Anda di halaman 1dari 47

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Sistem Urinaria


Ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra membentuk sistem urinarius. Fungsi
utama ginjal adalah mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi asam
basa cairan tubuh, mengeluarkan produk akhir metabolik dari dalam darah dan
mengatur tekanan darah. Urine yang terbentuk sebagai hasil dari proses ini
diangkut dari ginjal melalui ureter ke dalam kandung kemih tempat urine
tersebut disimpan untuk sementara waktu. Pada saat urinasi, kandung kemih
berkontraksi dan urin akan diekskresikan dari tubuh lewat uretra.

Gambar 2.1
Sistem urinarius
Sumber: www.google.com

28

1. Ginjal
Sistem urinaria (ginjal) terdiri dari organ-organ yang memproduksi urin
dan mengeluarkannya dari tubuh. Sistem ini merupakan salah satu sistem
utama untuk mempertahankan homeostasis (kekonstanan lingkungan
internal). Ginjal merupakan organ berbentuk seperti dua kacang yang
terletak dikedua kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah
dimbandingkan ginjal kiri karena tertekan oleh hepar. Kutub atas kanan
terletak setinggi iga keduabelas. Sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak
setinggi iga kesebalas.

Gambar 2.2
Struktur Internal Ginjal
Sumber: www.google.com
a. Parenkim ginjal adalah jaringan ginjal yang menyelubungi struktur
sinus ginjal. Jaringan ini terbagi menjadi medulla (dalam) dan korteks
(luar).

29

1) Medula terdiri dari masa-masa triangular yang disebut piramida


ginjal. Ujung yang sempit dari setiap piramida, papila, masuk
dengan pas dalam kaliks minor dan ditembus mulut duktus
pengumpul urine.
2) Korteks tersusun dari tubulus dan pembuluh darah nefron yang
merupakan unit structural dan fungsional ginjal. Korteks terletak
didalam diantara piramida-piramida. Medula yang bersebelahan
untuk membentuk kolumna ginjal yang terdiri dari tubulus-tubulus
yang mengalir kedalam duktus pengumpul.
3) Velvis ginjal (kaliks mayor dan kaliks minor) adalah perluasan
ujung poksimal ureter. Ujung ini berlanjut menjadi dua sampai tiga
kaliks mayor, yaitu rongga yang mencapai glandular, bagian
penghasil urine pada ginjal. Setiap kaliks mayor bercabang
menjadi beberapa (8-18) kaliks minor.
b. Ginjal terbagi-bagi lagi menjadi lobus ginjal. Setiap lobus terdiri dari
satu piramida ginjal, kolumna yang saling berdekatan, dan jaringan
korteks yang melapisinya.
2. Ureter
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi
mengalirkan urine dari pelvis ginjal kedalam kandung kemih. Pada orang
dewasa panjangnya kurang lebih 20 cm. dindingnya terdiri atas mukosa
yang dilapisi oleh sel-sel transisional. Otot-otot polos sirkuler dan
longitudinal

yang

dapat

melakukan

gerakan

peristaltik

untuk

mengeluarkan urine ke kandung kemih. Ureter masuk kedalam kandung


kemih dalam posisi miring dan berada dalam otot kandung kemih, keadaan
ini dapat mencegah terjadinya aliran balik urine dari kandung kemih ke
ureter
3. Kandung Kemih

30

Merupakan organ berongga yang terdiri atas 3 lapisan otot destrusor yang
saling beranyaman. Disebelah dalam merupakan otot sirkuler, ditengah
merupakan otot longitudinal dan paling luar merupakan otot sirkuler.
Mukosa- mukosa pada pelvis renalis, ureter dan uretra posterior. Kedua
muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segi tiga yang
disebut trigonum buli-buli. Kandung kemih berfungsi menampung urine
dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam
mekanisme miksi (berkemih) dalam menampung urin kandung kemih
mempunyai kapasitas maksimal, yang volumennya untuk orang dewasa
300-450 ml.
4. Uretra
Merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari kandung kemih,
melalui proses miksi, pada pria organ ini berfungsi juga dalam
menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan spingter uretra
eksternal yang terletak pada perbatasan uretra interior dan posterior.
5. Fungsi Utama Ginjal
a. Pengeluaran zat sisa organik
Ginjal mengekskresikan urea, asam urat, kreatinin dan produk
penguraian hemoglobin dan hormone.
b. Pengaturan Keseimbangan Asam Basa Tubuh
Ginjal berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan asam
basa. Sebagian besar proses metabolisme tubuh menghasilkan asam
seperti CO2 yang mudah menguap dan metabolisme protein
menghasilkan asam yang tidak menguap seperti asam sulfat dengan
asam fosfat. Secara normal paru-paru

mengekskresikan CO2

sedangkan zat yang tidak mudah menguap diekskresikan oleh ginjal.


Selain itu ginjal juga mereabsorbsi bikarbonat basa yang difiltrasi
secara bebas oleh glomerulus. Ginjal membantu mengeleminasi C02

31

pada pasien penyakit paru dengan meningkatkan sekresi dan ekskresi


asam dan reabsorbsi basa.
c. Pengaturan Ekskresi Elektrolit
Jumlah elektrolit dan air yang harus diekskresikan lewat ginjal
bervariasi dalam jumlahnya tergantung pada jumlah asupan, air,
natrium, klorida, elektrolit lain dan produk limbah diekskresikan
sebagai urin. Pengaturan jumlah natrium yang diekskresikan
tergantung pada aldosteron yang dihasilkan dan disintesa korteks
adrenal. Peningkatan kadar aldosteron dalam darah, menyebabkan
sekresi natrium berkurang karena aldosteron meningkatkan reabsorbsi
natrium dalam ginjal. Jika natrium diekskresikan dalam jumlah yang
melebihi jumlah natrium yang dikonsumsi, maka pasien akan
mengalami dehidrasi. Ekskresi kalium oleh ginjal akan meningkat
seiring

dengan

meningkatnya

kadar

aldosteron.

Jika

kalium

diekskresikan dalam jumlah yang kurang dari jumlah konsumsi pasien


akan menahan cairan. Retensi kalium merupakan akibat yang paling
buruk dari gagal ginjal.
d. Pengaturan Produksi Sel Darah Merah
Sebagai salah satu organ endokrin, ginjal membentuk dan melepaskan
eritropoitin. Eritropoitin adalah salah suatu hormon yang merangsang
sumsum tulang agar meningkatkan pembentukan eritrosit. Sel-sel
diginjal yang membentuk dan melepaskan eritropoitin berespons
terhadap hipoksia ginjal. Orang yang menderita penyakit ginjal sering
memperlihatkan anemia kronik
e. Regulasi Tekanan Darah
Hormon renin yang disekresikan oleh sel-sel jungstaglomerullar saat
terjadi penurunan tekanan darah. Renin akan mempengaruhi pelepasan
angiotensin yang dihasilkan di hati dan diaktifkan dalam paru.
Angiotensin I kemudian diubah menjadi Angiotensin II yaitu senyawa
vasokontriktor kuat. Vasokontriksi menyebabkan peningkatan tekanan
darah. Aldosteron disekresikan oleh korteks adrenal sebagai reaksi

