Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Empat Mazhab Fiqih

A. PENDAHULUAN
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak,
karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran
keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan
kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi.
Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah
menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi
karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat
dominan, fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi
perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah
kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan
kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering
membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode
pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua
risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum. Dalam mengambil keputusan masalah
amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat
langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka
ketahui.
Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan
belum juga diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa
awal periode tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukumhukum syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat
semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y. Aliran pertama, yang berpusat
di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta
memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak
menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad),
hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan
tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang
disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadis :
( )
Yang maksudnya : Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat (HR. Baihaqi dalam
Risalah Asyariyyah).
Ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan
tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan
sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, bilkhusus pada empat mazhab yaitu
Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafii dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain
yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.
B. POKOK PERMASALAHAN

Sebelum sampai kepada pembahasan, terlebih dahulu penulis tentukan pokok permasalahan
sebagai tolak ukur agar pembahasan tidak melabar dan menyimpang. Sebagai pokok
permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimanakah latar belakang dan sejarah munculnya
empat mazhab fiqih? Selain itu adalah apakah dasar-dasar hukum empat mazhab?, karena
bagaimanapun juga setiap imam mazhab pasti memiliki pendapat masing dalam hal pengambilan
dan menetapkan pijakan dasar sebuah hukum.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mazhab
Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari
akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, Inah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa
artinya, tempat pergi, yaitu jalan (ath-tharq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).
Secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau
mengistinbatkan hukum Islam .
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa
hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah
(qawid) dan landasan (ushl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama
lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197).
Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1)
sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang
menjadi jalan (tharq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari
dalil-dalilnya yang rinci .
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, Setiap
mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharqah al-istinbth)
dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat. (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395) .
2. Biografi Empat Imam Mazhab Fiqih
Mengingat betapa masyhurnya nama keempat imam mazhab ini, berikut akan dijelaskan lebih
lanjut bagaimana pribadi dan pemikiran mereka.
a. Imam Hanafi (Tahun 80 150 H.)
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Numan bin Sabit bin Zauti lahir
pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah . Semua literatur yang
mengungkapkan kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang alim
yang mengamalkan ilmunya, zuhud, abid, wara, taqiy, khusyu dan tawadhu.
Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada rayun, setelah pada
Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak
menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan
Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran
mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama .
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan
kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian
diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud,
Bukhari, Muslim dan lainnya .
Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam Kitab Al-Baar
Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun

kepada imam Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga Allah memberikan
rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar fitnah yang tidak
suka pada Abu Hanifah, memberi keterangan palsu pada Al-Manshur, sehingga Al-Manshur
melakukan pembunuhan itu, dan ada sebuah riwayat shahih mengatakan bahwa ketika merasa
kematiannya dekat, Abu Hanifah bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud .
Para ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.
b. Imam Maliki (Tahun 93 179 H.)
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia
lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia
menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah .
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik
bin Abu Amir bin Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al Harits Al
Himyari Al Ashbahi Al Madani .
Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal Al-Quran
dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli dalam berbagai cabang
ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Karya-karya Imam Malik begitu banyak, di antaranya
yang paling populer adalah Al Muwatta yang berarti kemudahan atau kesederhanaan.
Keistimewaan Al-Muwatta adalah bahwa Imam Malik merinci berbagai persoalan kaidah-kaidah
fiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan atsar.
c. Imam Syafii (Tahun 150 204 H.)
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafii bin Saaib bin
Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari
kakek Nabi .
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafii lahir di daerah Ghazza, Syam
(Palestina) dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada
kakeknya, Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa
oleh ibunya untuk pindah ke Makkah .
Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafii sudah menghafal Al-Quran, selain itu ia juga
banyak menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang
sedemikian rupa , fiqih Imam Syafii juga merupakan refleksinya. Dengan kata lain, kehidupan
sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafii dalam membentuk
pemikiran dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh
masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua kecendrungan dalam mazhab Syafii yang
dikenal dengan qaul qadim (mazhab lama) dan qaul jadid (mazhab baru).
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafii dibangun di Irak pada tahun 195 H.
Kedatangan Imam Syafii ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan
Syafii dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal
mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafii di
antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan
berdiam di sana selama tiga tahun.
Karakteristik pemikiran Syafii tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan
pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furuiyah. Pluralisme pemikiran yang ada
di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran Syafii.

Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun
terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang
pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi
dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir .
d. Imam Hambali ( Tahun 164 241 H.)
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir
di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M . Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad masih kecil,
ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Quran hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau
juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya.
Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah
mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau
merantau ke Syam (Syiria).
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan
puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan
negeri lainnya. Di antara mereka adalah: Ismail bin Jafar, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin
Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Asy-Syafii,
Waki bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Maqil
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya
juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam Bukhari, Muslim,
Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafii. Imam Ahmad, Putranya, Shalih bin
Imam Ahmad bin Hambal, Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Keponakannya,
Hambal bin Ishaq.
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari
Jumat bertepatan dengan tanggal dua belas Rabiul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah
beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
3. Sejarah Empat Mazhab Fiqih
Ilmu fiqih baru muncul pada periode tabi' al-tabi'in yaitu sekitar abad kedua Hijriyah, dengan
munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang
hukum-hukum syariah. Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama
Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama
yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum dibukukan.
Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178
H atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis
berjudul al-Muwaththa', yang terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan kitab ini
dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far al-Manshur (137-159 H atau 754-775 M), dengan
maksud sebagai pedoman bagi kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka.
Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran ahlhadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak
(aliran ahl al-ra'y) adalah buku-buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jmi' al-Kabr
dan al-Jmi' al-Shaghr dan Abu Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul Kitab al-Kharj
(Kitab tentang Pajak Penghasilan). Abu Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qdh (hakim)

oleh seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara Abu Yusuf
pernah menjadi qdh pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Baik Abu Hanifah maupun Malik ibn
Anas kemudian oleh para pengikutnya masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi
dan Maliki .
Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut. Sementara kalangan
ahl al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan
sebagian hadis, maka ahl al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang
'illah-'illah hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syariah. Pada umumnya ahl al-ra'y
dengan kemampuan debatnya dapat mengalahkan argumentasi ahl al-hadts, sebagaimana contoh
di atas. Maka munculnya Muhammad ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafii
(150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak hadis dan di lain segi
memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat
menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan. Karena jasanya
membela hadis, maka ia dijuluki sebagai "nshir al-sunnah" (pembela Sunnah).
Keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini dianggap
sebagai mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.
1. Latar Belakang dan Sejarah Munculnya Empat Mazhab Fiqih
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru,
banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru
tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul
Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat
ada tiga yakni :
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Quran
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena rayu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia
berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan
hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW .
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabiin, muncullah generasi
Tabiit Tabiin. Ijtihad para Sahabat dan Tabiin dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya
yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga
ini dikenal dengan Tabiit Tabiin. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika
memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin
hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. dan dari sini pula kita dapat
merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab
muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab Mazhab Hanafi, Maliki, Syafiie
dan Hambali seperti yang ada sekarang.
Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas
mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang Ahlu Sunnah, tetapi hanya delapan
atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah
yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Said bin Yasar alBashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Numan bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam
Auzaie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin

Said bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sad (wafat 157 H.), Imam Malik bin
Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad
bin Idris al Syafiie (wafat 204 H.), dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241
H.) .
Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode.
Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode
keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode
kemunduran fiqih .
1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi
SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di
tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode
Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun
pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan
revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan
kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara
bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut
masalah ibadah maupun muamalah.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW
sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661
M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai
dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang
akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya
setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya
yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal
abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu
disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak
masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33
H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan
Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini
adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu
pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama,
tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan
menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para
penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti
Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh
guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah
terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809)
meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh.
Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam

Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asySyaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam
asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias,
istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad
ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih
adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas
dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat
ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah
dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid
mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas
dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai
mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam
mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri,
muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga
setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul
pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang
mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan
dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan
berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang
untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masingmasing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab
tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram
melakukan talfiq.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya
Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293.
Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin
menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga
dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh
yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk
mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah
dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa
menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa
menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku
yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai
mazhab.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti
diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil
amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum
Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun

ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul
ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib
dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk
transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar
pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk
melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang
yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya
tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang
tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa
kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya
menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi
pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah alAhkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh
Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
4. Dasar-Dasar Fiqih Empat Mazhab
a. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi
Abu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci,
tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah
tercermin dalam pernyataannya berikut, Saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah,
saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam
Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi,
dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Syabi,
Hasan Ibnu Sirin, Atha dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabiien), maka saya berhak
pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah Al-Quran,
Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash Al-Quran dan Sunnah secara jelasjelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut diambil dari Al-Quran dan AsSunnah. Tetapi bila nash tadi menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan
kaidah-kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan
hukum disebut melalui qiyas.
Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Quran dan As-Sunnah. Yang
membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya
terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan
kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini
adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya.
Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan teori-teori tadi dan
sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering
menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat, hikmah dan
tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya .
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang
menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu
tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Quran dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan
hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan
rasio daripada Al-Quran dan Sunnah.

Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia menolak
untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri
tetapi berakar kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz.
Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah, membenarkan bahwa dalam masalah hukum
seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah mengambil
pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak pendapat Ibrahim yang
dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
b. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki
Seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah
yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam
Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik
kemudian menuliskannya.
Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha, fuqaha
Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan
bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur Al-Quran,
mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal illah (pencarian kuasa hukum),
demikian juga dalam sunnah, ijma qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan,
istishab, sadd al dara-i, muraat al khilaf, maslahah mursalah dan syaru man qablana. AlQurafidalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut
: Al-Quran, Sunnah, Ijma, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah
mursalah, urf, sadd ad-darai, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab
Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Quran,
Sunnah, ijma, dan rayi (rasio) .
c. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafii
Bagi Imam Syafii Al-Quran dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu
kesatuan sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan
lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari
sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Quran dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran
fiqih Syafiie. Menurut Syaafiie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan
menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Quran, merinci yang global, mengkhususkan
yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada di dalam Al-Quran.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafiie adalah pernyataannya, Setiap
persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Quran. Untuk
membuktikan hipotesanya itu, Syafiie menyebut empat cara Al-Quran dalam menerangkan
suatu hukum. Pertama, Al-Quran menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang
jelas, seperti nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yang
mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan yang lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Quran dan dirinci dalam Sunnah
Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa
dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Quran dal
Nabi-lah yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash

hukumnya di dalam Al-Quran. Bentuk penjelasan Al-Quran untuk masalah seperti ini dengan
mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Di dalam Al-Quran
disebutkan : (4:80)
Yang maksudnya : Barang siapa yang taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah.
Dengan demikian, suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh AlQuran, karena Al-Quran memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi
menjauhi yang di larang .
Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai
persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Quran dan Hadits. Penjelasan Al-Quran
dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai
dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syariah (tujuan-tujuan umum syariat),
misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis, dalam Al-Quran di sebutkan dalan 4:59
d. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali
Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran fikihnya. Para ulama
Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan pemikiranpemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima dasar ushuliyah dan lima dasar
lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab Hambali aitu adalah : (1) Nushus, yang
terdiri dari nash Al-Quran, Sunnah dan nash ijma, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi
perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Quran dan Sunnah; dan apabila
tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, (4)
hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd al-dara-i, (8) istishab, (9) ibthal al
jal, (10) maslahah mursalah.
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam Ahmad
bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan
penggunaan qiyas.
D. KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat penulis mengambil beberapa poin kesimpulan di antaranya adalah
sebagai berikut :
1.
E. PENUTUP
Demikian makalah ini penulis susun, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi pembaca,
khususnya bagi penulis sendiri.
Saran-saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan untuk melengkapi
makalah ini dan untuk kemajuan ilmu pengetahuan kedepan.
F. DAFTAR PUSTAKA
, ,( ) ,
Asy Syakah, Mustofa Muhammad, Islam Tidak Bermazhab, Cet. 2, Gema Insani Press: Jakarta,
1995
Mustofa Al Maraghi, Abdullah, Pakar Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Cet. 1, LKPSM:
Yogyakarta, 2001
Sirry, Munim A., Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Cet.2, Risalah Gusti: Surabaya, 1996

http://diaz2000.multiply.com/journal/item/20/Sejarah_Singkat_Munculnya_MazhabMazhab_dalam_Islam
http://apat-kedahi.blogspot.com/2009/04/mazhab-mazhab-fiqih-dan-pengertiannya.html
http://www.hupelita.com/baca.php?id=495
http://www.cybermq.com/pustaka/detail//100/sejarah-perkembangan-fiqh
http://neobyadver.blog.plasa.com/2009/05/26/sejarah-singkat-munculnya-mazhab-mazhabdalam-islam/
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hanifah
http://id.wikipedia.org/wiki/Malik_bin_Anas
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
http://www.mail-archive.com/sarikata@yahoogroups.com/msg08055.html
http://www.hayatulislam.net/persoalan-seputar-mazhab.html

Anda mungkin juga menyukai