Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Kondisi tak menggembirakan yang mendera sementara


umat, telah banyak membangkitkan motivasi para pemikir untuk
membaca kembali, mengoreksi ulang, serta mencari aspek-aspek
yang memungkinkan terjadinya penyelesaian dari tradisinya
sendri. Contoh paling gamblang bisa kita cermati dari semangat
pembaruan dalam Islam sebagai bentuk sikap reaktif dari
keterpurukan oleh kekangan luar berbarengan dengan semangat
tradisi yang kurang menunjang adanya pembangunan. Kekalahan
di luar sejarah menyebabkan koreksi diri atas keadaan di dalam
tradisi. Dalam konteks ini kita mengenal al-Yasar al-Islmm milik
Hasan Hanafi, Revelation and Revolution (Ziaul Haque), Quran,
Liberation and Pluralism (Farid Esack), atau, yang akan diulas
dalam

makalah

ini, Islam

and

Liberation

theology

dengan

seorang penggerak bernama Ashghar Ali Engineer.


Tulisan ini akan mengurai gagasan Asghar Ali Engineer
mengenai Islam, teologi pembebasan, dan etos revolusionerisme.
Dengan tidak berpretensi mengklaim sebagai gambaran utuh
mengenai keseluruhan gagasan Engineer, makalah ini dimulai
dengan latar sejarah ide itu muncul, dialog antara Islam dan
Marxisme, hingga sekilas konsep seputar Islam sebagai agama
pembebasan.

PEMBAHASAN
A. Latar Sosio-Politis
Seperti

kelaziman

dalam

menelaah

seorang

tokoh

tertentu, pelacakan dan pemahaman atas kondisi sosial dan


politik

seorang

pemikir

merupakan

keharusan.

Hal

ini

disebabkan, konstruksi pemikiran seseorang tidak mungkin lahir


dari sebuah kekosongan. Dorongan batin maupun pikiran yang
disemai

dari

kenyataan

historis

melalui

proses

dialektika,

interaksi, dan pergulatan dalam konteks spesifik seringkali


menjadi faktor dominan dalam melahirkan ide-ide segar seorang
pemikir atau ideolog.
Engineer seolah hadir dalam atmosfer intelektualisme
yang cukup progresif, reformatif, dan kritis. Pria kelahiran 10
Maret 1940 asal India ini menjalani karir kesehariannya secara
intensif dan produktif, beriringan dengan arus pemikiran para
cendikia muslim sebelum dan semasanya seperti, Syah Wali
Allah, Sir Sayyid, Amir Ali, Parwez, Abul Kalam Azad, Iqbal, dan
Fazlurrahman.1Atmosfer ini jelas menguntungkan bagi Engineer
untuk bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan ideide liberal, yang kelak mencetak dirinya sebagai tokoh kritis
dengan semangat revolusionerisme.
Mencermati tahun kelahirannya, dapat dipastikan kondisi
sosio-politik di India saat itu sedang diwarnai ketegangan antara
Hindu dan Muslim dalam perebutan otoritas politik. Setidaknya
ada dua hal mendasar yang memicu munculnya ketegangan
tersebut. Pertama,munculnya

kesadaran

komunalisme

pada

masyarakat Hindu dan Muslim sebagai akibat keberhasilan


kebijakan

politik

fragmentasikebijakan

politik

1 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Bandung:


Mizan, 1996), 79.

