Anda di halaman 1dari 23

1) SARAF OLFAKTORIUS (N.

I)
Sistem olfaktorius dimulai dengan sisi yang menerima rangsangan olfaktorius. Sistem ini terdiri
dari bagian berikut: mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila olfaktoria, bulbus
subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis.
Saraf ini merupakan saraf sensorik murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa
hidung dan menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus
olfaktorius, dari sini, traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus
temporal bagian medial sisi yang sama.
Sistem olfaktorius merupakan satu-satunya sistem sensorik yang impulsnya mencapai korteks
tanpa dirilei di talamus. Bau-bauan yang dapat memprovokasi timbulnya nafsu makan dan
induksi salivasi serta bau busuk yang dapat menimbulkan rasa mual dan muntah menunjukkan
bahwa sistem ini ada kaitannya dengan emosi. Serabut utama yang menghubungkan sistem
penciuman dengan area otonom adalah medial forebrain bundle dan stria medularis talamus.
Emosi yang menyertai rangsangan olfaktorius mungkin berkaitan ke serat yang berhubungan
dengan talamus, hipotalamus dan sistem limbik.
2) SARAF OPTIKUS (N. II)
Saraf Optikus merupakan saraf sensorik murni yang dimulai di retina. Serabut-serabut saraf ini,
ini melewati foramen optikum di dekat arteri optalmika dan bergabung dengan saraf dari sisi
lainnya pada dasar otak untuk membentuk kiasma optikum. Orientasi spasial serabut-serabut dari
berbagai bagian fundus masih utuh sehingga serabut-serabut dari bagian bawah retina ditemukan
pada bagian inferior kiasma optikum dan sebaliknya.
Serabut-serabut dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal retina) menyilang kiasma,
sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal tidak menyilang. Serabut-serabut untuk indeks
cahaya yang berasal dari kiasma optikum berakhir di kolikulus superior, dimana terjadi
hubungan dengan kedua nuklei saraf okulomotorius. Sisa serabut yang meninggalkan kiasma
berhubungan dengan penglihatan dan berjalan di dalam traktus optikus menuju korpus
genikulatum lateralis. Dari sini serabut-serabut yang berasal dari radiasio optika melewati bagian
posterior kapsula interna dan berakhir di korteks visual lobus oksipital.
Dalam perjalanannya serabut-serabut tersebut memisahkan diri sehingga serabut-serabut untuk
kuadran bawah melalui lobus parietal sedangkan untuk kuadaran atas melalui lobus temporal.
Akibat dari dekusasio serabut-serabut tersebut pada kiasma optikum serabut-serabut yang berasal
dari lapangan penglihatan kiri berakhir di lobus oksipital kanan dan sebaliknya.
3) SARAF OKULOMOTORIUS (N. III)
Nukleus saraf okulomotorius terletak sebagian di depan substansia grisea periakuaduktal
(Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia grisea (Nukleus otonom).

Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-otot rektus medialis, superior, dan
inferior, otot oblikus inferior dan otot levator palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus
Edinger-westhpal yang bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior yaitu
spingter pupil dan otot siliaris.
4) SARAF TROKLEARIS (N. IV)
Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikuli inferior di depan substansia grisea
periakuaduktal dan berada di bawah Nukleus okulomotorius. Saraf ini merupakan satu-satunya
saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak. Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus
superior untuk menggerakkan mata bawah, kedalam dan abduksi dalam derajat kecil.
5) SARAF TRIGEMINUS (N. V)
Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan serabut-serabut
sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot temporalis. Serabut-serabut
sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama yatu saraf oftalmikus, maksilaris,
dan mandibularis. Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut,
hidung, sinus. Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah bagian
anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani.
6) SARAF ABDUSENS (N. VI)
Nukleus saraf abdusens terletak pada masing-masing sisi pons bagian bawah dekat medula
oblongata dan terletak dibawah ventrikel ke empat saraf abdusens mempersarafi otot rektus
lateralis.
7) SARAF FASIALIS (N. VII)
Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik fungsi motorik berasal dari Nukleus
motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari tegmentum pontin bawah dekat medula
oblongata. Fungsi sensorik berasal dari Nukleus sensorik yang muncul bersama nukleus motorik
dan saraf vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna.
Serabut motorik saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot orbikularis
okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot stilohioideus, otot
digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan
bagian anterior lidah.
8) SARAF VESTIBULOKOKLEARIS (N. VIII)
Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen yang mengurusi
pendengaran dan vestibuler yang mengandung serabut-serabut aferen yang mengurusi
keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organ corti dan berjalan menuju
inti koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan
kemudian menuju girus superior lobus temporalis. Serabut-serabut untuk keseimbangan mulai

