Anda di halaman 1dari 5

Obstruksi saluran respiratori

Inflamasi saluran respiratori pada pasien asma merupakan obstruksi saluran respiratori
yang bersifat revesibel. Perubahan fungsional ini dihubungkan dengan gejala khas pada asma
( batuk, sesak, mengi ). Batuk kemungkinan besar akibat rangsangan saraf sensorik saluran
respiratori oleh mediator inflamasi. Batuk berulang dapat merupakan satu-satunya gejala asma
pada anak. Rangsangan saraf aferen, pada keadaan hiperkapnea dan hipoksemia misalnya akan
merangsang hiperventilasi alveolar dan kerusakan lainnya akibat serangan asma akut. Pada
keadaan ekstrim, gangguan fungsi pada reseptor aferen menyebabkan penurunan kemampuan
merasakan adanya penyempitan saluran napas, pada pasien asma kronis berat. Kondisi ini
disebut perceivers yang buruk.
Penyebab utama penyempitan jalan napas adalah kontraksi otot polos bronkial yang
diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan sel inflamasi. Mediator tersebut antara lain
histamine, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast,
neuropeptidase yang dikeluarkan saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen
post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran napas ( yang
diperberat penebalan saluran napas yang berhubungan dengan edema akut, infiltrasi sel, dan
remodeling) adalah hiperplasia kronis dari otot polos, pembuluh darah, serta deposisi matriks
pada dinding saluran napas. Keterbatasan aliran pernapasan juga dapat disebabkan banyaknya
sekret, tebal, dan lengket ( diproduksi sel goblet dan kelenjar submukosa ), pengendapan protein
plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.
Penyempitan saluran respiratori pada asma mempengaruhi seluruh struktrur pohon
trakeobronkial , maksimal sampai bronkus kecil dengan diameter 2-5 mm. Resistensi saluran
napas mengalami peningkatan dan laju ekspirasi maksimal mengalami penurunan, yang
mempengaruhi volume paru secara keseluruhan. Penyempitan saluran napas pada daerah perifer
meningkatkan volume residu. Mekanisme adaptasi adanya penyempitan saluran napas adalah
cenderung bernapas hiperventilasi untuk mendapat volume lebih besar, yang kemudian dapat
menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernapasan agar tetap dapat
mengalirkan udara pernapasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance kedua
paru. Inflasi toraks yang berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal secara
mekanik mengalami kesulitan sehingga kerjanya menjadi tidak optimal ( lebih dari normal ).

Peningkatan usaha napas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal
napas.
Hiperreaktivitas saluran respiratori
Asma berhubungan dengan mudahnya saluran napas mengalami penyempitan atau
respons berlebih terhadap provokasi stimulus. Mekanisme reaktivitas berlebihan ini belum
diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas yang terjadi
sekunder dan berpengaruh pada kontraktilitas atau fenotipnya.
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pemberian histamine
atau metakolin dengan konsentrasi kurang dari 8 g% didapat penurunan FEV 1 20% yang
merupakan karakteristik asma, COPD, fibrosis kistik, dan rhinitis alergi. Pada asma terdapat
korelasi antara nilai PD20 atau PC20 terhadap keparahan penyakit. Stimulus seperti olahraga,
udara dingin, atau adenosine tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran
napas. Stimulus tersebut merangsang sel Mast, ujung serabut saraf, dan sel lain yang terdapat di
saluran napas untuk mengeluarkan mediatornya.
Otot polos saluran respiratori
Pengukuran terhadap kontraksi isotonik otot polos saluran napas pasien asma
menunjukan pemendekan panjang otot. Kelainan ini diakibatkan perubahan apparatus kontraktil
pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ekstraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan
otot. Proses ini disertai pertumbuhan otot dan perubahan fenotip sel otot polos diakibatkan
interaksi inflamasi saluran napas. Terdapat bukti bahwa perubahan pada stuktur filamen
kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos menjadi etiologi hiperreaktivitas saluran napas
yang terjadi secara kronis.
Peran dari pergerakan aliran udara pernapasan dapat diketahui melalui hipotesis
perturbed equilibrium, yang mengatakan otot polos saluran napas mengalami kekakuan bila
dalam waktu lama tidak direnggangkan hingga sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase
terlambat, menyebabkan penyempitan saluran napas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari

daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran napas, kemudian menyebabkan
timbulnya edema adventisial dan lepasnya ikatan dari tekanan recoil elastis.
Mediator inflamasi yang dilepas sel Mast seperti triptase dan protein kationik eosinofil,
dikatakan dapat meningkatkan respons otot polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator
inflamasi lainnya seperti histamine. Penemuan ini membuktikan ada hubungan antara zat yang
dihasilkan sel Mast dan hiperresponsif saluran napas secara in vitro.
Hipersekresi mukus
Survey membuktikan sebanyak 30% pasien asma kesehariannya memproduksi sputum
dan 70% sisanya hanya memproduksi saat serangan asma timbul. Hiperplasia kelenjar
submukosa dan sel goblet sering ditemukan pada saluran napas pasien asma dan penampakan
remodeling saluran napas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat
penumpukan mukus saluran napas yang persisten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator.
Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume
saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Perbedaan kualitas dan kuantitas dapat timbul
baik akibat infiltrasi sel inflamasi maupun perubahan patologis sel sekretori, pembuluh darah
epitel saluran napas dan lapisan submukosa. Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya
sekedar penambahan produksi musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel epitel,
pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang
berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis.
Hipersekresi mukus pada pasien asma merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme yang bertanggung jawab terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan
hiperplasia dan mekanisme patofisiologi terjadinya sekresi sel granulasi. Mediator penting yang
dikeluarkan sel goblet yang mengalami metaplasia dan hiperplasia merupakan bagian dari rantai
inflamasi. Degranulasi sel goblet yang dicetuskan stimulus lingkungan ( asap rokok, sulfur
dioksida, klorin, dan ammonia ) diperkirakan adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau
aktivasi jalur reflex kolinergik. Kemungkinan yang lebih penting adalah degranulasi yang
diprovokasi mediator inflamasi , dengan aktivitas perangsang secret seperti neutrofil elastase,
kimase sel Mast, leukotrien, histamine, produk neutrofil non protease. Tidak ditemukan elastase