yang

memberlakukan sistem pemilihan yang membagi India menjadi


komunitas

Muslim

dan

Hinduyang

dijalankan

Inggris. Kedua, adanya sikap saling curiga dan kesalahpahaman


antara kedua komunitas itu. Para pemuka muslim mencemaskan
bahwa

pihak

Hindu

sebagai

kekuatan

mayoritas

akan

mengeksploitasi dan merendahkan pihak Muslim. Sebaliknya,


para pemuka Hindu menduga bahwa pihak Muslim tengah
mencari kesempatan untuk meneguhkan kembali supremasi
politik mereka di India. Perseteruan ini kemudian mendorong dan
memunculkan berdirinya negara Pakistan yang mayoritas Islam
pada 14 Agustus 1947 dan negara India yang mayoritas Hindu
pada 15 Agustus 1947.2
Pembelahan

secara

geo-politis

itu

ternyata

memarginalkan kaum minoritas yang ada di negara masingmasing. Minoritas Muslim dan Shikhisme di India mendapat
perlakuan tak adil secara ekonomi, pendidikan, politik, maupun
sosial. Kalau di kalangan Muslim situasi ini memunculkan
konservatifisme

terhadap

tradisi

keagamaan,

penganut

Shikhisme justru menggerakkan sparatisme untuk mendirikan


negara sendiri, Republik Khalistan.3Keperihatinan Engineer atas
kondisi tersebut terang saja memengaruhi bangunan watak
keislamannya, sehingga mencuatlah isu Teologi Pembebasan.
Ditambah perannya sebagai pemimpin salah satu kelompok
Syiah Ismailiyyah, yaitu Daudi Bohras, yang berpusat di
Bombay, Engineer lebih vokal dan merasa otoritatif menyuarakan
perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangaan.
B. Teologi Pembebasan : Perkawinan Islam dan Marxisme
2 M. Inam Esha, Asghar Ali Engineer: Menuju Teologi Pembebasan,
dalam Permikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta : Jendela, 2003), 87.
3 Ibid., 88.

Sejak semula Engineer memberikan satu usulan kuat


untuk mereformasi teologi konvensional guna menuju teologi
baru yang lebih relevan. Menurutnya, teologi yang selama ini
dianut oleh kebanyakan umat Islam mengandung kepasifan
dalam menanggapi realitas kehidupan yang tak adil. Apa yang
menjadi

semangat

hakiki

agama

justru

kandas

lantaran

kecenderungan pembahasan dan orientasi teologi yang terlepas


dari kondisi timpang di hadapannya. Secara eksplisit, Engineer
menolak teologi yang terlalu beraroma metafisik, abstrak, dan
tak menyentuh problema kehidupan masyarakat. Karekteristik
teologi semacam ini hanya akan menambah kuat status quo,
atau bahkan mendukung dan secara bersama-sama melakukan
penindasan rakyat. Sebagaimana tuturnya:Umumya teologi pada
masa sekarang ini dikuasi oleh orang-orang yang sangat
mendukung status quo. Oleh karena itu, teologi cenderung
sangat

ritualis,

dogmatis

dan

bersifat

metafisis,

yang

membingungkan. Dengan wajah yang seperti ini, agama sama


denga

misitik

dan

menghipnotis

masyarakat.

Dan

teologi

pembebasan harus membersihkan elemen-elemen ini sampai ke


akar-akarnya.4
Sementara itu istilah pembebasan diadopsi dari khazanah
Kristen, yang awalnya muncul dari Amerika latin. Istilah tersebut
dibakukan

sebagai

reaksi

atas

istilah

pembangunan

(development), yang secara realitis tidak lagi mengungkapkan


kerinduan rakyat, tapi sudah menjadi milik kaum penindas dan
penguasa untuk membenarkam praktek penindasannya. Dari
konstelasi yang demikian itulah muncul istilah pembebasan,
sebagai istilah yang sangat cocok bagi kalangan yang tertindas. 5
Sedangkan dalam ilmu kalam teologi didefinisikan sebagai
4 Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology, terj. Agung
Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000), 32.