dari utrikulus dan kanalis semisirkularis dan bergabung dengan serabut-serabut auditorik di
dalam kanalis fasialis. Serabut-serabut ini kemudian memasuki pons, serabut vestibutor berjalan
menyebar melewati batang dan serebelum.
9) SARAF GLOSOFARINGEUS (N. IX)
Saraf Glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius pada waktu
meninggalkan kranium melalui foramen tersebut, saraf glosofaringeus mempunyai dua ganglion,
yaitu ganglion intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati foramen,
saraf berlanjut antara arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Di
antara otot ini dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah dan mempersarafi mukosa
faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah.
10) SARAF VAGUS (N. X)
Saraf vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior atau jugulare dan ganglion
inferior atau nodosum, keduanya terletak pada daerah foramen jugularis, saraf vagus
mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding usus,
jantung dan paru-paru.
11) SARAF ASESORIUS (N. XI)
Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis. Radiks kranial adalah akson dari neuron
dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari saraf vagus. Saraf aksesoris adalah saraf
motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius, otot
sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan otot trapezius memutar
skapula bila lengan diangkat ke atas.
12) SARAF HIPOGLOSUS (N. XII)
Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi garis tengah dan depan
ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan trigonum hipoglosus. Saraf hipoglosus
merupakan saraf motorik untuk lidah dan mempersarafi otot lidah yaitu otot stiloglosus,
hipoglosus dan genioglosus.
PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS.
a. Saraf Olfaktorius (N. I)
Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus dikerjakan jika terdapat riwayat tentang
hilangnya rasa pengecapan dan penciuman, kalau penderita mengalami cedera kepala sedang
atau berat, dan atau dicurigai adanya penyakit-penyakit yang mengenai bagian basal lobus
frontalis.
Untuk menguji saraf olfaktorius digunakan bahan yang tidak merangsang seperti kopi, tembakau,
parfum atau rempah-rempah. Letakkan salah satu bahan-bahan tersebut di depan salah satu

lubang hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan pasien menutup
matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai terhidunya bahan tersebut dan
kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu.
b. Saraf Optikus (N. II)
Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan perifer (visual field),
refleks pupil, pemeriksaan fundus okuli serta tes warna.
i. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity)
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan tangan.
Kartu snellen
Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan tabel, jika tidak
terdapat ruangan yang cukup luas, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman
penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus
6/6)
Jari tangan
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi bisa melihat pada jarak 2 meter, maka
perkiraan visusnya adalah kurang lebih 2/60.
Gerakan tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter
berarti visusnya kurang lebih 1/310.
ii. Pemeriksaan Penglihatan Perifer
Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan
penglihatan mulai dair mata hingga korteks oksipitalis.
Penglihatan perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau dengan perimetri / kompimetri.
Tes Konfrontasi
- Jarak antara pemeriksa pasien : 60 100 cm
- Objek yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut.
- Objek yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandang
kahardan kiri (lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan
mata yang diperiksa harus menatap lururs kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek tersebut.

- Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus normal.


Perimetri / kompimetri
- Lebih teliti dari tes konfrontasi
- Hasil pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.
iii. Refleks Pupil
Saraf aferen berasal dari saraf optikal sedangkan saraf aferennya dari saraf occulomotorius.
Ada dua macam refleks pupil.
Respon cahaya langsung
Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya
dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya.
Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang
disinari akan mengecil.
Respon cahaya konsensual
Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran
yang sama.
iv. Pemeriksaan fundus occuli (fundus kopi)
Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada
fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah
terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan
vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus.
v. Tes warna
Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus.
c. Saraf okulomotoris (N. III)
Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
1. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan
memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata
memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke

belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik
pula.
2. Gerakan bola mata.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan
bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya
nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya
strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.
3. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
i. Bentuk dan ukuran pupil
ii. Perbandingan pupil kanan dan kiri
Perbedaan pupil sebesar 1mm masih dianggap normal
iii. Refleks pupil
Meliputi pemeriksaan :
1. Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
2. Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II)
3. Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua otot rektus
medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan
dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi)
(Tejuwono) atau pasien disuruh memandang jauh dan disuruh memfokuskan matanya pada suatu
objek diletakkan pada jarak 15 cm didepan mata pasien dalam keadaan normal terdapat
konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek akomodasi.
d. Saraf Troklearis (N. IV)
Pemeriksaan meliputi
1. gerak mata ke lateral bawah
2. strabismus konvergen
3. diplopia

e. Saraf Trigeminus (N. V)


Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan refleks
1. Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada
ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mulamula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya
dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul.
Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan
sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa
tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju
daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati
puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai
dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali mencurigai siringobulbia, karena
hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup
kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang
sama. Pasien disuruh mengatakan ya setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.
2. Motorik
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter.
Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter
diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan
pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari
cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena).
3. Refleks
Pemeriksaan refleks meliputi
- Refleks kornea
a. Langsung
Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas disentuhkan pada
kornea mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada
kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan
dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi eferannya
(berkedip) berasal dari N.VII.
b. Tak langsung (konsensual)

Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan
sebaliknya kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya
konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen).
- Refleks bersin (nasal refleks)
- Refleks masseter
Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka mulut secukupnya (jangan
terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu
refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu
penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan
cepat.
f. Saraf abdusens (N. VI)
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda
tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya
horizonatal dan sejajar satu sama lain.
g. Saraf fasialis (N. VII)
Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot) saat
pasien diam diperhatikan :
Asimetri wajah
Kelumpuhan nervus VIII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan dahi
menghilang serta lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih
tampak simetrik
Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus tremor dan
seterusnya ).
Ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng)
- Tes kekuatan otot
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa mencoba membuka
kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri.
3. Memperlihatkan gigi (asimetri)
4. Bersiul dan menculu (asimetri / deviasi ujung bibir)

5. meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing.


6. Menarik sudut mulut ke bawah.
- Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah)
Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah.
- Hiperakusis
Jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang diterima
oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya.
h. Saraf Vestibulokokhlearis (N. VIII)
Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan fungsi vestibuler
1) Pemeriksaan pendengaran
Inspeksi meatus akustikus akternus dari pasien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi
lainnya dan membrana timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi kemudian
lakukan tes pendengaran dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram.
Audiogram digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan
tes Weber.
- Tes Rinne
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang
telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus
akustikus oksterna. Dalam keadaan norma anda masih terdengar pada meatus akustikus
eksternus. Pada tuli saraf anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini
disebut Rinne negatif.
- Tes Weber
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan
terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada
tuli konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal.
2) Pemeriksaan Fungsi Vestibuler
Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi : nistagmus, tes romberg dan berjalan lurus dengan mata
tertutup, head tilt test (Nylen Baranny, dixxon Hallpike) yaitu tes untuk postural nistagmus.
i. Saraf glosofaringeus (N. IX) dan saraf vagus (N. X)

Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan
bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan menelan
dan disartria(khas bernoda hidung / bindeng). Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi
palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh
menyebut ah jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan nervus
X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik dan
nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan
spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut
(N. IX) setiap kali dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara
refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan
nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus
laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada
sepertinya posterior lidah (N. IX).
j. Saraf Asesorius (N. XI)
Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian
rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien
disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa
otot sternokleido mastoideus.
k. Saraf Hipoglosus (N. XII)
Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara; Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut,
tentukan adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik).
Fasikulasi dapat unilateral atau bilateral.
Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah (terkena) jika
terdapat lesi upper atau lower motorneuron unilateral.
Lesi UMN dari N XII biasanya bilateral dan menyebabkan lidah imobil dan kecil. Kombinasi
lesi UMN bilateral dari N. IX. X, XII disebut kelumpuhan pseudobulbar.
II.4. KELAINAN YANG DAPAT MENIMBULKAN GANGGUAN PADA NERVUS
CRANIALIS.
1) Saraf Olfaktorius. (N.I)
Kelainan pada nervus olfaktovius dapat menyebabkan suatu keadaan berapa gangguan
penciuman sering dan disebut anosmia, dan dapat bersifat unilatral maupun bilateral. Pada
anosmia unilateral sering pasien tidak mengetahui adanya gangguan penciuman.

Proses penciuman dimulai dari sel-sel olfakrorius di hidung yang serabutnya menembus bagian
kribiformis tulang ethmoid di dasar di dasar tengkorak dn mencapai pusat penciuman lesi atau
kerusakan sepanjang perjalanan impuls penciuman akan mengakibatkan anosmia.
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan penciuman berupa:
Agenesis traktus olfaktorius
Penyakit mukosa olfaktorius bro rhinitis dan tumor nasal
Sembuhnya rhinitis berarti juga pulihnya penciuman, tetapi pada rhinitis kronik, dimana mukosa
ruang hidung menjadi atrofik penciuman dapat hilang untuk seterusnya.
Destruksi filum olfaktorius karena fraktur lamina feribrosa.
Destruksi bulbus olfaktorius dan traktus akibat kontusi countre coup, biasanya disebabkan
karena jatuh pada belakang kepala. Anosmia unilateral atau bilalteral mungkin merupakan satusatunya bukti neurologis dari trauma vegio orbital.
Sinusitas etmoidalis, osteitis tulang etmoid, dan peradangan selaput otak didekatnya.
Tumor garis tengah dari fosa kranialis anterior, terutama meningioma sulkus olfaktorius (fossa
etmoidalis), yang dapat menghasilkan trias berupa anosmia, sindr foster kennedy, dan gangguan
kepribadian jenis lobus orbitalis. Adenoma hipofise yang meluas ke rostral juga dapat merusak
penciuman.
Penyakit yang mencakup lobus temporalis anterior dan basisnya (tumor intrinsik atau
ekstrinsik).
Pasien mungkin tidak menyadari bahwa indera penciuman hilang sebaliknya, dia mungkin
mengeluh tentang rasa pengecapan yang hilang, karena kemampuannya untuk merasakan aroma,
suatu sarana yang penting untuk pengecapan menjadi hilang.
2) Saraf Optikus (N.II)
Kelainan pada nervus optikus dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan
dapat dibagi menjadi gangguan visus dan gangguan lapangan pandang. Kerusakan atau
terputusnya jaras penglitan dapat mengakibatkan gangguan penglihatan kelainan dapat terjadi
langsung pada nevrus optikus itu sendiri atau sepanjang jaras penglihatan yaitu kiasma optikum,
traktus optikus, radiatio optika, kortek penglihatan. Bila terjadi kelainan berat makan dapat
berakhir dengan kebutaan.
Orang yang buta kedua sisi tidak mempunyai lapang pandang, istilah untuk buta ialah anopia
atau anopsia. Apabila lapang pandang kedua mata hilang sesisi, maka buta semacam itu
dinamakan hemiopropia.

