MODUL 9 PROYEK
GERAK PELURU
Oleh:
Rafi Widyansyah (140710150030)
Della Azaria (140710150032)
M. Ario Eko Rahadianto (140710150042)
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Persamaan Diferensial
Persamaan diferensial adalah gabungan antara fungsi yang tidak diketahui secara
eksplisit dan turunan (diferensial)-nya. Contohnya persamaan gerak sistem pegas.
d2 x
dx
m 2 +c + kx=0
dt
dt
dengan m adalah massa pegas, k tetapan pegas, c koefisien redaman dan x posisi sebuah titik
pada pegas. Karena x adalah fungsi dari t, maka persamaan di atas dapat ditulis sebagai
mx (t)+cx'(t)+kx(t)=0
mx + cx' + kx=0 (2.1.1)
atau
Persamaan (2.1.1) mengandung fungsi x(t) yang tidak diketahui rumus eksplisitnya, turunan
pertamanya x(t), dan turunan kedua x(t). Arti fisis diferensial adalah laju perubahan sebuah
peubah terhadap peubah lain. Pada persamaan (2.1.1), x(t) menyatakan laju perubahan posisi
pegas x terhadap waktu t.
Kelompok Persamaan Diferensial
Persamaan diferensial dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu persamaan
diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial.
1. Persamaan Diferensial Biasa (PDB) Ordinary Differential Equation (ODE)
PDB adalah persamaan diferensial yang hanya mempunyai satu peubah bebas.
Peubah bebas biasanya disimbolkan dengan x.
dy
=x+ y
Contoh: (i)
dx
(ii)
(iii)
y ' =x 2+ y 2
2
dx 2
+ x y y=0
dy
(iv)
(v)
Peubah bebas untuk contoh (i) sampai (v) adalah x, sedangkan peubah terikatnya
adalah y, yang merupakan fungsi dari x, atau ditulis sebagai y=g ( x ) .
Berdasarkan turunan tertinggi yang terdapat di dalam persamaannya, PDB dapat
dikelompokkan menurut ordenya, yaitu:
a) PDB orde 1, yaitu PDB yang turunan tertingginya adalah turunan pertama.
Contoh: (i), (ii), (iii).
b) PDB orde 2, yaitu PDB yang turunan tertingginya adalah turunan kedua.
Contoh: (iv).
c) PDB orde 3, yaitu PDB yang turunan tertingginya adalah turunan ketiga.
Contoh: (v).
d) dan seterusnya untuk PDB dengan orde yang lebih tinggi.
PDB orde dua ke atas dinamakan juga PDB orde lanjut.
2
u
2 u
2 u
=3sin ( x +t )+ 2 + ( 1+ x ) 2 ( u=g ( x , y ,t ) )
t
x
y
Peubah bebas untuk contoh (i) adalah x dan y, sedangkan peubah terikatnya
adalah u yang merupakan fungsi dari x dan y, atau ditulis sebagai u=g ( x , y ) .
Sedangkan peubah bebas untuk contoh (ii) adalah x, y, dan t, sedangkan peubah
terikatnya adalah u, yang merupakan fungsi dari x, y, dan t, atau ditulis sebagai
u=g ( x , y , t ) .
PDB Orde 1
Bentuk baku PDB orde satu dengan nilai awal ditulis sebagai
y ' =f ( x , y )
Catatan: kadang
(2.1.2)
dy
y ' ditulis sebagai dx . Jadi,
'
y=
dy
.
dx
PDB orde satu yang tidak mengikuti bentuk baku tersebut harus ditulis ulang menjadi
bentuk persamaan (2.1.2), agar ia dapat diselesaikan secara numerik.