penafsiran terhadap realitas- realitas empiric dengan perspektif


ketuhanan.6

Pada

(development)

era

yang

modernitas
sudah

saat

menjadi

ini,

pembangunan

keniscayaan

bagi

masyarakat modern dan mainstream gerakan yang berbanding


lurus dengan wacana modernitas, telah membentuk struktur dan
sistem ekonomi liberal-kapitalis7
Fokus utama Engineer memang pada ketidaksetujuannya
pada ideologi atau cara pikir apapun yang berpihak pada
kelanggengan status
membuat

kalangan

quo.
elit

Kemapanan
tertentu

politik

dan

ekonomi

semena-mena,

dengan

mengabaikan penderitaan masyarakat bawah yang semestinya


membutuhkan ayoman, perlakuan adil serta kesejahteraan. Guna
menghindari keberpihakan Islam pada status quo, perlu adanya
pembebasan

atas

ideologinya

sendiri

dari

apa

yang

menjelmakannya sebagai the opium of the people, sebelum


mewujud sebagai ideologi pembebasan.
Pengembangan teologi pembebasan, dengan demikian,
adalah bentuk upaya untuk mengawinkan Marxisme dengan
agama sebagai perpaduan ide dalam wujud gerakan revolusioner
bernafaskan teks suci. Diakui atau tidak, agama sesungguhnya
punya dua wajah: lenguhan kaum tertindas atau menjadi sebuah
pedang revolusi yang siap dihunus untuk melawan status
quo yang zalim. Di mata Engineer, Marx tak sepenuhnya salah
tatkala mencaci agama sebagai candu rakyat. Agama memang
dapat menjadi candu jika menjadi lenguhan kaum yang tertindas
5 Lowy, Micheal, Marxixsme dan Teologi Pembebasan, Jakarta: Sekolah Rakyat
Merdeka, 1991, 16.

6 Kuntowijoyo. Paradigma Islam. Bandung: Mizan, 199, 286.


7 M. Inam Esha, Asghar Ali Engineer : Menuju Teologi Pembebasan,
dalam A. Khudori Soleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer,
(Yogyakarta : Jendela, 2003), 92.

(sigh of the oppresed), hati dari manusia robot (heart of


heartless word), dan jiwa dari keadaan yang kosong (spirit of a
spiritless situation)8. Sebagaimana ia juga amat bermanfaat
manakala

kekuatannya

sanggup

memperjuangkan

struktur

berkeadilan. Agama akan menjadi candu atau menjadi kekuatan


revolusioner tergantung pada, pertama, kondisi sosio-politik yang
nyata. Dan kedua, tergantung pada apa yang akan bersekutu
dengan agama, apakah kaum revolusioner atau status quo.
Engineer tidak sepakat dengan kaum revolusioner yang
tidak melihat agama sebagai spirit pembebasan.9 Sensibilitas
budaya dan sentimen keagamaan sangat diperlukan, agar
pendekatan

sebuah

gerakan

tidak

elitis.

Umumnya,

demi

menarik perhatian masyarakat, Marxisme menggunakan idiomidiom

yang

bukannya

bertujuan

meningkatkan

memperkaya

kehidupan

spiritual

Akibatnya,

Marxisme

tetap

masyarakat.
dibandingkan

dengan

taraf

fudamentalisme,

hidup

ekonomi,

dan

budaya

kalah

menarik

konservatisme

dan

kelompok-kelompok reaksioner. Sebab, yang terakhir ini mampu


memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat dan dalam hal ini
kebutuhan spiritual sama mendesaknya dengan kebutuhan
ekonomi.

Bagi

Engineer,

Marxisme

semacam

ini

justru

menympang dari idiom Marxis asli yang berakar pada etos


budaya setempat.
Komitmen

Engineer

terhadap

Idiom

anti-kemapanan

terlihat dari pernyataannya tentang ketidaksetujuannya atas


agenda revolusi yang mengarah pada kemapanan. Sikap ini
muncul

karena

agama,

meski

semula

adalah

kekuatan

revoluioner, tapi memungkinkannya untuk menciptakan status


8 Ibid., 29
9 Ibid., 28.

quo baru bagi dirinya. Dengan bahasa lain, keberhasilannya


meruntuhkan

otoritarianisme

penindas,

dapat

juga

menempatkan agama sebagai pihak otoriter jilid baru. Dan ini


yang terjadi di kalangan negara pasca-revolusi yang digerakkan
oleh semagat ideologis keagamaan.
Singkat kata, dalam kajian sejarah Islam dan teologi
pembebasan, kita dapat melihat pokok-pokok pemikiran Engineer
salah satu dalam karyanya Islam and Its Relevance to Our
Age (1987). Dalam eksplorasinya atas sejarah awal Islam dan
sejarah