32

terhadap stimulasi kelenjar hipofisis dan pelepasan ACTH sebagai


reaksi terhadap perfusi yang buruk atau peningkatan osmolaritas
serum.
f. Pengaturan Ekskresi Air
Akibat asupan air atau cairan yang banyak, urin yang encer harus
diekskresikan dalam jumlah besar, sedangkan jika asupan cairan
sedikit urin yang diekskresikan lebih pekat. Pengaturan ekskresi air
dan pemekatan urine dilakukan didalam tubulus dengan reabsorbsi
elektrolit. Jumlah air yang reabsorbsi dikendalikan oleh hormon anti
deuritik (CADH atau Vasopresin). Dengan asupan air yang berlebihan,
sekresi ADH oleh kelenjar hipofisis akan ditekan sehingga sedikit air
yang direabsorbsi oleh tubulus. Keadaan ini menyebabkan volume urin
meningkat ( Diuresis )

Bagan 2.1
Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal
Tekanan darah menurun
Ginjal
Hati

Renin
Angiotensin I

Kelenjar hipofisis

Angiotensin II (vasokonstriktor kuat)

ACTH

Aldosteron (dilepas oleh kelenjar adrenal)

Kelenjar adrenal

Retensi air dan natrium

Meningkatkan
tekanan darah

Volume cairan ekstrasel meningkat

33

Sumber: Brunner &Suddarth


g. Dihidroksi vitamin D
Sebagai organ endokrin ginjal mengeluarkan hormon penting untuk
menetralisasi tulang. Ginjal bekerja sama dengan hati menghasilkan
bentuk aktif vitamin D. Vitamin D penting untuk pemeliharaan kadar
kalsium plasma yang diperlukan untuk membentuk tulang. Bentuk
aktif vitamin D ini bekerja sebagai hormon beredar dalam darah dan
merangsang penyerapan kalsium, fosfat di usus halus dan tubulus
ginjal. Vitamin D juga merangsang resorbsi tulang. Resorbsi tulang
menyebabkan pelepasan kalsium sehingga kalsium plasma meningkat.
6. Suplai Darah Ginjal

Gambar 2.3
Suplai darah ginjal
Sumber: www.google.com

34

a. Arteri renalis adalah cabang orta abdominalis yang mensuplai masingmasing ginjal dan masuk ke hillus melalui percabangan anterior dan
posterior.
b. Arteri-arteri interlobaris merupakan cabang anterior dan posterior
arteri renalis yang mengalir diantara piramida-piramida ginjal.
c. Arteri Arkuata berasal dari arteri interlobaris pada area pertemuan
korteks dan medulla.
d. Arteri interlobaris merupakan

percabangan arteri arkuata di sudut

kanan dan melewati korteks.


e. Arteriol aferen berasal dari arteri interlobularis. Satu arteriol aferen
membentuk sekitar 50 kapilar yang membentuk glomerulus.
f. Arteriol eferen meninggalkan setiap glomerulus dan membentuk
jaringan kapilar lain. Kapilar peritubular mengelilingi tubulus
proksimal dan distal untuk memberi nutrisi pada tubulus.
g. Kapilar peritubular mengalir ke dalam vena korteks yang kemudian
menyatu dan membentuk vena interlobularis.
h. Vena arkuata menerima darah dari vena interlobularis. Vena akuarta
bermuara ke dalam vena interlobularis yang bergabung untuk
bermuara ke dalam vena renalis. Vena ini meninggalkan ginjal untuk
bersatu dengan vena kava inferior
7. Struktur Nefron

35

Gambar 2.4
Gambar sebuah nefron yang memperlihatkan struktur glomerulus dan
tubulus
Sumber: www.wikipedia.com
Satu ginjal mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan unit
pembentuk urine. Setiap nefron memiliki satu komponen vascular
(kapilar) dan satu komponen tubular.
a. Glomerulus adalah gulungan kapiler yang dikelilingi kapsul epitel
berdinding ganda disebut kapsul bowman. Glomerulus dan kapsul
bowman bersama-sama membentuk sebuah korpuskel ginjal.
b. Tubulus kontortus proksimal, panjangnya mencapai 15 mm dan sangat
berliku. Pada permukaan yang menghadap lumen tubulus ini terdapat
sel-sel epitelia kuboid yang kaya akan mikrovilus (brus border) dan
memperluas area permukaan lumen.
c. Ansa henle. Tubulus kontortus proksimal mengarah ke tungkai
descenden ansa henle yang masuk ke dalam medulla membentuk
lengkungan jepit yang tajam

(lekukan), dan membalik keatas

membentuk tungkai ascenden ansa henle.

36

d. Tubulus kontortus distal juga sangat berliku, panjangnya 5 mm dan


membentuk segmen terakhir nefron.
1) Di sepanjang jalurnya, tubulus ini bersentuhan dengan dinding
ateriol aferen. Bagian tubulus yang bersentuhan dengan arteriol
mengandung sel-sel termodifikasi yang disebut macula densa.
Maccula densa berfungsi sebagai suatu kemoreseptor dan
distimulasi oleh penurunan ion natrium.
2) Dinding arteriol aferen yang bersebelahan dengan macula densa
mengandung sel-sel otot polos termodifiksi yang disebut sel
jukstaglomerular. Sel ini distimulasi melalui penurunan tekanan
darah untuk memproduksi rennin.
3) Maccula densa sel jupstaglomerular, dan sel mesangium saling
bekerja sama untuk membentuk apparatus jukstaglomerular yang
penting dalam pengaturan tekanan darah.
e. Tubulus dan duktus mengumpul. Karena setiap tubulus pengumpul
berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan mengalir ke
sejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk
duktus pengumpul yang besar. Duktus pengumpul membentuk tuba
yang lebih besar yang mengalirkan urine ke dalam kaliks minor. Dari
pelvis ginjal, urine dialirkan ke ureter yang mengarah ke kandung
kemih.
8. Proses Pembentukan Urine
a. Filtrasi Glomerulus
Filtrasi Glomerulus adalah proses dimana sekitar 20% plasma yang
masuk kapiler glomerulus menembus kapiler untuk masuk ke ruang
interstitium kemudian ke kapsula bowman. Pada ginjal yang sehat, sel
darah merah atau protein plasma hampir tidak ada yang mengalami
filtrasi. Kapiler Glomerulus sangat permeabel terhadap air dan zat-zat
terlarut yang berukuran kecil. Cairan kemudian berdifusi ke dalam
kapsula bowman dan berjalan disepanjang

nefron. Laju filtrasi

37

glomerulus (GFR) adalah volume filtrasi yang masuk ke dalam


kapsula bowman per satuan waktu. GFR tergantung pada empat gaya
yang menentukan filtrasi dan reabsorbsi yaitu tekanan kapiler ,tekana
cairan interstitium, tekanan osmotik

koloid plasma

dan tekanan

osmotik koloid cairan interstitium. GFR juga tergantung pada berapa


luas permukaan glomerulus yang tersedia untuk filtrasi. Penurunan
luas permukaan glomerulus akan menurunkan GFR. Nilai rata-rata
GFR seorang pria dewasa adalah 180 lt per hari (125 ml permenit).
Volume plasma normal adalah sekitar 3 liter (dari volume darah total
sebesar 5 liter). Dari 180 liter cairan yang difiltrasi ke dalam kapsula
bowman, hanya sekitar 1,5 liter perhari diekskresikan dari tubuh
sebagian urin.
b. Reabsorbsi Tubulus
Reabsorbsi mengacu pada pergerakan aktif dan pasif suatu bahan yang
disaring di glomerulus kembali ke kapiler peritubulus. Reabsorbsi
dapat total (misal glukosa ) atau parsial (misal Natrium, urea, klorida
dan air).