2 y' +xy=100 ; y ( 0 ) =1
Contoh:
(i)
Bentuk baku:
(ii)
x y ' +
y'=
100xy
; y ( 0 )=1
2
2y
= y ' y ; y ( 1 )=1
x
Bentuk baku:
2y
+y
x
'
y=
; y ( 1 )=1
1+ x
Penyelesaian PDB secara numerik berarti menghitung nilai fungsi di xr+1 = xr +h,
dengan h adalah ukuran langkah (step) setiap lelaran. Pada metode analitik, nilai awal
berfungsi untuk memperoleh solusi yang unik, sedangkan pada metode numerik nilai
awal (initial value) pada persamaan (2.1.2) berfungsi untuk memulai lelaran. Terdapat
beberapa metode numerik yang sering digunakan untuk menghitung solusi PDB,
mulai dari metode yang paling dasar sampai dengan metode yang lebih teliti, yaitu:
1. Metode Euler
2. Metode Heun
3. Metode Deret Taylor
4. Metode Runge-Kutta
(2.2.1)
Persaman (2.2.1) dapat dituliskan dalam bentuk sepasang persamaan sebagai berikut:
(2.2.2)
(2.2.3)
dengan r(t) = x(t)i + y(t)j, persamaan (2.2.2) merupakan PDB orde dua homogen
sedangkan persamaan (2.2.3) merupakan PDB orde dua nonhomogen. Jika kedua
persamaan tersebut diberikan kecepatan awal dan kecepatan sudut pada saat t0 = 0
adalah v(t0) dan (t0), vektor posisi, kecepatan awal dan kecepatan sudut adalah r(t0),
v(t0) dan (t0), maka akan menghasilkan solusi umum dari posisi benda seperti pada
persamaan,
(2.2.4)
dimana v(t0) = (v(t0) cos )i + (v(t0) sin )j, (t0) = ((t0) cos )i + ((t0) sin )j dan r(t0)
= x(t0)i +y(t0)j serta merupakan sudut elevasi yang dibentuk oleh v(t0) terhadap garis
horizontal dan merupakan sudut elevasi yang dibentuk oleh (t0) dan jari-jari bola.
1.2 Model Gerak Peluru Dengan Hambatan Linier
Gerak peluru dengan hambatan linier adalah gerak benda yang diberikan kecepatan awal
dengan sudut elevasi pada suatu ketinggian tertentu serta lintasannya dipengaruhi oleh
gaya gravitasi dan gaya hambat udara, dimana gaya hambat udara ini dapat dituliskan
dengan rumus: Flinier = -6rv, (Sarojo, 2002). Hambatan linier terjadi pada udara yang
mempunyai viskositas tinggi, benda yang mempunyai jari-jari kecil serta kecepatan benda
yang relatif kecil. Akan tetapi, tiga kriteria tersebut masih belum jelas nilai batasannya
(2.2.8)
1.3 Model Gerak Peluru Dengan Hambatan Kuadratik
Pada subsubbab 1.2 telah dijelaskan mengenai gerak peluru dengan hambatan linier
dimana hambatan tersebut berlaku pada Re < 0,1 sehingga untuk kekentalan udara yang
rendah, jari-jari yang relatif besar serta kecepatan yang relatif besar atau R e 0,1
digunakan istilah hambatan kuadratik dimana besar gaya hambat ini dituliskan dengan
1
rumus: Fkuadratik = - 2 ACdv2 , dengan A merupakan luas karakteristik (luas proyeksi
ortogonal bagian depan benda) dan Cd merupakan koefisien gesek. Menurut hukum
Newton II, gerak peluru dengan hambatan kuadratik dapat dimodelkan seperti pada
persamaan,
dimana h =
1
2 ACd
(2.2.9)
.
BAB III
METODE
3.1 Metode Runge-Kutta
Penyelesaian PDB dengan metode deret Taylor tidak praktis karena metode tersebut
membutuhkan perhitungan turunan f ( x , y ) . Lagipula, tidak semua fungsi mudah
dihitung turunannya, terutama bagi fungsi yang bentuknya rumit. Semakin tinggi orde
metode deret Taylor, semakin tinggi turunan fungsi yang harus dihitung. Karena
pertimbangan ini, metode deret Taylor yang berorde tinggi pun tidak dapat diterima dalam
masalah praktek.
Metode Runge-Kutta adalah alternatif lain dari metode deret Taylor yang tidak
membutuhkan perhitungan turunan. Metode ini berusaha mendapatkan derajat ketelitian
yang lebih tinggi, dan sekaligus menghindarkan keperluan keperluan mencari turunan
yang lebih tinggi dengan jalan mengevaluasi fungsi f (x , y ) pada titik terpilih dalam
setiap selang langkah. Metode Runge-Kutta adalah metode PDB yang paling populer
karena banyak dipakai dalam praktek.
Bentuk umum metode Runge-Kutta orde-n adalah:
y r +1= y r +a 1 k 1+ a2 k 2+ +a n k n
(3.1)
dengan
a1 , a2 , , an
k 2=hf ( xr + p 1 h , y r +q 11 k 1 )
k 3 =hf (x r + p2 h , y r + q21 k 1 +q 22 k 2 )
Nilai
ai , p i , q ij
dan persamaan (3.1) akan sama dengan metode deret Taylor dari orde setinggi mungkin.
