Disusun oleh :
Eunike
112013122
Pembimbing :
dr. Endang S., Sp. KK
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan
hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit
merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit
juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan
juga bergantung pada lokasi tubuh.1
Kelainan pada kulit dapat menyebabkan hilangnya atau rusaknya fungsi dari kulit itu
sendiri. Banyak kelainan yang dapat terjadi pada kulit, dimulai dari infeksi bakteri, infeksi jamur,
alergi serta autoimun. Kelainan pada kulit ini tentu saja sangat mengganggu kualitas hidup
seseorang, karena kelainan tersebut dapat bermanifestasi menjadi banyak gejala, seperti gatalgatal, nyeri, bahkan sampai merusak estetika dari kulit itu sendiri.2
Salah satu kelainan kulit yang serius dan perlu penatalaksanaan yang tepat dan cepat
adalah Sindrom Stevens-Johnson (SSJ), yang merupakan suatu kondisi medis darurat yang
biasanya membutuhkan perawatan di rumah sakit. Perawatan berfokus pada menghilangkan
penyebab yang mendasari, mengontrol gejala dan mengurangi komplikasi.2
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kelainan pada kulit yang serius, di mana kulit dan
selaput lendir bereaksi keras terhadap obat atau infeksi. Seringkali, Stevens-Johnson sindrom
diawali dengan gejala mirip flu, diikuti dengan ruam merah atau keunguan yang menyakitkan
yang menyebar dan lecet, akhirnya menyebabkan lapisan atas kulit mati.2
Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang
memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus. Mekanisme terjadinya sindrom
pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui cara mendiagnosis dan
penatalaksaan pada SSJ, karena ini merupakan salah satu penyakit yang serius dan salah satu
komplikasinya adalah kematian.
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.3
Sindrom Stevens-Johnson pertama kali diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter, dr.
Steven dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki, namun dokter tersebut tidak dapat
menentukan penyebabnya.
2.2. Epidemiologi
Insiden SSJ dan nekrolisis epidermal toksik (NET) di perkirakan 2-3% per juta populasi
setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat, umumnya terdapat pada dewasa (> 40 tahun),
persentase laki-laki dan perempuan sama besar.3,4
Suatu studi di Jerman barat melaporkan insiden SSJ dan NET 0,93 dan 1,1 kasus perjuta
populasi pertahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada semua ras. Studi epidemiologi menunjukkan
bahwa wanita lebih banyak dari pria, dengan rasio pria dibanding wanita berkisar antara 0,5:0,7.3
Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata lain, rata-rata
jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%. Penelitian menunjukkan bahwa SSJ adalah kasus
yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang mengkonsumsi antibiotik penisilin yang terkena
SSJ.2
3
Faktor risiko lain adalah adanya penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE), HLAB12, HIV/AIDS.4
2.3 Etiologi
Penyebab dari SSJ sulit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya dari berbagai
faktor, pada umumnya sering berhubungan dengan respon imun terhadap obat. Lebih dari 50%
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap obat sistemik, dan sebagian kecil karena infeksi,
vaksinasi, penyakit graft-vs-host, neoplasma, dan radiasi.3,4
Terdapat 4 kategori penyebab terjadinya SSJ ini, yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3)
keganasan, dan (4) idiopatik.5
1. Infeksi.
a. Virus yang telah dilaporkan dapat menyebabkan SSJ adalah herpes simplex virus
(HSV), AIDS, Coxsackie virus, influenza, hepatitis, MUMPS, Lymphogranuloma
venereum (LGV), infeksi rickettsial, dan variola.
b. Bakteri yang dapat menyebabkan SSJ yaitu beta streptokokus grup A, difteria,
Brucellosis, mycobacteria, Mycoplasma pneumonia, tularemia dan tifoid.
c. Jamur yang dapat menyebabkan SSJ yaitu Coccidioidomycosis, dermatofitosis dan
histoplasmosis.
d. Protozoa yang yang telah dilaporkan dapat menyebabkan SSJ adalah malaria dan
trikomoniasis.