1) Reabsorbsi glukosa
Glukosa secara bebas disaring glomerulus. Dalam keadaan normal,
semua glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh transpor aktif
terutama ditubulus proksimalis.
2) Reabsorbsi Natrium
Reabsorbsi natrium berlangsung diseluruh tubulus melalui
kombinasi difusi sederhana dan transportasi aktif. Sekitar 65%
reabsorbsi natrium-natrium yang difiltrasi tetap didalam tubulus
pada saat filtrasi mencapai tubulus konvulsi distalis. Konsentrasi
akhir natriunm di urin biasanya kurang dari 1 % jumlah total yang
difiltrasi di glomerulus.
3) Reabsorbsi Klorida

38

Reabsorbsi klorida dapat bersifat aktif dan pasif dan hampir selalu
bersamaan dengan transpor natrium. Proses ini dipengaruhi oleh
gradien listrik di tubulus. Sebagian reabsorbsi klorida (65 %)
terjadi ditubulus proksimal, 25% dilengkung henie dan 10%
jumlah total yang difiltrasi dan sistem duktus pengumpul.
4) Reabsorbsi Kalium
Sebagian besar kalium yang difiltrasi akan direabsorbsi 50%
ditubulus proksimal, 40% di pars asenden dan 10% dibagian akhir
nefron duktus pengumpul di medulla. Sebagian besar reabsorbsi
kalium adalah difusi pasif.
5) Reabsorbsi Asam Amino
Asam amino yang difiltrasi akan secara aktif direabsorbsi ditubulus
proksimalis. Semua reabsorbsi asam amino diperantarai oleh
pembawa. Transpor maksimum untuk pembawa berada jauh diatas
jumlah asam amino yang difltrasi secara normal.
6) Reabsorbsi Protein Plasma
Protein yang difiltrasi akan secara aktif direabsorbsi di tubulus
proksimal. Sebagian kecil protein yang difiltrasi di glomerulus
tidak direabsorbsi . Protein-protein tersebut diuraikan oleh sel-sel
tubulus dan diekskresikan di urine. Contoh-contoh protein tersebut
adalah hormon protein misalnya GH dan Luteinizing Hormon.
7) Reabsorbsi Bikarbonat
Reabsorbsi bikarbonat adalah suatu proses aktif yang terjadi
terutama ditubulus proksimal, reabsorbsi berlangsung ketika
sebuah molekul air terurai ditubulus proksimal menjadi ion H+ dan
H- (hidroksil) ion H+ secara aktif disekresikan dan bergabung
dengan bikarbonat HCO3 menghasilkan H2CO3 yang dengan
bantuan enzim karbonat anhidrase terurai menjadi CO2 dan H20.
Melalui proses ini bikarbonat yang telah difiltrasi disimpan dan
tidak diekskresikan melalui urin. Reaksi H+ + HCO3- bersifat
reversibel.

39

8) Reabsorbsi Urea
Urea dibentuk dihati sebagai produk akhir metabolisme protein.
Urea defiltrasi secara bebas diglomerulus, Karena sangat
permeabel menembus sebagian besar nefron maka urea berdifusi
kembali ke kapiler peritubulus. Diujung tubulus proksimalis,
sekitar 50% urea yang difiltrasi telah direabsorbsi. Dari ujung
tubulus proksimalis ke duktus pengumpul di medulla, urea kembali
menjadi permeabel. Sewaktu filtrasi meninggalkan ginjal, sekitar
40% urea yang difiltrasi disekresikan.
c. Sekresi Tubular
Mekanisme sekresi tubular adalah proses aktif yang memindahkan zat
keluar dari darah dalam kapiler peritubular melewati sel-sel tubular
menuju cairan tubular untuk dikeluarkan dalam urine.
Tabel: 2.1
Filtrasi, Reabsorpsi dan ekskresi bahan tertentu dari plasma yang normal
Disaring 24 jam
Natrium
Klorida
Bikarbonat
Kalium
Glukosa
Ureum
Kreatinin
Asam urat

540,0 g
630,o g
300,0 g
28,0 g
140,0 g
53,0 g
1,4 g
85 g

Direabsorpsi

Diekskresikan

24 jam
537,0 g
625,0 g
300,0 g
24,0 g
140,0 g
28,0 g
0,0 g
7,7 g

24 jam
3,3 g
5,3 g
0,3 g
3,9 g
0,0 g
25,0 g
1,4 g
0,8 g

9. Volume urine
Volume urine yang dihasilkan setiap hari bervariasi dari 600 ml sampai
2500 ml lebih.
a. Jika volume urine tinggi, zat buangan diekskresi dalam larutan encer,
hipotonik (hipoosmotik) terhadap plasma. Berat jenis urine mendekati
berat jenis air (sekitar 1,003)

40

b. Jika tubuh perlu menahan air, maka urine yang dihasilkan kental
sehingga volume urine yang sedikit tetap mengandung jumlah zat
buangan yang sama yang harus dikeluarkan. Konsentrasi zat terlarut
lebih besar, urine hipertonik, (hiperosmotik) terhadap plasma, dan
berat jenis urine lebih tinggi (di atas 1,003).
10. Pengaturan volume urine.
Produksi urine kental yang sedikit atau urine encer yang lebih banyak
diatur melalui mekanisme hormone dan mekanisme pengkonsentrasi urine
ginjal.
a. Mekanisme hormonal
1) Antidiuretic hormone (ADH)
Meningkatkan permeabilitas tubulus kontortus distal dan tubulus
pengumpul terhadap air sehingga mengakibatkan terjadinya
reabsorpsi dan volume urine yang sedikit.
Sisi sintesis dan sekresi. ADH disintesis oleh badan sel saraf dalam
nucleus supraoptik hipotalamus dan disimpan dalam serabut saraf
hipofisis posterior. ADH kemudian dilepas sesuai impuls yang
sampai pada serabut saraf.
Stimulus pada sekresi ADH:
a) Osmotik
b) Neuron hipotalamus adalah osmoreseptor dan sensitive
terhadap perubahan konsentrasi ion natrium,serta zat terlarut
lain dalam cairan intraseluler yang menyelubunginya.
c) Peningkatan osmolaritas plasma, seperti yang terjadi saat
dehidrasi, menstimulasi osmoreseptor untuk mengirim impuls
ke kelenjar hipofisis posterior agar melepas ADH. Air
diabsorpsi kembali dari tubulus ginjal sehingga dihasilkan
urine kental dengan volume sedikit.

