Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS DI RUANG ICU


RSUP SANGLAH DENPASAR

oleh
Rr. Caecilia Yudistika Pristahayuningtyas, S.Kep.
NIM 112311101020

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Pengertian
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun saraf perifer berupa terbentuknya
antibodi terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (Ach) nikotinik pada myoneural
junction. Penurunan sejumlah reseptor Ach ini menyebabkan penurunan kekuatan otot
yang progresif dan terjadi pemulihan setelah beraktivitas (Baughman & Hackley, 2000;
Dewanto, dkk, 2009). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi
saraf cranial (Brunner and Suddarth, 2002)
Myasthenia gravis adalah gangguan neuromuskuler yang mempengaruhi transmisi
impuls pada otot-otot volunter tubuh (Sandra M. Neffina, 2002). Smeltzer & Bare (2002);
Muttaqin (2008) menjelaskan bahwa miastenia gravis merupakan gangguan yang
mempengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah
kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis adalah kelamahan otot yang parah.
Kondisi ini adalah satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan kombinasi
antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan yang dapat
memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal.
2. Etiologi
Miastenia gravis timbul akibat kurangnya asetilkolin yang mencapai reseptor
kolinergik. Salah satu sebab yang mungkin dari berkurangnya asetilkolin (AK) adalah
enzim asetilkolinerase (AKE) yang merusak AK (Kee & Hayes, 1996; Juel & Massey,
2007). Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada
ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan
penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel
globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian
bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka
saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na,
sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau
kelebihan kolinesterase.
3. Patofisiologi

Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada


transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya
reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuromuskular. Penelitian
memperlihatkan adanya penurunan 70% sampai 90% reseptor asetilkolin pada
sambungan neuromuskular setiap individu. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang
dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia
gravis konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang
bisa disebabkan oleh cedera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin
ditemukan dalam serum banyak penderita miastenia gravis. Pada klien miastenia gravis
secara makroskopik otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi disebabkan otot yang
tidak dipakai. Secara mikroskopik beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit
dalam otot dan organ-organ lain tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan
yang konsisten (Smeltzer & bare, 2002; Muttaqin, 2008).
Otot rangka atau otot lurik dipersarafi oleh nervus besar bermeilin yang berasal dari
sel kornu anterior medulla spinalis dan batang otak. Nervus ini mengirim keluar aksonnya
dalam nervus spinalis atau kranialis menuju perifer. Nervus yang bersangkutan bercabang
berkali kali dan mampu merangsang 2000 serat otot rangka. Kombinasi saraf motorik
dengan serabut otot yang dipersyarafi disebut unit motorik. Walaupun masing masing
neuron motorik mempersarafi banyaj serabut otot, namun masing-masing otot dipersarafi
oleh neuron motorik tunggal.
Daerah khusus yang menghubungkan antara saraf motorik dengan serabut otot
disebut sinaps atau taut neuromuskular. Asetilkolin disimpan dan disintesis dalam akson
terminal (bouton). Membran pascasinaps mengandung reseptor asetilkolin yang dapat
membangkitkan lempeng akhir motorik dan sebalikya dapat menghasilkan potensial aksi
otot. Apabila implus saraf mencapai taut neuromuskular, membran akson parasimpatik
terminal terdepolirisasi, menyebabakan pelepasan asetilkolin kedalam membran
parasimpatik. Asetilkolin menyeberangi celah sinaptik secara difusi dan menyatu dengan
bagian reseptor asetilkolin dalam membran pascasinaptik. Masuknya ion Na secara
mendadak dan keluarnya ion K menyebabkan depolarisasi ujung lempeng yang dikenal
juga sebagai ujung lempeng potensial atau end-plate potential (EPP).
Ketika EPP mencapai puncak,maka akan menghasilkan potensial aksi dalam
membran otot tidak bertaut yang menyebar sepanjang sarkonema. Potensial aksi ini
merangkai serangkaian reaksi yang menyebabkan kontraksi serabut otot. Begitu terjadi
transmisi melalui penghubung neuromuskular, asetilkolin akan dirusak oleh enzin

asetilkonlinetrase. Pada kasus miastenia gravis,jumlah reseptor asetilkolin normal


menjadi

menurun

sehingga

konduksi

neuromuskularnya

terganggu.

