Anda di halaman 1dari 5

Manggaro, April 2011 Vol.12 No.

1:39- 43

PATOGENISITAS Steinernema sp. ISOLAT BENGKULU TERHADAP RAYAP


(Coptotermes curvignathus Holmgren)
Djamilah1), Priyatiningsih1), Sugeng Widiarto1)
1)

Jurusan perlindungan tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu


ABSTRACT

Biological control could be an alternative to pesticide in managing plants pest. One of natural enemy used
for biological control is insect pathogenic nematode.The research treatments consisted of two factors. The first
factors was Steinernema sp. Isolates, consisting of nine isolates: 3 isolates from Seluma(S.SM- Semidang Alas
Maras rubber plantation, S.TA Talo oil palm plantation), S.SK Sukaraja corn field), 3 isolates from Bengkulu
Selatan (Bs.PN Pinoraya rubber plantation), Bs.SG (Seginim oil palm plantation), Bs.KR Kedurang corn
plantation), and 3 isolates from Kaur (K.TB Tanjung Bulan rubber plantation, K.TK Tanjung Kemuning oil
palm plantation and K.TI Tanjung Iman corn plantation). The second factor was Steinernema sp. density, i.e. 200
IJ. ml-1, 400 IJ. ml-1 and control without inoculation. Treatments were arranged in a Randomized Complete Design
with three replications. Termites Coptotermes curvignathus were used as model. Results demonstrate that
Steinernema sp. Isolated from three plant ecosystems (rubber, oil palm and corn) from three districts (Seluma, South
Bengkulu and Kaur) could infect and kill the tested C. curvignathus at 200 IJ. ml-1 and 400 IJ. ml-1 . The highest
mortality of C. curvignathus was found in treatment with isolate from Seluma, Semidang Alas Maras from rubber
ecosystem at 400 IJ. ml-1 , which reduced eating capacity, killed 100% termites, and fasten the killing 45,46 hours
(i.e. 72 hours after inoculation). The symptoms of infected C. curvignathus were reduced body movement, reduced
power, changing body color from white to brownie black, and damaged internal body.
Key word: Steinernema sp., termites, Coptotermes curvignathus
PENDAHULUAN
Nematoda Patogen Serangga (NPS)
potensinya sebagai agen pengendali hayati sangat
besar untuk dikembangkan karena dapat dengan
mudah dikulturkan secara massal, mempunyai
kemampuan mencari inangnya, dapat membunuh
inangnya dengan cepat dan bersifat broad spectrum
(Rosmana et al.,1998). Dari beberapa laporan, NPS
dapat menyerang serangga tanah di antaranya dari
ordo Coleoptera, Lepidoptera, Hymenoptera, Diptera
dan Isoptera (Begley, 1990), Orthoptera (Nguyen,
1999) dan Homoptera (Septiani, 2006).
NPS tersebar di seluruh Indonesia dan telah
diuji efektifitasnya terhadap berbagai spesies
serangga di rumah kaca maupun di lapangan. Bakti
(2004) melaporkan bahwa nematoda Steinernema
carpocapsae Weiser pada kerapatan 250-300 JI/ml
dapat mengendalikan hama rayap Coptotermes
curvignathus Holmgren di perkebunan kelapa sawit
hingga 95 % . Mannion dan Gibb (2000) melaporkan
bahwa uji efektifitas nematoda dari genus
Steinernema dan Heterorhabditis dengan insektisida
(holofenolide) terhadap larva kumbang jepang
(Popilla japonica) didapatkan kematian larva
kumbang jepang oleh nematoda sebesar 100%,
sedangkan perlakuan pestisida kimia hanya
menyebabkan kematian sebesar 60 %. Ini
menunjukkan bahwa patogenesitas NPS lebih tinggi
jika dibandingkan daya racun pestisida kimia.
Instar ketiga dari nematoda ini disebut
juvenil infektif (JI) yang merupakan satu-satunya
stadium yang hidup bebas di luar inang dan mampu
menginfeksi di dalam tubuh serangga 7-10 hari
hingga muncul JI generasi baru (Bedding, 1990).

