Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman

penghasil minyak

nabati utama di Indonesia. Ditinjau dari segi ekonomi, kelapa sawit memegang
peranan penting untuk memenuhi kebutuhan minyak, meningkatkan pendapatan negara
dan menggerakan pembangunan, khususnya diluar pulau jawa (Tondok, 1988). Untuk
meningkatkan peranan kelapa sawit maka diperlukan bibit yang banyak dan seragam.
Salah satu penyediaan bibit kelapa sawit yaitu melalui kultur jaringan.
melalui kultur jaringan adalah
waktu

Kelebihan perbanyakan

mampu menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam

yang singkat. Namun, kelapa sawit hasil perbanyakan kultur jaringan seringkali

menghasilkan bunga dan buah yang abnormal, berbeda dengan tanaman dari benih (Touchet et
al. 1991). Tanaman yang berasal dari

benih sering terjadi abnormalitas pada saat mulai

berbunga, namun menjadi stabil berbunga dan berbuah normal pada umur 2,5 tahun (Lubis,
1992).
Dalam usaha mengatasi abnormalitas tanaman kelapa sawit maka dilakukan kultur
tunas apikal. Kultur tunas apikal adalah teknik mikropropagasi yang dilakukan dengan
cara mengkulturkan eksplan yang mengandung meristem pucuk (apikal dan lateral) dengan
tujuan merangsang dan perbanyakan kalus. Kelebihan kultur meristem adalah mampu
menghasilkan bibit tanaman yang identik dengan induknya dan bebas virus.Rice et al. (1992),
mengatakan bahwa kultur meristem meningkatkan laju induksi dan penggandaan tunas, mampu
memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan, mempertahankan sifat-sifat baik dari morfologi.
Kultur tunas apikal sudah pernah dilakukan oleh

lembaga penelitian pemerintah

maupun lembaga penelitian swasta. Namun mereka menggunakan eksplan kelapa sawit dewasa
pada umur + 7 tahun atau yang disebut tanaman elit. Kultur tunas apikal ini memerlukan waktu
yang panjang. Oleh karena itu, penelitian kultur

tunas

apikal

kelapa

sawit

dilakukan

dengan

menggunakan

bibit

mempersingkat waktu dan

umur

8 bulan.

Cara

ini

disebut recloning

untuk

mengenali karakter bibit.

Penelitian ini sudah dilakukan oleh Thuzar et al.(2012) pada kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) cv. Tenera. Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D yang digunakan dengan konsentrasi
100, 120 dan 140 ppm. Hasil yang didapat kalus yang banyak tumbuh terdapat pada konsentrasi
120 ppm. Dalam kultur jaringan, dua golongan ZPT yang sangat penting adalah sitokinin
dan auksin (Gunawan, 1990). Menurut

Gati &

Mariska (1992), 2,4-D (asam

2,4-

diklorofenoksi asetat) efektif untuk merangsang pembentukan kalus karena aktivitas yang
kuat untuk memacu proses diferensiasi sel, organogenesis dan menjaga pertumbuhan kalus.
Menurut George & Sherrington (1984) dalam perbanyakan in vitro, sitokinin berperan penting
dalam memicu pembelahan dan pemanjangan sel sehingga dapat mempercepat perkembangan
dan pertumbuhan kalus. Salah satu golongan sitokinin yang sering digunakan adalah BAP, hal
ini dikarenakan sifat BAP yang stabil, mudah diperoleh dan lebih efektif.
Keberhasilan dalam penggunaan metode in vitro sangat tergantung pada media yang
digunakan. Kultur media jaringan tanaman tidak hanya menyediakan unsur hara makro dan
mikro saja tetapi juga vitamin, karbohidrat, dan ZPT (Pierik, 1987). Sel-sel memerlukan zat
pengatur tumbuh untuk inisiasi dalam media kultur jaringan. Pembentukan kalus ditentukan oleh
penggunaan- penggunaan yang tepat dari ZPT tersebut.
1.2 Permasalahan
Pemenuhan kebutuhan kelapa sawit yang semakin tinggi diperlukan bibit yang banyak dan
seragam. Salah satu cara penyediaan bibit kelapa sawit yaitu dengan kultur in vitro pada media
MS menggunakan konsentrasi 2,4-D dan BAP yang tepat. Penggunaan ZPT tersebut sudah
pernah dilakukan oleh Thuzar et al. (2012) dengan konsentrasi 100, 120 dan 140 ppm
2,4-D.