Hal

ini

mengakibatkan kontraksi otot volunter tidak sekuat kontraksi pada kondisi normal dan
menimbulkan kelemahan (Price dan Wilson, 2005).
Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh autoimun. National Institute of
Neurological Disorders and Stroke (NINDS) menyebutkan Myasthenia gravis is an
autoimmune disease because the immune system--which normally protects the body from
foreign organisms--mistakenly attacks itself. In myasthenia gravis, antibodies produced
by the body's own immune system block, alter, or destroy the receptors for
acetylcholine. It is not directly inherited nor is it contagious (Miastenia gravis adalah
penyakit autoimun karena sistem imun, yang normalnya melindungi tubuh dari organisme
asing, menyerang diri sendiri. Pada miastenia gravis, antibodi diproduksi oleh sistem
imun tubuh menghalangi, menurunkan atau menghancurkan reseptor asetilkolin. Penyakit
ini tidak secara langsung diturunkan ataupun menular (NINDS, 2014).
4. Tanda dan Gejala
Baughman & Hackley (2000); Ceremuga, Yao, dan McCabe (2002); Smeltzer &
Bare (2002); Rubenstein, Wayne, dan Bradley (2007); Dewanto, dkk (2009) menjelaskan
bahwa miastenia gravis memiliki gambaran yang khas yaitu kelemahan dan kelelahan
otot terutama setelah beraktivitas dan hilang setelah beristirahat yang disebabkan oleh
kontraksi berulang atau terus menerus. Pada miastenia gravis derajat ringan, gambaran
klinisnya seringkali tidak jelas seperti ptosis. Kelemahan otot timbul saat diprovokasi
oleh aktivitas berulang.
Miastenia gravis dibagi menjadi 4 golongan:
a. golongan I: gejala-gejala hanya tampak pada otot okular saja;
b. golongan IIA: kelemahan dan kelelahan umum yang ringan;
c. golongan IIB: kelemahan dan kelelahan umum yang sedang disertai kelemahan otot
okular dan bulbar yang ringan atau sedang;
d. golongan III: kelemahan dan kelelahan otot yang berat disertai kelemahan otot
okular dan bulbar;
e. golongan IV: krisis miastenia atau miastenia gravis kronis yang berat.
Selain itu, berbagai gejala sesuai dengan otot yang diserang seperti diplopia simetris
dan ptosis yang merupakan gejala dini; mengantuk, ekspresi wajah seperti topeng karena
mengenai otot fasial; kelemahan saat bicara dan menelan, disfonia (kerusakan suara)
dalam membentuk bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata; dan
masalah-masalah mengunyah serta menelan yang mengakibatkan bahaya tersedak dan
aspirasi. Otot-otot proksimal lebih sering terkena daripada distal dan otot ekstremitas atas

