Anda di halaman 1dari 32

APPENDIKSITIS

Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum hambatan
aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis
appendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Tetapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfoid di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan seluruh tubuh.

Etiologi
a.

Peranan lingkungan (diet dan higiene)


Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intracaecal yang berakibat sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal colon.
Semuanya

ini

akan

mempermudah

timbulnya

appendisitis.

Diet

memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana


penting pada pembentukan fekalit. Kejadian appendisitis jarang di negara
yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi
feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah
penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan
menghasilkan feses dengan konsistensi keras.
b.

Peranan flora bakterial


Flora

bakteri

pada

apendiks

sama

dengan

di

colon,

dengan

ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri


yang terlibat dalam appendisitis sama dengan penyakit colon lainnya.
Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap
appendisitis sederhana. Pada tahap appendisitis supurativa, bakteri
aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala
memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus
dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak

dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita appendisitis gangrenosa


atau appendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama
Bacteroides fragilis.
c.

Peranan obstruksi
Obstruksi

lumen

merupakan

faktor

penyebab

dominan

dalam

appendisitis akut. Obstruksi yang terjadi pada lumen appendiks. Obstruksi


pada lumen appendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan
tinja yang keras (fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing,
parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang
paling sering menyebabkan obstruksi lumen appendiks adalah fekalit dan
hiperplasia jaringan limfoid.
Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen appendiks
pada 20% anak-anak dengan appendisitis, terjadinya fekalit berhubungan
dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan
derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus appendisitis
sederhana (simpel), sedangkan pada appendisitis akut dengan gangren
tanpa ruptur terdapat 65% dan appendisitis akut dengan gangren disertai
ruptur terdapat 90%.
Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks pada usia 2
bulan setelah lahir. Jaringan limfoid ini akan terus bertambah sampai
pubertas kemudian menetap pada dekade berikutnya dan mulai menurun
sesuai dengan usia. Sehingga setelah usia 60 tahun tidak ada jaringan
limfoid yang tersisa dan biasanya terjadi obliterasi total pada lumen
appendiks. Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa appendiks akan
mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di
sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan
obstruksi lumen appendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada
kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen appendiks dan hal ini
merupakan salah satu alasan terjadinya appendisitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing
mungkin tersangkut di appendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa
menimbulkan
perforasi.
Patofisiologi

gejala,

namun

cukup

untuk

menimbulkan

risiko

terjadinya

Appendisitis terjadi karena adanya sumbatan lumen appendiks oleh


hiperplasia kelenjar limfe, fekolit, benda asing, striktur akibat peradagan
sebelumnya atau tumor yang menyebabkan mukus yang diproduksi oleh mukosa
menumpuk dan mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin
banyak namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Dengan adanya tekanan yang
meningkat, drainase saluran limfe terganggu sehingga terjadi oedem appendiks
dan apabila disertai infeksi oleh kuman/bakteri akan menyebabkan ulserasi
mukosa appendiks, yang disebut fase akut fokal appendisitis dengan gejala nyeri
pada ulu hati yang disertai mual dan muntah.
Bila sekresi mukus berlanjut dan tekanan intralumen terus meningkat,
dapat terjadi sumbatan vena yang mengakibatkan terjadinya oedem, trombosis
dan iskemia serta bakteri akan menembus dinding appendiks. Peradangan yang
timbul akan mengenai peritoneum setempat. Fase ini disebut fase akut supuratif
appendisitis dengan gejala nyeri di daerah perut kanan bawah (titik Mc Burney).
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding
appendiks

yang

diikuti

dengan

gangren.

Fase

ini

disebut

appendisitis

gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh ini pecah maka akan terjadi
appendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan tidak terlalu cepat, maka pada saat
terjadi peradangan omentum dan usus akan bergerak ke arah appendiks dan
melokalisasi

peradangan

dengan

membentuk

infiltrat

appendikularis.

Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses (appendicular abcess)


apabila tidak diterapi.
Perforasi pada anak-anak mudah terjadi, karena omentum lebih pendek,
appendiks lebih panjang, dinding lebih tipis dan daya tubuh yang masih kurang
maka memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi
mudah terjadi karena daya tahan tubuh yang menurun, gangguan pembuluh
darah/arteriosclerosis,

serta

perubahan

anatomi

aappendiks

berupa

penyempitan lumen.
Obsruksi lumen appendiks akan menghambat sekresi appendiks sehingga
terjadi peningkatan tekanan intralumen yang merangsang saraf aferen nyeri
visceral yang menghasilkan nyeri tumpul, merata di abdomen tengah atau
epigatrium. Distensi appendiks juga merangsang peristaltik sehingga kolik juga

bisa menyertai nyeri visceral pada permulaan appendisitis. Distensi appendiks


selain disebabkan oleh sekresi appendiks sendiri, juga disebabkan oleh
pertumbuhan kuman yang cepat pada lumen appendiks yang menyebabkan
proses peradangan di mukosa.
Proses appendisitis dimulai di mukosa yang kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan
tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikuler
yang secara salah dikenal dengan istilah apendisitis infiltrat. Didalamnya dapat
terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang kemudian dapat mengalami
perforasi. Jika tidak terbentuk abses maka apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikuler akan menjadi tenang dan mengurai diri secara lambat.
Closed-loop

obstruction

akan

menimbulkan

sumbatan

proksimal

sedangkan sekresi masih terus berlangsung. Hal ini akan menyebabkan


terjadinya distensi. Lumen appendiks bervolume 0,1 mL. Jika lumen appendiks
terisi sebanyak 0,5 ml maka akan menaikkan tekanan intralumen 60 cmH 2O.
Distensi tersebut akan menstimulasi ujung serabut saraf aferen viseral sehingga
akan timbul rasa nyeri yang tidak jelas asalnya, tumpul, dan difus pada abdomen
tengah dan dibawah epigastrium. Distensi akan terus berlanjut karena sekresi
mukosa yang terus berlangsung dan adanya multiplikasi bakteri appendiks.
Peningkatan tekanan intraorgan akan meningkatkan tekanan vena. Hal ini
menyebabkan aliran darah vena tersumbat, sedangkan aliran darah arteri terus
berlangsung, akibatnya terjadi kongestif vaskular. Distensi yang terjadi akan
menimbulkan refleks mual dan muntah serta nyeri viseral difus akan semakin
hebat.
Proses inflamasi lambat laun melibatkan serosa appendiks dan peritoneum
parietale pada regio tersebut sehingga nyeri dirasa berpindah ke kanan bawah.
Pada distensi yang hebat, daerah dengan suplai darah terburuk akan lebih
menderita sehingga akan terjadi infark. Distensi, invasi bakteri, kelainan vaksular
dan infark dapat menyebabkan terjadinya perforasi. Akan tetapi, proses tersebut
tidak selalu terjadi, pada beberapa kasus dapat sembuh spontan.

