Anda di halaman 1dari 33

BAB I

LAPORAN KASUS
1.1.

IDENTITAS PASIEN

Nama

: An. A

Tanggal Lahir : 12 Januari 2012


Umur

: 4 Tahun 6 bulan

Jenis Kelamin : Laki-Laki


Alamat

Tanggal Masuk: 14 Juli 2015


Bangsal
1.2.

: Bougenville Bawah

IDENTITAS ORANG TUA/WALI


Nama
Nama
Umur
Pekerjaan
Pendidikan
Penghasila
n
Agama
Alamat

Ayah/Wali
Tn. A
32 Tahun
Wiraswasta
SMA
Rp. 2.500.000,-

Ibu/Wali
Ny. A
30 Tahun
Ibu rumah tangga
SMA
-

Islam
Tanah Koja, Jatinegara Kaum,

Islam
Tanah Koja, Jatinegara

Pulo Gadung, Jakarta Timur

Kaum, Pulo Gadung, Jakarta


Timur

1.3.

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 16 Juli 2016 dengan Ibu
pasien dan berdasarkan data dari rekam medis
Keluhan Utama : Demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Tambahan : Nyeri menelan dan batuk berdahak.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami demam tinggi.
Demam dirasakan sepanjang hari tetapi tinggi saat malam hingga esok paginya. Esok
harinya (empat hari sebelum masuk rumah sakit), ibu pasien memberikan obat
penurun panas yaitu parasetamol sirup. Demam pun dirasakan sudah mulai turun.
Demam dirasakan sudah turun dalam waktu satu. Demam kembali muncul pada esok
harinya dan dirasakan sepanjang hari walaupun sudah diberi obat penurun panas.
1

Pasien juga mengeluhkan nyeri pada saat menelan sejak 5 hari yang lalu. Nyeri pada
tenggorokan pasien juga diikuti dengan batuk yang berdahak. Nafsu makan pasien
mulai berkurang saat keluhan demam, nyeri tenggorkan dan batuk munculsehingga
pasien tampak lemas. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien sering jajan dipinggir
jalan seperti telur dan es potong ataupun makanan dan minuman yang sering dijual di
gerobak. Sebelum pasien mengaluhkan adanya sakit tenggorokan, pasien telah
memakan permen karet yang dibelinya dari warung dan tidak sengaja sempat tertelan.
Saat itu pasien mengeluhkan terasa ada yang menyangkut di tenggorokannya sehingga
ibu pasien mencoba membantu pasien untuk mengeluarkan sumbatan tersebut yang di
anggap oleh orang tua pasien tersebut adalah permenkaret yang menyangkut
ditenggorokan pasien. Ibu pasien juga mengeluhkan beberapa hari terakhir sebelum
munculnya demam pasien mengalami perubahan suara seperti agak berat dan parau.
Selain itu ibu pasien juga mengatakan bahwa saat tertidur, tampak ada suara ngorok
yang tidak biasanya didengar oleh ibu pasien saat pasien tersebut tertidur. Sakit
tenggorokan dan batuk pada psien tidak diiringi dengan keluhan di bagian telinga
ataupun pendengaran. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya gangguan di penghidu
dan pasien juga tidak mengeluhkan adanya gangguan pada bagian hidungnya.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien masih demam walaupun sudah
diberi obat penurun panas. Demam muncul bersamaan dengan nyeri tenggorokan dan
batuk yang berdahak. Nafsu makan pasien mulai menurun dan pasien menjadi lemas.
Hari masuk rumah sakit pasien nampak lemas, badannya panas dan
mengeluhkan nyeri tenggorokan. Oleh karena demam yang menetap disertai dengan
adanya sakit pada tenggorokannya, sehingga nafsu makan pasien mulai menurun, ibu
pasien akhirnya membawa pasien ke Poli THT RSUP Pesahabatan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Pasien belum pernah mengalami keluhan demam yang lebih dari tiga hari.
- Riwayat demam tinggi lalu kejang disangkal.
- Riwayat alergi disangkal.
- Riwayat dirawat di rumah sakit karena penyakit infeksi telinga, tonsil dan saluran
nafas atas disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Keluhan demam pada anggota keluarga lain disangkal.