lebih sering daripada ekstremitas bawah. Beberapa klien sekitar 15% sampai 20%
mengeluh lemah pada tangan dan otot-otot lengan dan biasanya berkurang, pada otot kaki
mengalami kelemahan yang membuat klien jatuh serta kelemahan pada ekstremitas
membuat klien sedikit melakukan pergerakan. Tidak ada pengecilan otot dan refleks
tendon tetap normal. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkostal progresif
menyebabkan gawat nafas yang merupakan keadaan darurat akut.
Beberapa obat yang dilaporkan dapat menyebabkan eksaserbasi miastenia gravis
antara lain:
a. antibiotik (makrolid, fluorokuinolon, aminoglikosida, tetrasiklin, klorokuin);
b. obat antiaritmia (penyekat-, penyekat-kanal Ca, kuinidin, lidokain, prokainamid,
dan trimethapthan);
c. lain-lain: difenilhidantoin, litium, klorpromazin, pelemas otot, levotiroksin,
adrenocorticotropic hormone (ACTH), penggunaan kortikosteroid intermiten.
5. Komplikasi
Komplikasi potensial yang muncul adalah krisis miastenia akibat kurangnya
medikasi dan/atau ketidakadekuatan terapi. Krisis ini bermanifestasi dengan awitan tibatiba berupa gawat napas akut dan ketidakmampuan menelan atau bicara. Selain itu
kelemahan otot respirasi, laring dan bulbar dapat menyebabkan depresi pernapasan dan
obstruksi jalan napas jika tidak segera ditangani.
Komplikasi yang kedua ialah krisis kolineragik terjadi akibat terapi yang berlebihan.
Krisis kolinergik terjadi sebagai akibat penumpukan penghambat kolinesterase (misalnya
neostigmin, pyridostigmin, fisostigmin) dan keracunan organofosfat. Kondisi ini dapat
memunculkan mual, muntah, diare, berkeringat, hipersalivasi dan bradikardi.
Pada kasus ini stimulus Ach berlebihan di myoneural junction menyebabkan
paralisis otot yang bersifat flaksid (Dewanto, dkk, 2009). Gawat pernafasan bergabung
dengan disfagia (kesulitan menelan), disartria (kesukaran berbicara), ptosis kelopak mata,
diplopia, dan kelemahan otot yang menyolok merupakan gejala krisis miastenia atau
kolinergik (Smeltzer & Bare, 2002).
6. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan dalam menegakkan diagnosis miastenia
gravis antara lain:
a. tes darah dikerjakan untuk menentukan kadar antibodi tertentu di dalam serum
(misalnya AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies, antistriational
antibodies). Tingginya kadar dari antibodi tersebut dapat mengindikasikan adanya
miastenia gravis.

b. pemeriksaan neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan reflex. Miastenia gravis


dapat

menyebabkan

pergerakan

mata

abnormal,

ketidakmampuanuntuk

menggerakkan mata secara normal, dan kelopak mata turun. Untuk memeriksa
kekuatan otot lengan dan tungkai, pasien diminta untuk mempertahankan posisi
melawan resistansi selama beberapa periode. Kelemahan yang terjadi pada
pemeriksaan ini disebut fatigabilitas;
c. pemeriksaan radiologi: rontgen toraks/CT toraks untuk mendeteksi adanya
pembesaran kelenjar timus, yang umum terjadi pada miastenia gravis;
d. ice pack test;
e. pemeriksaan tensilon, sering digunakan untuk mendiagnosis MG. Enzim
asetilkolinesterase memecah asetilkolin setelah otot distimulasi, mencegah terjadinya
perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan saraf tunggal. Edrophonium
Chloride merupakan obat yang memblokir aksi dari enzim acetylcholinesterase;
f.

Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk merangsang otot dan


mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah menandakan
adanya miastenia gravis;

g. pemeriksaan antibodi terhadap reseptor Ach;


h. repetitive nerve stimulation (RNS);
i. single fiber EMG (SFEMG) (Dewanto, dkk. 2009).
7. Terapi
Penatalaksanaan medis:
a. Anticholinesterase seperti neostigmine dan pyridostigmine biasanya diresepkan.
Obat ini mencegah destruksi asetilkolin (Ach) dan meningkatkan akumulasi Ach
pada celah antara saraf dengan otot (neuromuscular junctions), memperbaiki
kemampuan kontraksi otot. Efek samping itermasuk liur berlebihan, kontraksi otot
involunter (fasciculation), nyeri abdomen, mual, dan diare. Obat yang disebut kaolin
dapat digunakan sebagai anticholinesterase untuk mengurangi efek samping pada
gastrointestinal.
b. Kortikosteroid yang bekerja dengan cara menekan antibody yang memblokir
reseptor asetilkolin (AchR) pada celah antara saraf dengan otot neuromuscular
junction dan dapat digunakan bersamaan dengan anticholinesterase. Kortikosteroid
memperbaiki keadaan dalam beberapa minggu dan jika pemulihan sudah stabil, dosis
sebaiknya dikurangi secara perlahan (tapering off). Dosis rendah dapat digunakan
tidak terbatas untuk mengatasi MG, namun, efek samping seperti, ulkus gaster,