sosial

teologi

pembebasan

dalam

Islam,

Engineer

berusaha menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada tradisi dan


kesinambungan sejarah teologi pembebasan dari masa awal
Islam

hingga

sekarang. Kedua, pembacaan

materialis

dan

sejarah sosial atas masyarakat Islam membantu kita lebih


memahami

potensi

ide-ide

egalitarian

dalam

Islam

dan

relevansinya bagi masyarakat modern tanpa memahami


konteks sejarah ini, tentu kita akan merasa aneh melihat
pembahasan atas aliran Mutazilah yang rasional dan aliran
Khawarij yang ekstrimis dalam satu tarikan napas. Ketiga, dan
yang

paling

utama,

Engineer

kemudian

menawarkan

rumusannya atas teologi pembebasan dalam Islam: dalam


pertentangan

antara

kaum

Mustakbirin

(penindas)

dan

Mustadhafin (tertindas), maka agama harus berpihak kepada


mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang
egaliter dan bebas dari eksploitasi.
Menurut Asghar Ali Engineer, ciri yang paling menonjol dari
teologi pembebasan, yaitu adalah ; satu, keseimbangan dalam
memandang kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Dua, anti
kemapanan, yaitu teologi yang tidak melindungi golongan kaya
ketika berhadapan dengan golongan miskin. Tiga, membela

kelompok yang tertindas dan memperjuangkan kepentingannya


dengan

cara

memberikan

pencerahan. Empat,

tidak

hanya

mengakui konsep metafisika tentang takdir tapi juga mengakui


kebebasan

manusia

dalam

menentukan

nasibnya

sendiri.10 Tetapi sebenarnya yang lebih penting, menurut Asghar


Ali Engineer, adalah keinginan untuk menggali nilai-nilai liberatifrevolusioner di dalam teologi Islam karena selama ini teologi
Islam

sudah

kehilangan

relevansinya

dengan

konteks

perkembangan sosial yang ada serta mengembalikan komitmen


Islam dalam mewujudkan keadilan sosio-ekonomi bagi golongan
yang lemah dan tertindas.11
Teologi pembebasan sebagai teologi model baru yang diharapkan
mampu mengembalikan nilai-nilai revolusioner yang termaktub
dalam ajaran Islam, adalah teologi yang membebaskan. Artinya,
yang menuntut untuk dibebaskan adalah masyarakat dari segala
bentuk

penindasan

dan

ketidakadilan.

Peran

yang

sudah

dimainkan secara tepat oleh para Rasul, seperti Muhammad, Isa,


Musa dan sebagainya sebenarnya mereka semua adalah pejuang
anti-penindasan yang membebaskan kaum tertindas.
Untuk

membangun

teologi

pembebasan

dalam frame kehidupan tauhid umat Islam diperlukan kesadaran


praksis sosial. Kesadaran agama yang hanya berhenti pada
tataran intelektual, pasti tidak akan memanifestasikan teologi
revolusioner,

teologi

yang

membebaskan

sebagai

alat

perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi dan intimidasi.


