Anda di halaman 1dari 23

PRAKTIKUM METODE NUMERIK I

MODUL 9 PROYEK
GERAK PELURU

Oleh:
Rafi Widyansyah (140710150030)
Della Azaria (140710150032)
M. Ario Eko Rahadianto (140710150042)

PROGRAM STUDI GEOFISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari-hari banyak muncul persoalan yang melibatkan model
matematika contohnya pada gerak dalam ilmu pengetahuan fisika. Salah satu contoh gerak
dalam bidang fisika adalah gerak peluru. Gerak peluru merupakan suatu jenis gerakan benda
yang pada awalnya diberi kecepatan awal lalu menempuh lintasan yang arahnya dipengaruhi
oleh gravitasi. (Young & Freedman, 2002:68) Benda-benda yang melakukan gerakan peluru
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, benda tersebut bergerak karena ada gaya yang
diberikan. Kedua, seperti pada gerak jatuh bebas benda-benda yang melakukan gerak peluru
dipengaruhi oleh gravitasi, yang berarah ke bawah (pusat bumi) dengan besar g = 9,8 m/s 2.
Ketiga, hambatan atau gesekan udara. Setelah benda tersebut ditendang, dilempar,
ditembakkan atau dengan kata lain benda tersebut diberikan kecepatan awal hingga bergerak,
maka selanjutnya gerakannya bergantung pada gravitasi dan gesekan alias hambatan udara.
Gerak peluru merupakan kejadian yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari
misalnya dalam bidang kemiliteran. Dengan simulasi pada program dalam proyek ini kita
dapat mengetahui hasil dari percobaan gerak peluru yang dipengaruhi hambatan udara
dengan gerak peluru tanpa pengaruh gaya hambat udara pada lintasan gerak peluru pada
bidang (x,y) maupun bidang (x,y,z). Simulasi ini dapat digunakan sebagai media
pembelajaran, sehingga memudahkan kita dalam memahamai teori gerak peluru tersebut.
Berkenaan dengan materi gerak peluru, Hidayat (2006) telah mengkaji mengenai
model gerak peluru tanpa hambatan dan dengan hambatan linier tanpa mengalami spin.
Dalam kajian tersebut, Hidayat mengalisis perbedaan antara gerak peluru tanpa hambatan
udara dan peluru dengan hambatan linier terhadap lintasan, ketinggian maksimum dan jarak
maksimum. Masih berkenaan dengan gerak peluru, Evans (2004) mengkaji tentang gerak
peluru dengan hambatan linier dan gerak peluru dengan hambatan kuadratik. Evans
menerangkan bahwa luas permukaan peluru mempengaruhi jenis hambatannya dimana jika
luas permukaannya kecil maka hambatannya linier dan sebaliknya untuk hambatan kuadratik.
Benacka (2009) menggunakan metode Euler untuk menyelesaikan masalah gerak
peluru dengan hambatan kuadratik. Metode ini memiliki tingkat ketelitian yang rendah
karena hanya memperhitungkan dua suku pertama sedangkan suku-suku setelahnya
diabaikan. Ainurofiq (2011) telah mengkaji tentang gerak peluru tanpa rotasi, tanpa
hambatan, dengan hambatan linier, dan hambatan kuadratik melalui variasi parameter yang
mempengaruhi gerak peluru. Ainurofiq telah menggunakan metode Runge-Kutta yang
memiliki ketelitian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan metode yang digunakan pada
penelitian sebelumnya. Pada proyek ini akan dibahas tentang gerak peluru yang mengalami
rotasi dalam pergerakannya dengan metode Runge-Kutta untuk hambatan udara kuadratik.