osteoporosis, peningkatan berat badan, gula darah meningkat, dan peningkatan


resiko infeksi mungkin muncul pada pemakaian jangka panjang
c. Immunosupresan seperti azathioprine dan cyclophosphamidedapat digunakan untuk
menangani MG umum jika pengobatan lain gagal mengurangi gejala. Efek Samping
dapat berat dan termasuk penurunan sel darah putih, disfungsi liver, mual, muntah,
dan rambut gugur. Immunosupresan tidak digunakan untuk menangani miastenia
graviskongenital karena kondisi ini bukan terjadi disebabkan oleh disfungsi sistem
imun.
Kee & Hayes (1996) menjelaskan bahwa kelompok obat yang dipakai untuk
mengendalikan miastenia gravis adalah penghambat AKE yang juga dikenal sebagai
penghambat kolinesterase dan antikolinerase yang menghambat kerja enzim AKE. Akibat
dari kerja obat ini adalah lebih banyak asetilkolin (AK) yang mengaktivasi reseptor
kolinergik dan memulai kontraksi otot. Macam obat penghambat AKE yaitu sebagai
berikut.
a. Obat pertama yang dipakai untuk mengatasi miastenia gravis adalah neostigmin
(prostigmin) dengan masa kerja sangat singgkat. Obat ini diberikan dengan dosis per
oral 150 mg/hari dalam dosis terbagi (batas: 15-375 mg/hari) dan dengan dosis per
IM serta IV 0,5-2 mg. Untuk mendiagnosis miastenia gravis, ptosis harus hilang
dalam waktu 1-5 menit.
b. Piridostigmin (mestinon, regonol) dapat meningkatkan kekuatan otot klien dengan
kelemahan otot akibat miastenia gravis. Obat ini diberikan dengan dosis per oral 60120 mg 3 x/hari atau 4 x/hari.
c. Edofronium klorida (tensilon) adalah obat yang dapat mendiagnosis miastenia
gravis. Obat ini merupakan penghambat AKE dengan masa kerja sangat singkat yang
meningkatkan kekuatan otot selama masa kerjanya (5-20 menit). Jika ptosis
(jatuhnya kelopak mata) segera diatasi setelah pemberian obat ini, maka diagnosis
yang sangat mungkin adalah miastenia gravis. Obat ini diberikan dengan dosis IV 12 mg selama 30 detik kemudian 8 mg, jika tidak ada respon dan dosis IM 10 mg.
d. Ambedonium klorida (mytelase) yang merupakan penghambat AKE dengan masa
kerja panjang dan biasanya diresepkan jika klien tidak berespon terhadap neostigmin
atau piridostigmin dengan dosis per oral 15-100 mg/hari dalam dosis terbagi.
Efek samping dan reaksi yang merugikan dari penghambat antikolinesterase (AKE)
adalah gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare, kejang abdomen), bertambahnya
salivasi dan air mata, miosis (konstriksi pupil mata), dan mungkin hipertensi.

Jika pada krisis miastenik klien tetap mendapat pernafasan buatan, obat-obat
antikolinesterase tidak diberikan dulu karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi
saluran nafas dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis
terlampui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap dan sering kali dosis dapat
diturunkan. Pada krisis kolinergik klien dipertahankan mendapatkan ventilasi artifisial,
obat-obatan antikolinergik dihentikan dan dapat diberikan atropin 1 mg intravena serta
dapat diulang (Muttaqin, 2008).
Penatalaksanaan Lainnya
a. Plasmapheresis atau pertukaran plasma, digunakan untuk memodifikasi malfungsi
pada sistem imun. Ini dapat digunakan pada gejala yang memburuk (eksaserbasi)
atau persiapan operasi timektomi. Biasanya 2 hinga 3 liter plasma dibuang dan
diganti pada setiap penanganan dimana terapi ini memerlukan waktu beberapa jam.
Plasmapheresis memperbaiki gejala MG dalam beberapa hari dan perbaikan bertahan
hingga 6-8 minggu. Risiko tindakan ini antara lain tekanan darah rendah, pusing,
penglihatan kabur, dan pembentukan bekuan darah (thrombosis).
b. Thymectomy merupakan operasi pembuangan kelenjar thymus. Biasanya dilakukan
pada pasien dengan tumor pada thymus (thymoma) dan pasien yang lebih muda dari
umur 55 tahun dengan MG menyeluruh. Manfaat thymectomy berkembang secara
perlahan dan kebanyakan perbaikan terjadi selama bertahun-tahun setelah prosedur
ini dilakukan.