Riwayat alergi disangkal

Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan


Pasien tinggal dilingkungan padat penduduk. Jarak antara rumah yang satu
dengan rumah yang lainnya berdekatan. Pasien tinggal di rumah dengan dua kamar
tidur. Rumah pasien beralaskan keramik, berdinding tembok, dua buah jendela berada
pada bagian depan rumah, dan satu pada bagian dapur, ventilasi dirasakan cukup. Satu
rumah dihuni oleh lima orang yaitu, ayah, ibu, pasien dan kedua kakak pasien yang
masih berusia 22 tahun dan 17 tahun. Ayah pasien memiliki kebiasaan merokok. Air
minum yang digunakan dirumah adalah air isi ulang, sedangkan air untuk mandi dan
masak berasal dari air PDAM. Terdapat sebuah kamar mandi yang terletak dekat
dengan dapur dan menggunakan jamban jongkok. Jarak antara septiktank dan rumah
tidak tahu. Penanganan sampah dengan dibuang disekitar tempat rumah. Penghasilan
keluarga hanya didapatkan dari penghasilan ayah sebesar -/+ Rp. 2.000.000 , dan
digunakan untuk membiayai lima orang anggota keluarga yaitu ayah, ibu, pasien serta
kedua kakak pasien.
Kesimpulan : Lingkungan padat penduduk, ekonomi menengah kebawah dan
higienitas kurang
Riwayat Antenatal :
Status obstetric ibu
Kontrol kehamilan

G3P3A0
Ibu kontrol kehamilan di bidan setiap bulan
selama masa kehamilan, mulai minum susu
dan vitamin asam folat sejak usia kehamilan

Penyakit yang
kehamilan

1 bulan.
diderita selama masa Demam, nyeri kepala, keputihan dan batuk
pilek selama kehamilan disangkal
Ibu pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan
lain selain vitamin, tidak merokok, dan
minum-minuman beralkohol.

Kesan : kontrol kehamilan rutin, kelanian selama kehamilan tidak ada.

Riwayat Kelahiran :
Kelahiran

Tempat kelahiran
Cara persalinan
Masa gestasi
Ketuban

Di Bidan
Spontan
Cukup bulan, 38 minggu
Pada saat pasien dibawa ke bidan belum ada
cairan ketuban yang merembes, ibu tidak tahu
air ketuban berwarna apa
Berat lahir 3800 gram
Panjang lahir 40 cm
Langsung menangis spontan
Lagsung buang air besar dalam 24 jam pertama
Nilai APGAR tidak tahu
Kelainan bawaan tidak ada

Keadaan bayi

Kesan: Bayi lahir spontan, neonatus cukup bulan, sesuai masa kehamilanu Riwayat imunisasi :
IMUNISASI
BCG
Hepatitis B
DPT / POLIO
Campak

DASAR
1 bulan
1 minggu, 1 bulan, 5bulan
0 , 2, 4 dan 6 bulan
9 bulan

ULANGAN
18 bulan

Kesan : Imunisasi dasar lengkap berdasarkan rekomendasi PPI (Program


Pengembangan Imunisasi)

1.4.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di Bougenvile Bawah tanggal 16 Junli 2016 jam 14.20
WIB
Kesan Umum

: Tampak lemas, pasien tampak sakit sedang.

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda Vital
:
Suhu : 37,9 oC
Nadi : 98 x/menit, kuat angkat, reguler, isi cukup
RR
: 20 x/ menit
Status Antropometri

:
4

BB
-

: 12 kg

PB

: 92 cm

BB/U
: 17,5/18 x 100 % = 94 %
TB/U
: 114/110 x 100 % = 103 %
BB/TB
: 17,5/20 x 100 % = 87 %
BMI
: BB/TB2(dalam meter) = 15,35 (Underweight)
Kesan gizi menurut NCHS : Gizi kurang (kurva terlampir)

Status Generalis

Kepala

: Lingkar Kepala=45cm, Normocephal. Ubun-ubun tidak cekung.

Rambut

: Hitam, distribusi rambut merata, tidak mudah dicabut.

Mata

: Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+, isokor
2mm/2mm.
Telinga
: Bentuk normal, simetris, liang telinga lapang, serumen -/-,MT intak
RC +/+.
Hidung
: Bentuk normal, tidak ada septum deviasi dekstra atau sinistra, sekret
(-) konka eutrofi, darah (-), pernapasan cuping hidung (-).
Tenggorokan : Arkus faring edema, uvula ditengah, Faring hiperemis, Tonsil T3- T3
tampak adanya selaput berwarna kuning bercampur putih kental yang
melapisi tonsil.
Mulut

: Mukosa bibir basah (+), coated tongue (-),

Leher

: Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada deviasi


trakhea, tidak teraba pembesaran KGB cervical.
: bentuk dada simetris, retraksi suprasternal (-), pergerakan dada statis
dan dinamis.

Thorak
-

Pulmo
I : Normochest, dinding dada simetris
P : fremitus taktil kanan = kiri
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Cor
I : Tidak tampak ictus cordis
P : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
P:
o Batas kanan atas : linea para sternalis dekstra ICS II
o Batas kiri atas : linea para sternalis sinistra ICS II
o Batas kanan bawah : linea parasternalis dekstra ICS IV
o Batas kiri bawah : linea midclavicularis sinistra ICS IV
A : BJ I tunggal, BJ II normal, Gallop -/-, Murmur -/Abdomen
: I : Datar, distensi (-)
A : Bising usus (+) normal ( 4 kali dalam 1 menit)
P : Dinding perut supel, turgor kulit baik, nyeri tekan (-)
P : Timpani
Hepar
: Tidak teraba pembesaran
Lien
: Tidak teraba pembesaran
Ginjal
: Ballotement -/-

Ekstremitas

: Akral hangat (+), capilary refill time <2detik, sianosis (-), motorik
aktif, kekuatan normal.