1.2 Perumusan Masalah


Permasalahan yang bisa kita angkat berdasarkan latar belakang diatas yaitu
bagaimana gerak peluru apabila dengan tidak adanya hambatan, dengan adanya hambatan
linier (udara) dan dengan kuadratik (udara), dan beberapa parameter yang mempengaruhi
gerak peluru divariasi. Bentuk peluru yang digunakan adalah bola, maka dari itu parameter
yang akan divariasikan dan ditinjau korelasinya yaitu jari-jari peluru, massa peluru,
kecepatan awal, kecepatan sudut, posisi awal, dan sudut tembakan. Selain itu metode numerik
yang akan digunakan bukan metode Euler karena kurang memiliki ketelitian yang baik,
melainkan menggunakan metode Runge-Kutta untuk menyelesaikan gerak peluru dengan
hambatan kuadratik (udara).
1.3 Tujuan
Dari perumusan masalah diatas, dapat ditentukan tujuan dari proyek ini yaitu untuk
mendapatkan profil gerak peluru yang mengalami rotasi tanpa hambatan, dengan hambatan
linier dan hambatan kuadratik apabila parameter yang mempengaruhi gerak peluru tersebut
diubah-ubah, dengan metode Runge-Kutta untuk hambatan kuadratiknya.

BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Persamaan Diferensial

Persamaan diferensial adalah gabungan antara fungsi yang tidak diketahui secara
eksplisit dan turunan (diferensial)-nya. Contohnya persamaan gerak sistem pegas.
d2 x
dx
m 2 +c + kx=0
dt
dt
dengan m adalah massa pegas, k tetapan pegas, c koefisien redaman dan x posisi sebuah titik
pada pegas. Karena x adalah fungsi dari t, maka persamaan di atas dapat ditulis sebagai
mx (t)+cx'(t)+kx(t)=0
mx + cx' + kx=0 (2.1.1)
atau
Persamaan (2.1.1) mengandung fungsi x(t) yang tidak diketahui rumus eksplisitnya, turunan
pertamanya x(t), dan turunan kedua x(t). Arti fisis diferensial adalah laju perubahan sebuah
peubah terhadap peubah lain. Pada persamaan (2.1.1), x(t) menyatakan laju perubahan posisi
pegas x terhadap waktu t.
Kelompok Persamaan Diferensial
Persamaan diferensial dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu persamaan
diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial.
1. Persamaan Diferensial Biasa (PDB) Ordinary Differential Equation (ODE)
PDB adalah persamaan diferensial yang hanya mempunyai satu peubah bebas.
Peubah bebas biasanya disimbolkan dengan x.
dy
=x+ y
Contoh: (i)
dx
(ii)
(iii)

y ' =x 2+ y 2
2

dx 2
+ x y y=0
dy

(iv)

y + y ' cos x3 y=sin 2 x

(v)

2 y' ' ' 23 y ' =1 y ' '

Peubah bebas untuk contoh (i) sampai (v) adalah x, sedangkan peubah terikatnya
adalah y, yang merupakan fungsi dari x, atau ditulis sebagai y=g ( x ) .
Berdasarkan turunan tertinggi yang terdapat di dalam persamaannya, PDB dapat
dikelompokkan menurut ordenya, yaitu:
a) PDB orde 1, yaitu PDB yang turunan tertingginya adalah turunan pertama.
Contoh: (i), (ii), (iii).
b) PDB orde 2, yaitu PDB yang turunan tertingginya adalah turunan kedua.
Contoh: (iv).
c) PDB orde 3, yaitu PDB yang turunan tertingginya adalah turunan ketiga.
Contoh: (v).
d) dan seterusnya untuk PDB dengan orde yang lebih tinggi.
PDB orde dua ke atas dinamakan juga PDB orde lanjut.

2. Persamaan Diferensial Parsial (PDP) Partial Difference Equation (PDE)


PDP adalah persamaan diferensial yang mempunyai lebih dari satu peubah bebas.
Turunan fungsi terhadap setiap peubah bebas dilakukan secara parsial.
2 u 2 u
+ 2 =6 xy e x+ y ( u=g ( x , y ) )
2
Contoh: (i)
x y
(ii)

2
u
2 u
2 u
=3sin ( x +t )+ 2 + ( 1+ x ) 2 ( u=g ( x , y ,t ) )
t
x
y

Peubah bebas untuk contoh (i) adalah x dan y, sedangkan peubah terikatnya
adalah u yang merupakan fungsi dari x dan y, atau ditulis sebagai u=g ( x , y ) .
Sedangkan peubah bebas untuk contoh (ii) adalah x, y, dan t, sedangkan peubah
terikatnya adalah u, yang merupakan fungsi dari x, y, dan t, atau ditulis sebagai
u=g ( x , y , t ) .