n +1
Galat per langkah metode Runge-Kutta orde-n: O(h )
n
(3.2)
2
a1=1
(3.3)
3
Galat per langkah metode R-K orde dua adalah O ( h )
2
Galat longgokan metode R-K orde dua adalah O(h )
Nilai
a1 , a2 , p1 , q11
f r=f ( xr , y r )
Misalkan,
f x=
f ( xr , yr )
f ( xr , yr )
, dan f y =
x
y
Uraikan
k2
k 2=hf ( xr + p 1 h , y r +q 11 k 1 )
h ( f + p 1 h f x +q 11 k 1 f y )
h ( f + p 1 h f x +q 11 hf f y )
h(f +h ( p1 f x + q11 f f y ) )
Sedangkan,
k1
Jadi,
y r +1= y r + ( a1 k 1+ a2 k 2 )
2
(x r , y r) .
a
( 1+a2 ) h f r + a2 h 2( p 1 f x +q 11 f f y )
y r +
Y r +1
Uraikan
sejati di sekitar
xr
(3.4)
sampai suku orde dua saja:
1
Y r +1= y r +h y ' r + h2 y ' ' r
2
Mengingat
(3.5)
x
( r , y r ) f dx f dy
df
=
+
=f + f f =f + f f y
dx
x dx y dy x y r x
y ' ' r=f ' ( x r , y r ) =
maka persamaan (3.5) menjadi
1 2
y r +1= y r +hf + h ( f x + f y f r)
2
(3.6)
a
( 1+a2 ) h f r + a2 h 2( p 1 f x +q 11 f f y )}
1
hf + h2 ( f x + ff y ) {
2
E p=0
a
( 1+a2 ) h f r + a2 h 2( p 1 f x +q 11 f f y )
1
hf + h 2 ( f x + ff y ) =
2
1
2
a2 q11 =
1
2
Karena sistem persamaan di atas terdiri dari tiga persamaan dengan empat peubah yang
tidak diketahui, maka solusinya tidak unik, dengan kata lain solusinya banyak. Solusi
yang unik hanya dapat diperoleh dengan memberikan sebuah peubah dengan sebuah
a =t , t R ,
harga. Misalkan ditentukan nilai 2
maka
a1=1
p1=
a2=1t
1
1
=
2 a2 2 t
q11 =
1
1
=
2 a2 2 t
Karena kita dapat memberikan sembarang nilai t, berarti metode R-K orde kedua tidak
terhingga banyaknya.
Metode Runge-Kutta Orde Tiga
Metode R-K yang terkenal dan banyak dipakai dalam praktek adalah metode R-K orde
tiga dan metode R-K orde empat. Kedua metode tersebut terkenal karena tingkat
ketelitian solusinya tinggi (dibandingkan metode R-K orde sebelumnya), mudah
diprogram dan stabil. Metode R-K orde tiga berbentuk:
k 1=hf (x r , y r)
1
1
k 2=hf x r + h , y r + k 1
2
2
k 3 =hf ( xr +h , y rk 1+ 2k 2 )
1
y r +1= y r + (k 1 + 4 k 2 +k 3)
6
4
Galat per langkah metode R-K orde tiga adalah O(h )
3
Galat longgokan metode R-K orde tiga adalah O(h )
1
1
k 3 =hf x r + h , y r + k 2
2
2
(
(
k 4=hf ( x r +h , y r + k 3 )
1
y r +1= y r + (k 1 +2 k 2 +2 k 3 +k 4 )
6
3
Galat per langkah metode R-K orde empat adalah O(h )
2
Galat longgokan metode R-K orde empat adalah O(h )
Metode R-K orde yang lebih tinggi tentu memberikan solusi yang semakin teliti. Tetapi
ketelitian ini harus dibayar dengan jumlah komputasi yang semakin banyak. Jadi ada timbalbalik (trade-off) dalam memilih suatu metode Runge-Kutta.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
4.2 PEMBAHASAN
Pada program yang telah dibuat mengenai gerak peluru telah didapatkan bentuk
grafik gerak peluru. Grafik gerak peluru yang dihasilkan dari program dapat dipengaruhi oleh
faktor adanya hambatan.Dari adanya hambatan tersebut dapat diketahui bentuk grafik dan
perbedaan bentuk grafik gerak peluru akibat adanya hambatan ataupun tanpa ada hambatan.
Pada grafik gerak peluru tanpa adanya hambatan,bentuk grafik gerak peluru seperti grafik
gerak peluru pada umumnya.Sedangkan grafik gerak peluru akibat adanya hambatan
dipengaruhi oleh bilangan Reynold(Re).