Kulit

: ruam (-), lebam (-), sianosis (-), ptekiae (-), turgor kembali cepat

Genitalia

: Perempuan, eritema (-)

1.4.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah pada tanggal 15 Juli 2016

Pemeriksaan

Hasil
28 September 2015

Nilai Rujukan

Hematologi
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Leukosit

11,7
9,39

11,5-13,5 g/dl
5-14,5 ribu/mm3

Netrofil

63,7

17-60%

Limfosit

25,8

20-70%

Monosit

6,9

1-11%

Eosinofil

0,2

1-5%

Basofil
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
CRP

0,4
4,85
34
266
70,9
24,3
34,0
5,84

0-1%
3,87-5,39 juta/uL
34-40 %
150-440 ribu/mm3
75-87 fL
24-30 pg
31-37 %
0-0,3 %

Hitung Jenis :

Kesimpulan : terdapat peningkatan neutrofil dan crp yang menandakan adanya infeksi
6

1.5.

RESUME
Pasien anak perempuan usia 4 tahun, datang dengan keluhan demam sejak 5
hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan
nyeri tenggorokan dan perubahan suara menjadi lebih berat sejak 4 hari sebelum
masuk rumah sakit. Demam dirasakan sepanjang hari dan tinggi saat malam hari. Ibu
pasien mengatakan bahwa saat pasien tertidur terdengar suara mengorok yang tidak
biasanya ibu pasien dengar -/+ 5 hari terakhir ini. Sebelum pasien mengeluhkan sakit
pada tenggorokannya ibu pasien mengatakan bahwa pasien tidak sengaja tersendak
permen karet yang dimakannya, yang akhirnya bisa dikeluarkan dengan cara
memuntahkannya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan tampak sakit sedang dan
kesadaran compos mentis . Tanda vital : Suhu 38,8 Celcius Nadi 99 x/menit, dan
RR : 20 x/menit. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan adanya pembesaran pada
tonsil dengan ukuran T3-T3 dengan selaput berwarna putih kekuningan yang
menutupi tonsil, dan arkus faring yang edem serta dinding faring yang hiperemis.
Dari pemeriksaan laboratorium saat awal masuk dilakukan pemeriksaan darah
rutin dan didapatkan hasil peningkatan neutrofil juga crp yang menandakan adanya
tanda infeksi pada pasien tersebut.

1.6.

DIAGNOSA KERJA
Tonsilitis membranosa

1.7.

DIAGNOSA BANDING
Tonsilitis difteri

1.8.

PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Tatalaksana di bangsal/ruang rawat :
a. Cairan IVFD KaEN 3B 18 tpm makro
Kebutuhan cairan rumatan anak dengan BB 12kg = (10 x 100) + (2 x 50)
= 1100 ml/ kgBB adalah :
= (1100) x 20 / (24 x 60) = 18,33 ~ 18 tpm makro
b. Obat :
7

Cefotaxime 2 x 600mg iv
Dosis 50 100 mg/KgBB/Hari
Ibuprofen 3 x 1 cth
Dosis 100 mg/5ml/kali
ADS 4000 unit
2. Non Medikamentosa
a. Diet : Makanan cair

b. Planning
Observasi TV dalam waktu setiap jam
Tetap lakukan terapi pasien dengan diagnosis Difteri sampai hasil Swab tenggorok
keluar
Lakukan cek Swab tenggorok
Cek Lab darah rutin tiap (jika perlu)
Observasi sesak / 4 jam
Edukasi
Jaga kebersihan dan kesehatan diri, keluarga dan lingkungan sekitar.
Minum obat sesuai aturan
Minum air putih yang banyak
Jaga asupan nutrisi dan cairan

c.

1.9.
-

PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: ad bonam
: ad bonam
: dubia ad bonam

1.10.

FOLLOW UP PASIEN

TANGGAL 17 07 2016, Jam 14.45 WIB


S

: Demam(-), nyeri tenggorokan(+), intake makan masih mau, batuk (+),


sesak(-)

:
KU : Sakit sedang, lemas
Kes : CM
Tanda Vital:
- S : 37,4C
- N : 100 x/menit
- RR : 23 x/menit
Status Generalis :
- Telinga : Bentuk normal, simetris, liang telinga lapang, serumen -/-,MT
intak RC +/+.
- Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi dekstra atau sinistra,
sekret (-) konka eutrofi, darah (-), pernapasan cuping hidung
-

(-).
Tenggorokan : Arkus faring edema, uvula ditengah, Faring hiperemis,
Tonsil T3- T3 tampak adanya selaput berwarna kuning
bercampur putih kental yang melapisi tonsil.