Hasil yang didapat bahwa konsentrasi 120 ppm yang paling baik menginduksi

kalus. Maka dari itu dilakukan penelitian dengan konsentrasi 0; 110; 120; dan 130 ppm 2,4D dan 0; 0,17; 0,23; dan 0,29 ppm BAP untuk
menginduksi kalus.

mengetahui konsentrasi yang baik dalam

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh konsentrasi optimum BAP dan 2,4-D terhadap
pertumbuhan

tunas apikal kelapa sawit dalam kultur in vitro.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan bermanfaat dan sebagai informasi penelitian perbanyakan tanaman
kelapa sawit secara in vitro.

BAB 2
ISI

2.1 Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.)


Kelapa sawit

merupakan tanaman yang berasal dari Nigeria di Afrika Barat, kemudian

menyebar ke Amerika Selatan dan sampai kesemenanjung Indo- Malaysia. Tanaman kelapa sawit
masuk ke Indonesia untuk pertama kalinya dibawa oleh bangsa Belanda pada tahun 1848,
tepatnya di kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai dikenal di Indonesia dan
dibudidayakan secara komersil dalam bentuk perusahaan perkebunan pada tahun 1911. Pada
mulanya hanya berkembang di Sumatera Utara dan Riau yang kemudian berkembang di seluruh
Indonesia (Hartley, 1917).
Kelapa sawit adalah tanaman yang menyerbuk silang sehingga di alam akan dihasilkan
keturunan yang heterozigot. Menurut Madon dan Clyde (1995), tanaman kelapa sawit
mengandung 32 kromosom. Tipe pembungaan tanaman kelapa sawit adalah berumah

satu

dengan bunga betina dan bunga jantan ada dalam satu tanaman, tetapi berbeda tandan
bunga. Pohon kelapa sawit tumbuh tegak lurus tidak bercabang. Diameter batang kelapa
sawit adalah 35- 60 cm. Setiap tahun batang kelapa sawit bertambah panjang 35- 45 cm. Sebagai
tanaman monokotil, kelapa sawit memiliki akar serabut yang terdiri dari akar utama, akar
sekunder, akar tersier, dan akar rambut. Kelapa sawit memiliki daun yang bersirip genap dengan
tulang-tulang daun sejajar. Panjang pelepah daun kelapa sawit adalah 5- 7 m, dalam satu pelepah
terdapat 200- 400 helai anak daun. Dalam satu pohon kelapa sawit bisa terdapat lebih dari 60
pelepah (Hadi, 2004).
Menurut Hartley et al. (1977), kelapa sawit dibedakan ke dalam tiga tipe berdasarkan
ketebalan cangkang buahnya yaitu dura, psifera, dan tenera. dura memiliki ketebalan
cangkang 2-8 mm,

kandungan

mesokarp

sekitar

35-55%. Tenera memiliki ketebalan

cangkang 0,5-4 mm, kandungan mesokarp sekitar 60-90%. Psifera memiliki cangkang yang lebih
tipis. Ketebalan cangkang dikendalikan oleh gen tunggal.

2.2 Kultur Jaringan Kelapa Sawit


Kultur jaringan terdiri dari dua kata yaitu kultur yang memiliki arti budidaya dan jaringan
yang berarti sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama (Nugroho & Sugito,
2005). Menurut George & Sherrington (1984), kultur jaringan tanaman merupakan teknik
menumbuhkembangkan bagian tanaman baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi
aseptik

secara in vitro. Meskipun pada prinsipnya semua sel dapat ditumbuhkan, sebaiknya

dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh.


Perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu pembentukan
tunas adventif, proliferasi tunas lateral, dan embriogenesis somatik. Proliferasi tunas lateral dapat
dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal ke dalam media yang
mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas
dengan cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber untuk penggandaan
tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat.
Menurut Mariska & Sukmadjaja (2003), faktor perbanyakan dengan teknik kultur in vitro jauh
lebih tinggi dari cara konvensional. Selain itu, teknologi ini juga lebih menjamin keseragaman,
bebas penyakit, dan biaya pengangkutan yang lebih murah.
Upaya peningkatan budidaya pertanian melalui kultur jaringan merupakan teknik
penciptaan yang didukung perkembangan studi sel, kimia, biokimia nutrisi, biomolekul dan
fisiologi sel. Secara umum kultur jaringan disebut juga kultur in vitro yakni budidaya dalam
botol yang menggunakan sel, jaringan dan organ tanaman yang ditumbuhkembangkan menjadi
individu normal dalam lingkungan aseptik serta diberi nutrisi yang sesuai (Santoso dan Nursandi,
2004).
Menurut Wetherell (1982), bahwa sel atau jaringan tanaman pada dasarnya dapat ditanam
secara terpisah dalam suatu kultur (in vitro). Sel dan jaringan yang ditanam dengan cara ini,
memiliki kemampuan untuk beregenerasi menjadi bagian yang diperlukan

untuk bisa tumbuh

normal, yaitu

menjadi tumbuhan yang utuh. Dengan kata lain bahwa di dalam masing-

masing

tumbuhan

sel

mengandung informasi

genetik

dan

atau

sarana

fisiologis

tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan pada lingkungan
yang sesuai. Kemampuan inilah yang kemudian dikenal sebagai totipotensi.
5

2.3 Media Kultur Jaringan


Media tanam untuk kultur jaringan adalah tempat tumbuh untuk eksplan. Media untuk
menumbuhkan sel/eksplan tanaman pada dasarnya berisi unsur hara makro, mikro, dan gula
sebagai sumber karbon. Selain itu, media kultur juga dilengkapi dengan

zat

besi,

mineral, dan ZPT. Zat Pengatur Tumbuh sangat besar peranannya didalam

vitamin,

mengarahkan

pertumbuhan sel tanaman. Kombinasi zat pengatur tumbuh yang tepat akan menghasilkan
pertumbuhan sel yang optimal (Wattimena, 1992).
Media yang dipakai dalam kultur jaringan telah banyak dikembangkan oleh beberapa
peneliti. Di dalam media tersebut biasanya terkandung senyawa- senyawa kimia yang diperlukan
oleh jaringan tanaman (Drew 1980 dalam Wattimena et al. 1986). Senyawa-senyawa kimia
yang terkandung dalam media disusun dalam perimbangan tertentu. Perimbangan yang
tepat dari senyawa penyusun tersebut perlu dan menentukan tipe pertumbuhan yang akan
terbentuk dari eksplan yang ditanam (Drew 1980; Murashige 1977 dalam Wattimena et al.1986).
Setiap media kultur mempunyai spesifikasi yang tertentu. Media Murashige dan Skoog (MS)
merupakan media kultur yang umum digunakan para ahli karena dapat dipakai untuk
mengkulturkan berbagai macam tanaman, contohnya anggrek.
Sementara itu, media Vacin dan Went (VW) merupakan media kultur yang khusus
dipergunakan

untuk

anggrek

(Sandra, 2003).

Keistimewaan

medium

MS

adalah

kandungan nitrat, kalium, dan amoniumnya yang tinggi (Wetter & Constabel 1991).
Dari

sekian

banyak

jenis media

dasar

yang

digunakan

dalam

teknik Kultur

jaringan, tampaknya media MS mengandung jumlah hara organik yang layak untuk memenuhi
kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur (Gunawan, 1990).
Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro terutama disebabkan
pengetahuan lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikulturkan. Hara terdiri
dari
garam

komponen
mineral,

yang
sumber

utama

dan

karbon

komponen

(gula),

tambahan. Komponen

vitamin

utama

meliputi

dan pengatur tumbuh. Komponen lain

seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam organik, metabolit dan ekstrak tambahan tidak
mutlak, tetapi dapat menguntungkan ketahanan sel dan perbanyakannya (Wetter & Constabel
1991).
6