Infeksi di mukosa

Infeksi ke seluruh lapisan apendiks


(24-48 jam pertama)

Pertahanan tubuh baik


jelek

Pertahanan

Omentum, usus halus, adneksa


bergerak menutupi appendiks

Apendisitis infiltrat

Pertahanan tubuh baik

Sembuh

Abses

Pertahanan tubuh jelek

Nekrosis

Perforasi

tubuh

Peritonitis
Appendisitis pada umumnya disebabkan oleh obstruksi dan infeksi pada
appendiks. Beberapa keadaan yang dapat berperan sebagai faktor pencetus
antara lain sumbatan lumen appendiks oleh mukus yang terbentuk terus
menerus atau akibat feses yang masuk ke appendiks yang berasal dari caecum.
Feses ini mengeras seperti batu dan disebut fekalit.
Adanya obstruksi berakibat mukus yang diproduksi tidak dapat keluar dan
tertimbun di dalam lumen appendiks. Obstruksi lumen appendiks disebabkan
oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. Proses
selanjutnya invasi kuman ke dinding appendiks sehingga terjadi proses infeksi.
Tubuh melakukan perlawanan dengan meningkatkan pertahanan tubuh terhadap
kuman-kuman tersebut. Proses ini dinamakan inflamasi.
Jika proses infeksi dan inflamasi ini menyebar sampai dinding appendiks,
appendiks dapat ruptur. Dengan ruptur, infeksi kuman tersebut akan menyebar
mengenai abdomen, sehingga akan terjadi peritonitis. Pada wanita bila invasi
kuman sampai ke organ pelvis, maka tuba fallopi dan ovarium dapat ikut
terinfeksi dan mengakibatkan obstruksi pada salurannya sehingga dapat terjadi
infertilitas. Bila terjadi invasi kuman, tubuh akan membatasi proses tersebut
dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa,
sehingga terbentuk massa periappendikular. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Appendiks yang ruptur
juga dapat menyebabkan bakteri masuk ke aliran darah sehingga terjadi
septikemia.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan di sekitarnya, yang akan menimbulkan keluhan berulang pada perut
kanan bawah, dan jika suatu saat terjadi peradangan akut lagi maka dinyatakan
sebagai eksaserbasi akut.

Pembagian appendisitis
a. Appendisitis akut
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa saja.
Appendiks kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila
appendiks tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal,
edema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan

limfoid ke dalam dinding appendiks. Karena lumen appendiks tak


tersumbat, maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa.
Bila terjadi obstruksi, sekresi mukosa menumpuk dalam lumen
appendiks,

terjadi

peninggian

tekanan

dalam

lumen,

tekanan

ini

mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edem dan


kemerahan. Pada appendiks edema mukosa ini mulai terlihat dengan
adanya luka-luka kecil pada mukosa.
Gejalanya diawali dengan rasa kurang enak di ulu hati/daerah pusat,
mungkin diserta dengan kolik, muntah, kemudian anoreksia, malaise, dan
demam ringan. Pada fase ini seharusnya didapatkan adanya leukositosis.
b. Appendisitis rekurens
Diagnosis apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
dilakukannya appendektomi, dan hasil patologi menunjukan peradangan
akut. Kelainan ini terjadi bila serangan appendisitis akut pertama kali
sembuh sepontan. Namun appendiks tidak pernah kembali ke bentuk
aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resiko terjadi serangan
lagi sekitar 50%. Biasanya dilakukan appendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
c. Appendisitis kronik
Ditegakkan dengan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari
dua

minggu,

radang

kronik

appendiks

secara

makroskopis

dan

mikroskopis, dan hilangnya keluhan setelah appendektomi.


Kriteria mikroskopis appendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dinding appendiks, sumbatan parsial atau total lumen appendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
Gambaran Klinik
Mukosa dari appendiks mempunyai sifat khusus dimana masih dapat
menghasilkan sekresi pada tekanan yang tinggi sehingga distensi dari lumen
akan terus meningkat. Distensi ini akan merangsang ujung saraf viseral yang
mensarafi appendiks sehingga muncul nyeri. Nyeri awalnya dirasakan pada
umbilikus dan kuadran bawah epigastrium dengan nyerinya yang tumpul dan
difus. Nyeri ini dirasakan pada umbilikus karena persarafan appendiks berasal
dari N. Thorakal X yang lokasinya pada umbilikus. Maka nyeri pada umbilikus
merupakan suatu reffered pain.

Distensi dari appendiks juga akan meningkatkan peristalsik usus sehingga


menimbulkan nyeri kolik. Distensi appendiks dengan mukus ini dikenali dengan
mucocele appendiks. Selain faktor-faktor ini, kuman komensal dalam apendiks
yang bermultiplikasi juga akan meningkatkan distensi dari appendiks. Pada
kondisi ini resolusi dapat terjadi dengan spontan atau dengan antibiotik. Apabila
penyakitnya berlanjut, distensi appendiks yang semakin bertambah ini akan
menyebabkan obstruksi vena dan iskemia pada dinding appendiks.
Tekanan dalam lumen yang semakin meningkat akan meningkatkan
tekanan vena dan menyebabkan oklusi venula dan kapiler, tetapi aliran arteriol
tidak terganggu sehingga akan menimbulkan kongesti vaskular appendiks.
Kongesti ini akan menimbulkan refleks mual dan muntah diikuti dengan
nyeri viseral yang semakin meningkat.
Selanjutnya, apabila serosa dari appendiks mulai terganggu ,diikuti
dengan kehadiran muscularis hiatus dan peritonitis lokal, akan menimbulkan
gejala nyeri alih ke kuadran kanan bawah. Bila invasi dari bakteri bertambah
dalam, akan muncul gejala-gejala demam, takikardia dan leukositosis akibat
absorbsi toksin bakteri dan produk dari jaringan yang mati.
Peritonitis

merupakan

komplikasi

yang

sangat

dikuatirkan

pada

appendisitis akut. Peritonitis terjadi akibat migrasi bebas bakteri melalui dinding
apendiks yang iskemik, perforasi gangren apendiks atau melalui abses apendiks
yang lanjut. Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya peritonitis adalah usia
lanjut,

immunosupresi,

appendiks,

pelvik

diabetes

appendiks

dan

mellitus,
riwayat

obstruksi

fekalit

pada

operasi

abdomen,

lumen

karena

ini

mengurangi kemampuan omentum untuk menutupi penyebaran kontaminan


peritonitis. Pasien dengan faktor-faktor di atas lebih mudah mengalami
perburukan klinis yang berakhir dengan peritonitis difuse dan sindrom septik
sistemik.
Nyeri abdomen yang dimulai di daerah epigastrium atau daerah umbilikus
adalah tanda utama appendisitis akut. Setelah interval antara 4-6 jam nyeri
terlokalisasi di kuadran kanan bawah abdomen, tetapi pada sebagian pasien,
nyeri dimulai di kuadran kanan bawah dan menetap di sana. Perbedaan posisi
appendiks juga menyebabkan perbedaan lokalisasi nyeri pada appendisitis,
sebagai contoh appendiks pelvika menyebabkan nyeri di suprapubis, retroileal
appendiks menyebabkan nyeri pada testis. Nyeri ini akan pindah ke kuadran
kanan bawah dalam beberapa hari karena terjadinya nyeri somatik setempat.

Gejala

khas

didasari

oleh

radang

mendadak

umbai

cacing

yang

memberikan tanda setempat, dengan atau tanpa rangsangan peritoneal lokal.


