Anda di halaman 1dari 3

Pengaruh Belanda dan Portugis atas Budaya Indonesia

Kini kerap muncul stereotype yang bernada negatif terhadap budaya Barat. Utamanya di
Indonesia, budaya Barat dikenal terimplementasi lewat kekuasaan colonial. Barat yang
dimaksud di dalam tulisan ini adalah Negara-negara Eropa, terutama Belanda, yang
melakukan
tindak
kolonialisasi
atas
kepulauan
nusantara.

Sesungguhnya, terdapat sejumlah pengaruh Barat yang hingga kini terus membekas di
dalam struktur kebudayaan Indonesia. Utamanya di dalam sistem pendidikan Indonesia.
Pendidikan merupakan salah satu komponen nonmaterial kebudayaan yang punya
peran signifikan dalam melestarikan suatu budaya. Selain pendidikan, mekanisme
administratif pemerintahan Belanda juga punya pengaruh tersendiri dalam pembentukan
sistem
sosial
(politik)
Indonesia.
Tidak hanya Belanda, Negara-negara Timur Jauh seperti Cina dan Jepang pun
memberikan derajat pengaruh tertentu bagi perkembangan sistem sosial dan budaya
Indonesia. Jepang, tentu saja, memberikan pengaruh secara koersif, yaitu lewat
penjajahan singkat mereka atas Indonesia. Sementara Cina, yang telah punya
hubungan dengan kepulauan nusantara jauh sebelum Arab-Persia menyentuh
Indonesia,
telah
membentuk
derajat
pengaruh
tersendiri.
Bangsa Barat yang memberikan pengaruh cukup membekas adalah Portugis dan
Belanda. Terutama Belanda, budaya bangsa-bangsa ini sebagiannya telah terserap dan
masuk ke dalam struktur budaya bangsa Indonesia. Namun, bekas pengaruh ini kurang
begitu kuat mengenai di dalam kesadaran orang Indonesia yang mungkin akibat
perbedaan blue print budayanya. Barat, sesuai namanya, merupakan produk
perkembangan di bilangan barat dunia yang menekankan individualitas dan kebebasan.
Sementara Indonesia merupakan bagian bangsa timur yang menghendaki harmoni,
komando,
dan
kolektivitas.
Koentjaraningrat mencatat, pengaruh kebudayaan barat di Indonesia dimulai aktivitas
perdagangan Portugis pada paruh pertama abad ke-16. Tahun 1511 Portugis
menaklukan Malaka, pelabuhan dagang di sebelah barat kepulauan Indonesia.
Penaklukan tersebut membuat Portugis mampu mengendalikan aspek-aspek penting
kehidupan masyarakat di sana. Tatkala penaklukan tersebut, Arab-Persia tengah
bertumbuh selaku budaya baru yang berangsur menjadi mainstream di kepulauan
Indonesia. Konflik yang kemudian terjadi kemudian kerap secara mudah dideduksi
menjadi
konflik
Barat
versus
Arab-Persia.
Kemudian tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis. Sebelumnya, tahun 1619
Belanda telah membangun benteng yang kuat di Batavia seraya menguasai Banten,
pelabuhan dagang lain yang penting. Tahun 1755 Belanda melakukan perjanjian Gianti
dengan Mataram Islam, kerajaan yang merupakan rival Belanda dalam menguasai jalur
dagang.
Dalam perjanjian Gianti, Mataram dipecah menjadi Yogyakarta, Surakarta, dan
Mangkunegara. Tahun 1799, VOC selaku perusahaan swasta yang bergerak di

Indonesia bangkrut. Mulai tahun tersebut Belanda mengatasnamakan Kerajaan Belanda


