oleh
Rr. Caecilia Yudistika Pristahayuningtyas, S.Kep.
NIM 112311101020
menurun
sehingga
konduksi
neuromuskularnya
terganggu.
Hal
ini
mengakibatkan kontraksi otot volunter tidak sekuat kontraksi pada kondisi normal dan
menimbulkan kelemahan (Price dan Wilson, 2005).
Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh autoimun. National Institute of
Neurological Disorders and Stroke (NINDS) menyebutkan Myasthenia gravis is an
autoimmune disease because the immune system--which normally protects the body from
foreign organisms--mistakenly attacks itself. In myasthenia gravis, antibodies produced
by the body's own immune system block, alter, or destroy the receptors for
acetylcholine. It is not directly inherited nor is it contagious (Miastenia gravis adalah
penyakit autoimun karena sistem imun, yang normalnya melindungi tubuh dari organisme
asing, menyerang diri sendiri. Pada miastenia gravis, antibodi diproduksi oleh sistem
imun tubuh menghalangi, menurunkan atau menghancurkan reseptor asetilkolin. Penyakit
ini tidak secara langsung diturunkan ataupun menular (NINDS, 2014).
4. Tanda dan Gejala
Baughman & Hackley (2000); Ceremuga, Yao, dan McCabe (2002); Smeltzer &
Bare (2002); Rubenstein, Wayne, dan Bradley (2007); Dewanto, dkk (2009) menjelaskan
bahwa miastenia gravis memiliki gambaran yang khas yaitu kelemahan dan kelelahan
otot terutama setelah beraktivitas dan hilang setelah beristirahat yang disebabkan oleh
kontraksi berulang atau terus menerus. Pada miastenia gravis derajat ringan, gambaran
klinisnya seringkali tidak jelas seperti ptosis. Kelemahan otot timbul saat diprovokasi
oleh aktivitas berulang.
Miastenia gravis dibagi menjadi 4 golongan:
a. golongan I: gejala-gejala hanya tampak pada otot okular saja;
b. golongan IIA: kelemahan dan kelelahan umum yang ringan;
c. golongan IIB: kelemahan dan kelelahan umum yang sedang disertai kelemahan otot
okular dan bulbar yang ringan atau sedang;
d. golongan III: kelemahan dan kelelahan otot yang berat disertai kelemahan otot
okular dan bulbar;
e. golongan IV: krisis miastenia atau miastenia gravis kronis yang berat.
Selain itu, berbagai gejala sesuai dengan otot yang diserang seperti diplopia simetris
dan ptosis yang merupakan gejala dini; mengantuk, ekspresi wajah seperti topeng karena
mengenai otot fasial; kelemahan saat bicara dan menelan, disfonia (kerusakan suara)
dalam membentuk bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata; dan
masalah-masalah mengunyah serta menelan yang mengakibatkan bahaya tersedak dan
aspirasi. Otot-otot proksimal lebih sering terkena daripada distal dan otot ekstremitas atas
lebih sering daripada ekstremitas bawah. Beberapa klien sekitar 15% sampai 20%
mengeluh lemah pada tangan dan otot-otot lengan dan biasanya berkurang, pada otot kaki
mengalami kelemahan yang membuat klien jatuh serta kelemahan pada ekstremitas
membuat klien sedikit melakukan pergerakan. Tidak ada pengecilan otot dan refleks
tendon tetap normal. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkostal progresif
menyebabkan gawat nafas yang merupakan keadaan darurat akut.
Beberapa obat yang dilaporkan dapat menyebabkan eksaserbasi miastenia gravis
antara lain:
a. antibiotik (makrolid, fluorokuinolon, aminoglikosida, tetrasiklin, klorokuin);
b. obat antiaritmia (penyekat-, penyekat-kanal Ca, kuinidin, lidokain, prokainamid,
dan trimethapthan);
c. lain-lain: difenilhidantoin, litium, klorpromazin, pelemas otot, levotiroksin,
adrenocorticotropic hormone (ACTH), penggunaan kortikosteroid intermiten.
5. Komplikasi
Komplikasi potensial yang muncul adalah krisis miastenia akibat kurangnya
medikasi dan/atau ketidakadekuatan terapi. Krisis ini bermanifestasi dengan awitan tibatiba berupa gawat napas akut dan ketidakmampuan menelan atau bicara. Selain itu
kelemahan otot respirasi, laring dan bulbar dapat menyebabkan depresi pernapasan dan
obstruksi jalan napas jika tidak segera ditangani.
Komplikasi yang kedua ialah krisis kolineragik terjadi akibat terapi yang berlebihan.
Krisis kolinergik terjadi sebagai akibat penumpukan penghambat kolinesterase (misalnya
neostigmin, pyridostigmin, fisostigmin) dan keracunan organofosfat. Kondisi ini dapat
memunculkan mual, muntah, diare, berkeringat, hipersalivasi dan bradikardi.