2. Drug-Induced. Antibiotik yang berhubungan dengan terjadinya SSJ meliputi penisilin dan
sulfa. Antikonvulsan seperti fenitoin, karbamazepin, asam valproat, lamotrigin dan
barbiturat juga termasuk obat yang dapat menyebabkan SSJ. Mockenhapupt et al
mengutarakan bahwa kebanyakan anticonvulsant-induced SSJ terjadi pada 60 hari
pertama dari penggunaannya. Pada tahun 2002, FDA mengungkapkan adanya laporan
terjadinya SSJ pada pasien yang memakai cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor
valdecoxib. Pada tahun 2007 FDA melaporkan terjadinya SSJ/NET pada pasien yang
mengkonsumsi modafinil (Provigil). Allupurinol telah dinyatakan sebagai obat penyebab
SSJ tersering pada negara-negara di Eropa dan di Israel. Obat-obat tambahan yang
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata.3
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Pada
bentuk yang berat kelainannya generalisata. Lesi yang spesifik berupa lesi target, bila bula
kurang dari 10% disebut SSJ, 10-30% disebut SSJ-NET, lebih dari 30% NET. Gambar 1.
Gambar 1. Perbedaan Luas Permukaan Kulit yang Mengelupas antara SSJ dan NET
b. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%) kemudian disusul
oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung sebanyak 8% dan
anus sebanyak 4%.
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di
bibir kelainan yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan
esofagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sulit/tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sulit bernapas.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% di antara semua kasus, yang tersering adalah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan,
simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.
Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya nefritis dan
onikolisis. Perhatikan gambar 2.
Gambar 2. A) Kelainan pada Kulit; B) Kelainan pada Mukosa Mulut; C) Kelainan Mata
2.6. Diagnosis
Diagnosis SSJ 90% berdasarkan gejala klinis. Jika disebabkan oleh obat, ada korelasi
antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang
sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, dan mata, serta hubunganya dengan faktor penyebab
yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa,
demam. Selain itu di dukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, dan
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan
perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.
Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi
adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tidak ada.
Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosis.2
2.7. Komplikasi
8
obat dapat dibeli bebas. Dahulu Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) dimasukan ke
dalam NET, tetapi sekarang dipisahkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.
Gejala utama pada NET adalah epidermolisis karena sel sasarannya adalah epidermis.
Gejala dan tanda yang lain dapat NET bergantung pada sel sasaran yang dikenai, misalnya akan
terjadi leukopenia bila sel sasarannya leukosit, dapat terlihat purpura jika trombosit menjadi sel
sasaran. Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit berat dengan
demam tinggi, kesadaran menurun (soporo-komatosa). Kelainan kulit mulai dengan eritema
generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada
kulit dapat disertai lesi pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan
perdarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir. Kelainan semacam itu
dapat pula terjadi di orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai kalainan pada mata seperti
pada SSJ.
Pada NET yang penting adalah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari
dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya
epidermolisis menyebabkan tanda Nikolskiy positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit
ditekan dan di geser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang
sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya pasien berbaring.
Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi,
vesikel, dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis). Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di
traktus gastrointestinal.
Pada stadium dini tampak vakuolisasi dan nekrosis sel-sel basal sepanjang perbatasan
dermal-epidermal. Sel radang di dermis hanya sedikit terdiri atas limfohistiosit. Pada lesi yang
telah lanjut terdapat nekrosis eosinofilik sel epidermis dengan pembentukan lepuh subepidermal.
Jika penyebabnya infeksi maka prognosis lebih baik daripada jika disebabkan alergi
terhadap obat. Bila kelainan pada kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit maka
prognosisnya lebih buruk. Jadi luas kulit yang dikenai mempengaruhi prognosisnya. Juga bila
terdapat purpura yang luas dan leukopenia.Gambar 3.