Berbagai macam perubahan pada bentuk lapang pandang mencerminkan lesi pada susunan saraf
optikus. Perubahan tersebut seperti tertera pada gambar 1.
Kelainan atau lesi pada nervus optikus dapat disebabkan oleh:
1. Trauma Kepala
2. Tumor serebri (kraniofaringioma, tumor hipfise, meningioma, astrositoma)
3. Kelainan pembuluh darah
Misalnya pada trombosis arteria katotis maka pangkal artera oftalmika dapat ikut tersumbat jug.
Gambaran kliniknya berupa buta ipsilateral.
4. Infeksi.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat dilihat hal-hal sebagai berikut:
a. Papiledema (khususnya stadium dini)
Papiledema ialah sembab pupil yang bersifat non-infeksi dan terkait pada tekanan intrakkranial
yang meninggi, dapat disebabkan oleh lesi desak ruang, antara lain hidrocefalus, hipertensi
intakranial benigna, hipertensi stadium IV. Trombosis vena sentralis retina.
b. Atrofi optik
Dapat disebabkan oleh papiledema kronik atau papilus, glaukoma, iskemia, famitral, misal:
retinitis pigmentosa, penyakit leber, ataksia friedrich.
c. Neuritis optik.
3) Saraf Okulomotorius (N.III)
Kelainan berupa paralisis nervus okulomatorius menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke
medial, ke atas dan lateral, kebawah dan keluar. Juga mengakibatkan gangguan fungsi
parasimpatis untuk kontriksi pupil dan akomodasi, sehingga reaksi pupil akan berubah. N. III
juga menpersarafi otot kelopak mata untuk membuka mata, sehingga kalau lumpuh, kelopak
mata akan jatuh ( ptosis)
Kelumpuhan okulomotorius lengkap memberikan sindrom di bawah ini:
1. Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak adanya perlawanan dari kerja
otot orbikularis okuli yang dipersarafi oleh saraf fasialis.
2. Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena tak adanya perlawanan
dari kerja otot rektus lateral dan oblikus superior.

3. Pupil yang melebar, tak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi.


Jika seluruh otot mengalami paralisis secara akut, kerusakan biasanya terjadi di perifer, paralisis
otot tunggal menandakan bahwa kerusakan melibatkan nukleus okulomotorius.
Penyebab kerusakan diperifer meliputi; a). Lesi kompresif seperti tumor serebri, meningitis
basalis, karsinoma nasofaring dan lesi orbital. b). Infark seperti pada arteritis dan diabetes.
4) Saraf Troklearis (N. IV)
Kelainan berupa paralisis nervus troklearis menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak kebawah
dan kemedial.
Ketika pasien melihat lurus kedepan atas, sumbu dari mata yang sakit lebih tinggi daripada mata
yang lain. Jika pasien melihat kebawah dan ke medial, mata berotasi dipopia terjadi pada setiap
arah tatapan kecuali paralisis yang terbatas pada saraf troklearis jarang terjadi dan sering
disebabkan oleh trauma, biasanya karena jatuh pada dahi atu verteks.
5) Saraf Abdusens (N. VI)
Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke lateral,
ketika pasien melihat lurus ke atas, mata yang sakit teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke
lateral, ketika pasien melihat ke arah nasal, mata yang paralisis bergerak ke medial dan ke atas
karena predominannya otot oblikus inferior.
Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya terganggu, mata tampak melihat lurus keatas
dan tidak dapat digerakkan kesegala arah dan pupil melebar serta tidak bereaksi terhadap cahaya
(oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari otot-otot mata biasanya akibat kerusakan nuklear.
Penyebab paling sering dari paralisis nukleus adalah ensefelaitis, neurosifilis, mutiple sklerosis,
perdarahan dan tumor.
Penyebab yang paling sering dari kelumpuhan otot-otot mata perifer adalah meningitis,
sinusistis, trombosis sinus kavernosus, anevrisma arteri karotis interva atau arteri komunikantes
posterior, fraktur basis kranialis.
6) Saraf Trigeminus (N. V)
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nerus trigeminus antara lain : Tumor pada
bagian fosa posterior dapat menyebabkan kehilangan reflek kornea, dan rasa baal pada wajah
sebagai tanda-tanda dini.
Gangguan nervus trigeminus yang paling nyata adalah neuralgia trigeminal atau tic douloureux
yang menyebabkan nyeri singkat dan hebat sepanjang percabangan saraf maksilaris dan
mandibularis dari nervus trigeminus. Janeta (1981) menemukan bahwa penyebab tersering dari
neurolgia trigeminal dicetuskan oleh pembuluh darah. Paling sering oleh arteri serebelaris
superior yang melingkari radiks saraf paling proksimal yang masih tak bermielin.