PDB Orde 1
Bentuk baku PDB orde satu dengan nilai awal ditulis sebagai
y ' =f ( x , y )

Catatan: kadang

(2.1.2)
dy
y ' ditulis sebagai dx . Jadi,

'

y=

dy
.
dx

PDB orde satu yang tidak mengikuti bentuk baku tersebut harus ditulis ulang menjadi
bentuk persamaan (2.1.2), agar ia dapat diselesaikan secara numerik.
2 y' +xy=100 ; y ( 0 ) =1
Contoh:
(i)
Bentuk baku:
(ii)

x y ' +

y'=

100xy
; y ( 0 )=1
2

2y
= y ' y ; y ( 1 )=1
x

Bentuk baku:

2y
+y
x
'
y=
; y ( 1 )=1
1+ x

Penyelesaian PDB secara numerik berarti menghitung nilai fungsi di xr+1 = xr +h,
dengan h adalah ukuran langkah (step) setiap lelaran. Pada metode analitik, nilai awal
berfungsi untuk memperoleh solusi yang unik, sedangkan pada metode numerik nilai
awal (initial value) pada persamaan (2.1.2) berfungsi untuk memulai lelaran. Terdapat
beberapa metode numerik yang sering digunakan untuk menghitung solusi PDB,
mulai dari metode yang paling dasar sampai dengan metode yang lebih teliti, yaitu:
1. Metode Euler
2. Metode Heun
3. Metode Deret Taylor
4. Metode Runge-Kutta

2.2 Gerak Peluru


Gerak adalah perubahan posisi suatu benda terhadap titik acuan. Titik acuan sendiri
didefinisikan sebagai titik awal atau titik tempat pengamat. Berdasarkan lintasannya gerak
dibagi menjadi tiga yaitu gerak lurus apabila lintasannya berbentuk lurus, gerak parabola
apabila lintasannya berbentuk parabola, dan gerak melingkar apabila lintasannya berbentuk
lingkaran. Gerak juga dibagi berdasarkan percepatannya yaitu gerak beraturan apabila gerak
yang percepatannya sama dengan nol atau gerak yang kecepatannya konstan dan gerak
berubah beraturan adalah gerak yang percepatannya konstan atau kecepatannya berubah
secara teratur.
Dalam proyek ini peluru mengalami spin sehingga terjadi perubahan gerak pada
benda. Perpindahan gerak pada benda terjadi karena dua yaitu karena perputaran benda dan
pengaruh angin. Beberapa jenis gerak peluru yang akan dibahas dalam proyek ini yaitu gerak
peluru tanpa hambatan udara, gerak peluru dengan hambatan linier, dan gerak peluru dengan
hambatan kuadratik.
1.1 Model Gerak Peluru Tanpa Hambatan
Gerak peluru tanpa hambatan udara adalah gerak benda yang diberikan kecepatan awal
pada suatu ketinggian tertentu serta lintasannya hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi
(Sarojo, 2002). Menurut hukum Newton II, gerak peluru tanpa hambatan udara dapat
dimodelkan seperti pada persamaan,