Gejala klasik appendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney. Di sini
nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini
dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila
terdapat rangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila
berjalan atau batuk.
Bila letak apendiks retrocaecal retroperitoneal dan karena letaknya
terlindung oleh caecum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan
atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi dari M. psoas mayor yang
menegang dari dorsal.
Apendiks

yang

terletak

di

rongga

pelvis

bila

meradang

dapat

menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga


peristalsik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya.
Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tersebut sering
appendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90% appendisitis baru
diketahui setelah terjadi perforasi.
Kadang-kadang appendisitis sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani
pada waktunya dan terjadi komplikasi, misalnya pada orang berusia lanjut yang
gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita
didiagnosis setelah perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis
adalah nyeri perut, mual dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah pada
kehamilan trimester pertama juga sering terjadi mual dan muntah. Pada
kehamilan lanjut, caecum dan appendiks terdorong ke craniolateral sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

Untuk appendisitis akut yang telah mengalami komplikasi, misalnya


perforasi, peritonitis, dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini
1.

Perforasi
Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah
dasyat dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3C). Jumlah
lekosit yang meninggi merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi
perforasi.

2. Peritonitis
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendisitis yang
telah mengalami gangren. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan
tindak lanjut daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri,
defences muscular yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik,
merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan
timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat.
3.

Abses/infiltrat
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba massa lunak di abdomen kanan
bawah. Seperti tersebut di atas karena perforasi terjadilah walling off
(pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga
terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Massa
mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga
yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk
massa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan antibiotika dulu, setelah
6 minggu kemudian dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari
penyebaran infeksi.
Hubungan patofisiologi dan manifestasi klinis apendisitis

Kelainan patologis
1. Peradangan awal

Keluhan dan tanda


1. Kurang enak ulu hati atau daerah
pusat, bisa kolik

2. Apendisitis mukosa

2. Nyeri tekan kanan bawah

3. Radang seluruh dinding

3. Nyeri sentral kanan bawah, mual,

4. Appendisitis komplit radang


peritoneum parietale appendiks

muntah
4. Rangsang

peritoneum

local,

nyeri

pada gerak aktif dan pasif, defence


5. Radang alat atau jaringan yang
menempel pada appendiks

muscular lokal
5. Gejala pada organ yang terkait

6. Apendisitis gangrenosa
6. Demam
7. Perforasi

sedang,

takikardi,

mulai

toksik, leukositosis

8. Pembungkusan

7. Nyeri dan defence muscular seluruh

a. Tidak berhasil

perut
8.

b. Berhasil

a. Gejala perforasi + demam tinggi,


dehidrasi, syok, toksik

c. Abses

b. Massa perut kanan bawah, keadaan


umum berangsur membaik
c. Demam remiten, keadaan umum
toksik, keluhan dan tanda setempat

Pemeriksaan Fisik
Tanda vital tidak berubah terlalu mencolok pada appendisitis. Kenaikan
suhu jarang lebih dari 1C, tetapi perbedaan suhu rektal dan aksilar lebih dari
1C, nadi normal atau naik sedikit. Perubahan tanda vital yang mencolok
menunjukkan terjadinya komplikasi atau diagnosa lain.
Pasien lebih memilih tidur terlentang atau miring ke kanan, dan
pergerakan sangat minim karena dapat mencetuskan nyeri. Kadang sudah
terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut kanan
bawah. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan
gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
appendikuler.
Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada iliaka kanan, bisa disertai
nyeri

lepas.

Defence

muscular

menunjukan

adanya

tanda

rangsangan

peritoneum parietal, hal ini berarti proses peradangan sudah mengenai


peritoneum. Palpasi dimulai dari kuadran kiri bawah yang dilanjutkan ke kuadran
kiri atas, kuadran kanan atau dan diakhiri dengan pemeriksaan kuadran kanan
bawah.
Beberapa test yang dapat dilakukan untuk pasien yang dicurigai
appendisitis, tetapi perlu diingat bahwa uji-uji tersebut tidak selalu positif pada
semua kasus karena seringkali tergantung dari letak appendiks.
a.

Mc. Burneys Sign

Dengan penekanan ujung jari pada regio iliaka kanan didapatkan nyeri tekan
positif, maksimum pada titik Mc. Burney.
b. Blumbegs Sign
Dengan menekan pelan-pelan sisi kiri abdomen kemudian dilepaskan secara
tiba-tiba, penderita merasa nyeri di daerah appendiks.
c.

Rovsings Sign
Nyeri dijalarkan ke bagian kuadran kanan bawah sewaktu dilakukan
penekanan di daerah kuadran kiri bawah.

d. Tenhorn Sign
Pada penderita laki-laki bila testis ditarik pelan-pelan maka akan timbul nyeri
sebab testis ada hubungan dengan peritoneum.
e.

Psoas Sign (untuk appendisitis retroperitoneal)


Bila appendiks berdekatan dengan M. psoas, gerakan M. psoas akan
menimbulkan nyeri. Tes dilakukan dengan rangsangan M. psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif.
1. Cara aktif
Pasien terlentang, tungkai kanan lurus dan ditahan oleh pemeriksa. Pasien
disuruh aktif memfleksikan articulatio coxae kanan, akan terasa nyeri di
perut kanan bawah
2. Cara pasif
Pasien miring ke kiri, paha kanan dihiperekstensi oleh pemeriksa, akan
terasa nyeri di perut kanan bawah

f.

Obturator Sign
Biasanya positif pada appendisistis dengan appendiks letak pelvika dilakukan
dengan cara penderita tidur terlentang, tungkai kanan difleksi ke atas,
pemeriksa

mamutar

sendi

panggul

ke

dalam

(endorotasi)

untuk

meregangkan M. obturator internus, jika terasa nyeri daerah apendiks berarti


positif.

The obturator sign. Pain on passive internal rotation of the flexed thigh.
Examiner moves lower leg laterally while applying resistance to the
lateral side of the knee (asterisk) resulting in internal rotation of the
femur.
g. Rectal Toucher
Nyeri colok dubur antara jam 9-12 biasanya ditemukan pada appendisitis
intrapelvinal.
Karena terjadi pergeseran caecum ke kraniolaterodorsal oleh uterus, maka
keluhan nyeri pada appendisitis sewaktu hamil trimester II dan III akan bergeser
ke kanan sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak
berbeda dengan orang yang tidak hamil, karena itu perlu dibedakan apakah
keluhan nyeri berasal dari uterus atau appendiks. Bila penderita miring ke kiri
dan nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, maka terbukti
proses bukan berasal dari appendiks.
Perkusi abdomen pada appendisitis akan didapatkan bunyi timpani. Pada
peritonitis umum terdapat nyeri di seluruh abdomen, pekak hati menghilang.
Pada appendisitis retrocaecum atau retroileum terdapat nyeri pada pinggang
kanan atau angulus kostovertebralis punggung.
Pada auskultasi biasanya didapatkan bising usus positif normal. Peristaltik
dapat tidak ada karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat
appendisitis perforata.
Pemeriksaan Penunjang
a.