B. Pathway
gangguan autoimun yang merusak reseptor asetilkolin
julmah reseptor asetilkolin berkurang pada membran postsinaps
kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps
pada sambungan neuromuskular
penurunan hubungan neuromuskular
kelemahan otot-otot
otot pernafasan
kelemahan otot
pernafasan
bradipnea
pola nafas
tidak efektif

ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh

otot wajah,
laring, faring

otot voluter
kelemahan otot-otot rangka

tidak mampu
menutup
rahang
kesulitan
menelan
regurgitasi
makanan ke
hidung saat
menelan
resiko aspirasi

suara
abnormal
(disfonia)
gangguan
komunikasi
verbal

kelemahan tubuh

intoleransi
aktivitas

kelemahan otot kaki

resiko jatuh

sedikit melakukan
pergerakan
gangguan
mobilitas
fisik

C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan melalui wawancara,
observasi langsung, dan melihat catatan medis. Adapun data yang diperlukan pada
klien miastenia gravis adalah sebagai berikut.
a) Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat,
pekerjaan, status perkawinan, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit tanggal
pengkajian, sumber informasi, dan diagnosa medis.
b) Riwayat kesehatan
Diagnosa medik: miastenia gravis.
Keluhan utama: keluhan utama yang sering menjadi alasan untuk meminta
pertolongan tenaga kesehatan adalah adanya kelemahan otot terutama setelah

beraktivitas dan membaik setelah beristirahat (Dewanto, dkk, 2009).


Riwayat penyakit sekarang
Meliputi perjalanan penyakitnya, awal dari gejala yang dirasakan klien,
keluhan timbul secara mendadak atau bertahap, faktor pencetus, upaya yang

dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.


Riwayat kesehatan terdahulu
Meliputi penyakit yang pernah dialami dan berhubungan dengan penyakit
sekarang, riwayat kecelakaan, riwayat dirawat dirumah sakit, adanya alergi,
riwayat imunisasi yang pernah dilakukan, pola hidup yang berhubungan

dengan penyakit, obat-obatan yang pernah digunakan.


Riwayat penyakit keluarga
Genogram
Meliputi gambar garis keturunan minimal 3 garis keturunan dengan

menambahkan keterangan yang menunjang.


c) Pengkajian keperawatan
Pengkajian keperawatan merujuk pada data pengkajian klien berdasarkan
Muttaqin (2008) meliputi:
Pengkajian psiko-sosio-spiritual:
Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi pada kebanyakan
klien kelemahan otot jika mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya
kelemahan pada kelopak mata ptosis, diplopia, dan kerusakan dalam
komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.
Pengkajian fisik:
a. B1 (breathing)
Inspeksi: apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk
efektif, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan

peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada klien yang


disertai adanya kelemahan otot-otot pernafasan.
Auskultasi: bunyi nafas tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien
menunjukkan adanya akumulasi sekret pada jalan nafas dan penurunan
kemampuan otot-otot penafasan.
b. B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan dari status kardiovaskular terutama denyut nadi
dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan
kondisi tidak membaiknya status pernafasan.
c. B3 (brain)
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik.
Fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik
yang mengalai perubahan seperti adanya gangguan perilaku, alam
perasaan, dan persepsi.
Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf I: biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan, terutama
pada fungsi penciuman.
b) Saraf II: penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering
mengeluh adanya penglihatan ganda.
c) Saraf III, IV, dan VI: sering didapatkan adanya ptosis, adanya
oftalmoplegia, mimik dari pseudointernuklear oftamoplegia akibat
gangguan motorik pada nervus VI.
d) Saraf V: didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat
kelumpuhan pada otot-otot wajah.
e) Saraf VII: persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan
motorik lidah.
f) Saraf VIII: tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g) Saraf IX dan X: ketidakmampuan dalam menelan.
h) Saraf XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
i) Saraf XII: lidah tidak simetris, adanya deviasi pada salah satu sisi
akibat kelemahan otot motorik pada lidah.
Sistem motorik
Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari sistem
motorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka memberikan
manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas.

Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum
atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsi didapatkan sensasi raba dan suhu
normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.
d. B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya menunjukkan berkurangnya
volume pengeluaran urine yang berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5 (bowel)
Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena
ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-otot
f.

menelan.
B6 (bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien miastenia gravis yaitu:
a. pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan;
b. ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
c.
d.
e.
f.
g.

ketidakmampuan menelan;
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum;
gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular;
gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan sistem saraf pusat;
resiko aspirasi dengan faktor resiko ketidakmampuan menelan;
resiko jatuh dengan faktor resiko penurunan kekuatan ekstremitas bawah

3. Perencanaan Keperawatan
4.
5.
Diagnosa
No
keperawatan
9. 10.
Pola nafas
1 tidak
efektif
berhubungan
dengan kelemahan
otot pernafasan

6.

Tujuan dan Kriteria hasil

11.
Tujuan :
12.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam pola nafas
kembali efektif
13.
NOC:
1. Respiratory status: ventilation (0403)
14. Kriteria hasil:
15. Klien mampu mencapai status
ventilasi pernafasan dengan indikator:
a. RR tidak menyimpang dari rentang
normal (5)
b. irama nafas tidak menyimapng dari
rentang normal (5)
c. kedalaman inspirasi tidak menyimapng
dari rentang normal (5)
16.
17.
18.

7.

Intervensi

19.NIC:
1. Oxygen therapy
a. Pastikan kepatenan jalan nafas
klien
b. Atur posisi klien semi fowler
20.
21.
c. Monitor kecepatan aliran
oksigen pada klien
22.
2. Respiratory monitoring
a. Monitor RR, irama, kedalaman,
dan usaha pernafasan yang
dilakukan klien
b. Catat pergerakan dada,
kesimetrisan dada, adanya
penggunaan otot pernafasan
tambahan
c. Monitor kepatenan nafas klien
23.
24.
d. Monitor kelemahan otot
diafragma klien
e. Monitor kemampuan batuk
efektif klien
25.

8.

a.
b.

c.

a.

b.

c.
d.
e.

Rasional

27.
28.
Membantu memudahkan
masuknya oksigen
Membantu memudahkan
masuknya oksigen ke dalam
paru-paru klien
Memastikan dengan tepat
pemberian suplai oksigen bagi
klien
29.
Memantau kondisi pernafasan
klien
30.
31.
Memantau adanya abnormalitas
pernafasan klien
32.
Memantau adanya abnormalitas
pernafasan klien
Memantau kelemahan otot
pernafasan klien
Jika klien mampu melakukan
batuk efektif maka otot
pernafasan klien sudah tidak

26.
34. 35.
Ketidaksei 36.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
2 mbangan
nutrisi: keperawatan selama 3 x 24 jam nutrisi klien
kurang
dari menjadi seimbang
NOC:
kebutuhan
tubuh 37.
1.
Nutritional
status: food and fluid intake
berhubungan
(1008)
dengan
38. Kriteria hasil:
ketidakmampuan
39. Klien mampu memperoleh masukan
menelan
makanan dan cairan secara seimbang
dengan indikator:
a. masukan makanan secara oral adekuat
(5)
b. masukan makanan secara parenteral
adekuat (5)
c. masukan cairan secara oral adekuat (5)
d. masukan cairan secara intravena
adekuat (5)
e. masukan cairan secara parenteral
adekuat (5)
46.
47. Intoleransi 48.
Tujuan:
49.
Setelah dilakukan tindakan
3
aktivitas
berhubung keperawatan selama 3 x 24 jam klien akan
an dengan dapat toleransi terhadap aktivitas yang
kelemahan dilakukan
50.
NOC:
umum
1. Fatigue level (0007)
51. Kriteria hasil:

lemah lagi
33.