Thoraks : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas: akral hangat (+), CRT <2,

: Tonsilitis Membranosa dd/ Difteri

:
-

IVFD KaEN 3B 18 tpm makro

Cefotaxime 2x600mg iv

Ibuproven 1x1cth/kali diberikan 3 kali/hari


ADS 4000 unit
Menunggu hasil Swab

TANGGAL 18 07 2016, Jam 14.45 WIB


S

: Demam(-), nyeri tenggorokan(+), intake makan masih mau, batuk (+),


sesak(-)
9

:
KU : Sakit sedang, lemas
Kes : CM
Tanda Vital:
- S : 36,7C
- N : 98 x/menit
- RR : 20 x/menit
Status Generalis :
- Telinga : Bentuk normal, simetris, liang telinga lapang, serumen -/-,MT
intak RC +/+.
- Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi dekstra atau sinistra,
sekret (-) konka eutrofi, darah (-), pernapasan cuping hidung
-

(-).
Tenggorokan : Arkus faring edema, uvula ditengah, Faring hiperemis,
Tonsil T3- T3 tampak adanya selaput berwarna kuning
bercampur putih kental yang melapisi tonsil.

Thoraks : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas: akral hangat (+), CRT <2,

: Tonsilitis Membranosa dd/ Difteri

:
-

IVFD KaEN 3B 18 tpm makro

Cefotaxime 2x600mg iv

Ibuproven 1x1cth/kali diberikan 3 kali/hari


ADS 4000 unit
Menunggu hasil Swab

TANGGAL 20 07 2016, Jam 15.05 WIB


S

: Demam(-), nyeri tenggorokan(-), intake makan masih mau, batuk (-),


sesak(-)

:
KU : Sakit sedang, lemas
Kes : CM
10

Tanda Vital:
- S : 36,4C
- N : 102 x/menit
- RR : 22 x/menit
Status Generalis :
- Telinga : Bentuk normal, simetris, liang telinga lapang, serumen -/-,
MT intak RC +/+.
-

Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi dekstra atau sinistra,
sekret (-) konka eutrofi, darah (-), pernapasan cuping hidung

(-).
Tenggorokan : Arkus faring simetris, uvula ditengah, Faring
Hiperemis (-), Tonsil T2- T2

Thoraks : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas: akral hangat (+), CRT <2,

: Tonsilitis Membranosa dd/ Difteri

:
-

IVFD KaEN 3B 18 tpm makro

Cefotaxime 2x600mg iv

Ibuproven 1x1cth/kali diberikan 3 kali/hari


Menunggu hasil Swab

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah pada tanggal 20 Juli 2016 jam 11.35
Pemeriksaan

Hasil
30 September 2015

Nilai Rujukan

Hematologi
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Leukosit

12,0
7,92

11,5-13,5 g/dl
5-14,5 ribu/mm3

49,2

25-60%

Hitung Jenis :
Netrofil

11

Limfosit

40,1

25-50%

Monosit

7,6

1-11%

Eosinofil

1,7

1-5%

Basofil
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
CRP Kuantitatif
Kultur Darah

1,0
4,72
37
448
78,5
25,9
32,6
0,02

0-1%
4,11-5,95 juta/uL
34-40 %
150-440 ribu/mm3
75-87 fL
24-30 pg
31-37 %
0,0-0,3

Tidak
Jenis sampel

ditemukan

darah

pertumbuhan
bakteri

Kesimpulan, terdapat adanya :


o Tanda-tanda infeksi sudah menghilang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

ANATOMI
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian

terpentingnya adalah tonsil palatine dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur lain adalah tonsil
lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa
Rosenmuller, dibawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatine adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjaang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
12

dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Tonsil terletak di lateral orofaring dan dibatasi
oleh:
- Lateral
- Anterior
- Posterior
- Superior
- Inferior

: M. konstriktor faring superior


: M. palatoglosus
: M. palatofaringeus
: Palatum mole
: Tonsil lingual

Gambar 1. Anatomi Tonsil


Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen, yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid).
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstrikor faring superior.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membrane jaringan ikat
yang disebut kapsul. Kapsul adalah jaringan ikat putih yang mempunyai 4/5
bagian tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa
embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengakatan tonsil.
Perdarahan
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang A.karotis eksterna, yaitu: 1)
A.maksilaris eksterna (A.Fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A.
13

palatina asenden, 2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatine


desenden, 3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal, 4) A. faringeal
asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis
dorsal dan bagian posterior oleh A. palatine asenden, di antara kedua daerah
tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh oleh
A. faringeal asenden dan A. palatine desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik
melalui pleksus vena disekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

Gambar 2.
Perdarahan Tonsil
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda bagian superior di bawah M. sternokleidomastoideus, selanjutnya ke
kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya
mempunyai pembuluh getah bening eferen.
Persarafan
Tonsil bagian atas endapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
Imunologi tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2%
dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Pada tonsil terdapat sistem
imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag, sel dendrite
dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis immunoglobulin spesifik, juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil
14

merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan


proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid
yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Adenoid tidak memiliki kriptus. Adenoid
terletak di dinding belakang nasofaring, terutama ditemukan pada dinding atas dan
posterior. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian mengalami
regresi.