Nematoda ini berasosiasi secara mutualisme dengan


bakteri Xenorhabdus yang juga patogenik terhadap
serangga inang (Gaugler dan Kaya, 1990; Tanada dan
Kaya, 1993). Nematoda masuk ke dalam tubuh
serangga melalui lubang-lubang alami (mulut, anus,
spirakel) atau secara langsung melalui integumen
(dinding tubuh) serangga sambil melepaskan bakteri
simbionnya yang dapat mengeluarkan toksin ke
dalam saluran pencernaan tubuh serangga dan dapat
menyebabkan kematian 24-48 jam setelah aplikasi
(Beomare, 2002).
Pengujian di laboratorium, rumah kaca dan
lapangan menunjukkan bahwa NPS Indonesia lebih
efektif dibandingkan isolat introduksi (Chaerani dan
Kardin, 1999), sehingga usaha eksplorasi terhadap
NPS perlu dilakukan untuk pengendalian serangga
hama dan tidak menutup kemungkinan akan didapat
isolat yang lebih virulen terhadap hama yang
menyerang tanaman di daerah setempat. Eksplorasi
NPS telah dilakukan dari beberapa daerah di
Bengkulu dan diuji pada serangga hama, hasilnya
cukup baik. Sehingga peluangnya cukup besar untuk
pengendalian rayap di perkebunan.
Rayap
(Coptotermes
curvignathus)
merupakan hama yang bersifat polifag, hidup secara
berkelompok,
banyak
menyerang
tanaman
perkebunan dan tanaman tahunan antara lain karet,
sawit, mangga, coklat, alpokat, nangka durian teh,
kina, kayu jati,sengon pinus, randu, dan kapas
(Ridwanti, 2002). Prawirosoekarto et al.,(1991)
melaporkan kerusakan yang disebabkan serangan
rayap pada perkebunan sawit dan karet Marihat
Medan berkisar 10-35%. Perluasan areal perkebunan
dan pemukiman menyebabkan habitat rayap di alam
menjadi terganggu, ketersediaan tanaman yang sudah

Manggaro, April 2011 Vol.12 No.1:39- 43


mati kering sebagai makanan rayap berkurang
sehingga rayap menyerang tanaman perkebunan dan
tanaman tahunan untuk bahan bangunan serta
industri, kerugian yang ditimbulkan mencapai 1,2
triliun rupiah pertahun (Mahardika, 2001)
Tindakan pengendalian dalam menekan
populasi hama yang dilakukan pada umumnya masih
mengandalkan bahan kimia seperti insektisida yang
berdampak negatif terhadap lingkungan. Untuk
mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
yang
ditimbulkan
oleh
insektisida,
mulai
dikembangkan usaha pengendalian hama yang ramah
lingkungan dengan memanfaatkan musuh alami
serangga hama seperti nematoda patogen serangga
Steinernema sp. dari beberapa ekosistem pertanaman
yang ada di Bengkulu .
BAHAN DAN METODE
Nematoda dan serangga
Nematoda diisolasi dari daerah yang ada di
tiap Kabupaten Bengkulu bagian selatan yang
mempunyai ketinggian tempat yang berbeda, di
setiap daerah diambil sampel tanah pada pertanaman
karet, sawit dan jagung. Isolasi nematoda
Steinernema
sp.
dilakukan
dengan
teknik
pemancingan menggunakan Ulat bambu. Setiap
sampel tanah yang diambil diletakkan ke dalam
nampan plastik, kemudian disemprot aquades dan
ditambahkan potongan bambu sebagai pakan larva.
Larva Ulat bambu diletakkan di nampan yang telah
berisi sampel tanah. Isolasi nematoda dari kadver
ulat bambu dilakukan berdasarkan metode
White(1972) yang dimodifikasi dalam Hara et al.
(1991).
Masing-masing Steinernema sp. dari
berbagai isolat yang berbeda dan telah diidentifikasi
diperbanyak dengan teknik yang sederhana. yaitu ulat
bambu diletakkan dalam cawan petri yang sudah
dilapisi dengan kertas saring kemudian diinokulasi
dengan Steinernema sp. yang didapat, kemudian
diinkubasi selama tujuh hari. Untuk mendapatkan JI
Steinernema sp. dilakukan dengan cara yang sama
dengan di atas tetapi cawan petri kecil dimasukkan
dalam petri yang lebih besar yang berisi sedikit air.
Setelah tujuh hari JI Steinernema sp. berkumpul pada
air di petri besar. Perbanyakan nematoda dilakukan