Laboratorium

1. Pemeriksaan darah
Akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut
terutama pada kasus dengan komplikasi. Leukositosis sedang (1000018000/mm3) dan disertai predominan polimorfonuklear sel yang terdapat
pada kasus apendisitis akut. Tetapi jika jumlah leukosit lebih dari 18000 /
mm3, atau pergeseran ke kiri sangat mencolok, appendisitis perforasi atau
proses peradangan organ visceral yang lebih besar mungkin terjadi. Pada
appendikular infiltrat, LED akan meningkat.
2. Pemeriksaan urin
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan

ini sangat

membantu dalam menyingkirkan

diagnosis

banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai
gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis. Urinalisa ditemukan
BJ tinggi karena dehidrasi. Jika letak appendiks dekat vesika urinaria akan
ditemukan eritrosit dan leukosit dalam urinalisa.
b. Radiologis
1. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fekalit sebagai penyebab appendisitis.
Gambaran appendikolit pada foto polos abdomen, caecum yang distensi
merupakan kunci diagnosa appendisitis. Selain itu, dapat dilihat tandatanda peritonitis. Kebanyakan kasus appendisitis akut didiagnosa tanpa
memperlihatkan kelainan radiologi. Foto polos bisa memperlihatkan
densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan bawah, bayangan psoas
kanan abnormal, gas dalam lumen appendiks dan ileus lebih menonjol.
Foto pada keadaan berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaankeadaan patologi yang meniru appendisitis akut. Contohnya udara bebas
intraperitoneum

yang

mendokumentasi

perforasi

berongga

seperti

duodenum atau kolon. Kelainan berupa radioopaque, benda asing serta


batas udara cairan di dalam usus yang menunjukkan obstruksi usus.
Sebaiknya dilakukan BNO dalam 3 posisi. Pemeriksaan ini dilakukan
terutama pada anak-anak.
2. Barium enema

Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui


anus. Pemeriksaan

ini

dapat

menunjukkan

komplikasi-komplikasi

dari

appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis


banding.
Enema barium mungkin membantu dalam diagnosa appendisitis pada
beberapa pasien, terutama pada anak-anak dimana diagnosa berdasarkan
pemeriksaan fisik tidak jelas dan operasi bisa sangat merugikan. Pengisian
penuh pada appendiks dan tidak terdapat perubahan pada mukosa lumen
appendiks bisa menyingkirkan kemungkinan appendisitis. Tetapi jika
terdapat tanda patognomonik appendisitis pada barium enema seperti
appendiks yang tidak terisi, adanya massa di medial dan bawah lumen
caecum

yang

mempengaruhi

irregularitas

lumen

appendiks

maka

diagnosa bisa ditegakkan.


3. Appendikogram
Untuk lihat apendisitis kronis
4. USG abdomen
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama

pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG

dapat dipakai untuk

menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan

ektopik, adnecitis dan sebagainya


5. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses. CTScan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100%
dan

96-97%,

serta

akurasi

94-100%.

CT-Scan

sangat

mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon.


Diagnosa
Skor yang biasa digunakan untuk appendisitis
a. Skala Alvarado untuk appendisitis
Manifestasi

Gejala

Nilai

Nyeri yang bermigrasi

Anoreksia

Nausea/vomiting

baik

untuk

Tanda

Laboratorium

Nyeri RLQ

Rebound

Peningkatan suhu

Leukositosis

Pergeseran ke kiri

Dari tabel di atas kemudian dapat ditarik kesimpulan dengan menjumlah


setiap

skor,

kemudian

kemungkinan

diagnosis

apendisitis

berdasarkan pembagian interval nilai yang diperoleh tersebut.

>8

57

<5

: appendisitis akut
: suspek appendisitis akut
: bukan appendisitis akut

b. Ohmann Score

Low

Moderate : 6 - 11

High

:5

: 12 13

c. Eskelinen Score

adalah

55

: appendisitis akut

d. Skoring appendisitis pada anak-anak


Yang sering digunakan adalah Samuel Score. Sistem penilaian ini
meliputi 9 variabel untuk menilai appendisitis akut:
1. Gender (laki-laki 2 points, perempuan 0 point)
2. Intensitas nyeri (berat 2 points, sedang or moderate 0 point)
3. Perpindahan dari nyeri (ya 4 points, tidak 0 point)
4. Nyeri pada kuadran perut kanan bawah (RLQ) (ya 4 points, tidak 0
point)
5. Muntah (ya 2 points, tidak 0 point)
6. Suhu badan (37.5C 3 points, <37.5C 0 point)
7. Guarding (ya 4 points, tidak 0 point)
8. Bising usus (absent atau meningkat 4 points, normal 0 point)
9. Rebound tenderness (ya 7 points, tidak 0 point)

Apendisitis akut mempunyai nilai 0 sampai nilai maksimum 32. Dan


nilai ini digunakan untuk mendiagnosa ada atau tidaknya appendisitis
akut.

Nilai batas untuk apendisitis akut adalah 21 kemungkinan besar


appendisitis akut.

Jika nilainya 15, kemungkinan untuk appendisitis akut adalah


rendah.10

Penatalaksanaan

The

Surgical

Infection

Society

menganjurkan

pemberian

antibiotik

profilaksis sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas


kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk
apendisitis perforasi.
Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik
adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat
apendisitis dengan perforasi.
Cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera
dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toksik sistemik, atau pasien tua
atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena sentral.
Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di
infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan
darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah diberikan bila
mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.
Pemberian antibiotik intravena diberikan untuk antisipasi bakteri patogen,
antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke-3 cephalosporins, ampicillinsulbaktam, dll, dan metronidazol atau klindamisin untuk kuman anaerob.
Pemberian antibiotik post operasi harus diubah berdasarkan kulture dan
sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan
normal leukosit.
Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta
pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan pembedahan sebagai terapi
definitif dari apendisitis perforasi.
Tindakan yang paling tepat apabila diagnosa klinik sudah jelas adalah
appendektomi.

Penundaan

tindakan

bedah

sambil

dilakukan

pemberian

antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Terapi dengan antibiotik


saja tidak cukup karena appendisitis adalah suatu obstruksi bukan hanya
peradangan, dan lumen yang terobstruksi tidak akan sembuh hanya dengan
antibiotik.
Indikasi untuk appendektomi adalah appendisitis akut, appendisitis infiltrat
dalam stadium tenang, appendisitis kronis, dan appendisitis perforata. Pada
appendisitis perforata dilakukan segera dengan laparatomi.
Appendektomi

dapat

dilakukan

secara

terbuka

ataupun

dengan

laparoskopi. Bila appendektomi terbuka, insisi Mc. Burney paling banyak dipilih
oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosanya tidak jelas sebaiknya
dilakukan observasi dulu.

Pemeriksaan laboratorium atau USG bisa dilakukan bila dalam observasi


masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskopi diagnostik pada diagnosis
yang meragukan akan dapat segera menentukan dilakukan operasi atau tidak.
Appendisitis akut yang terdiagnostik lebih dari 48 jam memerlukan
tindakan, karena tindakan operasi pada kasus ini lebih sulit dan banyak
manipulasi karena sudah banyak perlengketan, dapat merusak barier yang
sudah ada sehingga infeksi mudah menyebar. Pada waktu pengambilan
appendiks dapat mengakibatkan pecahnya appendiks dan mesoappendiks dalam
keadaan oedem sehingga jahitan operasi tidak rapat.
Operasi appendiks hari ke 3-7 angka mortalitasnya tinggi walau sudah
diberi antibiotik. Terapi adalah konservatif dulu baru dilakukan operasi bila sudah
tenang.