Kelainan berapa lesi ensefalitis akut di pons dapat menimbulkan gangguan berupa trismus, yaitu
spasme tonik dari otot-otot pengunyah. Karena tegangan abnormal yang kuat pada otot ini
mungkin pasien tidak bisa membuka mulutnya.
7) Saraf Fasialis (N. VII)
Kelainan yang dapat menyebabkan paralis nervus fasialis antara lain:
Lesi UMN (supranuklear) : tumor dan lesi vaskuler.
Lesi LMN :
- Penyebab pada pons, meliputi tumor, lesi vaskuler dan siringobulbia.
- Pada fosa posterior, meliputi neuroma akustik, meningioma, dan meningitis kronik.
- Pada pars petrosa os temporalis dapat terjadi Bells palsy, fraktur, sindroma Rumsay Hunt, dan
otitis media.
Penyebab kelumpuhan fasialis bilateral antara lain Sindrom Guillain Barre, mononeuritis
multipleks, dan keganasan parotis bilateral.
Penyebab hilangnya rasa kecap unilateral tanpa kelainan lain dapat terjadi pada lesi telinga
tengah yang meliputi Korda timpani atau nervus lingualis, tetapi ini sangat jarang.
Gangguan nervus fasialis dapat mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, kelopak mata tidak
bisa ditutup, gangguan air mata dan ludah, gangguan rasa pengecap di bagian belakang lidah
serta gangguan pendengaran (hiperakusis). Kelumpuhan fungsi motorik nervus fasialis
mengakibatkan otot-otot wajah satu sisi tidak berfungsi, ditandai dengan hilangnya lipatan
hidung bibir, sudut mulut turun, bibir tertarik kesisi yang sehat. Pasien akan mengalami kesulitan
mengunyah dan menelan. Air ludah akan keluar dari sudut mulut yang turun. Kelopak mata tidak
bisa menutup pada sisi yang sakit, terdapat kumpulan air mata di kelopak mata bawah (epifora).
Refleks kornea pada sisi sakit tidak ada.
8) Saraf Vestibulokoklearis
Kelainan pada nervus vestibulokoklearis dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan
keseimbangan (vertigo).
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus VIII antara lain:
Gangguan pendengaran, berupa :
- Tuli saraf dapat disebabkan oleh tumor, misal neuroma akustik. Degenerasi misal presbiaksis.
Trauma, misal fraktur pars petrosa os temporalis, toksisitas misal aspirin, streptomisin atau
alkohol, infeksi misal, sindv rubella kongenital dan sifilis kongenital.