neutrofil pada sputum pasien yang dikeluarkan pada fase eksaserbasi akut, mencetuskan bahwa
hal tersebut merupakan perangsang sekret yang penting pada serangan asma berat.
Keterbatasan aliran udara irreversible
Penebalan saluran napas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada bagian
kartilago dan membranosa dari saluran napas. Bersamaan dengan perubahan pada bagian elastik
dan hilangnya hubungan antara saluran napas dengan parenkim disekitarnya, penebalan dinding
saluran napas dapat menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan saluran napas yang gagal
untuk kembali normal dan terjadi terus-menerus pada subgroup pasien asma. Penelitian terakhir
mengatakan bahwa hal tersebut dapat dicegah dengan memberikan pengobatan sejak awal
menggunakan glukortikosteroid inhalasi. Lebih jauh lagi, kekakuan otot polos menyebabkan
aliran udara pernapasan terhambat hingga menjadi irreversible.
Eksaserbasi
Gejala yang memburuk merupakan kharakteristik utama dari asma. Terdapat banyak
faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi, termasuk stimulus yang hanya
menyebabkan bronkokonstriksi ( seperti udara dingin, kabut, olahraga ) dan stimulus yang
menyebabkan inflamasi saluran napas ( pemaparan terhadap allergen, pencetus okupasi, ozon
atau virus saluran napas ).
Eksaserbasi asma dapat timbul selama beberapa hari. Sebagian besar berhubungan
dengan infeksi saluran napas, yang paling sering adalah common cold akibat Rhinovirus.
Rhinovirus dapat menginduksi respons inflamasi intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi
terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat hipereaktivitas
bronkial. Respons inflamasi ini melibatkan aktivitas dan masuknya eosinofil dan atau neitrofil,
yang dimediasi oleh pelepasan sitokin atau kemokin sel T atau sel epitel bronkial.
Paparan alergen juga dapat mencetuskan eksaserbasi pada pasien asma. Pasien dengan
asma onset lambat menunjukan respons berupa flare up dari eosinofil akibat inflamasi yang
terjadi, yang kemudian diikuti oleh hiperreaktivitas saluran napas. Pengulangan paparan allergen
pada tingkat sub-bronkokonstriksi dapat juga mencetuskan respons yang sama. Paparan sub-

bronkokonstriksi sesungguhnya dapat menginduksi inflamasi saluran napas yang menetap dan
berperan pada proses remodeling seperti penumpukan kolagen pada lapisan subepitel retikular.
Asma nokturnal
Asma yang memburuk pada malam hari sesuai dengan siklus nocturnal, ditemukan secara
klinis sebagai kharakteristik sejumlah pasien. Biopsi bronkial pasien asma yang mengalami
obstruksi nokturnal tidak menunjukan adanya peningkatan jumlah sel T, eosinofil ataupun sel
mast pada pemeriksaan yang dilakukan pukul 04.00. Namun demikian biopsi transbronkial telah
membuktikan adanya akumulasi eosinofil dan makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial
pada malam hari.
Abnormalitas gas darah
Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas pada saat serangan berat terjadi. Derajat
hipoksemia arteri secara kasar berhubungan dengan beratnya obstruksi saluran napas yang terjadi
secara tidak merata di seluruh paru. Seringkali paru tertutup total, sementara yang lain dapat
menyempit atau sebaliknya tidak mengalami obstruksi sama sekali. Adanya ketidakcocokan
antara ventilasi dan perfusi menyebabkan perbedaan oksigen antara arteri dan alveolus melebar
dan tekanan oksigen 60-90 mmHg ( 8,0-9,2 kPa ) dapat ditemukan pada pengukuran saat
serangan asma berat berlangsung. Hipokapnea yang dapat ditemukan pada serangan asma ringan
sampai sedang, dapat dilihat dari usaha bernapas yang lebih. Peningkatan PCO 2 arteri
mengindikasikan bahwa obstruksi yang terjadi sangatlah berat hingga otot pernapasan tidak
dapat lagi mempertahankan laju ventilasi melalui respirasi paksa, yang dapat dilihat dari usaha
bernapas yang lebih ( hipoventilasi alveolar ). Adanya perburukan obstruksi saluran napas atau
kelelahan otot ataupun juga penurunan usaha napas ( misalnya akibat dari konsumsi obat
narkotik atau sedative ) dapat memperberat penurunan ventilasi alveolar. Adanya peningkatan
PCO2 arteri dapat menghambat pergerakan otot pernapasan dan usaha bernapas ( keracunan
CO2 ) sehingga pada akhirnya timbul keadaan gagal napas dan berujung pada kematian. Oleh
sebab itu, adanya hiperkapnea arteri, yang mengindikasikan adanya serangan asma berat,
membutuhkan manajemen atau tatalaksana lebih agresif.

Anda mungkin juga menyukai