(2.2.1)
Persaman (2.2.1) dapat dituliskan dalam bentuk sepasang persamaan sebagai berikut:
(2.2.2)
(2.2.3)
dengan r(t) = x(t)i + y(t)j, persamaan (2.2.2) merupakan PDB orde dua homogen
sedangkan persamaan (2.2.3) merupakan PDB orde dua nonhomogen. Jika kedua
persamaan tersebut diberikan kecepatan awal dan kecepatan sudut pada saat t0 = 0
adalah v(t0) dan (t0), vektor posisi, kecepatan awal dan kecepatan sudut adalah r(t0),
v(t0) dan (t0), maka akan menghasilkan solusi umum dari posisi benda seperti pada
persamaan,
(2.2.4)
dimana v(t0) = (v(t0) cos )i + (v(t0) sin )j, (t0) = ((t0) cos )i + ((t0) sin )j dan r(t0)
= x(t0)i +y(t0)j serta merupakan sudut elevasi yang dibentuk oleh v(t0) terhadap garis
horizontal dan merupakan sudut elevasi yang dibentuk oleh (t0) dan jari-jari bola.
1.2 Model Gerak Peluru Dengan Hambatan Linier
Gerak peluru dengan hambatan linier adalah gerak benda yang diberikan kecepatan awal
dengan sudut elevasi pada suatu ketinggian tertentu serta lintasannya dipengaruhi oleh
gaya gravitasi dan gaya hambat udara, dimana gaya hambat udara ini dapat dituliskan
dengan rumus: Flinier = -6rv, (Sarojo, 2002). Hambatan linier terjadi pada udara yang
mempunyai viskositas tinggi, benda yang mempunyai jari-jari kecil serta kecepatan benda
yang relatif kecil. Akan tetapi, tiga kriteria tersebut masih belum jelas nilai batasannya

sehingga digunakan bilangan Reynold untuk mengatasi masalah tersebut. Bilangan


Reynold yang sering digunakan untuk menentukan hambatan linier yaitu: R e < 0,1 (Olson
& Wright, 1993). Menurut hukum Newton II, gerak peluru dengan hambatan linier dapat
dimodelkan seperti pada persamaan,
(2.2.5)
dimana k = 6r. Persamaan (2.2.5) dapat dituliskan dalam bentuk sepasang persamaan
sebagai berikut,
(2.2.6)
(2.2.7)
persamaan (2.2.6) dan (2.2.7) merupakan PDB orde dua nonhomogen. Jika kedua
persamaan tersebut diberikan nilai awal maka akan menghasilkan solusi umum dari posisi
benda seperti pada persamaan,

(2.2.8)
1.3 Model Gerak Peluru Dengan Hambatan Kuadratik
Pada subsubbab 1.2 telah dijelaskan mengenai gerak peluru dengan hambatan linier
dimana hambatan tersebut berlaku pada Re < 0,1 sehingga untuk kekentalan udara yang
rendah, jari-jari yang relatif besar serta kecepatan yang relatif besar atau R e 0,1
digunakan istilah hambatan kuadratik dimana besar gaya hambat ini dituliskan dengan
1
rumus: Fkuadratik = - 2 ACdv2 , dengan A merupakan luas karakteristik (luas proyeksi
ortogonal bagian depan benda) dan Cd merupakan koefisien gesek. Menurut hukum
Newton II, gerak peluru dengan hambatan kuadratik dapat dimodelkan seperti pada
persamaan,

dimana h =

1
2 ACd

(2.2.9)
.

Persamaan (2.2.9) dapat dituliskan dalam bentuk sepasang

persamaan sebagai berikut.


(2.2.10)
(2.2.11)
persamaan (2.2.10) dan (2.2.11) merupakan PDB orde dua nonlinier yang masih
digabungkan sehingga persamaan tersebut sulit sekali untuk diselesaikan secara analitik.
Oleh karena itu, kedua persamaan tersebut dapat diselesaikan menggunakan metode
numerik (Evans, 2004).