41

d) Penurunan osmolaritas plasma mengakibatkan berkurangnya


ekskresi ADH, berkurangnya reabsorpsi air dari ginjal, dan
produksi urine encer yang banyak.
e) Volume dan tekanan darah
Baroreseptor dalam pembuluh darah (di vena, atrium kanan dan
kiri, pembuluh pulmonari, sinus carotid, dan lengkung aorta)
memantau volume darah dan tekanan darah. Penurunan volume
dan tekanan darah meningkatkan sekresi ADH; peningkatan
volume dan tekanan darah menurunkan sekresi ADH.
f) Faktor lain. Nyeri, kecemasan, olah raga, analgesik narkotik
dan

barbiturate

meningkatkan

sekresi

ADH.

Alcohol

menurunkan sekresi ADH.


2) Aldosteron
Adalah hormone steroid yang disekresi oleh sel-sel korteks
kelenjar adrenal. Hormon ini bekerja pada tubulus distal dan
duktus pengumpul untuk meningkatkan absorpsi aktif ion natrium
dan sekresi aktif ion kalium. Mekanisme rennin-angiotensinaldosteron, yang meningkatkan retensi air dan garam.
b. Sistem arus bolak-balik dalam ansa Henle dan vasa rekta
memungkinkan terjadinya reabsorpsi osmotic air dari tubulus dan
duktus pengumpul ke dalm cairan interstisial medularis yang lebih
kental di bawah pengaruh ADH. Reabsorpsi air memungkinkan tubuh
untuk menahan air sehingga urine yang diekskresi lebih kental
dibandingkan cairan tubuh normal.
B. Konsep Dasar Chronic Kidney Diseases
1. Definisi
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain

42

dalam darah). Gagal Ginjal Kronik (GGK, penyakit ginjal tahap akhir)
adalah kerusakan fungsi ginjal yang progresif, yang berakhir fatal pada
uremia (kelebihan urea dan sampah nitrogen lain di dalam darah) dan
komplikasinya kecuali jika dilakukan dialysis dan transplantasi ginjal.
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangaan gagal ginjal yang
progresip dan lambat, biasanya berlangsung berapa tahun. Ginjal
kehilangan kemampuan asupan diet normal. Gagal ginjal kronik terjadi
setelah berbagai macam penyakit masuk nefron ginjal.
Definisi CKD menurut NKF-K/DOQI adalah:3
1. Kerusakan ginjal selama 3 bulan
Yang dimaksud terdapat kerusakan ginjal adalah bila dijumpai kelainan
struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan
salah satu manifestasi:
-Kelainan patologi
-Petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau
urine, atau kelainan radiologi.
2. GFR 60 ml/men/1,73m2 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.
GFR 60 ml/men/1,73m2 3 bulan diklasifikasikan sebagai CKD
tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya kerusakan ginjal oleh
kerena pada tingkat GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah
kehilangan fungsinya 50% dan terdapat komplikasi. Disisi lain
adanya kerusakan ginjal tanpa memperhatikan tingkat GFR juga
diklasifikasikan sebagai CKD. Pada sebagian besar kasus, biopsy
ginjal jarang dilakukan, sehingga kerusakan ginjal didasarkan pada
adanya beberapa petanda seperti proteinuria, kelainan sedimen

43

(hematuria, pyuria dengan cast), kelainan darah yang patognomonik


untuk kelainan ginjal seperti sindroma tubuler (misalnya asidosis
tubuler ganjal, diabetes insipidus nefrogenik), serta adanya gambaran
radiologi yang abnormal, misalnya hidronefrosis. Ada kemungkinan
GFR tetap normal atau meningkat, tetapi sudah terdapat kerusakan
ginjal sehingga mempunyai resiko tinggi untuk mengalami 2 keadaan
utama akibat CKD, yaitu hilangnya fungsi ginjal dan terjadinya
penyakit kardiovaskular.3

3. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik


a. Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan pada
ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium
pertama penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk
memperlambat perkembangan CKD dan mengurangi resiko penyakit
jantung dan pembuluh darah.
b. Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat
fungsi ginjal kita mulai menurun, dokter akan memperkirakan
perkembangan CKD kita dan meneruskan pengobatan untuk
mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
c. Stadium 3
Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut pada
stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita
sebaiknya bekerja dengan dokter untuk mencegah atau mengobati
masalah ini.
d. Stadium 4
Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk
komplikasi CKD dan belajar semaksimal mungkin mengenai

44

pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan


membutuhkan persiapan.
e. Stadium 5
Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja
cukup untuk menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis
atau pencangkokan ginjal.
4. Etiologi
Tabel 2.2
Klasifikasi Penyakit ginjal Kronik berdasarkan Etiologi
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit
Tipe mayor ( contoh )
Penyakit ginjal
Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasma)
Penyakit ginjal non
diabetes

Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah


besar, hipertensi, mikroangiopathi)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik,
batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Rejeksi kronik

Penyakit pada

Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)

transplantasi

Penyakit recurrent (glomerular)


Transplant glomerulopathy

a. Infeksi saluran kemih (ISK)


ISK bagi dalam dua subkatagori yaitu ISK bagian bawah (pielonefritis
akut). Pielonefritis kronik adalah cedera ginjal yang progresip berupa
kelainan ginjal disebabkan, oleh infeksi yang berulang dan menetap
pada ginjal, yang menyebabkan kelainan anatomi pada ginjal dan

45

saluran kemih seperti refluks vesiko, ureter, obstruksi, kalkuli atau


kandung kemih neurogonik. Kerusakan ginjal pada pielonefritis
akut/kronik atau disebut juga nefropati refluks diakibatkan refluks urin
yang terinfeksi ke uretra dan masuk kedalam parenkim ginjal (refluks
internal). Piolonefritis kronik yang disertai refluks vesikoureter
merupakan penyebab utama gagal ginjal pada anak-anak.
b. Nefrosklerosis Hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat.
Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer atau penyakit ginjal
kronik merupakan pemicu hipertensi melalui mekanisme retensi Na
dan air, pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensin mungkin
juga melalui defisiensi prostaglandin. Nefrosklerosis menunjukan
adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal sebagai akibat
hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama gagal
ginjal kronik, terutama pada populasi yang bukan orang kulit putih.
c. Glomerulonefritis
Glomerulonepritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan dimulai balam glomerulus dan bermanifestasi sebagai
proteinuria dan hematuria. Meski lesi terutama pada glomerulus, tetapi
seluruh

nefron

pada

akhirnya

akan

mengalami

kerusakan,

mengakibatkan gagal ginjal kronik.


d. Penyakit ginjal polikistik
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista-kista multiple bilateral
yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Ginjal
dapat membesar dan terisi oleh klompok-klompok kista yang
menyarupai anggur. Perjalanan penyakit progresip cepat dan
mengakibatkan kematian sebelum mencapai usia 2 tahun. Tanda dan
gejala yang sering tampak adalah rasa sakit didaerah pinggang,
hematutia, poliuria, proteinuria dan ginjal membesar teraba dari luar.
Komplikasi yang sering terjadi adalah hipertensi dan infeksi saluran

