lengkap dan
tidak perlu ha-hal lain. Apabila istana itu dipasang lampu-lampu dan yang lainlain, berarti dia masih memerlukan masalah lain sebab kabel-kabel lampu mesti
disambung dengan pembangkit tenaga listrik di luar. Akhirnya, ia menganggap
bahwa gelap yang terdapat dalam istana itu sudah merupakan cahaya

17

Anda mungkin juga menyukai