Gambar 3. Tonsil Faringeal (Adenoid)


Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4:
T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior-uvula
T2: batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai jarak plar anterioruvula
T3: batas medial tosnsil melewati pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterioruvula
T4: batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih

15

Gambar
Klasifikasi
2.2

4.

Pembesaran Tonsil

FISIOLOGI TONSIL
Tonsil palatine merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem

pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau
masuk ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau nonspesifik.
Apabila pathogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuclear akan
mengenal dan mengeliminasi antigen.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif, 2) sebagai organ utama produksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik. Dalam keadaan normal tonsil akan membantu mencegah terjadinya
infeksi. Tonsil bertindak sebagai filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke
tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi
antibody untuk melawan infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing
dan pathogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu melindungi
tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsillitis. Aktivasi
imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3-10 tahun.
TONSILITIS MEMBRANOSA
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut, yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsi faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), dan tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil).
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa adalah (a) Tonsilitis difteri,
(b) Tonsilitis septik, (c) Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti leukemia
akut, anemia pernisiosa, neutropenia maligna, serta infeksi mono-nukleosis, (e) proses

16

spesifik luas dan tuberculosis, (f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis,
(g) Infeksi virus morbili, pertusis dan skarlatina.

2.3.1 TONSILITIS DIFTERI


Definisi
Tonsilitis difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae, Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit,
konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala local dan
sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat
infeksi.
Difteri dapat ditularkan melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin
atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan
predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
Epidemiologi
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan
anak. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun orang dewasa masih mungkin terkena.
Etiologi
Penyebab difteri adaah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram positif
tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis.
Koloni-koloni bakteri tsb berwarna putih kelabu pada medium Loeffler. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada
titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan saluran
nafas atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan
17

suatu protein yang mempunyai 2 fragmen, yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen
B (carboxylterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfide. Fragmen B berfungsi untuk
melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif agar
selanjutnya fragmen A melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting
dalam menimbulkan efek toksik pada sel.
Toksin difteri mula-mula menempel pada membrane sel dengan bantuan fragen B dan
selanjutnya membrane A akan masuk dan menginaktivasi enzim translokase. Proses
transloksi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai
respon terjadi inflamasi local yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membrane yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang tergantung.
Selain fibrin, membrane juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit, dan sel-sel epitel. Bila
dipaksa melepas membrane akan terjadi perdarahan. Membran akan terlepas sendiri
dalam periode penyembuhan.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala local dan gejala
akibat eksotoksin.
a. Gejala umum seperti gejala infeksi yaitu demam biasanya subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.
b. Gejala local berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama
makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu. Membran ini dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus serta dapat menyumbat
saluran napas. Membran semu ini melekat pada dasarnya, sehingga apabila diangkat
akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila berjalan terus, kelenjar
limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher
sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters hals.
c. Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, yaitu pada
jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf
cranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada
ginjal menmbulkan albuminuria.

18

Gambar 5. Tonsilitis Difteri


Diagnosis
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik, tes Schick dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membrane
semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae. Diagnosis pasti dengan isolasi
C. diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler, dilanjutkan dengan tes
toksigenesitas secara vivo dan vitro.
Terapi
1. Isolasi dn Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negative 3 kali berturut-turut setelah masa akut
terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana:
a. Biakan hidung atau tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap difteri)
c. Evaluasi gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid difteri.
-

Bila kultur (-)/Schick test (-): bebas isolasi


Bila kultur (+)/Schick test (-): pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-): anti toksin difteri + penisilin
19

Bila kultur (+)/Schick test (+): toksoid (imunisasi aktif)

2. Tatalaksana Medikamentosa
- Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan
dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. Oleh
karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik,
-

maka harus tersedia larutan Adrenalin 1:1000 dalam semprit.


Antibiotik Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama

14 hari.
Kortikosteroidn1,2 mg/kgBB per hari.
Antipiretik untuk simptomatik.

3. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi
Schick negative tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi.
Komplikasi
- Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu menjalar ke laring dan
-

menyebabkan gejala sumbatan.