46

kemih. Penyakit ginjal polikistik merupakan penyebab ketiga tersering


gagal ginjal stadium akhir.
e. Gout
Gout merupakan suatu penyakit metabolic yang ditandai oleh
hiperurisemia (peningkatan kadar asam urat plasma). Lesi utama pada
gout terutama berupa endapan dan kristalisasi urat dan dalam cairan
tubuh. Pada gout kronik endapan kristal urat dalam interstisium ginjal
dapat menyebabkan nefritis interstisial, nefrosklerosis dan ginjal yang
berjalan progresip lambat.
f. Diabetes mellitus
Nefropati diabetika merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang
umum pada penderita diabetes militus. Lesi ginjal yang sering
dijumpai adalah nefrosklerosis akibat lesi pada arteriola, pielonefritis
dan nekrosis papila ginjal dan glomerulus sklerosis. Lesi tersebut
disebabkan oleh peningkatan endapan matriks mesingeal. Membrane
basalis perifer juga lebih menebal. Mula-mula lumen kapilet masih
utuh tapi lambat laun mengalami obliterasi bersamaan dengan
berlanjutnya penyakit.
g. Hiperparatirodisme
Hiperparatiroidisme primer akibat hipersekresi hormone paratiroid
merupakan penyakit yang dapat menyebabkan nefrokalasinosis dan
selanjutnya dapat menyebutkan gagal ginjal. Penyebab yang paling
sering adalah adenoma kelenjar paratiroid.
h. Nefropati toksik
Ginjal rentan terhadap efek toksik, karena ginjal menerima 25 aliran
darah dari curah jantung dan ginjal merupakan jalur ekskresi
obligatorik untuk kebanyakan obat. Sehingga insufiensi ginjal
mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi dalam
cairan tubulus

47

5. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik


Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Proses berjalan secara kronik progresif
yang dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan masa ginjal
Sejalan dengan menurunnya masa ginjal, sebagai mekanisme kompensasi
maka nefron yang masih baik akan mengalami hiperfiltrasi oleh karena
peningkatan tekanan dan aliran kapiler glomerulus dan selanjutnya terjadi
hipertrofi. Hipertrofi struktural dan fungsional dari sisa nefron yang masih
baik tersebut terjadi akibat pengaruh molekul-molekul vasoaktif, sitokin
serta growth factor, hingga pada akhirnya akan terjadi proses skrerosis.
Aktifitas aksis Renin-Angiotensin internal juga berperan dalam terjadinya
hiperfiltrasi-hipertrofi dan sklerosis. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang
tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat,
sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban
eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran
darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai
suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End
Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan
hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. (2)

Gambar 2.5
Chronic Kidney Disease
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : (5)
-

Anemia

48

Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan


penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses
pembentukan eritrosit menimbulkan anemia ditandai dengan
penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan
penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK dapat
menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum)
yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik
uremik pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah
merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70
80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi
eritropoiesis
-

Sesak nafas
Adanya kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan
penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di
aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen
menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I
49

diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang


pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi
NaCl dan air volume ekstrasel meningkat (hipervolemia)
volume cairan berlebihan ventrikel kiri gagal memompa darah
ke perifer LVH peningkatan

tekanan atrium kiri

peningkatan tekanan vena pulmonalis peningkatan tekanan di


kapiler paru edema paru sesak nafas
-

Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat
penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H +
disertai dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH
plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik
meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah
nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat
melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah.
Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan
asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala
saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu
gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul
yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon
dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis

Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik
ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang
terdapat

di

aparatus

juxtaglomerulus

sehingga

mengubah

angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting


enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan
tekanan darah.

50

Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak
bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di
dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan
menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga
sendi akan terlihat membengkak, meradang dan nyeri

Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran
hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi
natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk
disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan
meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang
berlebihan

akan

menyebabkan

dilusi

natrium

di

cairan

ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan


saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah.
-

Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat
sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika
kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk
membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang
terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut
menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)

Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat.
Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar
paratiroid sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang.
Akibatnya terjadi demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya
PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap
51

rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun


terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun
pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat
ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat.
Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+
di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk
pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan
yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi
bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang
berkaitan

dengan

hipokalsemia

adalah

hiperfosfatemia,

osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena


reseptor PTH selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di
banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad),
diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ
tersebut.Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga
berperan dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral.
Biasanya hormon ini merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di
usus.

Namun

karena

terjadi

penurunan

kalsitriol,

maka

menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini


memperberat keadaan hipokalsemia
-

Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel
sel ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam
plasma. Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan
menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi
kalium

di

ginjal

akan

berkurang

sehingga

menyebabkan

hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan


dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga

52

dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon


dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental.
-

Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari
kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan
hipertensi. Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah
penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme
menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu
terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein berukuran
besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati
membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi
pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu dengan sindrom
nefrotik.

Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari
uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada
ginjal sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea
dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan
toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi
ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10%
dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan
neurologis, nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis
uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral adapat
terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan
koma uremikum.

53

ambar 2.6
Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis

54

55

6. Manifestasi Klinis
a. Sistem Gastrointestinal
1) Anoreksia, nausea dan muntah karena gangguan metabolisme
protein dalam usus, terbentuknya zat zat toksik dari metabolisme
bakteri usus seperti (amonia metil guanidin) serta sembabnya
mukosa usus.
2) Uremik yaitu ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri dimulut menjadi amonia. Sehingga nafas berbau amonia.
Akibat lain timbul stomatitis dan parotitis.
3) Gastritis erosif seperti ulkus peptikum dan klitis uremik.
b. Sistem Integumen
1) Kulit berwarna pucat akibat anemia
2) Gatal gatal karena toksin uremik dan pengendapan kalsium di
pori pori.
3) Ekimosis akibat gangguan hematologis.
4) Bekas garukan karena gatal.
c.

Sistem Hematologi
1) Anemia
Penyebabnya yaitu berkurangnya produksi eritropoetin sehingga
terjadi pengurangan eritropoesis pada sumsum tulang belakang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana
uremik, defesiensi asam folat akibat nafsu makan yang berkurang,
perdarahan pada saluran cerna dan fibrosis pada sumsum tulang
akibat hipertiroid sekunder.
2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
Mengakibatkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit
yang berkurang.
3) Gangguan fungsi leukosit
Hiperpigmentasi leukosit, pagositosis dan kemotaksis berkurang,
fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.

56

d. Sistem Syaraf dan otot


1) Pegal pada tungkai bawah dan selalu menggerak gerakkan
kakinya (Restless leg syndrome).
2) Rasa kesemutan dan sepserti terbakar terutama pada telapak kaki
(Burning feet syndrome).
3) Encefalopati metabolic seperti lemah, tidak bisa tidur, gangguan
konsentrasi, tremor dan kejang kejang.
e. Sistem Kardiovaskuler
1) Hipertensi, akibat penimbunan cairan dari garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron.
2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, gagal jantung akibat
penimbunan cairan dan hipertensi.
3) Gangguan irama jantung, gangguan elektrolit.
4) Edema akibat penimbunan cairan
f. Sistem Endokrin
1) Gangguan seksual yaitu pada laki laki libido menurun dan pada
wanita gangguan menstruasi (amenore).
2) Gangguan toleransi glukosa.
3) Gangguan metabolisme lemak
4) Gangguan metabolisme Vitamin D.
g. Gangguan sistem lain
1) Tulang : osteodistrofi renal, osteomalasia, klasifikasi metastatik.
2) Asam basa : asidosis metabolic akibat penimbunan asam organik.
3) Elektrolit : hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia.
7. Diagnosis
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien CKD meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang
mendasari seperti diabetes mellitus, ISK, BSK, hipertensi, hiperurikemi,
SLE dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah,

57

letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, volume overload, neuropati


perifer,

pruritus,

perikarditis,

kejang

sampai

koma.

c).