40
hingga jumlah nematoda yang dibutuhkan terpenuhi.
Serangga uji untuk perlakuan adalah rayap kasta
pekerja diperoleh dari perkebunan karet dan sawit di
Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten
Seluma.
Uji patogenisitas Isolat Steinernema sp. terhadap
Rayap Kasta Pekerja
Rancangan
yang
digunakan
adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor
dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah daerah atau
tempat pengambilan sampel yaitu Seluma, Bengkulu
selatan dan Kaur. Faktor kedua adalah kerapatan NPS
yang terdiri dari 200 JI/ml, 400JI/ml aquades dan
kontrol. Setiap perlakuan kerapatan digunakan 20
ekor Coptotermes curvignathus kasta pekerja per
ulangan. Petridish berdiameter 15 cm diberi agar
setebal 0,5 cm, diatasnya diberi kertas saring dua
lapis, serangga uji yang telah dilaparkan selama 3
jam dimasukkan dan diberi pakan pelepah sawit
seberat 5 gr. JI Steinernema sp. karton hitam untuk
penyesuaian seperti habitat aslinya, rayap hidup di
tempat gelap. Pengamatan dilakukan setiap 12 jam
setelah inokulasi, sekaligus menganti pakan.
Variabel Pengamatan:
Konsumsi pakan : Berat makanan awal (5
g) dikurangi berat sisa makanan setelah 12 jam setiap
pengamatan Gejala rayap yang terinfeksi:
Pengamatan dilakukan 12 jam sekali dengan melihat
perubahan yang terjadi pada rayapsetelah diinokulasi
NPS. Perubahan yang diamati diantaranya adalah
perubahan gerak atau aktifitas rayap dan warna
tubuhnya. Waktu yang dibutuhkan NPS dalam
menyebabkan mortalitas rayap: dihitung mulai
dari inokulasi sampai rayap mati dalam setiap
ulangan. Persentase Kematian rayap: Pengamatan
dilakukan 12 jam sekali sampai rayap salah satu
perlakuan mati 100%. Jumlah NPS per individu
rayap: Setelah rayap pada perlakuan mati maka
dilakukan pengamatan jumlah NPS yang menginfeksi
rayap dan NPS yang terdapat dalam medium agar.
Rayap yang mati dibedah dalam petridish dan
ditambah 1-2 tetes aquades, dihitung dibawah
mikroskop stereo. Analisis data: dianalisis
menggunakan anava dan apabila berbeda nyata
dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf 5%.

Tabel 1. Rataan total pakan yang dikonsumsiC. curvignathus setelah 72 jam pengamatan
Lokasi asal Isolat
Kontrol
Semidang Alas Maras
Seluma Talo
Seluma Sukaraja
Bengkulu Selatan Pino
Bengkulu Selatan Seginim
Bengkulu Selatan Kedurang
Kaur T. Kemuning
Kaur T. Bulan
Kaur T. Iman

Ekosistem
Karet
Sawit
Jagung
Karet
Sawit
Jagung
Karet
Sawit
Jagung

Rataan pakan yang dikonsumsi C. curvignatuhus (g)