2.3 Bilangan Reynold


Osborne Reynold adalah seorang fisikawan yang lahir pada tanggal 23 Agustus 1842
di Belfast, Irlandia Utara. Pada tahun 1983 beliau berjasa besar karena telah
mengemukakan bilangan Reynold. Bilangan Reynold adalah bilangan tak berdimensi
yang bergantung pada rapat massa, viskositas, diameter dan kecepatan. Dalam kasus
gerak peluru, bilangan Reynold biasanya digunakan dalam acuan menentukan jenis
hambatan, koefisien hambatan dan batas-batas arus pada permukaan peluru yang bersifat
laminer atau turbulen. Arus laminer adalah aliran fluida yang bergerak dengan kondisi
lapisan-lapisan (lamina-lamina) membentuk garis-garis alir yang tidak berpotongan satu
sama lain sedangkan arus turbulen adalah aliran fluida yang partikel-partikelnya bergerak
secara acak dan tidak stabil dengan kecepatan berfluktuasi yang saling interaksi
(Taufik,2011). Karena aliran turbulen lebih acak maka hambatan pada aliran turbulen
lebih besar daripada hambatan pada aliran Laminer. Dalam matematis Bilangan Reynold
dapat dituliskan seperti pada persamaan,
(2.3)
dimana adalah viskositas dari udara, D adalah diameter benda, adalah kerapatan udara
dan yang terakhir v adalah kecepatan. Dari persamaan (2.3) dapat dilihat bahwa Bilangan
Reynold berbanding lurus dengan kecepatan dan diameter hal ini membuktikan bahwa
semakin besar kecepatan dan diameter dari peluru maka semakin besar pula Bilangan
Reynold. Sedangkan viskositas dan kerapatan dianggap konstan. Pada hambatan udara
linier, di mana Re 105, nilai Cd (telah dibahas di sub-bab sebelumnya) dibatasi hanya
pada 0.5, sedangkan pada hambatan udara kuadratik, di mana R e > 105, Cd dibatasi hanya
pada 0.2.
2.4 Gaya Gesek
Selain gaya gravitasi, ada sebuah gaya lain yang mempengaruhi pergerakan peluru pada
proyek ini yaitu gaya gesek, di mana gaya tersebut arahnya selalu berlawanan dengan
arah gerak benda. Gaya gesek sendiri merupakan gaya yang ditimbulkan oleh dua
pemukaan yang saling bersentuhan, di mana semakin kasar permukaan maka akan
semakin besar gaya gesek yang dihasilkan. Dalam gerak peluru yang ditinjau gaya gesek
yang terjadi adalah gaya antara benda padat bola dengan udara, yang disebut gaya
hambat udara. Gaya hambat udara secara umum dirumuskan seperti pada persamaan,
Fu =f ( v ) v^
2

dimana f ( v )=kv +h v =f linier +f kuadratik


k

dan h adalah konstanta.

BAB III
METODE
3.1 Metode Runge-Kutta
Penyelesaian PDB dengan metode deret Taylor tidak praktis karena metode tersebut
membutuhkan perhitungan turunan f ( x , y ) . Lagipula, tidak semua fungsi mudah
dihitung turunannya, terutama bagi fungsi yang bentuknya rumit. Semakin tinggi orde
metode deret Taylor, semakin tinggi turunan fungsi yang harus dihitung. Karena
pertimbangan ini, metode deret Taylor yang berorde tinggi pun tidak dapat diterima dalam
masalah praktek.
Metode Runge-Kutta adalah alternatif lain dari metode deret Taylor yang tidak
membutuhkan perhitungan turunan. Metode ini berusaha mendapatkan derajat ketelitian
yang lebih tinggi, dan sekaligus menghindarkan keperluan keperluan mencari turunan
yang lebih tinggi dengan jalan mengevaluasi fungsi f (x , y ) pada titik terpilih dalam
setiap selang langkah. Metode Runge-Kutta adalah metode PDB yang paling populer
karena banyak dipakai dalam praktek.
Bentuk umum metode Runge-Kutta orde-n adalah:
y r +1= y r +a 1 k 1+ a2 k 2+ +a n k n
(3.1)
dengan

a1 , a2 , , an

adalah tetapan, dan


k 1=hf ( x r , y r )

k 2=hf ( xr + p 1 h , y r +q 11 k 1 )
k 3 =hf (x r + p2 h , y r + q21 k 1 +q 22 k 2 )

k n =hf ( x r + p n1 h , y r + qn1,1 k 1 +q n1,2 k 2+ +q n1,n1 k n1)