Vitamin yang sering digunakan dalam media kultur jaringan adalah tiamin (B1), asam
nikotin (niacin), dan piridoksin (B6). Vitamin ini berperan dalam reaksi enzimatik yang penting
bagi pertumbuhan jaringan tanaman (George & Sherington, 1984). Selain

itu

penambahan

mio-inisitol kedalam media juga diketahui dapat memperbaiki pertumbuhan bahan tanaman
yang dikulturkan.
Gula merupakan komponen penting dalam media kultur untuk pertumbuhan dan
perkembangan in vitro,

sebab

gula

merupakan

sumber

energi

yang

biasa didapat

tanaman dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Sukrosa adalah sumber karbon terbaik
(George

& Sherrington, 1984). Agar

sebagai bahan pemadat merupakan polisakarida

yang diperoleh dari beberapa spesies alga. Penggunaan agar berfungsi untuk menyangga
eksplan sehingga kontak antara eksplan dengan media terpenuhi (Pierik, 1987). Umumnya
konsentrasi agar yang ditambahkan pada media kultur berkisar antara 0,6- 1% (Gunawan, 1988).
Derajad asam (pH) media adalah faktor penting yang mempengaruhi fungsi membran sel dan pH
sitoplasma. Pengaruh
kelarutan garam-garam

pH

harus

juga

mempertimbangkan

berbagai

penyusun media. Serapan ZPT oleh

eksplan,

faktor,

seperti

serta efisiensi

pembekuan agar (Gunawan, 1988).

2.4 Eksplan
Eksplan adalah

potongan/bagian jaringan

yang

diisolasi

dari tanaman

yang

digunakan untuk inisiasi suatu kultur in vitro (Sandra & Karyaningsih 2000). Hendaryono
& Wijayani (1994) menyatakan bahwa eksplan yang dipilih harus merupakan bagianbagian tanaman yang mempunyai sel aktif membelah (sel meristem), karena sel

tersebut

mengandung\ hormon tanaman yang baik untuk membantu pertumbuhan. Eksplan yang
diambil dari jaringan dewasa(in deferensiasi) dalam waktu lama tidak akan membentuk kalus,
sebab kemampuan untuk membentuk jaringan tidak ada. Meskipun dari tanaman dewasa ini
terjadi penambahan volume, tetapi tidak terjadi penambahan jumlah sel. Hal ini disebabkan
karena proliferasi sel tidak terjadi sedangkan pada jaringan meristem akan terjadi penambahan
sel. Pada prinsipnya eksplan dapat diambil dari semua bagian tanaman baik dari jaringan akar,
batang, dan daun. Biasanya sebagai bahan eksplan diambil bagian yang bersifat meristematik
7

(Majnu 1975 dalam Wattimena et al.1986). penggunaan tunas pucuk, tunas samping, tunas
bunga, daun bunga, daun, cabang muda, akar, umbi, bagian-bagian embrio, anther, dan beberapa
bagian lainnya sering dilakukan dalam kultur jaringan beberapa tanaman tertentu (Haramaki &
Heuser 1980 dalam Wattimena et al.1986). Ukuran eksplan yang dikulturkan bervariasi
tergantung tujuan pembiakannya. Eksplan ukuran besar lebih mudah terkontaminasi, sedangkan
yang kecil lebih sedikit kemungkinannya terkena kontaminasi. Dalam hal ini ukuran
eksplan yang baik digunakan adalah antara 0,5- 1 cm (Katuuk,1989).
2.5 Zat Pengatur Tumbuh
Salah satu komponen media yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah jenis
dan konsentrasi ZPT yang digunakan. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung pada tujuan dan
tahap pengkulturan. Contohnya, pada kultur untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas
aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas- tunas adventif, ZPT yang digunakan adalah campuran
sitokinin dengan auksin rendah (Yusnita, 2003).
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994),