Kerapatan 200 JI/ml
Kerapatan 400 JI/ml
9,100,17 a
9,100,17 a
3,460,66 b
2,360,23
d
3,361,00 b
2,300,52
d
3,360,47 b
2,300,10
d
3,630.32 b
2,700,34 cd
3,760.56 b
3,100,30 bc
4,000.26 b
2,830,40 bcd
4,200.10 b
3,330,25 b
3,760.55 b
2,630,49 cd
3,800.62 b
2,800,55 bcd

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata (BNT; = 0.05)

Manggaro, April 2011 Vol.12 No.1:39- 43

41

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perlakuan Perlakuan NPS pada kerapatan
200 JI/ml dan 400 JI/mldapat menyebabkan
penurunan kemampuan daya makan C. curvignatus.
Pada jam ke-12 setelah aplikasi/inokulasi daya
makan rayap masih tinggi, karena nematoda yang di
aplikasikan belum banyak masuk ke dalam tubuh
rayap, sedangkan pada jam ke-24 setelah aplikasi dan
seterusnya terlihat kemampuan daya makan
rayapsudah mulai menurun.Daya makan ini sangat
dipengaruhi oleh kerapatan NPS yang diinokulasikan.
Semakin tinggi kerapatan yang diinokulasikan maka
makin rendah kemampuan daya makan serangga
yang diuji.
Dilihat dari menurunnya nafsu makan C.
curvignathus akibat perlakuan Steinernema sp.
diharapkan nematoda ini, dapat menekan populasi,
kerusakkan dan kehilangan hasil tanaman akibat
serangga hama apabila langsung diaplikasikan di
lapangan. Penelitian yang dilakukan oleh Rosmana et
al. (1998) pada serangga lain menunjukkan bahwa
pengujian NPS di lapangan dengan dosis 10.000 JI/m
dan 100.000 JI/m efektif dalam menekan populasi
larva Crocidolomia binotalis dan intensitas kerusakan
daun kubis lebih baik bila dibandingkan dengan
insektisida sintetik
Rayap yang terinfeksi oleh NPS
menunjukkan beberapa gejala yang dapat dilihat di
antaranya, gerakan rayap menjadi lambat dan bila
disentuh, rayap menunjukkan respon tidak seperti
pada rayap yang sehat. Rayap yang terinfeksi oleh
NPS menjadi lemas seperti malas bergerak, tubuh
akan menjadi lembek dan terjadi perubahan warna,
makin lama warna tubuh akan menjadi hitam
kecoklatan di seluruh tubuhnya. Bila rayap ditekan
maka akan mudah pecah dan mengeluarkan cairan
kental berwarna putih kekuningan berbau busuk serta
bagian organ dalam rayap sudah hancur.
Terjadinya gejala di atas disebabkan karena
nematoda Steinernema sp. yang telah masuk ke
dalam saluran pencernakan rayap dan memakan
bagian organ dalam, serta dipercepat dengan adanya
serangan bakteri Xenorhabdus yang bersimbiosis
dengan nematoda sehingga bagian organ dalam
menjadi hancur dan menyebabkan bau busuk. Bakteri
Xenorhabdus hidup secara simbiosis mutualisme
dengan juvenil infektif. Didalam saluran pencernaan