Jikalau kita mencermati model teologi klasik, menurut Asghar Ali
Engineer, setidaknya terdapat dua kelemahan yang sangat
menonjol. Pertama,
10 Ibid., 8.
11 Ibid., 90.

watak

teologinya

yang

lebih

bersifat

intelektualistik dan metafisis-spekulatif. Sehingga corak teologi


yang dilahirkan lebih bersifat konseptual. Kedua, teologi klasik
seringkali dijadikan alat legitimasi bagi pemegang kekuasaan
atau rezim. Sehingga teologi Islam tidak mampu menjadi sarana
pembelaan bagi golongan tertindas.12
C. Islam Pembebasan
Bahwa Islam adalah agama pembebasan, bagi Engineer,
merupakan keniscayaan historis

semenjak ia dilahirkan di

semenanjung Arab. Deskripsinya: Islam adalah sebuah agama


dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif sebagai tantangan
yang mengancam struktur penindas baik di dalam maupun di
luar Arab. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal
(universal brotherhood), kesetaraan (equality), keadilan sosial
(social justice).13
Bahwa ajaran Islam, baik sejak Nabi Adam hingga Nabi
Muhammad, adalah ajaran yang membebaskan. Pembebasan
dan

gerakan

revolusioner

dalam

Islam

tersebut,

memiliki

implikasi makna praktis untuk selalu memberontak terhadap


tatanan-tatanan sosial yang menindas dan diskriminatif. Seperti
yang diungkapkan oleh Ziaul Haque, para Nabi yang membawa
semangat

ajaran

Islam

adalah

merupakan

hamba-hamba

kebenaran yang berjuang sepenuh jiwa demi membela keadilan


dan kesetaraan sosial. Artinya, inti dari ajaran Islam yang
diserukan oleh Nabi Musa, Isa dan Muhammad adalah sama,
yaitu bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari perlakuan
dan sikap yang menindas, eksploitatif dan diskrimanatif, meski

12 Ibid.
13 Ibid., 33.

medan garapan dan konteks sosio-kultur yang dihadapinya


berbeda-beda.14
Islam

sebagai

agama

sebagai lanskap keimanannya.


memegang

peran

yang

meniscayakan
Tauhid

amat

adanya

dalam

vital,

adalah

Islam

tauhid
yang

merupakan

pernyataan dan sikap pembuktian terhadap teologi monoteistis


yang hanya mengakui Allah sebagai tuhan yang esa. Teologi atau
tauhid dalam Islam, seperti yang disampaikan oleh Ali Shariati,
tidak hanya beresonansi-implikatif ketuhanan yang bersifat
teosentris, tetapi juga memiliki resonansi makna antrophosentris
sebagai pandangan dunia yang melihat seluruh dunia sebagai
sistem yang utuh-menyeluruh, harmonis, hidup, dan sadar diri
yang melampaui segala dikotomi, dibimbing oleh tujuan ilahi
yang sama. Jika tauhid dipahami secara arif, maka perjuangan
melawan

ketiadaan

persamaan

dan

melawan

penindasan,

termasuk dari penerapan tauhid secara positif-aktual karena hal


itu berarti berjuang melawan politeisme dan penyembahan
berhala.15
Keyakinan ini selaras dengan kesadarannya bahwa Islam
sangat menekankan kesatuan manusia (unity of mankind) yang
ditegaskan di dalam ayat al-Quran (49: 13). Ayat ini jelas
membantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, atau
keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya
kesalehan. Kesalehan yang disebutkan dalam al-Quran bukan
hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial, Berbuat
adillah,

karena

itu

lebih

dekat

dengan

taqwa.16 Kesatuan

manusia juga merupakan kesinambungan umat Islam untuk setia


14 Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati Al-Khattab,
(Yogyakarta : LKiS, 2000), 213.
15 Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi : Menggugat
Kemapanan Agama dan Politik, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2005), 2-3

kepada konsep pokoknya, tauhid. Yakni tauhid yang dilihat dari


perspektif sosial, dalam kerangka membangun struktur sosial
yang membebaskan manusia dari segala macam perbudakan.
Kalau teologi konvensional kerap memaknai tauhid sebagai
keesaan Tuhan, maka teologi pembebasan memahaminya tak
sebatas keesaan Tuhan, tapi juga sebagai unity of man kind yang
tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat
tanpa kelas (classless society).17
Selain konsep kesatuan manusia, Islam juga sangat
menitikberatkan pada keadilan di semua aspek kehidupan.
Keadilan