Appendisitis

dengan

komplikasi

peritonitis

generalisata

perlu

dieksplorasi dan membuang appendiks tersebut yang menjadi sumber infeksi.

ILEUS
Pendahuluan
Ileus adalah gangguan atau hilangnya pasase isi usus yang menandakan
adanya obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan.
Ileus Obstruktif adalah ileus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik. Di
Indonesia ileus obstruksi paling sering disebabkan oleh hernia inkarserata,
sedangkan

ileus

paralitik

sering

disebabkan

oleh

peritonitis.

Keduanya

membutuhkan tindakan operatif. Ileus Paralitik adalah hilangnya peristaltik usus


untuk sementara waktu. Peristaltik usus adalah pergerakan kontraksi normal
dinding usus.
Sebagaimana perdarahan, peradangan (inflamasi), dan perforasi, ileus
obstruksi merupakan penyebab akut abdomen (gawat perut). Kira-kira 6070%
dari seluruh kasus akut abdomen yang bukan appendicitis akuta disebabkan oleh
obstruksi intestinal. Sebagian kelainan akut abdomen (gawat perut) dapat juga
disebabkan oleh cedera langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan
perforasi saluran cerna atau perdarahan.
Ileus obstruktif berdasarkan letak sumbatannya, terbagi atas:
1. Obstruksi usus halus yaitu obstruksi tinggi dimana obstruksinya mengenai
usus halus.
2. Obstruksi usus besar yaitu obstruksi rendah dimana obstruksinya mengenai
usus besar.
Ileus lebih sering terjadi pada obstruksi usus halus daripada usus besar.
Keduanya memiliki cara penanganan yang agak berbeda dengan tujuan yang
berbeda pula. Obstruksi usus halus yang dibiarkan dapat menyebabkan

gangguan vaskularisasi usus dan memicu iskemia, nekrosis, perforasi dan


kematian, sehingga penanganan obstruksi usus halus lebih ditujukan pada
dekompresi dan menghilangkan penyebab untuk mencegah kematian.
Obstruksi kolon sering disebabkan oleh neoplasma atau kelainan anatomik
seperti

volvulus,

hernia

inkarserata,

striktur

atau

obstipasi.

Penanganan

obstruksi kolon lebih kompleks karena masalahnya tidak bisa hilang dengan
sekali operasi saja. Terkadang cukup sulit untuk menentukan jenis operasi kolon
karena diperlukan diagnosis yang tepat tentang penyebab dan letak anatominya.
Pada kasus keganasan kolon, penanganan pasien tidak hanya berhenti setelah
operasi kolostomi, tetapi membutuhkan radiasi dan sitostatika lebih lanjut. Hal
ini yang menyebabkan manajemen obstruksi kolon begitu rumit dan kompleks
daripada obstruksi usus halus.
Ada 3 hal yang menarik tentang obstruksi ileus, yaitu:
1. Makin meningkatnya kasus obstruksi ileus.
2. Diagnosa obstruksi ileus sebenarnya mudah dan bersifat universal tetapi
untuk mengetahui proses patologik yang sebenarnya di dalam rongga abdomen
merupakan hal yang sulit.
3. Bahaya strangulasi yang amat ditakuti sering tidak disertai gambaran klinik
khas yang dapat mendukungnya.
Untuk dapat melaksanakan penanggulangan penderita obstruksi ileus
dengan cara yang sebaikbaiknya, diperlukan konsultasi antara disiplin yang
bekerja dalam satu tim dengan tujuan untuk mencapai 4 keuntungan:
1. Bila penderita harus dioperasi, maka operasi dijalankan pada saat keadaan
umum penderita optimal.
2. Mencegah strangulasi.
3. Mencegah laparotomi.
4. Penderita mendapat tindakan operatif yang sesuai dengan penyebab
obstruksinya.
Klasifikasi
1. Ileus mekanik
1.1 Lokasi obstruksi
1.1.1 Letak tinggi: duodenum dan jejenum.
1.1.2 Letak tengah: ileum terminal.
1.1.3 Letak rendah: kolon, sigmoid, dan rectum.
1.2 Stadium obstruksi
1.2.1 Parsial: menyumbat sebagian lumen usus.
1.2.2 Simpel/ komplit: menyumbat lumen usus secara total.
1.2.3 Strangulasi: sumbatan simpel disertai jepitan vasa.
2. Ileus neurogenik
2.1 Adinamik: ileus paralitik.
2.2 Dinamik: ileus spastik.
3. Ileus vaskuler: intestinal ischemia karena trombosis dan emboli.
Etiologi
Ileus Obstruktif

1. Hernia inkarserata
2. Non hernia
2.1 Penyempitan lumen usus
2.1.1 Isi lumen: benda asing, skibala, dan askariasis,
2.1.2 Dinding usus: stenosis (radang kronis) dan keganasan.
2.1.3 Ekstra lumen: tumor intra abdomen.
2.2 Adhesi/ streng
2.3 Invaginasi
2.4 Volvulus
2.5 Malformasi usus
2.6 Radang khronik (TBC)
2.7 Divertikulum meckel
2.8 Obstruksi makanan
Pembagian lain penyebab obstruksi pada usus halus:
1. Obstruksi ekstraluminal (lesi ekstrinsik): adhesi (postoperative), hernia
(inguinal, femoral, umbilical), neoplasma (karsinoma), abses intraabdominal.
2. Obstruksi intrinsik (lesi intrinsik): kongenital (malrotasi, kista), inflamasi
(Chrons disease, divertikulitis), neoplasma, traumatik, intussusepsi.
3. Obstruksi intraluminal: gallstone, enterolith.
Adhesi, hernia inkarserata dan keganasan usus besar paling sering
menyebabkan obstruksi. Pada adhesi, onsetnya terjadi secara tiba-tiba dengan
keluhan perut membesar dan nyeri perut. Dari 60% kasus ileus obstruksi di USA,
penyebab terbanyak adhesi yaitu pada operasi ginekologik, appendektomi dan
reseksi kolorektal. Ileus karena adhesi umumnya tidak disertai strangulasi.
Adhesi umumnya berasal dari rongga peritoneum akibat peritonitis setempat
atau umum atau pasca operasi.
Adhesi dapat berupa perlengketan mungkin dalam bentuk tunggal atau
multipel.
Ileus Paralitik
1. Pembedahan abdomen: biasanya timbul 24-72 jam pasca pembedahan.
2. Trauma abdomen dan cedera usus.
3. Infeksi: appendicitis, peritonitis, dan diverticulitis.
4. Pneumonia.
5. Sepsis.
6. Serangan jantung.
7. Ketidakseimbangan elektrolit darah: natrium, rendah kalium, tinggi kalsium.
8. Kelainan metabolik yang mempengaruhi fungsi otot.
9. Obat-obatan: narkotika, antihipertensi, spasmolitik.
10.Mesenteric ischemia.
11.Aterosklerosis: menyebabkan berkurangnya aliran darah ke usus.
12.Gagal ginjal.
13.Kelenjar tiroid yang kurang aktif.
Patofisiologi
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama,
tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab
mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik di mana

peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik


peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan
dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen,
yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena
sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari, tidak
adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat.
Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber
kehilangan utama cairan dan elektrolit.
Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang cairan ekstrasel
yang mengakibatkan syok hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan
perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus
mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan peningkatan
sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat
distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksintoksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk
menyebabkan bakteriemia.
Patofisiologi Obstruksi Usus
Obstruksi Mekanik Simple
Pada obstruksi simple, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan
vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan
udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian
usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi
membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi udema dan
kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus
dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa dan
meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan
kematian.
Obstruksi Strangulata
Pada obstruksi

strangulata,

kematian

jaringan

usus

umumnya

dihubungkan dengan hernia inkarserata, volvulus, intussusepsi, dan oklusi


vaskuler. Strangulasi biasanya berawal dari obstruksi vena, yang kemudian
diikuti oleh oklusi arteri, menyebabkan iskemia yang cepat pada dinding usus.
Usus menjadi udema dan nekrosis, memacu usus menjadi gangrene dan
perforasi.
Obstruksi Usus Halus
Obstruksi usus halus terbagi atas obstruksi sederhana dan obstruksi yang
disertai proses strangulasi. Obstruksi sederhana hanya melibatkan lumen usus

halus sedangkan obstruksi yang disertai proses strangulasi melibatkan gangguan


peredaran darah dan dapat menyebabkan nekrosis dinding usus halus.
Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh perlekatan usus, hernia,
neoplasma, intususepsi, volvulus, benda asing, batu empedu yang masuk ke
dalam

usus

halus

melalui

fistula

kolesisenterik,

penyakit

radang

usus

(inflammatory bowel disease), striktur, fibrokistik, dan hematoma.


Diagnosis
Anamnesis (Subyektif)
Gejala Utama
1. Nyeri Kolik
Obstruksi usus halus: kolik dirasakan disekitar umbilikus.
Obstruksi kolon: kolik dirasakan disekitar suprapubik.
2. Mual dan muntah
Stenosis Pilorus: encer dan asam.
Obstruksi usus halus: berwarna kehijauan.
Obstruksi kolon: onset muntah lama.
3. Perut kembung (distensi)
4. Konstipasi: defekasi dan flatus tidak ada
5. Kram perut
Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak dapat kembali
menandakan adanya hernia inkarserata. Invaginasi dapat didahului oleh riwayat
buang air besar berupa lendir dan darah. Pada ileus paralitik e.c. peritonitis
dapat diketahui riwayat nyeri perut kanan bawah yang menetap. Riwayat operasi
sebelumnya dapat menjurus pada adanya adhesi usus. Onset keluhan yang
berlangsung cepat dapat dicurigai sebagai ileus letak tinggi dan onset yang
lambat dapat menjurus kepada ileus letak rendah.
Pemeriksaan Fisik (Obyektif) dan Radiologi
A. Strangulasi
Strangulasi ditandai oleh adanya peritonitis lokal, seperti:
1. Takikardia
2. Pireksia (demam)
3. Lokal tenderness dan guarding
4. Rebound tenderness
5. Nyeri lokal
6. Hilangnya suara usus lokal
Untuk mengetahui secara pasti hanya dengan laparotomi.
B. Obstruksi
- Inspeksi
Perut distensi, dapat ditemukan darm kontur dan darm steifung. Benjolan
pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia
inkarserata. Pada invaginasi dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis.
Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi sebelumnya.
- Palpasi
Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia.

- Perkusi
Hipertimpani.
- Auskultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi. Pada fase lanjut bising usus dan
peristaltik melemah sampai hilang.
- Rectal Toucher
Isi rektum menyemprot: Hirschprung disease
Darah (+) : strangulasi, neoplasma
Feses mengeras: skibala
Feses (-): obstruksi usus letak tinggi
Ampula rekti kolaps: curiga obstruksi
Nyeri tekan: lokal atau general peritonitis
- Radiologi
Foto polos abdomenpada 3 posisi menggambarkan pelebaran udara usus
halus atau usus besar dengan gambaran anak tangga dan air-fluid level.
Penggunaan kontras dikontraindikasikan adanya perforasi-peritonitis. Barium
enema diindikasikan untuk invaginasi, dan endoskopi disarankan pada
kecurigaan volvulus.
C. Paralitik
Pada ileus paralitik ditegakkan dengan auskultasi abdomen berupa silent
abdomen yaitu bising usus menghilang. Gambaran foto polos abdomen pada 3
posisi didapatkan pelebaran (distensi) udara usus halus atau usus besar (usus
halus sampai rektum) tanpa air-fluid level. Juga dapat ditemukan dinding usus
tebal dan gambaran coiled spring appearance. Kadang dilakukan pemeriksaan
kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) untuk mengevaluasi keadaan.
Manifestasi Klinis
Obstruksi Sederhana
Obstruksi usus halus proksimal memiliki gejala banyak muntah namun
jarang muntah fekal meskipun obstruksinya telah berlangsung lama. Nyeri
abdomen bervariasi dan sering dirasakan sebagai perasaan tidak enak pada
perut bagian atas.
Obstruksi usus halus bagian tengah dan distal memiliki gejala kejang di
daerah periumbilikal. Nyeri abdomen sulit dijelaskan lokasinya. Kejang tersebut
hilang timbul dengan adanya fase bebas keluhan. Keluhan muntah akan timbul
kemudian, waktunya bervariasi tergantung pada lokasi sumbatan. Semakin distal
lokasi sumbatan, muntah yang dihasilkan semakin fekulen. Obstipasi selalu
terjadi, terutama pada obstruksi komplit.
Awalnya tanda vital normal namun dapat berlanjut menjadi dehidrasi
akibat kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa normal dan demam.
Distensi abdomen dapat minimal atau tidak ada pada obstruksi usus halus
proksimal dan semakin jelas pada obstruksi usus halus distal. Peristaltik usus

yang mengalami dilatasi dapat terlihat pada pasien kurus. Bising usus yang
meningkat dan metallic sound dapat terdengar sesuai dengan timbulnya nyeri
pada obstruksi usus halus distal.
Awalnya nilai laboratorium normal kemudian dapat berubah menjadi
hemokonsentrasi, leukositosis dan gangguan elektrolit.
Pemeriksaan radiologis pada posisi tegak, terlentang,

dan

dekubitus

halus

menunjukkan

gambaran

anak

tangga

pada

usus

lateral
yang

mengalami dilatasi dengan gambaran air fluid level. Pemberian kontras akan
menunjukkan adanya obstruksi mekanis dan letaknya.
Pada ileus obstruksi letak rendah, jangan lupa melakukan pemeriksaan
rektosigmoidoskopi dan pemeriksaan kolon untuk mengetahui penyebabnya.
Pemeriksaan kolon bisa dilakukan dengan colok dubur dan pemeriksaan barium
in loop. Periksa pula kemungkinan terjadinya hernia.
Obstruksi yang Disertai Proses Strangulasi
Gejala obstruksi usus halus yang disertai proses strangulasi mirip
obstruksi usus halus sederhana. Perbedaannya adalah gejala obstruksi ini lebih
jelas dan gejala nyeri lebih hebat. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya
skar bekas operasi dan hernia. Bila ditemukan gejala strangulasi maka
diperlukan tindakan operasi segera untuk mencegah terjadinya nekrosis usus.
Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan
diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan
membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium
yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan
nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering didapatkan.
Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya
terjadi pada 38% 50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada
obstruksi non strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada
dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas
darah mungkin terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan
metabolik asidosis bila ada tanda - tanda shock, dehidrasi dan ketosis.