nematoda hidup bakteri ini dan nematoda bersifat


patogenik terhadap serangga serta mampu masuk
dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami
(mulut, anus, spirakel) atau secara langsung melalui
integumen (dinding tubuh) serangga yang lunak
(Gaugler, 2001)
Waktu kematian rayap yang diinokulasi
dengan NPS kerapatan 400 JI/ml lebih cepat bila
dibandingkan kerapatan 200 JI/ml. NPS kerapatan
400 JI/ml lebih berpeluang untuk menginfeksi masuk
melalui mulut dari makanan yang telah diinokulasi
dengan nematoda karena langsung dapat menginfeksi
ke saluran pencernakan serangga serta dibantu oleh
bakteri simbionnya yang dapat mematikan dalam
waktu relatif singkat. Dari hasil uji Anava didapatkan
bahwa antara kerapatan 200 JI/ml dengan 400 JI/ml.
terdapat perbedaan yang sangat nyata, hal ini diduga
karena perbedaan kerapatan yang diinokulasikan.
Semakin tinggi kerapatan NPS yang diinokulasikan
maka semakin cepat waktu kematian rayap yang
terjadi. Waktu yang dibutuhkan NPS untuk
mematikan rayap dari sembilan isolat yang diisolasi
dari tiga kabupaten yang ada di Bengkulu bagian
selatan baik pada kerapatan 200 JI/ml maupun 400
JI/ml berbeda tidak nyata
Hasil pengujian Steinernema sp. yang
berasal dari sembilan isolat Bengkulu bagian selatan
yang diinokulasikan terhadap rayap kasta pekerja
pada kerapatan 200 JI/ml dan 400 JI/ml dapat
membunuh serangga uji. Semakin tinggi kerapatan
NPSyang diinokulasikan maka dapat menyebabkan
tingkat mortalitas serangga uji semakin tinggi. Hasil
analisis varian menunjukkan bahwa persentase.
kematian C. curvignathus berbeda sangat nyata
antara kerapatan, dari rerata sembilan isolat tersebut
kematian pada kerapatan 400 JI/ml yang
mencapai95,83 % sedangkan pada kerapatan 200
JI/ml rerata mortalitas sembilan isolat tersebut
mencapai 87,00 %.
Tingkat persentase kematian mencapai
100% terlihat pada 72 jam setelah aplikasi yaitu
isolat Semidang Alas Maras, kerapatan 400 JI/ml
pada ekosistem karet. Hal ini kemungkinan karena
serangga uji untuk perlakuan ini lebih banyak diambil
dari ekosistem karet, serta cara perawatan dan
pemeliharaan petani masih tradisional yaitu
pembersihan gulma dengan dicangkul di sekitar areal
tanaman, pembuatan saluran air pada areal yang

Tabel 2. Waktu yang dibutuhkan oleh NPS untuk mematikan Rayap


Lokasi asal Isolat
Semidang Alas Maras
Seluma Talo
Seluma Sukaraja
Bengkulu Selatan Pino
Bengkulu Selatan Seginim
Bengkulu Selatan Kedurang
Kaur T. Kemuning
Kaur T. Bulan
Kaur T. Iman

Ekosistem
Karet
Sawit
Jagung
Karet
Sawit
Jagung
Karet
Sawit
Jagung

Rataan waktu kematian rayap (jam)


Kerapatan 200 JI/ml
Kerapatan 400 JI/ml
52,400,34
45,46 4,34
54,001,03
47,801,24
53,604,88
48,964,17
48,800,91
45,002,07
52,202,07
47,402,61
52,607,83
46,002,49
50,203,90
45,801,51
51,802,10
46,601,73
53,404,32
46,602,83

Manggaro, April 2011 Vol.12 No.1:39- 43


Tabel 3.

42

Rataan persentase mortalitas C. Curvignathus kasta pekerja yang terinfeksi NPS dari berbagai isolat
jam ke- 72 setelah inokulasi

Lokasi asal Isolat


Kontrol
Semidang Alas Maras
Seluma Talo
Seluma Sukaraja
Bengkulu Selatan Pino
Bengkulu Selatan Seginim
Bengkulu Selatan Kedurang
Kaur T. Kemuning
Kaur T. Bulan
Kaur T. Iman

Ekosistem
Karet
Sawit
Jagung
Karet
Sawit
Jagung
Karet
Sawit
Jagung

Persentase C.curvignathus terinfeksi (%)