Gejala

komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah


jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (K,Na,Cl).2
Pemeriksaan Penunjang
Penyakit ginjal kronis biasanya tidak menimbulkan gejala pada tahap
awal. Hanya tes laboratorium dapat mendeteksi masalah berkembang.
Siapapun pada peningkatan risiko untuk penyakit ginjal kronis harus
secara rutin diuji untuk perkembangan penyakit ini.

Urin, darah, dan pencitraan tes ( X - ray ) digunakan untuk mendeteksi


penyakit ginjal, serta mengikuti kemajuannya, seperti kelainan jantung

kongestif, effusi pleura.


Semua tes ini memiliki keterbatasan. Mereka sering digunakan
bersama-sama untuk mengembangkan gambaran sifat dan tingkat dari

penyakit ginjal.
Secara umum, pengujian ini dapat dilakukan secara rawat jalan.

Tes Urine
Urinalisis: Analisis urin memberi wawasan yang sangat besar ke dalam
fungsi dari ginjal. Langkah pertama dalam urine adalah melakukan tes
dipstick. Dipstick ini memiliki reagen yang memeriksa urin untuk
kehadiran konstituen normal dan abnormal berbagai termasuk protein.
Kemudian, urin diperiksa dibawah mikroskop untuk mencari sel-sel darah
merah dan putih, dan adanya gips dan kristal (padatan).
a. Tes urine dua puluh empat jam: Tes ini menggunakan urine yang
dikumpulkan selama 24 jam berturut-turut. Urin dapat dianalisa untuk
produk protein dan limbah (urea nitrogen, dan kreatinin). Keberadaan
protein dalam urin mengindikasikan kerusakan ginjal. Jumlah kreatinin
dan urea diekskresikan dalam urin dapat digunakan untuk menghitung
tingkat fungsi ginjal.

58

Hasil urinalasis mungkin menunjukan hal sebagai berikut:


1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (oliguria) atau urine
tidak ada (anuria)
2) Warna: secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat atau urat, sedimen kotor,
kecoklatan menunjukkan adanya darah, hb, mioglobin porfirin.
3) Berat jenis: kurang dari 1,015 (menetap pada 1.010 menunjukan
kerusakan ginjal berat.
4) Osmolaritas: kurang dari 300 mosm/kg menunjukan kerusakan
tubular dan rasio urin = Serum sering 1:1
5) Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
6) Natrium : lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorpsi natrium
7) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4) secara kuat menunjukan
kerusakan glomerulus bila sel darah merah dan fragmen juga ada
Tes Darah
Kreatinin dan urea (BUN) dalam darah: darah urea nitrogen dan serum
kreatinin adalah tes darah yang paling umum digunakan untuk diagnosis,
dan memonitor penyakit ginjal. Kreatinin adalah produk dari kerusakan
otot normal. Urea adalah produk limbah dari pemecahan protein. Tingkat
zat ini meningkat dalam darah sebagai memperburuk fungsi ginjal.
Rumus Cockcroft-Gault untuk memperkirakan CrCl harus digunakan
secara rutin sebagai sarana sederhana untuk memberikan pendekatan yang
dapat diandalkan fungsi ginjal residu pada semua pasien dengan penyakit
ginjal kronis. Rumus adalah sebagai berikut:

CrCl (pria) = ([140-usia] berat badan dalam kg) / (serum kreatinin 72)

Perkiraan GFR (eGFR): GFR adalah cara standar untuk menyatakan


CrCl (perempuan) = CrCl (pria) 0,85

fungsi ginjal secara keseluruhan. Sebagai penyakit ginjal berlangsung,


59

GFR turun. GFR normal adalah sekitar 100-140 ml / menit pada pria dan
85-115 mL / menit pada wanita. Nilai GFR juga berkurang pada lansia.
GFR dapat dihitung dari jumlah produk sampah di urin 24-jam. Perkiraan
GFR (eGFR) dapat dihitung dari tes darah rutin pasien Pasien dibagi
menjadi lima tahap penyakit ginjal kronis didasarkan pada mereka GFR.
Pemeriksaan pencitraan
X - ray : Sebuah pyelogram retrograde dapat diindikasikan jika indeks
kecurigaan yang tinggi klinis untuk obstruksi meskipun ada sebuah
temuan negatif pada ginjal ultrasonografi. Pyelography intravena tidak
umum dilakukan karena potensi toksisitas ginjal dari kontras intravena,
namun prosedur ini sering digunakan untuk mendiagnosa batu ginjal. Plain
perut x-ray sangat berguna untuk mencari batu radio-opak atau
nefrokalsinosis. Sebuah voiding cystourethrogram (VCUG) merupakan
standar kriteria untuk diagnosis refluks vesicoureteral

USG: USG sering digunakan dalam diagnosis penyakit ginjal. USG adalah
jenis tes noninvasif pencitraan. Secara umum, ginjal menyusut dalam
ukuran pada penyakit ginjal kronis, meskipun mereka mungkin normal
atau bahkan dalam ukuran besar dalam kasus-kasus disebabkan oleh

60

penyakit ginjal polikistik dewasa, nefropati diabetik, dan amiloidosis.


USG juga dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya obstruksi saluran
kemih, batu ginjal dan juga untuk menilai aliran darah ke ginjal.

Biopsi: Sebuah contoh dari jaringan ginjal (biopsi) kadang-kadang


diperlukan dalam kasus-kasus di mana penyebab dari penyakit ginjal tidak
jelas. Biasanya, biopsi dapat dikumpulkan dengan anestesi lokal dengan
memperkenalkan jarum melalui kulit ke dalam ginjal.
CT scan / MRI : Sebuah computed tomography (CT) scan berguna untuk
lebih menentukan massa ginjal dan kista biasanya dicatat pada USG. Juga,
adalah tes yang paling sensitif untuk mengidentifikasi batu ginjal. IV
kontras ditingkatkan CT scan harus dihindari pada pasien dengan
gangguan ginjal untuk menghindari gagal ginjal akut; risiko ini secara
signifikan meningkatkan pada pasien dengan moderat sampai berat
penyakit ginjal kronis. Dehidrasi juga nyata meningkatkan risiko ini.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) sangat berguna pada pasien yang
memerlukan CT scan tetapi tidak bisa menerima kontras intravena. Hal ini
dapat diandalkan dalam diagnosis trombosis vena ginjal, seperti CT scan
dan venography ginjal. Magnetic resonance angiography juga menjadi
lebih berguna untuk diagnosis stenosis arteri ginjal, meskipun arteriografi
ginjal tetap menjadi standar kriteria.