Pemeriksaan Radiologi
Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran step ladder dan air fluid
level pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu
obstruksi. Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada
obstruksi usus halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon.

Pada foto polos abdomen dapat ditemukan gambaran step ladder dan air
fluid level terutama pada obstruksi bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak
tampak gas. Jika terjadi strangulasi dan nekrosis, maka akan terlihat gambaran
berupa hilangnya mukosa yang reguler dan adanya gas dalam dinding usus.
Udara bebas pada foto thoraks tegak menunjukkan adanya perforasi usus.
Penggunaan kontras tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan peritonitis
akibat adanya perforasi.
CT scan kadang - kadang digunakan untuk menegakkan diagnosa pada
obstruksi usus halus untuk mengidentifikasi pasien dengan obstruksi yang
komplit dan pada obstruksi usus besar yang dicurigai adanya abses maupun
keganasan.
Diagnosa Banding
Ileus paralitik memiliki gejala nyeri yang lebih ringan namun konstan dan
difus, juga terjadi distensi abdomen. Ileus yang disebabkan proses inflamasi akut
(misalnya appendisitis) memiliki tanda dan gejala dari penyebab primer ileus
tersebut.
Obstruksi usus besar memiliki gejala obstipasi dan distensi abdomen. Kolik
dan muntah lebih jarang terjadi. Pada foto akan tampak gambaran terjadinya
dilatasi kolon sampai pada letak sumbatan.
Gastroenteritis akut, appendisitis akut, dan pankreatitis akut dapat
menyerupai obstruksi usus halus sederhana. Strangulasi dapat dikacaukan oleh
pankreatitis hemoragik dan oklusi vaskuler mesenterik.
Penatalaksanaan
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit
dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi,
mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk
memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
1. Konservatif/ Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda - tanda
vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami
dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan
intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan
memonitor tanda - tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian
cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT
digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila
muntah dan mengurangi distensi abdomen.
Penatalaksanaan konservatif ileus antara lain:
- Penderita dirawat di rumah sakit & dipuasakan.

- Penderita dipuasakan (tidak makan & minum) sampai krisisnya teratasi.


-

Biasanya minimal 3 hari, luka operasi pada saluran cerna dapat sembuh.
Kontrol status airway, breathing and circulation.
Dekompresi dengan nasogastric tube.
Intravenous fluids and electrolyte.
Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.
Lavement jika ileus obstruksi, dan kontraindikasi ileus paralitik.
Dekompresi berguna untuk mengurangi tekanan dan peregangan dengan

mengeluarkan gas dan cairan. Kadang sebuah selang dimasukkan ke dalam usus
besar melalui anus untuk mengurangi tekanan. Sedangkan selang lainnya yang
dihubungkan dengan alat penghisap, dimasukkan melalui hidung menuju ke
lambung.
2. Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis ileus antara lain:
- Antibiotik spektrum luas untuk bakteri anaerob dan aerob sebagai profilaksis.
- Analgesik apabila nyeri.
- Antiemetik untuk mengurangi gejala mual muntah.
3. Operatif
Penatalaksanaan operatif ileus antara lain:
- Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan
peritonitis.
- Obstruksi usus dengan prioritas tinggi adalah strangulasi, volvulus, dan jenis
obstruksi kolon.
- Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk
mencegah sepsis sekunder atau rupture usus.
- Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah
-

yang disesuaikan dengan hasil explorasi selama laparotomi.


Lisis pita untuk band.
Herniorepair untuk hernia inkarserata.
Pintas usus : ileostomi, kolostomi.
Reseksi usus dengan anastomosis.
Diversi stoma dengan atau tanpa reseksi.

Tindakan operasi berdasarkan situasi:


1. Situasi yang perlu operasi emergensi

Incarcerated, strangulated hernias


Peritonitis
Pneumatosis cystoides intestinalis
Pneumoperitoneum
Suspected or proven intestinal strangulation
Closed-loop obstruction
Nonsigmoid colonic volvulus

Sigmoid volvulus associated with toxicity or peritoneal signs


Complete bowel obstruction

2. Situasi yang perlu operasi urgensi

Progressive bowel obstruction at any time after nonoperative measures

are started
Failure to improve with conservative therapy within 24-48 hr
Early postoperative technical complications

3. Situasi dimana penundaan operasi lebih aman

Immediate postoperative obstruction


Jika obstruksinya berhubungan dengan suatu simple obstruksi atau adhesi,

maka tindakan lisis yang dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi maka
reseksi intestinal sangat diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam tindakan
bedah pada obstruksi ileus:
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia
incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus
ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang melewati
bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn
disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujungujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya
pada carcinomacolon, invaginasi, strangulata, dan sebagainya. Pada
beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif
bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan
penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan
kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis.
Komplikasi
1. Nekrosis usus
2. Perforasi usus
3. Sepsis
4. Syok-dehidrasi
5. Abses
6. Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi
7. Pneumonia aspirasi dari proses muntah
8. Gangguan elektrolit

9. Meninggal
Prognosis
Saat operasi, prognosis tergantung kondisi klinik pasien sebelumnya.
Setelah pembedahan dekompresi, prognosisnya tergantung dari penyakit yang
mendasarinya.
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan
operasi dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan
atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan
mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan
tindakan dilakukan dengan cepat.

IKTERUS
Ikterus atau jaundice adalah suatu keadaan dimana terlihat perubahan
warna kulit, membrana mukosa dan sklera menjadi kuning yang disebabkan oleh
penimbunan kadar bilirubin dalam plasma dan cairan ekstraseluler lain.
Perubahan warna tersebut sebenarnya merupakan akibat hiperbilirubinemia.
Secara kasar dikatakan kalau bilirubin total sudah mencapai 2 mg% atau lebih,
ikterus akan tampak di sklera. Ikterus yang sudah mulai tampak di seluruh tubuh
menunjukkan bilirubin total sudah mencapai 8 mg% atau lebih. Ikterus mungkin
disertai dengan kencing warna gelap atau tinja akholik.

Bilirubin adalah hasil atau produk utama dari pemecahan heme. Berasal dari
sel darah merah dari sirkulasi yang dipecah oleh Retikulo Endotelial Sistem.
Bahan yang larut lemak ini beredar dalam plasma terikat dengan albumin dan
diambil oleh hepatosit, dimana akan mengalami esterifikasi dengan empedu. Di
dalam intestinum enzim dari bakteri akan menghilangkan esterifikasi bilirubin
dan terbentuklah bilirubinogen. Sebagian kecil kemudian akan di reabsorbsi
untuk mengikuti siklus enterohepatik.
Ikterus dapat diklasifikasikan berdasarkan :