Kerapatan 200 JI/ml
Kerapatan 400 JI/ml
0,00 0,00 b
0,000,00
c
88,335,77 a
100,000,00 a
88,332,88 a
96,662,88 ab
90,008,66 a
93,337,63 b
91,665,77 a
98,332,88 ab
91,6610,40 a
96,662,88 ab
81,6616,07 a
96,662,88 ab
85,005,00 a
98,332,88 ab
90,0010,00 a
93,335,77 b
81,665,77 a
93,332,88 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata (BNT; = 0.05

tergenang apabila terjadi hujan serta tanpa pengunaan


pestisida dan pupuk kimia, karena pengunaan bahan
kimia
dapat
mempengaruhi
kehidupan
mikroorganisme tanah termasuk NPS.
Tempat pengambilan contoh tanah pada
perkebunan sawit di Kabupaten Seluma, Bengkulu
selatan dan Kaur untuk meningkatkan hasil produksi
buah masyarakat sudah menggunakan pupuk kimia
dan herbisida. Pada pertanaman jagung, untuk
mengolah lahan, dalam pengemburan tanah
dilakukan dengan mencangkul, sedangkan untuk
pemeliharaan tanaman petani menggunakan pestisida
dan pupuk kimia. Menurut Gaugler and Kaya (1990),
tekstur tanah akan menentukan pergerakkan dan
kemampuan. bertahan hidup pada Steinernematidae,
sedangkan struktur tanah dengan kandungan lempung
tinggi serta penggunaan pupuk kimia akan
menurunkan ketahanan hidup dari nematoda.
Dari hasil penghitungan jumlah NPS yang ada di
dalam tubuh per individurayap pada kerapatan200
JI/ml dengan 400 JI/ml berbeda sangat nyata.Rerata
jumlah NPS pada kerapatan 400JI/ml lebih tinggi,
karena memiliki peluang yang lebih diinokulasikan,
ini disebabkan karena tidak semua nematoda yang
diinokulasikan saat perlakuan mampu untuk masuk
dan menginfeksi ke dalam tubuh rayap. Terjadi
kompetisi dalam mendapatkan makanan, hal ini
terlihat dari pengamatan yang dilakukan terhadap
media agar yang digunakan juga banyak ditemukan

NPS. Selain itu juga karena ukuran tubuh rayap yang


sangat kecil menyebabkan tidak semua NPS dapat
masuk ke dalam tubuh rayap.
KESIMPULAN
Isolat Steinernema sp. dari tiga ekosistem
tanaman (karet, sawit dan jagung) ditiga Kabupaten
(Seluma,Bengkulu Selatan dan Kaur) dengan
kerapatan 200 JI/ml dan 400 JI/ml dapat menginfeksi
dan membunuh C. curvignathus. Mortalitas tertinggi
mencapai 100% pada kerapatan 400 JI/ml isolat dari
Kabupaten Seluma, Kecamatan Semidang Alas
Maras ekosistem karet dan menyebabkan kematian
paling cepat, 72 jam setelah inokulasi. Kerapatan
Steinernema sp. 400 JI/ml dapat menyebabkan
penurunan kemampuan daya makan, waktu kematian
yang lebih cepat dan mortalitas yang lebih tinggi
terhadap C. curvignathus bila dibandingkan dengan
kerapatan 200 JI/ml.
DAFTAR PUSTAKA
Bakti D. 2004. Pengendalian rayap Coptotermes
curvignathus
Holmgren
menggunakan
Nematoda Steinernema carpocapsae Weiser
dalam skala laboratorium. Jurnal Natural
Indonesia. 6(2): 81-83.
.