akan

tercipta

melalui

pembebasan

golongan

masyarakat lemah dan marginal dari penderitaan serta memberi


kesempatan mereka untuk memimpin. Teks suci telah berbicara
banyak soal ini, baik mengenai langkah praksis yang harus
diambil demi menghancurkan atruktur ekspolitatif, anjuran
keadilan distributif dalam hal ekonomi, dan lain-lain. Termasuk
pula dalam hal ini cerita-cerita inspiratif para nabi terdahulu saat
melawan ketidak adilan.
Bentuk revolusionerisme Engineer terlihat sangat frontal,
khususnya ketika ia dalam salah satu statemennya melegalkan
praktik

kekerasan,

meski

yang

demikian

dalam

konteks

perlawanan atas kezaliman penguasa. Ia bahkan menyitir surat


al-Nisa ayat 75, Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah
dan membela orang-orang yang tertindas, lelaki, perempuan,
dan anak-anak yang berkata: Tuhan kami, keluarkan kami dari
kota

ini

yang

penduduknya

berbuat

zalim.

Berikan

kami

perlindungan dan pertolongan dari-Mu. Menurut Engineer, ayat


ini

mengungkapkan

sebuah

teori

16 QS. Al- Hujurat : 8; Asghar, Islam, 33.


17 Ibid., 11.

yang

disebut

dengan

kekerasan

yang

membebaskan

(liberative

violence).

Para

penindas dan eksploitator menganiaya golongan lemah dan


dengan

seenaknya

menggunakan

jalan

kekerasan

untuk

mempertahankan kepentingan mereka. Tidak mungkin kita


membebaskan pengaiayaan ini tanpa melakukan perlawanan.
Bukankah Tuhan telah berfirman bahwa Dia tidak menyukai katakata kasar kecuali oleh orang yang teraniaya (l yuhibb Allh aljahra min al-qawl ill man zhulim).18
D. Isu-isu Kontemporer dalam Pandangan Asghar Ali
Engineer
Sebagai aktivis sosial, Engineer juga aktif dalam berbagai
mempelajari isu-isu kontemporer seperti hubungan agamanegara,

hak-hak

perempuan

dan

kaum

minoritas,

isu-isu

pembangunan dan hubungan antar etnis. Di waktu kecil,


Engineer sendiri sempat mengalami diskriminasi sebagai seorang
Muslim.

Agaknya,

pandangan

pengalaman

Engineer

mengenai

itu

juga

berbagai

yang
isu

membentuk
kontemporer.

Benang merah yang menyatukan pandangan Engineer atas isuisu tersebut adalah pentingnya menghindari esensialisme alias
kecenderungan untuk melihat fenomena sosial sebagai kesatuan
yang monolitik.
Dalam tulisannya tentang
(2006),

Engineer

hak-hak perempuan dalam Islam

menyadari

bahwa

ada

diskriminasi

dan

marginalisasi atas hak-hak perempuan dalam masyarakat Islam.


Namun,

Engineer

juga

berhati-hati

di sini:

patriarkhi dan

pengekangan hak-hak perempuan bukanlah sesuatu yang unik


yang melekat pada masyarakat Islam. Dengan kata lain, bukan
Islamnya, melainkan patriarkhinya yang bermasalah. Patriarkhi,
18 QS. An- Nisa (4): 148; Asghar, Islam, 33-40.