Pada kasus ini stimulus Ach berlebihan di myoneural junction menyebabkan
paralisis otot yang bersifat flaksid (Dewanto, dkk, 2009). Gawat pernafasan bergabung
dengan disfagia (kesulitan menelan), disartria (kesukaran berbicara), ptosis kelopak mata,
diplopia, dan kelemahan otot yang menyolok merupakan gejala krisis miastenia atau
kolinergik (Smeltzer & Bare, 2002).
6. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan dalam menegakkan diagnosis miastenia
gravis antara lain:
a. tes darah dikerjakan untuk menentukan kadar antibodi tertentu di dalam serum
(misalnya AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies, antistriational
antibodies). Tingginya kadar dari antibodi tersebut dapat mengindikasikan adanya
miastenia gravis.
menyebabkan
pergerakan
mata
abnormal,
ketidakmampuanuntuk
menggerakkan mata secara normal, dan kelopak mata turun. Untuk memeriksa
kekuatan otot lengan dan tungkai, pasien diminta untuk mempertahankan posisi
melawan resistansi selama beberapa periode. Kelemahan yang terjadi pada
pemeriksaan ini disebut fatigabilitas;
c. pemeriksaan radiologi: rontgen toraks/CT toraks untuk mendeteksi adanya
pembesaran kelenjar timus, yang umum terjadi pada miastenia gravis;
d. ice pack test;
e. pemeriksaan tensilon, sering digunakan untuk mendiagnosis MG. Enzim
asetilkolinesterase memecah asetilkolin setelah otot distimulasi, mencegah terjadinya
perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan saraf tunggal. Edrophonium
Chloride merupakan obat yang memblokir aksi dari enzim acetylcholinesterase;
f.
Jika pada krisis miastenik klien tetap mendapat pernafasan buatan, obat-obat
antikolinesterase tidak diberikan dulu karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi
saluran nafas dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis
terlampui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap dan sering kali dosis dapat
diturunkan. Pada krisis kolinergik klien dipertahankan mendapatkan ventilasi artifisial,
obat-obatan antikolinergik dihentikan dan dapat diberikan atropin 1 mg intravena serta
dapat diulang (Muttaqin, 2008).
Penatalaksanaan Lainnya
a. Plasmapheresis atau pertukaran plasma, digunakan untuk memodifikasi malfungsi
pada sistem imun. Ini dapat digunakan pada gejala yang memburuk (eksaserbasi)
atau persiapan operasi timektomi. Biasanya 2 hinga 3 liter plasma dibuang dan
diganti pada setiap penanganan dimana terapi ini memerlukan waktu beberapa jam.
Plasmapheresis memperbaiki gejala MG dalam beberapa hari dan perbaikan bertahan
hingga 6-8 minggu. Risiko tindakan ini antara lain tekanan darah rendah, pusing,
penglihatan kabur, dan pembentukan bekuan darah (thrombosis).
b. Thymectomy merupakan operasi pembuangan kelenjar thymus. Biasanya dilakukan
pada pasien dengan tumor pada thymus (thymoma) dan pasien yang lebih muda dari
umur 55 tahun dengan MG menyeluruh. Manfaat thymectomy berkembang secara
perlahan dan kebanyakan perbaikan terjadi selama bertahun-tahun setelah prosedur
ini dilakukan.
B. Pathway
gangguan autoimun yang merusak reseptor asetilkolin
julmah reseptor asetilkolin berkurang pada membran postsinaps
kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps
pada sambungan neuromuskular
penurunan hubungan neuromuskular
kelemahan otot-otot
otot pernafasan
kelemahan otot
pernafasan
bradipnea
pola nafas
tidak efektif
ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
otot wajah,
laring, faring
otot voluter
kelemahan otot-otot rangka
tidak mampu
menutup
rahang
kesulitan
menelan
regurgitasi
makanan ke
hidung saat
menelan
resiko aspirasi
suara
abnormal
(disfonia)
gangguan
komunikasi
verbal
kelemahan tubuh
intoleransi
aktivitas
resiko jatuh
sedikit melakukan
pergerakan
gangguan
mobilitas
fisik
C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan melalui wawancara,
observasi langsung, dan melihat catatan medis. Adapun data yang diperlukan pada
klien miastenia gravis adalah sebagai berikut.
a) Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat,
pekerjaan, status perkawinan, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit tanggal
pengkajian, sumber informasi, dan diagnosa medis.
b) Riwayat kesehatan
Diagnosa medik: miastenia gravis.
Keluhan utama: keluhan utama yang sering menjadi alasan untuk meminta
pertolongan tenaga kesehatan adalah adanya kelemahan otot terutama setelah
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum
atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsi didapatkan sensasi raba dan suhu
normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.
d. B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya menunjukkan berkurangnya
volume pengeluaran urine yang berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5 (bowel)
Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena
ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-otot
f.
menelan.