Miokarditis dapat mengakibatkan decompensatio cordis
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot
laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau, dan kelumpuhan

otot-otot pernapasan.
Albuminuria sebagai akibat komplikasi ginjal

2.3.2 TONSILITIS SEPTIK


Etiologi
Penyebab tonsillitis septic adalah Streptococcus haemoliticus yang terdapat dalam susu
sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu
dengan cara pasteurisasi sebelum diminum, maka penyakit ini jarang ditemukan.
Manifestasi Klinis
Demam tinggi, sakit sendi, malaise, nyeri kepala, mual dan muntah. Mukosa faring dan
tonsil hiperemis, bercak putih, edema sampai uvula, dan mulut berbau.
Terapi
Antibiotik dan terapi simptomatik

20

2.3.3 ANGINA PLAUT VINCENT (Stomatitis Ulsero Membranosa)


Etiologi
Bakteri sphinocaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan hygiene
mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.
Gejala
Demam sampai 39C, nyeri kepala, badan lemah, gangguan pencernaan, nyeri dimulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.

Gambar 6. Angina Plaut Vincent


Mukosa

Pemeriksaan
mulut dan faring

hiperemis,

tampak membrane putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus
alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
Terapi
- Antibiotik spectrum luas selama 1 minggu
- Perbaiki hygiene mulut
- Vitamin C dan vitamin B kompleks
2.3.4 PENYAKIT KELAINAN DARAH
Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, agina agranulositosis dan infeksi
mononucleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membrane semu. Kadangkadang terdapat perdarahan di selaput lender mulut dan faring serta pembesaran kelenjar
submandibula.
Leukemia Akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di
bawah kulit sehingga tampak bercah bercak kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi
membrane semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat ditenggorok.

Angina Agranulositosis

21

Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa, dan arsen.
Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta di sekitar ulkus tampak
gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna.
Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilofaringitis ulsero membranosa bilateral. Membran
semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat
pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak, dan regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu
terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (reaksi
Paul Bunnel).

22

Etiologi

Tonsilitis Difteri
Kumman Corynebacterium
diphteriae

Tonsilitis Septik
Streptokokus
hemolitikus pada susu
sapi

Angina Plaut Vincent


Bakteri spirochaeta atau
treponema

Peny. Kelainan Darah


Memiliki gejala yang tim
di faring atau tonsil yang
tertutup membran semu

23

Manifetasi

Gejala infeksi: Demam


subfebris, nyeri menelan,
tidak nafsu makan, badan
lemah, nadi melambat.
Gejala lokal: tonsil edema
ditutupi bercak putih kotor
yang meluas membentuk
membran semu, membrane
mudah berdarah, dan
terdapat pembesaran leher
menyerupai leher sapi (bull
neck).

Demam tinggi, sakit


sendi, malaise, nyeri
kepala, mual dan
muntah. Mukosa faring
dan tonsil hiperemis,
bercak putih, edema
sampai uvula, dan mulut
berbau

Demam sampai 39C, nyeri


kepala, badan lemah,
gangguan pencernaan,
nyeri dimulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi
mudah berdarah.

Leukemia akut: epistak


perdarahan di mukosa m
gusi dan di bawah kulit
sehingga tampak bercah
bercak kebiruan
Angina agranulositosis:
mukosa mulut dan farin
serta di sekitar ulkus tam
gejala radang
Infeksi mononucleosis:
Membran semu yang
menutupi ulkus mudah
diangkat tanpa timbul
perdarahan. Terdapat
pembesaran kelenjar lim
leher, ketiak, dan
regioinguinal

Diagnosis

-Pemeriksaan faring: tonsil


edema ditutupi bercak putih
kotor yang meluas
membentuk membran semu,
membrane mudah berdarah.
-Laboratorium: preparat
langsung kuman dengan
media Loeffler
-Tes Schick

Pemeriksaan faring:
Mukosa faring dan tonsil
hiperemis, bercak putih,
edema sampai uvula, dan
mulut berbau

Pemeriksaan faring:
Mukosa mulut dan faring
hiperemis, tampak
membrane putih keabuan
diatas tonsil, uvula, dinding
faring, gusi serta prosesus
alveolaris, mulut berbau
(foetor ex ore) dan kelenjar
submandibula membesar.

-LA: Tonsil membengk


ditutupi membrane semu
tetapi tidak hiperemis da
rasa nyeri yang hebat
ditenggorok
-AA: tampak ulkus di
mukosa mulut dan farin
serta di sekitar ulkus tam
gejala radang.
IM: leukosit mononukle
dalam jumlah besar, Tan
khas yang lain ialah
kesanggupan serum pasi
untuk beraglutinasi terha
sel darah merah domba
(reaksi Paul Bunnel).

Terapi

-Anti Difteri Serum (ADS)


dosis 20.000-100.000 unit
-Antibiotik: Penisilin atau
Eritromisin 25-50 mg/kgBB
dibagi dalam 3 dosis selama
14 hari.
-Kortikosteroid: 1,2
mg/kgBB per hari.