- Tuli konduktif dapat disebabkan oleh serumen, otitis media, otoskleroris dan penyakit Paget.
Gangguan Keseimbangan dengan penyebab kelainan vestibuler
- Pada labirin meliputi penyakit meniere, labirinitis akut, mabuk kendaraan, intoksikasi
streptomisin.
- Pada vestibuler meliputi semua penyebab tuli saraf ditambah neuronitis vestibularis.
- Pada batang otak meliputi lesi vaskuler, tumor serebelum atau tumor ventrikel IV demielinisasi.
- Pada lobus temporalis meliputi epilepsi dan iskemia.
9) Saraf Glosofaringeus (N. IX) dan Saraf Vagus (N. X)
Gangguan pada komponen sensorik dan motorik dari N. IX dan N. X dapat mengakibatkan
hilangnya refleks menelan yang berisiko terjadinya aspirasi paru.
Kehilangan refleks ini pada pasien akan menyebabkan pneumonia aspirasi, sepsis dan adult
respiratory distress syndome (ARDS) kondisi demikian bisa berakibat pada kematian. Gangguan
nervus IX dan N. X menyebabkan persarafan otot-otot menelan menjadi lemah dan lumpuh.
Cairan atau makanan tidak dapat ditelan ke esofagus melainkan bisa masuk ke trachea langsung
ke paru-paru.
Kelainan yang dapat menjadi penyebab antara lain :
Lesi batang otak (Lesi N IX dan N. X)
Syringobulbig (cairan berkumpul di medulla oblongata)
Pasca operasi trepansi serebelum
Pasca operasi di daerah kranioservikal
10) Saraf Asesorius (N. XI)
Gangguan N. XI mengakibatkan kelemahan otot bahu (otot trapezius) dan otot leher (otot
sterokleidomastoideus). Pasien akan menderita bahu yang turun sebelah serta kelemahan saat
leher berputar ke sisi kontralateral.
Kelainan pada nervus asesorius dapat berupa robekan serabut saraf, tumor dan iskemia akibatnya
persarafan ke otot trapezius dan otot stemokleidomastoideus terganggu.
11) Saraf Hipoglossus (N. XII)

Kerusakan nervus hipoglossus dapat disebabkan oleh kelainan di batang otak, kelainan pembuluh
darah, tumor dan syringobulbia. Kelainan tersebut dapat menyebabkan gangguan proses
pengolahan makanan dalam mulut, gangguan menelan dan gangguan proses pengolahan
makanan dalam mulut, gangguan menelan dan gangguan bicara (disatria) jalan nafas dapat
terganggu apabila lidah tertarik ke belakang.
Pada kerusakan N. XII pasien tidak dapat menjulurkan, menarik atau mengangkat lidahnya. Pada
lesi unilateral, lidah akan membelok kearah sisi yang sakit saat dijulurkan. Saat istirahat lidah
membelok ke sisi yang sehat di dalam mulut.

KESIMPULAN
1. Saraf-saraf Kranialis dalam bahasa latin berarti kedua belas pasangan saraf yang
berhubungan dengan otak mencakup nervi olfaktorii (I), optikus (II), okulomotorius (III),
troklearis (IV), trigmenus (V), abdusen (VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis (VIII),
glosofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII).
1. Tiap-tiap saraf kranialis memiliki komponen, asal dan fungsi yang berbeda-beda.
1. Tiap-tiap saraf kranialis memiliki cara-cara pemeriksaan yang berbeda-beda sesuai
dengan fungsinya masing-masing.
o

N I, dites dengan bahan yang tidak merangsang seperti kopi, parfum

N II, yang diperiksa adalah penglihatan sentral, penglihatan perifer, refleksi pupil,
pemeriksaan fundus occuli serta tes warna.

N III, pemeriksaan meliputi ptosis, gerakan bola mata dan pupil

N IV, pemeriksaan meliputi gerak mata ke lateral bawah, strabismus konvergen


diplopia.

N V, pemeriksaan meliputi sensibilitas, motorik, refleks

NVI, pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral bawah, strabismus konvergen


dan diplopia.

N VII, pemeriksaan meliputi raut muka, tes kekuatan otot, tes sensorik khusus.

N VIII, pemeriksaan meliputites fungsi vestibuler

N IX dan X, pemeriksaan meliputi fungsi menelan, tes refleks muntah.

N XI, pemeriksaan meliputi kemampuan mengangkat bahu dan kemampuan


menengok ke kanan dan ke keiri.

N XII, pemeriksaan meliputi kekuatan otot lidah.

1. Kelainan yang dapat menyebabkan gangguan pada saraf kranialis terutama adalah trauma
kepala, tumor, dan radang.
1. Sedangkan gangguan yang ditimbulkan berupa keluhan ataupun gejala pada berbagai
organ atau tubuh yang dipersarafinya.
PAPIL EDEMA
PENDAHULUAN
Papilledema adalah suatu pembengkakan discus saraf optik sebagai akibat seunder dari
peningkatan tekanan intrakranial. Berbeda dengan penyabab lain dari pembengkakan discus saraf
optik, pengelihatan biasanya masih cukup baik pada papilledema akut. Papilledema hampIr
selalu timbul sebagai fenomena bilateral dan dapat berkembang dalam beberapa jam sampai
beberapa minggu. Istilah ini tidak dapat digunakan untuk menggambarkan pembengkakkan
discus saraf optik yang disebabkan oleh karena infeksi, infiltratif, atau peradangan.
DEFINISI
Edema discus saraf optic, biasanya bilateral, yang disebabkan oelh karena peningkatan
tekanan intrakranial.
PATOFISIOLOGI
Pembengkakkan discus saraf optik pada papilledema disebabkan oleh karena tertahannya
aliran axoplasmic dengan edema intra-axonal pada daerah discus saraf optik. Ruang
subarachnoid pada otak dilanjutkan langsung dengan pembungkas saraf optik. Oleh karenanya,
jika tekanan cairan cerebrospinal (LCS) meningkat, maka tekanannya akan diteruskan ke saraf
optik, dan pembungkus saraf optic bekerja sebagai suatu tourniquet untuk impede transport
axoplasmik. Hal ini menyebabkan penumpukan material di daerah lamina cribrosa,
menyebabkan pembengkakan yang khas pada saraf kepala. Papilledema dapat tidak terjadi pada
kasus sebelum terjadinya optic atrophy. Pada kasus ini, ketiadaan papilledema sepertinya adalah
sebagai akibat sekunder terhadap penurunan jumlah serabut saraf yang aktif secara fisiologis.
ETIOLOGI