Nilai

ai , p i , q ij

dipilih sedemikian rupa sehingga meminimumkan galat per langkah,

dan persamaan (3.1) akan sama dengan metode deret Taylor dari orde setinggi mungkin.
n +1
Galat per langkah metode Runge-Kutta orde-n: O(h )
n

Galat akumulasi (longgokan) metode Runge-Kutta orde-n: O(h )


Orde metode = n.
Metode Runge-Kutta Orde Satu

Metode Runge-Kutta orde satu berbentuk:


k 1=hf (x r , y r)
y r +1= y r +(a1 k 1 )

(3.2)
2

Galat per langkah metode R-K orde satu adalah O(h )


Galat longgokan metode R-K orde satu adalah O(h)
Yang termasuk ke dalam metode R-K orde satu adalah metode Euler:
k 1=hf ( x r , y r )
y r +1= y r +k 1

(dalam hal ini

a1=1

(3.3)

Metode Runge-Kutta Orde Dua


Metode Runge-Kutta orde dua berbentuk:
k 1=hf (x r , y r)
k 2=hf ( xr + p 1 h , y r +q 11 k 1 )
y r +1= y r + ( a1 k 1+ a2 k 2 )

3
Galat per langkah metode R-K orde dua adalah O ( h )
2
Galat longgokan metode R-K orde dua adalah O(h )

Nilai

a1 , a2 , p1 , q11

f r=f ( xr , y r )

Misalkan,
f x=

ditentukan sebagai berikut:

f ( xr , yr )
f ( xr , yr )
, dan f y =
x
y

Uraikan

k2

ke dalam deret Taylor di sekitar ( x r , y r) sampai suku orde ke satu saja:

k 2=hf ( xr + p 1 h , y r +q 11 k 1 )
h ( f + p 1 h f x +q 11 k 1 f y )
h ( f + p 1 h f x +q 11 hf f y )
h(f +h ( p1 f x + q11 f f y ) )
Sedangkan,

k1

tidak perlu diuraikan karena sudah berapa dalam bentuk

Jadi,
y r +1= y r + ( a1 k 1+ a2 k 2 )
2

y r +a 1 h f r +a2 h f r +a2 h ( p1 f x + q11 f f y )

(x r , y r) .

a
( 1+a2 ) h f r + a2 h 2( p 1 f x +q 11 f f y )
y r +
Y r +1

Uraikan

sejati di sekitar

xr

(3.4)
sampai suku orde dua saja:

1
Y r +1= y r +h y ' r + h2 y ' ' r
2
Mengingat

(3.5)

y ' r=f ( x r , y r )=f r

x
( r , y r ) f dx f dy
df
=
+
=f + f f =f + f f y
dx
x dx y dy x y r x
y ' ' r=f ' ( x r , y r ) =
maka persamaan (3.5) menjadi
1 2
y r +1= y r +hf + h ( f x + f y f r)
2

(3.6)

Galat per langkah metode adalah:


E p= (3.6 )(3.4)
a
( 1+a2 ) h f r + a2 h 2( p 1 f x +q 11 f f y )}
1
y r +hf + h 2 ( f x + f y f r ) { y r +
2

a
( 1+a2 ) h f r + a2 h 2( p 1 f x +q 11 f f y )}
1
hf + h2 ( f x + ff y ) {
2

Dengan membuat galat per langkah

E p=0

a
( 1+a2 ) h f r + a2 h 2( p 1 f x +q 11 f f y )
1
hf + h 2 ( f x + ff y ) =
2

Agar ruas kiri dan ruas kanannya sama, haruslah


a1 +a 2=1
a2 p 1=

1
2

a2 q11 =

1
2

Karena sistem persamaan di atas terdiri dari tiga persamaan dengan empat peubah yang
tidak diketahui, maka solusinya tidak unik, dengan kata lain solusinya banyak. Solusi

yang unik hanya dapat diperoleh dengan memberikan sebuah peubah dengan sebuah
a =t , t R ,
harga. Misalkan ditentukan nilai 2
maka
a1=1
p1=