menurut Engineer, terjadi karena kenyataan sosiologis dalam


perkembangannya seringkali dianggap sebagai konsep atau
doktrin teologis.19 Kesimpulan yang sama dapat kita lihat dalam
analisanya mengenai hubungan agama-negara (2009). Engineer
mengingatkan bahwa institusi keagaaman bukanlah institusi
yang

serta

merta

suci;

ia

tidak

terlepas

dari

berbagai

kepentingan duniawi. Engineer juga menyerukan pentingnya


mengembangkan kritik yang jujur atas otoritarianisme dalam
sejarah

kaum

muslim.20

Karenanya,

meskipun

Engineer

mempromosikan nilai-nilai agama dalam bentuknya yang paling


spiritual sekaligus paling progresif, ia juga kritikus terdepan atas
berbagai bentuk politisasi dan fundamentalisme agama, baik di
negerinya sendiri, India, maupun di negara-negara berpenduduk
Muslim lain seperti Pakistan. Posisi Engineer mengenai hubungan
agama-negara dan hak-hak kaum minoritas sesuai dengan ide
toleransi kembar (twin tolerations) yang dipromosikan oleh
Alfred Stepan (2000), yaitu ada perbedaan antara otoritas
keagamaan

dan

politik

sekaligus

kebebasan

bagi

otoritas

keagamaan untuk menyebarkan idenya dan mempengaruhi


pengikutnya

tanpa

memegang

kekuasaan

politik

secara

langsung. Agaknya, posisi Engineer tidaklah jauh berbeda


dengan ide ini.21

19 Engineer, A. A. (2006). The Rights of Women in Islam. In A. I. Alwee,


& M. I. Taib, Islam, Religion and Progress: Critical Perspective (pp. 161177). Singapore: The Print Lodge Pte. Ltd. (hlm. 166)
20 Engineer, A. A. (2009). Governance and Religion: An Islamic Point of
View. In C. Muzaffar,Religion and Governance (pp. 109-119). Selangor
Darul Ehsan: Arah Publications. (hlm. 117)
21 Stepan, A. C. Religion, Democracy, and the Twin Tolerations. Journal of
Democracy ,(2000) 11 (4), 37-57.

Bidang lain yang sangat ditekuni oleh Engineer adalah


studi konflik dan hubungan antar etnis. Engineer tidak hanya
menulis

artikel

reguler

di

harian Economic

and

Political

Weekly mengenai kondisi hubungan antar etnis di India, namun


juga melakukan studi yang mendalam atas berbagai komunitas
minoritas termasuk komunitas Muslim di India. Dalam studistudinya,

Engineer

berusaha

memperlihatkan

kapasitasnya

sebagai seorang ilmuan. Pertama, ia berusaha menggabungkan


metode-metode

sejarah

dan

antropologis

dalam

berbagai

studinya tentang kelompok minoritas. Kedua, dalam melakukan


studinya ia berkolaborasi dengan berbagai institusi dan ilmuwanaktivis yang lain. Ketiga, studi yang mendalam ini juga dijadikan
senjata bagi Engineer untuk mempromosikan harmoni, toleransi
dan pengertian dalam hubungan antar etnis. Prinsip-prinsip ini
dapat dilihat misalnya dalam studinya tentang komunitas Muslim
di Gujarat (1989). Sekali lagi, benang merah yang menyatukan
berbagai studi Engineer tentang komunitas Muslim dan minoritas
adalah

pandangannya

yang

anti-esensialis:

Engineer

menunjukkan bahwa terdapat keberagaman yang begitu luar


biasa dalam komunitas Muslim, dan, komunitas Muslim tidaklah
kurang

kadar

keIndiaannya

dibandingkan

komunitas

dan

kelompok etnis yang lain.22


Bukan

kebetulan

jika

Engineer

juga

mendukung

nasionalisme campuran alih-alih nasionalisme Muslim ala Liga


Muslim yang dipandangnya agak sektarian. Ia menyatakan
kekagumannya

terhadap

Jamiatul

Ulama

il-Hindi,

sebuah

organisasi Muslim yang mendukung perjuangan kemerdekaan

22 Engineer, A. A. (1989). The Muslim Communities of Gujarat. Delhi:


Ajanta Publications.