10
Gambar 3. Gambaran
pada Nekrolisis
Epidermal Toksik
(NET)4
terkena, tetapi mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari
tanpa disertai sikatriks. Meskipun SSSS dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi,
misalnya selulitis, pneumonia, dan septikemia.
Pada SSSS terdapat gambaran yang khas, yaitu terlihat lepuh intradermal, celah terdapat
di stratum granulosum. Meskipun ruang lepuh sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis
sisanya tampak utuh tanpa disertai nekrosis sel. Gambar 4.
Gambar 4. Gambaran Klinis pada SSSS (sumber:
http://emedicine.medscape.com/article/788199-clinical#b4)
3. Eritema Multiforme (EM)3,4,9
Onset mendadak progresif cepat, distribusi simetris, mengenai kulit dan / atau
mukokutan, dengan perubahan warna konsentris dalam beberapa atau semua lesi. Lesi menyebar
secara sentripetal yaitu mengenai telapak tangan dan telapak kaki, punggung tangan, dan
permukaan ekstensor ekstremitas dan wajah. Pada keadaan berat mengenai seluruh tubuh.
Gejala prodromal terjadi pada 50% kasus, biasanya 1-14 hari sebelum lesi kulit
berkembang. Gejala berupa demam, malaise, mialgia, arthralgia, sakit kepala, sakit tenggorokan,
batuk, mual, muntah, dan diare. Timbul sensasi terbakar di daerah yang terkena.
Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit dan selaput lendir
sampai bentuk berat berupa kelainan multisistem yang dapat menyebabkan kematian. Didapati 2
tipe dasar, yaitu:
a. Tipe makula-eritema
Erupsi timbul mendadak, simetris dengan tempat predileksi di punggung tangan,
telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas dan selaput lendir. Pada keadaan berat dapat
juga mengenai badan. Lesi terjadi tidak serentak tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu.
Gejala khas adalah bentu iris (target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian
12
tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran
konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.
b. Tipe vesiko-bulosa
Lesi mula-mula berupa makula, papul dan urtika yang kemudian timbul lesi
vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapat juga mengenai selaput lendir. Perhatikan
tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan Gejala Klinis Pada Eritema Multiforme, Sindrom StevensJohnson, dan Nekrolisis Epidermal Toksik9
2.10. Penatalaksanaan3
Obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu dan adiktif. 1
Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison
30-40 mg/hari. Bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan
13
cepat dan pasien dirawat inap. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan life-saving, dapat
digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg/hari. Pada
umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. Biasanya setelah beberapa hari (2-3
hari), masa krisis telah diatasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama
tampak mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5
mg. Setelah dosis mencapai 5 mg/hari maka obat diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya
prednison yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg/hari. Kemudian diturunkan lagi
menjadi 10 mg/hari sampai penggunaan obat benar-benar dihentikan. Jadi lama pengobatan kirakira 10 hari.
Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara.
Kelebihan metilprednisolon adalah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan
deksametason karena termasuk golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk
golongan kerja lama. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam waktu singkat pemakaian
kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek sampingnya. Tapering off hendaknya
dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ adalah eksogen (alergi).
Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin antibiotik yang
sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru. Bila demikian harus
diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain penyebabnya bukan alergi obat, tetapi infeksi
(pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel
yang terbaik adalah kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan spiritus dilutus dengan
kasa steril selama jam untuk menghindari kontaminasi.
Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang
sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap
diturunkan.
Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu maka imunitas pasien akan berkurang karena itu
harus diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi. Antibiotik yang dipilih hendaknya
yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak atau sedikit
nefrotoksik. Antibiotik yang diberikan sebaiknya jangan yang segolongan atau yang rumusnya
mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah sensitisasi silang.
14
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang rendah garam dan
tinggi protein karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula kadar
elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan kalium maka dapat diberikan KCl 3 x 500 mg.