a2=1t

1
1
=
2 a2 2 t

q11 =

1
1
=
2 a2 2 t

Karena kita dapat memberikan sembarang nilai t, berarti metode R-K orde kedua tidak
terhingga banyaknya.
Metode Runge-Kutta Orde Tiga
Metode R-K yang terkenal dan banyak dipakai dalam praktek adalah metode R-K orde
tiga dan metode R-K orde empat. Kedua metode tersebut terkenal karena tingkat
ketelitian solusinya tinggi (dibandingkan metode R-K orde sebelumnya), mudah
diprogram dan stabil. Metode R-K orde tiga berbentuk:
k 1=hf (x r , y r)
1
1
k 2=hf x r + h , y r + k 1
2
2

k 3 =hf ( xr +h , y rk 1+ 2k 2 )
1
y r +1= y r + (k 1 + 4 k 2 +k 3)
6
4
Galat per langkah metode R-K orde tiga adalah O(h )
3
Galat longgokan metode R-K orde tiga adalah O(h )

Metode Runge-Kutta Orde Empat


Dengan cara penurunan R-K orde dua, orde empat RK adalah
k 1=hf (x r , y r)
1
1
k 2=hf x r + h , y r + k 1
2
2

1
1
k 3 =hf x r + h , y r + k 2
2
2

(
(

k 4=hf ( x r +h , y r + k 3 )
1
y r +1= y r + (k 1 +2 k 2 +2 k 3 +k 4 )
6
3
Galat per langkah metode R-K orde empat adalah O(h )
2
Galat longgokan metode R-K orde empat adalah O(h )

Metode R-K orde yang lebih tinggi tentu memberikan solusi yang semakin teliti. Tetapi
ketelitian ini harus dibayar dengan jumlah komputasi yang semakin banyak. Jadi ada timbalbalik (trade-off) dalam memilih suatu metode Runge-Kutta.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL

Hasil dengan hambatan Re<0.1

Hasil dengan hambatan Re>0.1

Hasil tanpa hambatan

4.2 PEMBAHASAN

Pada program yang telah dibuat mengenai gerak peluru telah didapatkan bentuk
grafik gerak peluru. Grafik gerak peluru yang dihasilkan dari program dapat dipengaruhi oleh
faktor adanya hambatan.Dari adanya hambatan tersebut dapat diketahui bentuk grafik dan
perbedaan bentuk grafik gerak peluru akibat adanya hambatan ataupun tanpa ada hambatan.
Pada grafik gerak peluru tanpa adanya hambatan,bentuk grafik gerak peluru seperti grafik
gerak peluru pada umumnya.Sedangkan grafik gerak peluru akibat adanya hambatan
dipengaruhi oleh bilangan Reynold(Re).
Pada hambatan linier yang mempunyai bilangan Reynold kurang dari 0,1 (Re <
0,1), bentuk grafik gerak peluru yang dihasilkan seperti bentuk grafik gerak peluru tanpa ada
hambatan.Namun, kecepatan peluru akan berkurang lebih cepat sehingga grafik yang
dihasilkan akan lebih cepat mengalami penurunan.Pada hambatan kuadratik yang mempunyai
bilangan Reynold lebih dari 0,1 (Re > 0,1),bentuk grafik gerak peluru yang dihasilkan lebih
curam dibandingkan grafik gerak peluru akibat hambatan linier.