ZPT dalam tanaman terdiri dari lima

kelompok yaitu auksin, giberelin, sitokinin, etilen, dan inhibitor dengan ciri khas serta pengaruh
yang berlainan terhadap proses fisiologis. Zat pengatur tumbuh sangat

diperlukan

sebagai

komponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan ZPT

dalam

media, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan
kalus dan organ-organ ditentukan oleh penggunaan yang tepat dari ZPT tersebut. Zat pengatur
tumbuh (ZPT ) adalah senyawa organik yang dalam jumlah sedikit dapat merangsang,
menghambat, dan mengubah proses fisiologi tumbuhan.
Auksin dan sitokinin merupakan ZPT yang sering ditambahkan dalam media tanam
karena mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Auksin
berperanan untuk pertumbuhan sel, menyebabkan dominasi apikal, dan pembentukan kalus.
Auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara alami sering tidak
mencukupi untuk pertumbuhan eksplan (George et al. 2007). Sementara

sitokinin adalah

zat pengatur tumbuh yang berperan mengatur pembelahan sel serta mempengaruhi diferensiasi
tunas. Keseimbangan konsentrasi antara auksin dan sitokinin merupakan kunci keberhasilan
dalam kultur jaringan (Pierik, 1987).
8

Auksin adalah salah satu hormon yang tidak

terlepas

dari proses pertumbuhan dan

perkembangan suatu tanaman. Menurut Wetherell (1982) peran auksin dalam kultur jaringan
yang pertama adalah merangsang pertumbuhan pucuk- pucuk baru, dan yang kedua adalah
merangsang pembentukan akar. ZPT auksin seperti asam 2.4-D dan NAA merupakan jenis
ZPT yang stabil dibandingkan dengan IAA. Zat pengatur tumbuh 2,4-D pada konsentrasi
rendah

dapat menginduksi terbentuknya kalus, tetapi pada konsentrasi tinggi akan

menyebabkan timbulnya mutasi karena 2,4-D bersifat herbisida dan akan

menyebabkan

perubahan jaringan tanaman (Goldsworty & Mina, 1991). Benzil amino purin salah satu jenis
sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan. BAP merupakan turunan
yang

disubstitusi

adenin

pada posisi6 yang bersifat paling aktif (Wattimena, 1988). Di antara

berbagai hormon sitokinin sintetik, BAPpaling sering digunakan karena sangat efektif
menginduksi pembentukan daun dan penggandaan tunas, mudah didapat dan harganya
relatif murah (George &Sherrington, 1984). Pada eksplan yang ditambahkan hormon BAP
(sitokinin) akan tumbuh tunas (Satria, 2004). Oleh karena itu, untuk menghasilkan jumlah
tunas maksimum, penentuan jenis ZPT dengan kombinasi metode pengkulturan merupakan
salah satu kunci penting dalam kultur jaringan. Pada penelitian yang dilakukan Nurwahyuni
dan

Puspa

(1994)

tentang induksi

kalus Dioscorea compositadengan menggunakan

kombinasi auksin dan sitokinin. Dalam penelitannya menunjukkan bahwa konsentrasi auksin
yang tinggi selain memacu pertumbuhan kalus juga mampu menghasilkan akar dari tanaman
D. composita. Menurut Wiendi et al. (1991) dan Purnamaningsih (2002), Kalus yang bersifat
embriogenik adalah kalus yang memiliki sel berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar,
vakuola kecil dan mengandung butiran pati
Sitokonin adalah senyawa yang dapat

meningkatkan pembelahan sel pada

jaringan tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sama halnya
dengan kinetin (6-furfurylaminopurine). Peranan auksin dan sitokinin sangat nyata dalam
pengaturan pembelahan sel, pemanjangan sel, diferensiasi sel, dan pembentukan organ
(Zulkarnain, 2009). Pemberian sitokinin kedalam medium kultur jaringan penting untuk
menginduksi perkembangan dan pertumbuhan eksplan. Senyawa tersebut dapat
meningkatkan pembelahan sel, proliferasi pucuk, dan morfogenesis pucuk (Smith, 1992).
Bahkan menurut George & Sherrington (1984), apabila ketersediaan sitokinin di dalam
medium kultur sangat terbatas maka pembelahan sel pada jaringan yang dikulturkan akan
9