61

8. Penatalaksanaan Konservatif Gagal Ginjal Kronik.


Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 2030% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak
banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG untuk mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk
keadaan pasien.
3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus adalah :
o Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam
tubuh tetapi di pecah menjadi urea dan substansi nitrogen
lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal selain itu
makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,
posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya juga dieksresikan
melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein

pada

penderita

gagal

ginjal

kronik

akan

mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion


anorganik lainnya dan mengakibatkan sindrom uremia.
Pembatasan

asupan

protein

juga

berkaitan

dengan

pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu


berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
62

LGF ml/menit
>60
25 60

Asupan protein g/kg/hari


Fosfat g/kg/hari
Tidak dianjurkan
Tidak dibatasi
0,6

0,8/kg/hari, < 10 g
termasuk > 0,35 gr/kg/hr
nilai biologi tinggi
0,6

0,8/kg/hari, < 10 g

5 -25

termasuk > 0,35 gr/kg/hr


protein

nilai

biologi

tinggi atau tambahan 0,3


g asam amino esensial
atau asam keton
0,8/kg/hari
(+1

<60(sind.nefrotik)

protein/

gr < 9 g

proteinuria

atau 0,3 g/kg tambahan


asam

amino

esensial

atau asam keton


o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian
obat antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat
untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron
dengan

mengurangi

hipertensi

intraglomerular

dan

hipertrofi glomerulus
4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan

cara

pengedalian

pengendalian

dislipidemia,

DM,

pengendalian

pengedalian

anemia,

hipertensi,
pengedalian

hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan


keseimbangan elektrolit.
5) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
-

Anemia

63

Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin


< 10 g% atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap
status besi ( kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat
besi total/ total iron binding capacity, feritin serum),
mencari

sumber

perdarahan

morfologi

eritrosit,

kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin


(EPO)

merupakan

hal

yang

dianjurkan.

Sasaran

hemoglobin adalah 11 12 g/dl.


-

Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
i.

Mengatasi hiperfosfatemia
Pembatasan asupan fosfat 600 800 mg/hari
Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium,
alluminium

hidroksida,

garam

magnesium.

Diberikan secara oral untuk menghambat absorpsi


fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium
yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan calcium acetate
Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat
menghambta reseptor Ca pada kelenjar paratiroid,
dengan nama sevelamer hidrokhlorida.
ii.

Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat
darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) >
2,5 kali normal karena dapat meningkatkan absorpsi
fosfat dan kaliun di saluran cerna sehingga
mengakibatkan

penumpukan

garam

calcium

carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi


metastatik, disamping itu juga dapat mengakibatkan
penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar
paratiroid.
64

iii.

Pembatasan cairan dan elektrolit


Pembatasan

asupan

cairan

untuk

mencegah

terjadinya edema dan kompikasi kardiovaskular


sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk
dianjurkan 500 800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah
kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan
karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia
jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat
obat yang mengandung kalium dan makanan yang
tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus
dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 5,5
mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam
natrium

yang

diberikan,

disesuaikan

dengan

tingginya tekanan darah dan derajat edema yang


terjadi.
-

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pasien dengan gagal


ginjal lanjut mengalami peningkatan jumlah cairan ekstraseluler
karena retensi cairan dan natrium. Peningkatan cairan intravaskuler
menyebabkan hipertensi, sementara ekspansi cairan ke ruang
interstisial

menyebabkan

edema.

Hiponatremi

sering

juga

ditemukan pada kasus GGK lanjut akibat ekskresi air yang


menurun oleh ginjal. Penatalaksanaan meliputi retraksi asupan
cairan dan natrium serta pemberian terapi diuretic. Jenis diuretic
yang menjadi pilihan adlah furosemid karena efek furosemid
tergantung pada sekresi aktif ditubulus proksimal. Asupan cairan
dibatasi < 1000ml/hari pada keadaan berat < 500 ml/hari. Natrium
diberikan < 2-4 gram/hari.
-

Asidosis metabolic. Manifestasi timbul apabila GFR < 25


ml/menit. Diet rendah protein 0,6 gram/hari membantu mengurangi

65

kejadian asidosis. Bila bikarbonat serum turun sampai < 15-17


mEq/L harus diberikan substitusi alkali (tablet natrium bikarbonat).
-

Hiperkalemia terjadi akibat ekskresi kalium melalui urin


berkurang,

keadaan

metabolic,

makanan

(pisang)

dapat

meningkatkan kadar kalium. Hiperkalemia dapat menimbulkan


kegawatan jantung dan kematian mendadak akibat aritmia kordis
yang fatal. Untuk mengatasi kegawatan akibat hiperkalemi dapat
diberikan obat-obat berikut:
a) Kalsium glukosa 10%, 10 ml darah waktu 10 menit IV.
b) Bikarbonas natrikus 50-150 mEq IV dalam waktu 15-30 menit.
c) Insulin dan glukosa 6 U insulin dan glukosa 50 g dalam waktu
1 jam.
d) Kayexalate (resin pengikat kalsium) 25-50 gram oral atau
rectal.
-

Kalsium dan Fosfor.


Untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, kadar
fosfor serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor (daging
dan susu). Apabila GFR < 30 ml/menit,diperlukan pemberian
pengikat fosfor seperti kalsium karbonat atau kalsium asetat serta
pemberian vitamin D yang bekerja meningkatkan absorbsi kalsium
di usus. Vitamin D juga mensupresi sekresi hormone paratiroid.

Hiperuresemia. Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg


apabila kadar asam urat >10mg/dl atau apabila adaa riwayat
penyakit gout.

6) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal


Penatalaksanaan konservatif dihentikan apabila pasien sudah memerlukan
dialysis tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10
mL/ menit dan ditemukan keadaan berikut :
a. Asidosis metabolic yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
b. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
66

c. Overload cairan (edema paru)


d. Ensefalopati uremik, penurunan kesadaran
e. Efusi pericardial
f. Sindrom uremia: mual, muntah, anoreksia dan neuropati yang
memburuk
Dialisis
Ada dua jenis dialisis 1) hemodialisis dan 2) dialisis peritoneal.
Dialisis Akses
Sebuah akses vaskular diperlukan untuk hemodialisis sehingga darah dapat
dipindahkan meskipun filter dialisis pada kecepatan cepat untuk memungkinkan
pembersihan limbah, racun, dan kelebihan cairan. Ada tiga jenis akses vaskular:
fistula arteriovenosa (aVF), graft arteriovenosa, dan kateter vena sentral.
1. Fistula arteriovenosa (aVF): Akses

yang lebih disukai untuk

hemodialisis adalah aVF, dimana arteri secara langsung bergabung ke


pembuluh darah. Vena ini memakan waktu dua sampai empat bulan untuk
memperbesar dan matang sebelum dapat digunakan untuk cuci darah.
Setelah matang, dua jarum ditempatkan ke dalam vena untuk dialisis. Satu
jarum digunakan untuk menarik darah dan dijalankan melalui mesin
dialisis. Jarum kedua adalah untuk mengembalikan darah dibersihkan.
AVFs cenderung tidak terinfeksi atau mengembangkan gumpalan dari
jenis lainnya akses dialisis.
2. Graft arteriovenosa: Sebuah graft arteriovenosa ditempatkan pada
mereka yang memiliki pembuluh darah kecil atau dalam fistula yang telah
gagal dibuat. Teknik ini terbuat dari bahan buatan dan jarum dialisis
dimasukkan ke dalam jalur secara langsung.
3. Kateter vena sentral: Sebuah kateter mungkin baik sementara atau
permanen. Pipa ini yang baik ditempatkan di leher atau pangkal paha ke
dalam pembuluh darah besar. Meskipun kateter memberikan akses
langsung untuk cuci darah, mereka rentan terhadap infeksi dan juga dapat
menyebabkan pembuluh darah menggumpal atau sempit.