Patogenesisnya :
Ikterus prehepatik/hemolitik, merupakan tipe yang paling jarang. Kelebihan
bilirubin akibat percepatan proses penghancuran eritrosit melampaui
kemampuan hepar untuk mengeluarkan kelabihan tersebut. Akibatnya terjadi
kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dalam serum. Ikterus bersifet ringan dan
tidak disertai kenaikan berbagai enzim dalam serum. Urine yang baru
berwarna normal karena tidak mengandung bilirubin namun bila ditemukan
kadar urobilinogen yang berlebihan maka melalui proses oksidasi menjadi
urobilinogen sehingga warna menjadi lebih gelap bila didiamkan. Warna feses
tetap normal.
Ikterus hepatik. Pada tipe ini, konsentrasi bilirubin terkonjugasi dan tak
terkonjugasi dalam serum akan meninggi tetapi terdapat lebih banyak

bilirubin terkonjugasi. Kadar alkali fosfatase, gama glutamil aminotransferase


dan transaminase didalam serum akan mencerminkan derajad kerusakan
hepar dan dapat meninggi sebelum gejala ikterus terlihat. Warna urine
menjadi lebih gelap karena adanya bilirubin dan urobilinogen yang berlebihan
akan ditemukan dalam pemeriksaan kimiawi kecuali bila sel-sel hepar yang
membengkak itu menekan sinusoid dan menimbulkan kolestatik intrahepatik.
Jika hal ini tejadi maka warna feses akan lebih pucat daripada normalnya.
Ikterus post hepatik/kolestatik. Tipe ini disebabkan oleh obstruksi aliran getah
bening empedu didalam substansi hepar atau bagian ekstrahepatik saluran
biliaris. Pada kasus yang khas, kadar bilirubin terkonjugasi akan meningkat
dan dapat melampaui 30 mg/dl. Kadar alkali fosfatase biasanya lebih tinggi
sementara kadar transaminase lebih rendah daripada pada ikterus
hepatoseluler. Warna urine menjadi lebih gelap karena adanya bilirubin
terkonjugasi tapi urobilinogen tak ditemukan. Feses tampak pucat karena
kurang mengandung pigmen empedu dan bisa mengandung banyak lemak
Patofisiologisnya :
Produksi bilirubin berlebihan
Gangguan uptake hati dan trasport bilirubin dalam hati
Gangguan konjugasi bilirubin dalam hati
Gangguan ekskresi bilirubin kedalam empedu
Tipe hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia Unconjugated (> 1,2 mg/dl) :
Peninggian produksi bilirubin
Gangguan transport bilirubin
Campuran

Hiperbilirubinemia Conjugated (> 0,3 mg/dl)


Gangguan transport bilirubin primer
Kerusakan hepatoseluler
Obstruksi bilier

Untuk menegakkan diagnosis, anamnesis yang cermat sangat membantu.


Informasi yang penting pada anamnesis pasien ikterius misalnya : umur, alamat,
keluhan utama, onset, perjalanan penyakit, warna feses dan urin, beberapa
penyakit penyebab ikterus, riwayat keluarga, riwayat sosial.
Yang pertama harus dipastikan dalam pemeriksaan fisik adalah
memastikan perubahan warna tersebut benar-benar ikterus dan bukan yang lain,
misalnya hiperkarotenosis. Ikterus yang hanya tampak pada sklera
menggambarkan kadar bilirubin serum yang tidak terlalu tinggi. Perlu
diperhatikan pula apakah terdapat tanda stigmata penyakit hati kronik. Pada
pemeriksaan fisik abdomen yang harus diperhatikan adalah hepatomegali.
Ikterus juga dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit diluar sistema hepatobilier.
Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda penyakit tersebut sebaiknya dicari.
Pada pemeriksaan laboratorium, langkah pertama adalah membedakan
antara
hiperbilirubinemia
unconjugated
dan
conjugated.
Ciri-ciri
hiperbilirubinemia unconjugated adalah kadar bilirubin indirek meningkat (> 80%

dari bilirubin total), pada pemeriksaan urine rutin tidak dijumpai bilirubin,
sedangkan urobilin urine urine tetap positif. Pemeriksaan feses dengan warna
gelap karena sterkobilin meningkat. Pada hiperbilirubinemia conjugated biasanya
baik bilirubin direk maupun indirek meningkat (sering direk lebih tinggi), bilirubin
dapat ditemukan pada pemeriksaan urine rutine. Feses akan berwarna pucat.
Pada kasus obstruksi total saluran empedu fesesnya menjadi tidak berwarna.
Hiperbilirubinemia conjugated merupakan tanda penting kerusakan
hepatoseluler dan kolestasis. Kolestasis dapat terjadi pada tingkat hepatosit
yang sering disebut kolestasis intrahepatal atau pada saluran empedu (ekstra
hepatal). Untuk membedakan kerusakan hepatoseluler atau kolestasis dapat
dilihat pada hasil pemeriksaan enzimatik. Transaminase yang meningkat (>2 kali
nilai normal), sedangkan fosfatase alkali dan Gama GT normal atau sedikit
meningkat (<2 kali nilai normal) menunjukkan kerusakan hepatoseluler.
Sebaliknya, fosfatase alkali yang meningkat sangat tinggi (>3 kali normal) diikuti
dengan Gama GT yang juga meningkat menunjukkan adanya kolestasis. Waktu
protombin juga dapat memanjang pada kolestasis.
Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu penegakan diagnosis ikterus
antara lain adalah : Ultrasonografi (USG), Skintigrafi, Endoscopy Retrograd
Cholangiopancreatography (ERCP).
Pada kasus ini didapatkan :

Anamnesis : 1,5 bulan bayi tampak kuning mulai dari mata ke seluruh tubuh
disertai panas nglemeng, buang air besar dan buang air kecil tidak ada
kelainan. Setengah bulan bayi bertambah kuning dan kencing berwarna teh,
buang air besar seperti dempul. Riwayat transfusi darah disangkal. Riwayat
keluarga sakit kuning disangkal. Riwayat ibu mengalami infeksi selama
kehamilan disangkal.
Pemeriksaan fisik : Sklera ikterik (+); kulit ikterik (+); abdomen : cembung,
lemas, venektasi (-); hepar : 2/3-2/3 Blankhart, tepi tajam, rata, kenyal;
limpa : Schuffner 2.
Pemeriksaan penunjang :
Hiperbilirubinemia baik direk maupu indirek

Didapatkan pemanjangan waktu perdarahanan dan kenaikan kadar


fibrinogen.
- Terdapat kenaikan kadar SGOT, SGPT, alkali fosfatase dan Gama GT
- Feses warna kuning, stercobilin (+), bilirubin (+)
- Urin warna jernih, Urobilin (+), bilirubin (-)
- USG abdomen, kesan : tak tampak kelainan sonografi pada organ intra
abdominal dan tak tampak gambaran kolestasis.
- Skintigrafi : kolestasis intra hepatik`
Dari data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
maka ikterik dalam kasus ini didiagnosis sebagai akibat kolestasis intra hepatal.
-

Allagile,1985 mengemukakan 4 gambaran klinis yang dapat digunakan


untuk menyingkirkan diagnosis banding kolestasis ekstrahepatal, yaitu :
Data klinis

Kolestasis

Kolestasis intrahepatal

ekstrahepatal
Warna tinja : - putih
- kuning
Berat badan lahir
Umur saat tinja akholis
Gambaran
hepar :

79 %

26 %

21 %

74 %

> 3 kg

< 3 kg

Sekitar 2 minggu

Sekitar 1 bulan

12 anak

35 anak

63 anak

47 anak

24 anak

6 anak

klinis

Hepatomegali :
Konsistensi normal
Padat (firm)
Keras (hard)

Dari data yang didapatkan, diagnosis banding ikterus akibat kolestasis


ekstrahepatal dapat disingkirkan.

Anda mungkin juga menyukai