terhambat. Akan tetapi, apabila jaringan tersebut disubkulturkan pada medium dengan
kandungan sitokinin yang memadai maka pembelahan sel akan berlangsung secara
sinkron.
Sitokinin

yang paling banyak

digunakan

pada

kultur in vitro adalah

kinetin, benziladenin (BA atau BAP), dan zeatin. Zeatin adalah sitokinin yang
disintesis

secara alamiah, sedangkan kinetin dan BA adalah sitokinin sintetik

(Zulkarnain, 2009). Menurut Torres (1989), menyatakan bahwa tipe morfogenesis pada
kultur

in

vitro

tergantung

pada

rasio serta

kondisi

auksin

dan

sitokinin.

Inisiasi akar, embriogenesis, dan induksi pembentukan kalus umumnya terjadi


bila terdapat rasio yang tinggi antara auksin dan sitokinin sedangkan proliferasi
pucuk adventif dan pucuk aksilar apabila rasio tersebut rendah.

10

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kelapa sawit dapat dibudidayakan dengan menggunakan kultur jaringan hasil yang
diperoleh dari kultur jaringan sangat baik. Kultur jaringan kelapa sawit akan memberikan
dampak positif dalam perindustrian kelapa sawit sehingga didapatkan bibit yang unggul untuk
menghasilkan minyak yang baik untuk kehidupan manusia.

3.2 Saran
Selain menghasilkan hasil yang baik otomatis kelapa sawit yang dibudidayakan secara
kultur jaringan juga menguntungkan. Karena memberikan dampak yang positif. Sehingga para
perindustrian bisa lebih beralih menanam bibit unggul kelapa sawit hasil dari kultur jaringan
karena menghasilkan minyak yang baik untuk kehidupan manusia.

11

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Z.dan Muslimin. 2001. Jurnal ilmu-ilmu pertanian Agroland volume 8 no.2.
Penerbit Universitas Tadolako Press.Sekretariat fakultas pertanian Palu.
Gomez, K, dan A.A. Gomez, 2007. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian
(diterjemahkan oleh: Endang Sjamsuddin dan Justika S.Baharasjah).UIPress, Jakarta.
Gunaeni,

N dan A.K. Karjadi,

pemanasan
meristem

dan
bawang

2007. Pengaruh

penggunaan
merah.

Ribavirin

kombinasi Ukuran

pada pertumbuhan

Balai Penelitian

tanaman

Eksplan,
jaringan

sayur lembang.

J.Agrivigor 6(2): 106-113.


Gunawan, L, W., 1995. Teknik Kultur In Vitro Dalam Hortikultura. Penebar
Swadaya: Jakarta.
Gunawan, L, W., 1987. Teknik Kultur Jaringan. Pusat Antar Universitas IPB:
Bogor
Haryanto,

B. 1991. Media kultur jaringan krisan untuk pertumbuhan

kalus.

Prosiding seminar tanaman hias.


Hasim, I. Dan M, Reza. 1995.Krisan. Penerbit penebar swadaya. Jakarta.
Holmes, S. 1993. Outline of plant classification. Published inthe united state of
America by longman Inc., New york.
Hughes, K.W. 1982. Ornamental species in cloning agricultural plant via invitro

12

techniques. Conger B.V CRC Boca Raton, Florida.


Katuuk, J.R.P. 1989. Teknik kultur jaringan dalam mikro propagasi tanaman.
Departemen P & k, Jakarta.
Kusumo, S.,1984. Zat pengatur tumbuh tanaman. Cv.Ysaguna. Jakarta.
Lakitan,

B.

1996.

Fisiologi

Pertumbuhan

dan

Perkembangan

Tanaman.

RajaGrafindo Persada: Jakarta.


Nasir, M., 2000. Bioteknologi. Potensi keberhasilannya dalam bidang pertanian.
Raja Grafindo persada, Jakarta.
Ratna dewi, Intan. 2008. Peranan

dan fungsi Fitohormon

tanaman. Fakultas pertanian universitas Padjajaran, Bandung.

13

bagi pertumbuhan

Anda mungkin juga menyukai