Pada hambatan linier yang mempunyai bilangan Reynold kurang dari 0,1 (Re <
0,1), bentuk grafik gerak peluru yang dihasilkan seperti bentuk grafik gerak peluru tanpa ada
hambatan.Namun, kecepatan peluru akan berkurang lebih cepat sehingga grafik yang
dihasilkan akan lebih cepat mengalami penurunan.Pada hambatan kuadratik yang mempunyai
bilangan Reynold lebih dari 0,1 (Re > 0,1),bentuk grafik gerak peluru yang dihasilkan lebih
curam dibandingkan grafik gerak peluru akibat hambatan linier.
BAB V
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
LAMPIRAN
Lampiran 1:
Listing program
import numpy as np
from numpy import *
import matplotlib.pyplot as plt
#PENGINPUTAN
x0=input("x0= ")
y0=input("y0= ")
r=input("r= ")
theta=input("theta= ")
m=input("m= ")
vo=input("v0= ")
con=input("Pakai Hambatan? 1(iya) 2(tidak): ")
theta1=theta
r1=r
m1=m
vo1=vo
#PERUMUSAN AWAL
th0=theta*pi/180;
t0=0
g=9.8
rho=1.293 #koefisien hambatan udara
vis=0.018
phi=3.14
D=2*r
Re=rho*D*vo/vis #bilangan Reynolds
f=1
F=vis*rho*D**3*f*vo1
a=F/m
if con==1: #UNTUK YANG DENGAN HAMBATAN
if Re<0.1: #UNTUK Re<0.1
k=6*phi*vis*r
kL=k/m
xL=x0
yL=y0
S=0
t1=t0
delt=0.0001
N=1000 #N BISA DI UBAH SESUAI KEINGINAN
for i in range (2,N+1):
t=t1+(i-1)*delt
xL=xL+(vo*m/k)*math.cos(th0)*(1-math.exp(-k*t/m))
yL=yL+(vo*m/k)*math.sin(th0)*(1-math.exp(-k*t/m))+(g*m**2/
(k**2))*(1-k*t/m-math.exp(-k*t/m))
S=S+vo1*delt+0.5*a*delt**2
plt.plot(xL,yL,'r+')
plt.show()
S=0
h=0.5*A*rho*cd
hK=h/m; vx0=vo*cos(th0)
vy0=vo*sin(th0)
for i in range (2,N+1):
vxt=vx0
vyt=vy0
k1x=-(h/m)*sqrt((vxt)**2+(vyt)**2)*vxt
k2x=-(h/m)*sqrt((vxt+0.5*k1x*delt)**2+
(vyt+0.5*k1x*delt)**2)*(vxt+0.5*k1x*delt)
k3x=-(h/m)*sqrt((vxt+0.5*k2x*delt)**2+
(vyt+0.5*k2x*delt)**2)*(vxt+0.5*k2x*delt)
k4x=-(h/m)*sqrt((vxt+k3x*delt)**2+
(vyt+k3x*delt)**2)*(vxt+k3x*delt)
vxt=vxt+(delt/6)*(k1x+2*k2x+2*k3x+k4x)
k1y=-g-(h/m)*sqrt((vxt)**2+(vyt)**2)*vyt
k2y=-g-(h/m)*sqrt((vxt+0.5*k1y*delt)**2+
(vyt+0.5*k1y*delt)**2)*(vyt+0.5*k1y*delt)
k3y=-g-(h/m)*sqrt((vxt+0.5*k2y*delt)**2+
(vyt+0.5*k2y*delt)**2)*(vyt+0.5*k2y*delt)
k4y=-g-(h/m)*sqrt((vxt+k3y*delt)**2+(vyt+k3y*delt)**2)*
(vyt+k3y*delt)
vyt=vyt+(delt/6)*(k1y+2*k2y+2*k3y+k4y);
xK=xK+vxt*delt
yK=yK+vyt*delt
S=S+vo1*delt+0.5*a*delt**2
plt.plot(xK,yK,'r+')
plt.show()
S=0
for i in range (2,N+1):
t=t0+(i-1)*delt
xN=x0+vo*t*cos(th0)
yN=y0+vo*t*sin(th0)-(g/2)*t*t
S=S+vo1*delt+0.5*a*delt**2
plt.plot(xN,yN,'r+')
plt.show()
FLOWCHART
START
Input: x0
y0
r
theta
m
vo
vo1
theta=theta1
r=r1; m=m1;vo=vo1;
th0=theta*pi/180;
t0=0;
g=9.8;
rho=1.293;
vis=0.018;
phi=3.14;
D=2*r;
Re=rho*D*vo/vis;
f=1;
F=vis*rho*D^3*f*vo1;
a=F/m;
S(1,1)=0;
dengan Hambatan?
NO
B
YES
if Re<0.1
YES
A
NO