o Setiap tumor atau space-occupying lesions (SOL) pada SSP


o Hipertensi intrakranial idiopatik
o Penurunan resorbsi LCS (cth, thrombosis sinus venosus, proses peradangan, meningitis,
perdarahan subarachnoid)
o Peningkatan produksi LCS (tumor)
o Obstruksi pada sistem ventrikular
o Edema serebri/encephalitis
o Craniosynostosis
KLINIS
Anamnesa
Kebanyakan gejala yang terjadi pada pasien dengan papilledema adalah aibat sekunder
dari peningkatan tekanan intrakranial yang mendasarinya.
o Sakit kepala: sakit kepala akibat peningkatan tekanan intrakranial secara karakteristik
emmburuk ketika bangun tidur, dan dieksaserbasi oleh batuk dan jenis manuver Valsava
lainnya.
o Mual dan muntah: jika peningkatan tekanan intrakranialnya parah, mual dan muntah dapat
terjadi. Ini selanjutnya dapat diserai denan kehilangan kesadaran, dilatasi pupil, dan bahkan
kematian
o Gejala Visual seringkali tidak ditemukan, namun gejala-gejala berikut dapat terjadi:
o Bebrapa pasirn mengalami gangguan visual transient (adanya pengelihatan memudar
keabu-abuan pada penygelihatan, terutama ketika bangun dari posisi duduk atau
berbaring, or transient flickering as if rapidly toggling a light switch).

o Pengelihatan kabur, konstriksi pada lapangan pandang, dan penurunan persepsi warna
dapat terjadi.
o Diplopia dapat terkadang ditemukan jika suatu kelumpuhan saraf ketujuh terjadi.
o Tajam pengelihatan biasanya tidak terganggu kecuali pada penyakit yang sudah lanjut.
Pemeriksaan Fisik
o Riwayat penyakit pasien harus diselidiki, dan pemeriksaan fisik, termasuk tanda vital, harus
dilakukan. Terleih lagi, tekanan darah harus diperiksa untuk menyingkirkan hipertensi
maligna.
o Pasien harus diperiksa akan adanya gangguan neurologis dan penyakit yang berhubungan
dengan demam.
o Tajam pengelihatan, pengelihatan warna, dan pemeriksaan pupil seharusnya normal. Defek
relatif aferen pupil biasanya tidak ditemukan. Defisi abduksi sebagai akibat seunder dari
kelumpuhan saraf kranialis keenam terkadang dapat ditemukan berkaitan dengan
peningkatan tekanan intrakranial.
o Pemeriksaan fundus dengan dilatasi yang cermat harus dilakukan untuk menemukan tandatanda berikut:
o Manifestasi awal
Hiperemia diskus
Edema yang kurang jelas pada serabut saraf dapat diidentikasi dengan
pemeriksaan slit lamp biomicroscopy yang cermat dan oftalmoskopi langung.
Ini seringkali dimulai pada daerah nasal dari diskus. Tanda kunci terjadi ketika
edema lapisan serabut saraf mulai menghambat pembuluh darah peripapiler.
Perdarahan kecil pada lapisan serabut saraf dideteksi paling mudah denan
cahaya bebas merah (hijau).

Pulsasi vena spontan yang normalnya ditemukan pada 80% individu dapat
menghilang ketika tekanan intrakranial meningkat lebih dari 200 mm air.

o Manifestasi lanjut
Jika papilledema terus memburuk, pembengkakkan lapisan serabut saraf
akhirnya menutupi batas normal diskus dan diskus secara kasar terlihat
terangkat.
Terjadi sumbatan vena, dan perdarahan peripapiler menjadi lebih jelas, diikui
dengan eksudat dan cotton-wool spots.
Retina sensoris peripapiller dapat tumbuh secara konsentris atau, terkadang,
membentuk lipatan radial yang dikenal sebagai Paton lines. Lipatan Choroidal
juga dapat ditemukan.
o Manifestasi kronis
Jika papilledema menetap selama beberapa bulan, hiperemia diskus perlahan
menghilang, memberikan gambaran abu-abu atau pucat pada diskus yang
sudah hilang central cup-nya.
Seiring dengan waktu, disus dapat mengembangkan deposit kristalin yang
mengkilat (disc pseudodrusen).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
o Pemeriksaan lab:
Pemeriksaan darah biasanya tidak membantu dalam diagnosis papilledema. Jika diagnosis
meragukan, hitung darah lengkap, gula darah, angiotensin-converting enzyme (ACE), Laju
endap darh (LED), dan serologi sifilis dapat membantu dalam emnemukan tanda-tanda
penyakit infeksi, metabolik, atau peradangan.