Hal yang perlu diperhatikan adalah mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dan
nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di
tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya Dextrose
5%, NaCl 0,9% dan RL berbanding 1 : 1 : 1 dalam satu labu yang diberikan 8 jam sekali.
Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari maka dapat diberikan
transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood)
adalah imunorestorasi. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit jadi
meninggikan daya tahan tubuh. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan
vitamin C 500 mg atau 1000 mg/hari (IV).
Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat
diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan
betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat
diberikan emolien misalnya krim urea 10%.
2.11. Prognosis
Bila dilakukan tindakan secara tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila
terdapat purpua yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang
buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian.
Mortalitas secara primer ditentukan oleh seberapa parah pengelupasan kulit terjadi.
Ketika pengelupasan kulit pada permukaan tubuh kurang dari 10%, angka mortalitas kira-kira
mencapai 1-5%. Akan tetapi, ketika tingkat pengelupasan kulit dari permukaan tubuh lebih dari
30% angka mortalitas berada diantara 25% dan 35%, dan mungkin juga bisa setinggi 50%.
Bakteremia dan sepsis memainkan peran besar dalam meningkatnya mortalitas.4
Skor SCORTEN (a severity-of-illness-score for toxic epidermal necrolysis) menghitung
risiko terjadinya kematian pada kedua kasus SSJ dan NET yang berbasis pada beberapa variabel,
yaitu:4,7
a. Umur > 40 tahun
b. Keganasan
15
c.
d.
e.
f.
g.
Setiap variable bernilai 1 poin. Angka mortalitas yang dapat terjadi, yaitu:
16
Bab III
Penutup
3.1. Kesimpulan
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai
gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan
pasti, pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat yang paling sering
adalah oxicam NSAID, sulfonamide, fenitoin, dan penisilin. Patogenesis SSJ sampai saat ini
belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II.
Sindrom Stevens-Johnson menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10%
permukaan tubuh, pada selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan pada mata
menyebabkan konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk
mendiagnosis SSJ kecuali pemeriksaan histopatologis. Diagnosis banding dari Sindrom Steven
Johnson yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
(SSSS), dan Eritema Multiforme. Dan komplikasi pada SSJ yang paling sering terjadi adalah
bronkopneumonia.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dilakukan dengan menghentikan obat penyebab,
memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita
dengan keadaan umum berat. Jika keadaan umum pasien SJS baik dan lesi tidak menyeluruh
cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Terapi lokal tidak sepenting terapi sistemik.
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak.
Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang
berpotensi mengancam nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup
memuaskan. Pada kasus ini tingkat mortalitas dapat ditentukan dengan nilai SCORTEN.
17
Daftar Pustaka
1. Wasitaatmadja SM. Anatomi kulit. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI, 2010.h.3.
2. Harsono A. Sindroma Steven Johnson: diagnosis dan penatalaksanaan. Surabaya: FK Unair
RSU Dr. Soetomo Surabaya, 2006.h.1-5.
3. Djuanda A, Hamzah M. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI, 2010.h.163-5.
4. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks color atlas & synopsis of clinical dermatology. 6 th
Edition. United States: Mc Graw Hill Medical, 2009.p.173-7.
5. Tyagi S, Kumar S, Kumar A, Singla M, Singh A. Stevens-johnson syndrome-a life
threatening skin disorder: a review. J. Chem. Phar. Res; 2010; 2(2): 618-26.
6. Djuanda A, Hamzah M. Nekrolisis epidermal toksik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI, 2010.h.166-8.
7. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Paller BA, Leffell DJ. Fitzpatricks dermatology in general
medicine. 7th Edition. United States: Mc Graw Hill Medical, 2008.p.349-55.
8. Djuanda A. Pioderma. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI, 2010.h.62-3.
9. Osterne RLV, Brito RG, Pacheco IA, Alves AP, Sousa FB. Management of ertyhema
18