67

Peritoneal akses (untuk dialisis peritoneal): Sebuah kateter ditanamkan ke dalam


rongga perut (dibatasi oleh peritoneum) dengan prosedur bedah minor. Kateter ini
adalah tabung tipis yang terbuat dari bahan yang fleksibel lembut, biasanya
silikon atau poliuretan. Kateter biasanya memiliki satu atau dua manset yang
membantu menahannya di tempat. Ujung kateter mungkin lurus atau melingkar
dan memiliki beberapa lubang untuk memungkinkan jalan keluar dan kembali
cairan. Meskipun kateter dapat digunakan segera setelah implantasi, biasanya
disarankan untuk menunda dialisis peritoneal selama minimal 2 minggu sehingga
memungkinkan penyembuhan dan mengurangi risiko kebocoran berkembang.
Hemodialisis
Hemodialisis melibatkan sirkulasi darah melalui filter atau dialyzer pada mesin
dialisis.

Dialyzer memiliki dua kompartemen cairan dan dikonfigurasi dengan

kumpulan berongga tabung kapiler serat.


Darah di kompartemen pertama dipompa sepanjang satu sisi membran
semipermeabel, sedangkan dialisat (cairan yang digunakan untuk
membersihkan darah) dipompa sepanjang sisi lain, dalam kompartemen

yang terpisah, dalam arah yang berlawanan.


Konsentrasi gradien zat antara darah dan dialisat menyebabkan perubahan
yang diinginkan dalam komposisi darah, seperti pengurangan produkproduk limbah (urea nitrogen dan kreatinin), sebuah koreksi kadar asam,

dan equilibrium tingkat mineral berbagai.


Pengeluaran kelebihan cairan.
Darah kemudian kembali ke tubuh.

68

Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal menawarkan hasil terbaik dan kualitas terbaik dari kehidupan.
Transplantasi ginjal Sukses terjadi setiap hari di Amerika Serikat. Transplantasi
ginjal dapat berasal dari donor hidup terkait, donor hidup tidak berhubungan, atau
orang yang telah meninggal karena sebab lain (donor kadaver).

9. Prognosis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa GFR diperkirakan lebih rendah, lebih tinggi
albuminuria, usia muda, dan seks laki-laki menunjuk sebuah pengembangan yang
lebih cepat dari gagal ginjal. Juga, serum albumin rendah, kalsium, dan
bikarbonat, dan fosfat serum yang lebih tinggi dapat memprediksi peningkatan
risiko gagal ginjal. Angka kematian yang berhubungan dengan hemodialisis yang
mencolok dan menunjukkan bahwa harapan hidup pasien masuk ke hemodialisis
nyata dipersingkat.

69

Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya


buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan
sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri.
Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat
lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.

70

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J, 2004. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn. E. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan & Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi : 3, Jakarta : EGC.
Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi, 9. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.Jilid 2. Jakarta :
Mediaesculapius
Price, Sylvia A. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC
Silbernagl,Stefan.2006. Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2 Edisi 8.
Jakarta : EGC.
Suyono, Salmet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi III. Jakarta : Balai
Penerbit:FKUI
Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik. Jakarata : EGC

http://indonesianursing.com/AsuhanKeperawatanGagal GinjalKronik/2008/08/22

DAFTAR PUSTAKA
1. Melody H. Chronic Kidney Disease (serial online) Last update Mar/21/2010. [cited
Jun/30/2010,16.30]. Available from: URL: http://www.emedicinehealth.com
2. Ketut. S. Penyakit Ginjal Kronik, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Penerbitan IPD FKUI, Jakarta. 2006. Hal 581-584
3. Pranawa, M.Yagiantoro, Chandra I. Djoko S. Nunuk M. M.Thatha, dkk. Penyakit
Ginjal Kronis, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR RSU Dr.
Soetomo Surabaya. Airlangga University Press, Surabaya. 2007. Hal 221-229
4. Huriawati H, dkk, alih bahasa. Kamus Kedokteran Dorland. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. 2000. Hal 222, 2335
5. Kiersten M, Soren N, C.Craig T. Anatomy of the Kidney, In: Brenner & Rectors
The Kidney 8th Edition. Saunders Elsevier, Philadelphia. 2008. p. 25-31
6. M.Adji D, Petrus A, alih bahasa. Spalteholz-Spanner Atlas Anatomi Manusia
Bagian II Edisi 16. Hipokrates, Jakarta. 1994. Hal 249
7. National Kidney Foundation. Chronic Kidney Disease (CKD) (serial online) Last
update Mar/21/2010. [cited Jul/16/2010,18.56]. Available from:
URL:
http://www.kidney.org/kidneydisease/ckd/index.cfm
8. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, et all. Harrisons Manual of Medicine
17th Edition, International Edition. The McGraw Hill Companies. New York. 2009.
p.794-798
9. UK Natuional Kidney Federation. Chronic Kidney Disease (CKD) (serial online)
Last update Apr/29/2009. [cited Jun/29/2010,16.45]. Available from: URL:
http://www.kidney.org.uk/

10. Yoyo. Chronic Kidney Disease (CKD) (serial online) Last update Des/27/2008.
[cited
Jul/16/2010,20.57].
Available
from:
URL:
http://3rr0rists.com/medical/chronic-kidney-disease.html
11. Stefan S, Florian L. Color Atlas of Pathophysiology. Thieme, New York. 2000. p.92
12. Adi F. Usaha Memperlambat Perburukan Penyakit Ginjal Kronik ke Penyakit Ginjal
Stadium Akhir (serial online) Last update Mar/22/2010. [cited Jul/16/2010,20.57].
Available from: URL: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/pdf
13. Wikimedia Foundation. Chronic Kidney Disease (CKD) (serial online) Last update
Jul/04/2010. [cited Jul/16/2010,20.57]. Available from: URL: http://wikipedia.com
14. Andreas V. Chronic Renal Failure and its Progression (serial online) Last update
Apr/15/2010. [cited Jul/16/2010,20.57]. Available from: URL: http://edren.com
15. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi
2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 503.
16. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 1040.
17. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam UPH.
18. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification
and stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.
19. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110
115.
DAFTAR PUSTAKA

20. Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi VI.
Jakarta PB. I; 2014.
21. Isselbacher, et al. 2014. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih
bahasa Asdie Ahmad H, Edisi 13. Jakarta: EGC.
22. Wilson Lorraine M, Lester Lula B. 2012. Hati, Saluran Empedu, dan Pankreas.
In: Sylvia A. Price, Loraine M. Wilson, editors. Buku Patofisiologi. Buku 1. edisi
ke-6. Jakarta PB EGC; 2012.
23. Rani A. A. 2008. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB PAPDI.
24. Hadi S. 2013. Gastroenterologi. Bandung.
25. Longo, D.L., Fauci, A.S., 2013. Gastroenterohepatologi dan Hepatologi. Jakarta:
EGC
26.

Anda mungkin juga menyukai