Antibiotik dan terapi


simptomatik

-Antibiotik spectrum luas


selama 1 minggu
-Perbaiki hygiene mulut
-Vitamin C dan vitamin B
kompleks

Terapi sesuai penyakit y


mendasari

2.4 Tabel Perbedaan pada Tonsilitis Membranosa

2.6

TONSILEKTOMI
Indikasi
24

The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical


Indicators Compendium merupakan:
1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali dalam setahun walaupun telah mendapat
terapi yang adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleep apnea, stridor, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonal.
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsilar yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus B
hemolitikus.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusi/otitis media supuratif
Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, nemun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi akan dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan resiko. Keadaan tersebut adalah:
-

Gangguan perdarahan
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
Asma
Tonus otot yang lemah
Sinusitis
Albuminuria
Hipertensi
Rinitis alergi
Demam yang tidak diketahui penyebabnya

Teknik Operasi
Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan perioperatif, dan pascaoperatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar. Di
Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil
25

beserta kapsul tonsil dari fossa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini di lakukan dengan metode diseksi. Metode
pengangkatan tonsil dengan meggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi.
Tonsil digenggam dengan menggunkan klem tonsil dan ditarik ke arah medial,
sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife
dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
Komplikasi
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,8-8,1%) dari jumlah kasus. Perdarahan dapat
terjadi selama operasi, segera operasi atau saat dirumah. Kematian akibat
perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien, sebanyak 1 dari 100 pasien kembali
karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi, dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan silus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.

c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring,
lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.

26

BAB III
ANALISA KASUS

Pasien anak laki-laki berusia 4 tahun, datang dengan keluhan demam sejak 5
hari SMRS Pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan, nyeri tenggorokan dan
batuk berdahak. Demam sempat hilang saat ibu pasien memberikan obat penurun
panas namun timbul lagi. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien akhir-akhir ini tidur
dengan suara mengorok yang tidak biasanya di alami pasien sebelumnya. Pasien
sempat mengalami tersendak oleh permen karet yang akhirnya bisa dikeluarkan
dengan cara memuntahkan permen karet tersebut.

27

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan tampak sakit sedang dan


kesadaran compos mentis . Tanda vital : Suhu 37,8 Celcius Nadi 98 x/menit, dan
RR : 20 x/menit. Pada kepala, mata, THT, mulut, leher, thoraks, abdomen dan
esktremitas dalam batas normal. Dari pemeriksaan laboratorium saat awal masuk
dilakukan pemeriksaan darah rutin dan didapatkan hasil neutrofil dan crp kuantitatif
yang meningkat dan menandakan bahwa pasien mengalami infeksi oleh
mikroorganisme.
Pasien di diagnosa kerja Tonsilitis membranosa dd/ Difteri. Tonsilitis adalah
peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut,
yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsi faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), dan tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlachs
tonsil). Tonsilitis difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae. Kedua penyakit tersebut memiliki gejala yang sama dan saling
berhubungan karena predileksi infeksi berada di tempat yang sama. Pada pasien
didapatkan adanya gejala gejala dari tonsilitis membranosa dengan dd/ difteri antara
lain :
Tonsilitis membranosa
1. Anamnesa
- Demam selama 5 hari
- Nyeri tenggorokan
- Batuk berdahak
- Tidur dengan suara mengorok

2. Pemeriksaan fisik
- Suhu 38,7 Celcius
- Arkus faring edem,dinding
hiperemis,

Tonsil

T3-T3

Demam difteri
1. Anamnesa
Demam selama 5 hari
Nyeri tenggorokan
Batuk berdahak
Tidur dengan suara mengorok

faring

2. Pemeriksaan fisik
- Suhu 38,7 Celcius
- Arkus faring edema, dinding faring

terdapat

hiperemis, Tonsil T3-T3 tertutup oleh

bercak putih kekuningan


3. Pemeriksaan Penunjang DPL
- Netrofil : 63,7
- CRP : 5,84

selaput berwarna putih kekuningan


3. Pemeriksaan Penunjang DPL
- Netrofil : 63,7
- CRP : 5,84

Pada Follow Up harian pasien, dilakukan observasi tanda vital (suhu, nadi, RR
dan tekanan darah) dan pemeriksaan penunjang lebih lanjut yaitu pemeriksaan darah
28

lengkap. LED, Swab tengorok dan kultur darah. Dalam perjalanan penyakitnya
didapatkan keluhan yang sama, pemeriksaan tanda vital yang stabil dan perubahan
dalam pemeriksaan penunjang Lab DPL.