Tabel 4. Rataan Steinernema sp. per individu C. curvignathus kasta pekerja yang terinfeksi NPS dari berbagai isolat.
Lokasi asal Isolat
Semidang Alas Maras
Seluma Talo
Seluma Sukaraja
Bengkulu Selatan Pino
Bengkulu Selatan Seginim
Bengkulu Selatan Kedurang
Kaur T. Kemuning
Kaur T. Bulan
Kaur T. Iman

Ekosistem
Karet
Sawit
Jagung
Karet
Sawit
Jagung
Karet
Sawit
Jagung

Rataan NPS per individuC.curvignathus


Kerapatan 200 JI/ml
Kerapatan 400 JI/ml
8,65 0,47 a
18,21 0,23 ab
7,85 0,13 b
18,35 0,20 ab
8,23 0,38 ab
18,51 0,14 ab
8,35 0,13 ab
18,05 0,22 b
8,28 0,42 ab
18,53 0,57 ab
8,80 0,18 a
18,28 0,23 ab
8,21 0,54 ab
18,38 0,25 ab
8,63 0,51 a
18,48 0,40 ab
8,71 0,24 a
18,61 0,15 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata (BNT; = 0.05)

Manggaro, April 2011 Vol.12 No.1:39- 43


Bedding RA. 1990. Logistics and Strategies for
Introducing Entomophatogenic Nematode
Technology into Developing Countries. Di
dalam: Gaugler R, Kaya HK (eds).
Entomophatogenic Nematodes in Biologycal
Control. Boca Raton: CRC Pres
Begley JW. 1990. Efficacy Against Insects in
Habitats Other then Soil. Di dalam: Gaugler
R, Kaya HK (eds). Entomophatogenic
Nematodes in Biologycal Control. Boca
Raton: CRC Pres.
Boemare. 2002. Biology, Taxonomy and Systematics
of Photorhabdus and Xenorhabdus. Di dalam:
Gaugler
R
(Ed.)
Entomopathogenic
Nematodes. CAB International.
Chaerani dan Kardin M. 1999. Prospek nematoda
sebagai pengendali hayati hama. Bogor:
Prosiding Simposium Penelitian Tanaman
Pangan IV. Hal 156-165.
Gaugler R, Kaya HK, Shang-Ping Kung. 1990. Soil
type
and
entomophatogenic
nematod
persistente.
http://www.sciencedirect.com/
science.ob=ArticleURL&. [15 Januari 2008]
Gaugler R. 2001. Entomophatogenic Nematology.
CAB International, USA.
Mahardika
D.
2001.
Seminar
Rayap.
http://www.pu.go.id/publikproduk/seminar/kol
okium 2001/kolokium 2001 07.pdf

43
Manion CM, Gibb T. 2000. Interaction between
holofenolide and the entomophatogenic
nematode Heterorhabditis morelatus for
control of Japanese beetle (Coleoptera :
Scarabaedae) larvae. J. of Econ Entomol 93(1)
: 48-53.
Nguyen KB. 1999. Mole cricket nematode,
Steinernema scapterisci Nguyen and Smart .
(Nematode
:
Steinernematidae)
http://www.creatures.ifas.edu/nematode/molec
ricket nematode.htm. [9 Agustus 2005].
Prawirosoekarto S, Sipayung , Dermier de chenon R.
1991. Serangga Rayap pada Tanaman
Perkebunan.
Medan:
Pusat
Penelitian
Perkebunan Marihat.
Ridwanti B. 2002. Biologi Serangga Penggerek
Kayu. http://www.deptan.go.id/ditlihori/0408/
18 /ilpeng/1209399,htm. [14 Januari 2008].
Rosmana A, Syam S, Alias, Sjamsiar. 1998. Evaluasi
penggunaan
nematodo
entomopatogen
Steinernema carpocapsae isolat Sulawesi
Selatan sebagai biosida untuk mengendalikan
hama kubis Crocidolomia binotalis. . Ujung
Pandang: Fak. Pertanian dan Kehutanan,
Universitas Hasanuddin.
Septiani N. 2006. Eksplorasi Nematoda Patogen
Serangga Dari Tiga Ekosistem Di Bengkulu
Bagian Selatan
dan Patogenisitasnya
terhadap Aphis gossypii Glover Di
Laboratorium. [Skripsi]. Bengkulu: Program
Studi Hama Penyakit Tanaman Fakultas
Pertanian Universitas Bengkulu.

Anda mungkin juga menyukai