dalam
mengelola
Indonesia.
Tahun 1824 Belanda menukar Singapura, wilayah yang dikuasainya dengan pihak
Inggris. Sebagai penggantinya, Belanda memperoleh Bengkulu yang berlokasi di bagian
bagian selatan barat pulau Sumatera. Tahun 1837 Belanda menguasai Sumatera Barat
setelah usai Perang Paderi. Tahun 1883, Tanah Batak masuk ke dalam kekuasaan
Belanda
setelah
berpayah-payah
menaklukan
orang
Batak
Toba.
Tahun 1894, Lombok masuk ke kekuasaan Belanda disusul Bali pada tahun 1906
setelah Perang Badung. Aceh baru masuk ke dalam kekuasaan Belanda pada 1903, itu
setelah perang 30 tahun yang berlangsung sejak 1873. Dari paparan di atas, kekuasaan
Belanda atas Indonesia berlangsung secara gradual di mana wilayah yang satu dikuasai
terlebih
dulu
ketimbang
lainnya.
Belanda. Bernard H.M. Vlekke mencatat mengenai pengaruh Belanda atas Indonesia ini
dan membaginya ke dalam 3 bagian. Pertama, pengaruh di Sumatera dan Kalimantan di
mana pengaruh orang Eropa hampir tidak berpengaruh terhadap kehidupan pribumi.
Kedua, pengaruh di Indonesia bagian timur di mana pengaruhnya kuat tetapi menindas.
Ketiga, di Jawa di mana Belanda mulai mencengkeramkan pengaruh mereka hingga ke
pedalaman dan menimbulkan perubahan struktur sosial dan ekonomi orang Indonesia.
Di Jawa, Maluku dan Sulawesi Utara berkembang pelapisan sosial. Lapisan pertama
adalah kaum buruh yang telah meninggalkan budaya tani mereka untuk kemudian
menjadi pelayan rumah tangga Eropa, tukang, atau buruh industry. Lapisan kedua
adalah kaum pegawai (priyayi) yang bekerja di belakang meja tulis dan harus
menempuh pendidikan Belanda terlebih dahulu. Selain itu, ada pula lapisan ketiga
yaitu kelas menengah baru pribumi yang melakukan kegiatan dagang di bidang-bidang
yang belum tersentuh pengusaha Cina dan Asia lain seperti rokok kretek, batik, tenun,
ataupun kerajinan tangan. Pola-pola pelapisan sosial seperti ini belumlah ada di masa
lampau.
Salah satu pengaruh peradaban Barat (Belanda) di struktur budaya Indonesia adalah
pendidikan. Sistem pendidikan Belanda (barat) kemudian menggantikan sistem
pendidikan lokal yang berupa pecantrikan dan mandala. Juga, sekolah-sekolah Belanda
mulai menyaingi pesantren, lembaga pendidikan yang banyak dipengaruhi budaya ArabPersia.
Sekolah, sebagai basis proses pendidikan formal Indonesia saat ini, mendapat
pengaruh dari Belanda ini. Namun, awalnya sistem persekolahan Belanda ini bersifat
diskriminatif. Ada sekolah khusus orang Belanda dan Eropa seperti Erupesche Lagere
School (ELS), untuk anak-anak Tionghoa semisal Hollands Chinese School, ataupun
Indlansche School untuk anak-anak pribumi. Ciri yang umum dari sistem pendidikan
Belanda ini adalah jenjang pendidikan berdasarkan tahun. Misalnya suatu jenjang
pendidikan dasar ditempuh selama 5 atau enam tahun dan lanjutannya selama 3 tahun.

Sistem pendidikan mulai serius digarap Belanda sejak abad ke-18 dan semakin tegas
tatkala Politik Etis diberlakukan tahun 1911 lewat tokohnya, Van Deventer. Sebelum
Politik Etis, tujuan pembentukan sistem pendidikan bagi orang Indonesia adalah
penyediaan tenaga ahli dan murah di bidang administrasi. Ini guna mengimbangi
semakin luasnya wilayah kekuasaan Belanda berikut pengadministrasiannya.
Peninggalan budaya Belanda lainnya adalah rumah tinggal. Seperti diketahui, orangorang Belanda kebanyakan tinggal di sentra-sentra kegiatan ekonomi di mana tanah
dan material bangunannya cukup mahal. Sebab itu, banyak orang Belanda
mengkonstruksi ruko (rumah sekaligus toko). Ruko ini pun marak dipakai oleh penduduk
Tionghoa di kota-kota Indonesia. Di masa sekarang, bentuk ruko ini cukup banyak
bertebaran,
terutama
di
kota-kota
besar.
Selain orang biasa, konstruksi banguna Belanda juga banyak dipakai oleh keluargakeluarga priyayi Indonesia. Misalnya raja-raja Indonesia seperti di Banten dan
Yogyakarta membangun rumah kediaman mereka serupa dengan konstruksi rumahrumah Belanda. Tepatnya puri Belanda, yang juga berfungsi sebagai basis pertahahan
terakhir
tatkala
terjadi
perang.
Gedung perkantoran Belanda di Indonesia dibangun dengan gaya Yunani-Romawi
Kuno. Cirinya adalah bangunannya besar-besar, pilar besar dan tinggi di bagian depan,
hiasan
doria
dan
ionia
dari
Yunani.
Portugis. Selain bangunan, orang Eropa yang pernah menjajah Indonesia juga
mendirikan semacam pemukiman. Ini misalnya Tugu di Jakarta Utara di mana orang
Portugis dan turunannya menggabungkan diri. Juga di Depok, Jawa Barat di mana
orang Belanda beranak pinak. Kendati kini sudah menipis jumlahnya, dari wilayah
tersebut dikenal beberapa budaya semisal musik Kroncong Tugu sebagai bentuk seni
musik
Portugis.
Masyarakat kampung Tugu lokasinya di daerah Semper, Koja, Jakarta Utara hingga kini
masih dapat ditemui. Penduduk awalnya berasal dari berbagai koloni Portugis di
Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Coromandel, Goa, dan Srilanka. Pada abad
ke-17 mereka diboyong colonial Belanda ke Batavia sebagai tawanan perang. Di
Batavia mereka ditempatkan di Gereja Portugis (sekarang Gereja Sion di Jl. Pangeran
Jayakarta). Kemudian sebagian besar mereka pindah ke Kampung Tugu.
Beberapa kosa kata Indonesia diambil dari bahasa Portugis. Kosa kata ini misalnya
biola (viola), meja (mesa), mentega (manteiga), pesiar (passear), pigura (figura), pita
(fita), sepatu (sapato), serdadu (soldado), cerutu (charuto), tolol (tolo), jendela (janela),
algojo (algoz), bangku (banco), bantal (avental), bendera (bandeira), bolu (balo), boneka
(boneca), armada, bola, pena, roda, ronda, sisa, tenda, dan tinta.

Anda mungkin juga menyukai