o Pemeriksaan Pencitraan:
o Neuroimaging segera (CT scan, MRI) otak dengan kontras harus dilakukan dalam usaha
untuk mengidentifikasi adanya lesi massa SSP.
o B-scan ultrasonography dapat berguna untuk meningkirkan disc drusen yang tersembunyi.
o Fluorescein angiography dapat digunakan untuk mebantu menegakkan diagnosis.
Papilledema akut menunjukkan peningkatan dilatasi kapiler peripapillar dengan
kebocoran lanjut pada kontras.
o Pemeriksaan lain:
o Perimetri
Lapang pandang harus diperiksa. Umumnya menunjukkan pembesaran titik buta.
Pada edema diksus yang ekstrim, suatu pseudo hemianopsia bitemporal dapat
terlihat.
Pada papilledema kronis, pembatasan lapang pandang, terutama daerah inferior,
secaar bertahap dapat terjadi, ang selanjutnya dapat memburuk menjadi
kehilangan pengelihaan sentral dan kebutaan total.
o Fotografi warna Stereo pada diskus optikus berguna untuk mendokumentasikan
perubahan yang terjadi.
DIAGNOSIS BANDING
o hipertensi
o Hipertensi intracranial idiopatik
o Optic Neuritis
o Optic Neuropathy, kompresif, toksik

o Pseudopapilledema
o Sarcoidosis
o Scleritis
o Thyroid Ophthalmopathy
o Toxoplasmosis
o Vogt-Koyanagi-Harada Disease
o Diabetic papillitis
PENATALAKSANAAN
o Obat-obatan
o Terapi, baik secara medis atauoun bedah, diarahkan kepada pross patologis yang
mendasarinya dan disesuaikan dengan temuan okuler.
o Terapi spesifik harus diarahkan kepada lesi massa yang mendasarinya jika ditemukan.
o Diuretik: obat carbonic anhydrase inhibitor, acetazolamide (Diamox), dapat berguna pada
kasus tertentu, terutama pada kasus-kasus hipertensi intrakranial idiopatik. (pada
keberadaan trombosis sinus venosus, diuretik dikontraindikasikan. Pada keadaan ini,
evaluasi oleh seorang ahli hematologis direkomendasikan.)
o Penurunan berat badan direkomendasikan pada kasus hiertensi intrakranial idiopatik.
o Kortikosteroid mungkin efektif dalam kasus yang berkaitan dengan keadaan peradangan
(ch, sarcoidosis).
o Pembedahan:
o Lesi massa yang mendasarinya, jika ada, harus diangkat.

o Lumboperitoneal shunt atau ventriculoperitoneal shunt dapat digunakan untuk memintas


LCS.
o Dekompesi selubung saaf optik dapat dilakukan untuk mengurangi pemburukan gejala
okuler dalam kasus hipertensi intrakranial idiopatik yang tidak terkontrol dengan obatobatan. Prosedur ini kemungkinan tidak akan menghilangkan sakit kepala persisten yang
terjadi.
o Diet: pembatasan diet dan konsultasi dengan ahli diet dalam kasus hipertensi intrakranial
idiopatik mungkin diperlukan.
PROGNOSIS
Prognosis dari papilledema sangat tergantung pada penyebabnya. Kebanyakan psien yang
terkena tumor otak metastase prognosisnya sangat buruk; pada penyakit obstruksi ventrikuler
dapat dibuat pintasan dengan sukses; pada pasien dengan pseudotumor biasanya dapat diobati
dengan cukup baik. Diagnosis papilledema memerlukan pejajakan yang serius sampai keadaan
patologi yang paling buruk dapat disingkirkan. Dimana, konsultasi neurologis, bedah saraf, atau
neuroradiologis biasanya diperlukan. Namun demikian, setelah masalahnya dapat dikurangi
menjadi hanya papilledema saja, ahli penyakit mata dapat menentukan penatalaksanaan sgresif
yang terbaik yang perlu dilakukan. Sangat sering terjadi, kebutaan permanen terjadi pada kondisi
yang relatif ringan seperti hipertensi intrakranial idiopatik karena kurangnya keterlibatn ahli
penyakit mata.

Anda mungkin juga menyukai