BAB V
KESIMPULAN

Daftar Pustaka

LAMPIRAN

Lampiran 1:
Listing program

import numpy as np
from numpy import *
import matplotlib.pyplot as plt
#PENGINPUTAN
x0=input("x0= ")
y0=input("y0= ")
r=input("r= ")
theta=input("theta= ")
m=input("m= ")
vo=input("v0= ")
con=input("Pakai Hambatan? 1(iya) 2(tidak): ")
theta1=theta
r1=r
m1=m
vo1=vo
#PERUMUSAN AWAL
th0=theta*pi/180;
t0=0
g=9.8
rho=1.293 #koefisien hambatan udara
vis=0.018
phi=3.14
D=2*r
Re=rho*D*vo/vis #bilangan Reynolds
f=1
F=vis*rho*D**3*f*vo1
a=F/m
if con==1: #UNTUK YANG DENGAN HAMBATAN
if Re<0.1: #UNTUK Re<0.1
k=6*phi*vis*r
kL=k/m
xL=x0
yL=y0
S=0
t1=t0
delt=0.0001
N=1000 #N BISA DI UBAH SESUAI KEINGINAN
for i in range (2,N+1):
t=t1+(i-1)*delt
xL=xL+(vo*m/k)*math.cos(th0)*(1-math.exp(-k*t/m))
yL=yL+(vo*m/k)*math.sin(th0)*(1-math.exp(-k*t/m))+(g*m**2/
(k**2))*(1-k*t/m-math.exp(-k*t/m))
S=S+vo1*delt+0.5*a*delt**2
plt.plot(xL,yL,'r+')
plt.show()

else: #UNTUK Re>0.1


xK=x0
yK=y0
A=phi*r**2
delt=0.001
N=1000 #N BISA DI UBAH SESUAI KEINGINAN
if Re>10000:
cd=0.2
else:
cd=0.5

S=0
h=0.5*A*rho*cd
hK=h/m; vx0=vo*cos(th0)
vy0=vo*sin(th0)
for i in range (2,N+1):
vxt=vx0
vyt=vy0
k1x=-(h/m)*sqrt((vxt)**2+(vyt)**2)*vxt
k2x=-(h/m)*sqrt((vxt+0.5*k1x*delt)**2+
(vyt+0.5*k1x*delt)**2)*(vxt+0.5*k1x*delt)
k3x=-(h/m)*sqrt((vxt+0.5*k2x*delt)**2+
(vyt+0.5*k2x*delt)**2)*(vxt+0.5*k2x*delt)
k4x=-(h/m)*sqrt((vxt+k3x*delt)**2+
(vyt+k3x*delt)**2)*(vxt+k3x*delt)
vxt=vxt+(delt/6)*(k1x+2*k2x+2*k3x+k4x)
k1y=-g-(h/m)*sqrt((vxt)**2+(vyt)**2)*vyt
k2y=-g-(h/m)*sqrt((vxt+0.5*k1y*delt)**2+
(vyt+0.5*k1y*delt)**2)*(vyt+0.5*k1y*delt)
k3y=-g-(h/m)*sqrt((vxt+0.5*k2y*delt)**2+
(vyt+0.5*k2y*delt)**2)*(vyt+0.5*k2y*delt)
k4y=-g-(h/m)*sqrt((vxt+k3y*delt)**2+(vyt+k3y*delt)**2)*
(vyt+k3y*delt)
vyt=vyt+(delt/6)*(k1y+2*k2y+2*k3y+k4y);
xK=xK+vxt*delt
yK=yK+vyt*delt
S=S+vo1*delt+0.5*a*delt**2
plt.plot(xK,yK,'r+')

plt.show()

elif con==2: #UNTUK TANPA HAMBATAN


delt=0.001
N=1000 #N BISA DI UBAH SESUAI KEINGINAN

S=0
for i in range (2,N+1):
t=t0+(i-1)*delt
xN=x0+vo*t*cos(th0)
yN=y0+vo*t*sin(th0)-(g/2)*t*t
S=S+vo1*delt+0.5*a*delt**2
plt.plot(xN,yN,'r+')
plt.show()

else: #UNTUK KESALAHAN INPUT


print "NOMOR YANG ANDA MASUKKAN SALAH"

FLOWCHART

START

Input: x0
y0
r
theta
m
vo
vo1

theta=theta1
r=r1; m=m1;vo=vo1;
th0=theta*pi/180;
t0=0;
g=9.8;
rho=1.293;
vis=0.018;
phi=3.14;
D=2*r;
Re=rho*D*vo/vis;
f=1;
F=vis*rho*D^3*f*vo1;
a=F/m;
S(1,1)=0;

dengan Hambatan?
NO

B
YES
if Re<0.1

YES
A

NO

Anda mungkin juga menyukai