India dan integrasi masyarakat Muslim ke dalam masyarakat


India.23
Terakhir, Engineer juga merupakan seorang kritik atas
praktek-praktek pembangunan yang eksploitatif. Ia misalnya,
mengkritik

rejim

mempromosikan

Jendral
Islamisasi

Zia-ul-Haq
dalam

di

Pakistan

artiannya

yang

yang
sempit

namun menolak program-program nasionalisasi sektor-sektor


ekonomi strategis, reformasi pertanahan dan kebijakan-kebijakan
lain yang bersifat redistribusionis. Di India, secara konsisten ia
juga menolak politik sayap kanan yang dipromosikan oleh Partai
BJP yang mempromosikan fundamentalisme Hindu di satu sisi
dan kebijakan neoliberal di sisi lain.

PENUTUP

Dari semangatnya untuk mengarahkan Islam pada ranah


praksis perjuangan kemanusiaan, terlihat setidaknya tiga asumsi
yang ia pakai. Pertama, keyakinan bahwa kehidupan akan
berakhir

dengan

terminal

ideal

yang

menyejahterakan

(tautologis). Baginya, apa yang dijelaskan dalam firman Allah


sudah cukup meneguhkan premis ini. Kedua, konsep takdir yang
selalu

meletakkan

manusia

sebagai

pribadi

yang

bebas

menentukan nasibnya sendiri. Elemen ini baginya penting karena


tanpanya

sebuah

gerakkan

tidak

akan

berjalan

secara

revolusioner. Menolak kebebasan kehendak (free will) sama


artinya melanggengkan keterpurukkan masyarakat dari sistem
penindas. Ketiga,

kecenderungan

Engineer

menganggap

23 Engineer, A. A. (2009). Islam dan Pluralisme. In D. Effendi, Islam dan


Pluralisme Agama (pp. 25-41). Yogyakarta : Interfidei.

kekuasaan sebagai pihak yang senantiasa represif dan karenanya


mengekang kebebasan, menciptakan kondisi non-egaliter, dan
rawan kesewenang-wenangan.

DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas. Bandung:
Mizan, 1996.
Badruzzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi : Menggugat
Kemapanan Agama dan Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana,
2005.
Esha

,M.

Inam,

Asghar

Ali

Engineer

Menuju

Teologi

Pembebasan, dalam A. Khudori Soleh (ed.), Pemikiran


Islam Kontemporer, Yogyakarta : Jendela, 2003.
Esha,

M.

Inam.

Pembebasan,

Asghar

Ali

Engineer:

dalam Permikiran

Menuju

Islam

Teologi

Kontemporer.

Yogyakarta : Jendela, 2003.


Engineer, Asghar Ali. Islam and Liberation Theology. Terj. Agung
Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000.
Engineer, Asghar Ali. Asal Usul dan Perkembangan Islam. Terj.
Imam Baehaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999
Engineer, A. A. Islam and Its Relevance to Our Age. Kuala
Lumpur: Ikraq, 1987.

Engineer, A. A. The Muslim Communities of Gujarat. Delhi: Ajanta


Publications, 1989.
Engineer, A. A., The Rights of Women in Islam. In A. I. Alwee, & M.
I. Taib, Islam, Religion and Progress: Critical Perspective.
Singapore: The Print Lodge Pte. Ltd, 2006.
Engineer, A. A., Governance and Religion: An Islamic Point of View,

In C. Muzaffar,Religion and Governance . Selangor Darul


Ehsan: Arah Publications, 2009.
Engineer, A. A. Islam dan Pluralisme. Terj. D. Effendi. Yogyakarta :
Interfidei, 2009.
Khan, Maulana Wahiduddin. Indian Muslim. New Delhi: al-Risalah,
1994.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam. Bandung: Mizan, 1991.
Lowy, Micheal, Marxixsme dan Teologi Pembebasan, Jakarta:
Sekolah Rakyat Merdeka, 1991.
Romas,

Chumaidi

Syarif.

Wacana

Teologi

Pembebasan.

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.


Stepan,

A.

C.

Religion,

Democracy,

and

the

Twin

Tolerations. Journal of Democracy , (2000), 11 (4), 37-57.

Anda mungkin juga menyukai