40.NIC:
1. Swallowing therapy
a. Monitor tanda dan gejala adanya
aspirasi
b. Bantu klien untuk minum
menggunakan sedotan
c. Bantu klien untuk memposisikan
kepala fleksi
41.
d. Instruksikan klien untuk tidak
berbicara selama makan
e. Bantu klien untuk duduk selama
30 menit setelah makan
f. Jelaskan pada klien dan keluarga
tentang terapi untuk membantu
klien menelan makanan

42.
43.
a. Memudahkan penanganan cepat
jika terjadi aspirasi
b. Memudahkan klien untuk
minum
c. Posisi kepala fleksi akan
membantu memudahkan klien
ketika menelan
d. Mencegah refluk makanan
44.
e. Mencegah aspirasi dan
membantu makanan segera
masuk ke lambung
f. Mencegah klien dan keluarga
cemas dengan terapi yang
dilakukan
45.

53.NIC:
1. Energy management
a. Kaji perasaan klien tentang
kelemahan yang dialami
b. Kaji persepsi klien tentanbg
penyebab kelemahannya
c. Berikan terapi farmakologi dan
non farmakologi untuk

55.
56.
a. Mengetahui apa yang dirasakan
oleh klien
b. Mengetahui persepsi dan
pengetahuan klien
c. Mengatasi masalah kelemahan

52. Klien mampu memperbaiki status


kelemahan dengan indikator:
a. tidak ada kelelahan (5)
b. tidak ada kelemahan (5)

d.

e.
f.

g.
h.
i.
j.

menurunkan kelemahan klien


Monitor masukan nutrisi bagi
klien
54.
Monitor pola tidur dan lama
tidur klien
Ajarkan manajemen aktivitas
dan waktu untuk mencegah
kelemahan
Kurangi stimulasi cahaya dan
suara bagi klien
Fasilitasi waktu bedrest bagi
klien
Bantu klien untuk duduk di
tempat tidur
Bantu aktivitas fisik sesuai
kemampuan klien

d.

e.
f.

g.
h.
i.
j.

pada klien
57.
Untuk memastikan adanya
energi yang dapat digunakan
oleh klien
Memastikan klien dapat tidur
cukup
Memastikan klien tidak akan
mengalami kelemahan
58.
Membuat klien lebih rileks
59.
Memaksimalkan waktu istirahat
bagi klien
Membantu klien mencegah
kebosanan
Berusaha membantu klien untuk
lebih mandiri sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki

60. Daftar Pustaka


61.
62.
63.
64.
65.
66.

67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.

Bauhgman,D. C. & Hackley, J. C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku


dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth
Edition. United States of America: Elsevier Mosby.
Ceremuga, M. T. E., Yao, X. L., dan McCabe, J. T. 2002. Update for Nurse
Anesthetists: Etiology, Mechanisms, and Anesthesia Implications of Autoimmune
Myasthenia
Gravis.
AANA
Journal
Course
3.
https://www.aana.com/newsandjournal/Documents/jcourse3_0802_p301-310.pdf.
[diakses tanggal 6 Oktober 2016].
Dewanto, G., dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit
Saraf. Jakarta: EGC.
Herdman, T. H. 2012. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition &
Classification, 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.
Juel, V. C. & Massey, J. M. 2007. Review Myasthenia Gravis. Orphanet Journal of
Rare Diseases. http://www.ojrd.com/content/pdf/1750-1172-2-44.pdf. [diakses
tanggal 6 Oktober 2016].
Kee, J. L. & Hayes, E. R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth Edition.
United States of America: Mosby Elsevier.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Rubenstein, D., Wayne, D., dan Bradley, J. 2007. Lecture Notes: Kedokteran
Klinis. Edisi 6. Yogyakarta: Erlangga.
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah:
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC.
83.

Anda mungkin juga menyukai