B6 (bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien miastenia gravis yaitu:
a. pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan;
b. ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
c.
d.
e.
f.
g.
ketidakmampuan menelan;
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum;
gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular;
gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan sistem saraf pusat;
resiko aspirasi dengan faktor resiko ketidakmampuan menelan;
resiko jatuh dengan faktor resiko penurunan kekuatan ekstremitas bawah
3. Perencanaan Keperawatan
4.
5.
Diagnosa
No
keperawatan
9. 10.
Pola nafas
1 tidak
efektif
berhubungan
dengan kelemahan
otot pernafasan
6.
11.
Tujuan :
12.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam pola nafas
kembali efektif
13.
NOC:
1. Respiratory status: ventilation (0403)
14. Kriteria hasil:
15. Klien mampu mencapai status
ventilasi pernafasan dengan indikator:
a. RR tidak menyimpang dari rentang
normal (5)
b. irama nafas tidak menyimapng dari
rentang normal (5)
c. kedalaman inspirasi tidak menyimapng
dari rentang normal (5)
16.
17.
18.
7.
Intervensi
19.NIC:
1. Oxygen therapy
a. Pastikan kepatenan jalan nafas
klien
b. Atur posisi klien semi fowler
20.
21.
c. Monitor kecepatan aliran
oksigen pada klien
22.
2. Respiratory monitoring
a. Monitor RR, irama, kedalaman,
dan usaha pernafasan yang
dilakukan klien
b. Catat pergerakan dada,
kesimetrisan dada, adanya
penggunaan otot pernafasan
tambahan
c. Monitor kepatenan nafas klien
23.
24.
d. Monitor kelemahan otot
diafragma klien
e. Monitor kemampuan batuk
efektif klien
25.
8.
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
e.
Rasional
27.
28.
Membantu memudahkan
masuknya oksigen
Membantu memudahkan
masuknya oksigen ke dalam
paru-paru klien
Memastikan dengan tepat
pemberian suplai oksigen bagi
klien
29.
Memantau kondisi pernafasan
klien
30.
31.
Memantau adanya abnormalitas
pernafasan klien
32.
Memantau adanya abnormalitas
pernafasan klien
Memantau kelemahan otot
pernafasan klien
Jika klien mampu melakukan
batuk efektif maka otot
pernafasan klien sudah tidak
26.
34. 35.
Ketidaksei 36.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
2 mbangan
nutrisi: keperawatan selama 3 x 24 jam nutrisi klien
kurang
dari menjadi seimbang
NOC:
kebutuhan
tubuh 37.
1.
Nutritional
status: food and fluid intake
berhubungan
(1008)
dengan
38. Kriteria hasil:
ketidakmampuan
39. Klien mampu memperoleh masukan
menelan
makanan dan cairan secara seimbang
dengan indikator:
a. masukan makanan secara oral adekuat
(5)
b. masukan makanan secara parenteral
adekuat (5)
c. masukan cairan secara oral adekuat (5)
d. masukan cairan secara intravena
adekuat (5)
e. masukan cairan secara parenteral
adekuat (5)
46.
47. Intoleransi 48.
Tujuan:
49.
Setelah dilakukan tindakan
3
aktivitas
berhubung keperawatan selama 3 x 24 jam klien akan
an dengan dapat toleransi terhadap aktivitas yang
kelemahan dilakukan
50.
NOC:
umum
1. Fatigue level (0007)
51. Kriteria hasil:
lemah lagi
33.
40.NIC:
1. Swallowing therapy
a. Monitor tanda dan gejala adanya
aspirasi
b. Bantu klien untuk minum
menggunakan sedotan
c. Bantu klien untuk memposisikan
kepala fleksi
41.
d. Instruksikan klien untuk tidak
berbicara selama makan
e. Bantu klien untuk duduk selama
30 menit setelah makan
f. Jelaskan pada klien dan keluarga
tentang terapi untuk membantu
klien menelan makanan
42.
43.
a. Memudahkan penanganan cepat
jika terjadi aspirasi
b. Memudahkan klien untuk
minum
c. Posisi kepala fleksi akan
membantu memudahkan klien
ketika menelan
d. Mencegah refluk makanan
44.
e. Mencegah aspirasi dan
membantu makanan segera
masuk ke lambung
f. Mencegah klien dan keluarga
cemas dengan terapi yang
dilakukan
45.
53.NIC:
1. Energy management
a. Kaji perasaan klien tentang
kelemahan yang dialami
b. Kaji persepsi klien tentanbg
penyebab kelemahannya
c. Berikan terapi farmakologi dan
non farmakologi untuk
55.
56.
a. Mengetahui apa yang dirasakan
oleh klien
b. Mengetahui persepsi dan
pengetahuan klien
c. Mengatasi masalah kelemahan
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
pada klien
57.
Untuk memastikan adanya
energi yang dapat digunakan
oleh klien
Memastikan klien dapat tidur
cukup
Memastikan klien tidak akan
mengalami kelemahan
58.
Membuat klien lebih rileks
59.
Memaksimalkan waktu istirahat
bagi klien
Membantu klien mencegah
kebosanan
Berusaha membantu klien untuk
lebih mandiri sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.