Follow Up

Hasil Pemeriksaan

Keluhan (S,O)

Penunjang Lab DPL

Demam (-), nyeri


tenggorok (+), batuk (+),
Hari ke 1

sesak (-) S : 37,4C

17 07 2016

Tampak tonsil T3-T3


dengan selaput putih
kekuningan
Demam (-), nyeri
tenggorok (+), batuk (+),

Hari ke 2

sesak (-) S : 36,7C

18 07 2016

Tampak tonsil T3-T3


dengan selaput putih
kekuningan
-

Netrofil : 49,6

CRP 0,02

Kultur darah : tidak

Demam (-), nyeri


Hari ke 4

tenggorok (-), batuk (-),

20 07 2016

sesak (-) S : 36,4C


Tampak tonsil T2-T2

ditemukan
mikroorganisme

Pada hari pertama pasien masuk sampai hari pertama perawatan pasien
mengalami demam, dan pada pemeriksaan darang lengkap didapatkan peningkatan
netrofil dan CRP. Hasil tersebut menandakan adanya infeksi mikroorganisme. Tetapi
pada hari ke 2 sampai ke 3 mulai terjadi mulai terjadi penurunan suhu tubuh. Pada
hari ke 4 dan 5 perawatan, terdapat hasil penurunan netrofil dan CRP yang signifikan,

29

sehingga pada hasil kultur darah pasien didapatkan hasil tidak ada pertumbuhan
mikroorganisme.
Awal diagnosa pasien adalah Tonsilitis membranosa dd/ Difteri. Tonsilitis
difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.
Pada kasus suspek demam dengue pada pasien, tatalaksananya adalah sebagai
berikut :

Diagnosa Kerja :
Tonsilitis membranosa dd/
Difteri

Biakan hidung atau tenggorok


Sebaiknya dilakukan tes Schick (tes

kerentanan terhadap difteri)


Evaluasi gejala klinis setiap

hari

Isolasi dn Karantina

Penderita

diisolasi

sampai

biakan

negative 3 kali berturut-turut setelah


masa akut terlampaui

sampai masa tunas terlewati

Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil


kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan
beratnya penyakit.

Antibiotik Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg/kgBB

dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.


Antipiretik untuk simptomatik

Bila kultur (-)/Schick test (-): bebas isolasi


Bila kultur (+)/Schick test (-): pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-): anti toksin difteri + penisilin
Bila kultur (+)/Schick test (+): toksoid (imunisasi aktif)

30

Tonsilitis difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium


Diphteriae, Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit,
konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala local dan
sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat
infeksi.
Difteri dapat ditularkan melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin
atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan
predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan saluran
nafas atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah menimbulkan inflamasi
di tonsil mengaktivasi mediator kimiawi timbul gejala awal demam dan
pembengkakan yang disertai adanya eksudat pada tonsil dengan gambaran selaput
berwarna putih kekuningan.
Akibat adanya infeksi pada tonsil sehingga timbullah sel inflamasi dan sistem
pertahanan tubuh yang ditandai dengan adanya peningkatan netrofil dan juga CRP pada
pasien tersebut. Peradangan terus berlanjut membuat tonsil pada psien tersebut semakin
membesar sehingga pasien merasakan sakit pada bagian tenggorokannya. Karna tonsil
pasien yang semakin membesar, maka saluran pernafasannya terhaang sehingga pada saat
pasien tertidur timbullah stridor atau suara mengorok.
Pada penatalaksanaannya, pasien diberikan antibiotik cefotaxime yaitu
antibiotik golongan cefalosporin yang bersifat bakteriosidal dan bekerja menghambat
sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri. Cefotaxime sangat stabil terhadap
hidrolisis beta laktamease, maka Cefotaxime digunakan sebagai alternatif lini pertama
pada bakteri yang resisten terhadap Penisilin. Cefotaxime memiliki aktivitas spectrum
yang lebih luas terhadap organisme gram positif dan gram negatif. Pasien diberikan
ADS adalah antisera murni yang dibuat dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap
difteri serta mengandung fenol sebagai pengawet, berupa cairan bening kekuningan.
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit. 40.000 IU
untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara
unilateral/bilateral. 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi
hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring. Pasien
juga

diberikan

ibuprofen,

sejenis

obat

yang

tergolong

dalam

kelompok
31

antiperadangan non-steroid (nonsteroidal anti-inflammatory drug) dan digunakan


untuk mengurangi rasa sakit akibat artritis. Ibuprofen juga tergolong dalam kelompok
analgesik dan antipiretik. bekerja dengan menghambat enzim yang berperan dalam
produksi prostaglandin. Prostaglandin adalah senyawa yang dilepaskan tubuh yang
menyebabkan inflamasi dan rasa sakit. Dengan menghalangi produksi prostaglandin,
ibuprofen mengurangi inflamasi dan rasa sakit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Hermani B. Nyeri Tenggorok: Odinofagia. Dalam: Soepardi E.A., et al.


(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Edisi Keenam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2007.
2. Rusmarjono, Soepardi E.A. Nyeri Tenggorok: Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid. Dalam: Soepardi E.A., et al. (eds). Buku Ajae Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
2007.
3. Adams, G.L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (Fundamental of Otolaryngology). Edisi Keenam. Penerbit EGC:
Jakarta. 1997.

32

4. Ballenger J.J. (eds). Anatomi bedah tonsil. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Penerbit Binarupa Aksara: Jakarta. 1994.
5. Darrow D.H, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy.
Laryngoscope. 2002; 112: p.6-10.

33

Anda mungkin juga menyukai