Anda di halaman 1dari 28

BAB I

STATUS PASIEN
1.1 Identitas Pasien

Nama

: Tn. Repli

No. RM

: 01251962

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tanggal Lahir

: 03/10/1995

Umur

: 17 tahun

Pekerjaan

:-

Agama

: Islam

Status Perkawinan

: Belum menikah

Alamat

: Depok

Masuk Poliklinik

: 13 September 2013

Masuk Rawat Inap

: 13 September 2013

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal
16 September 2013.

Keluhan Utama
Bengkak di kedua kaki, perut dan mata sejak 1 bulan Sebelum Masuk
Rumah Sakit (SMRS)

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan bengkak pada kedua kaki, perut,
kedua mata serta muka sejak 1 bulan SMRS. Bengkak pertama kali mulai
terjadi di kaki kanan sejak 3 bulan SMRS. Seminggu kemudian, bengkak
terjadi pada kaki kiri. Bulan kedua setelah bengkak pada kedua kaki,
1

bengkak mulai terjadi pada bagian perut pasien. Bengkak semakin


memberat pada kaki, perut dan pada bulan ketiga (1 bulan SMRS) terjadi
bengkak pada mata pasien di pagi hari saat bangun tidur namun membaik
di sore hari. Bengkak semakin memberat dari bulan ke bulan sehingga
pasien harus berhenti bekerja sebagai kuli di toko material bangunan.
Bengkak disertai mual dan muntah setiap kali habis makan. Muntah berisi
makanan yang baru saja dimakan, darah (-), sebanyak 4 sendok makan.
Napsu makan pasien menjadi menurun sejak sakit. Pasien juga mengeluh
sakit kepala, mudah lelah, nyeri dada (-), namun sesak (+). Sesak terjadi
bila pasien berjalan sekitar 10 meter dan naik tangga. Sesak bertambah
bila duduk dan berkurang bila berbaring namun sesak tidak mengganggu
saat pasien tidur malam hari. Namun sesak pasien tidak harus
membutuhkan selang oksigen. Pasien merasa berat badannya turun karena
merasa semua baju pasien lebih longgar pada bagian lengan sejak sakit,
namun pasien tidak tahu berat badannya sebelum sakit. Pasien juga
mengeluh lebih sering terbangun dari tidur karena harus Buang Air Kecil
(BAK) pada malam hari. BAK berwarna kuning, berwarna seperti merah
seperti air cucian daging (-), berbusa (+), keluar pasir kecil (-), nyeri saat
BAK (-), anyang-anyangan (-). BAB pasien 2x sehari, padat, keras (-),
berwarna coklat muda (+), darah (-), berwarna hitam seperti aspal (-).
Pasien pernah berobat ke RS. Cibinong dan ditanyakan menderita penyakit
ginjal. Pasien telah berobat sebanyak 2 x namun tidak ada perbaikan
sehingga di rujuk ke RSUP Fatmawati.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat ISPA (+), asma (-), Hipertensi (-), penyakit paru (-), penykit ginjal
(-), penyakit jantung (-), riwayat merah atau ruam di kulit disangkal,
penyakit sendi dan tidak pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat mengalami penyakit yang sama di keluarga pasien (-), DM (-),
Hipertensi (+), Asma (-)

Riwayat Kebiasaan
Pasien merokok sejak 3 tahun SMRS 5-6 batang/hari namu sudah berhenti
sejak 3 bulan SMRS, minum alkohol (+) sebanyak 1-2 gelas (1 gelas
belimbing = 200cc) setiap kali minum kurang lebih 1 bulan sekali. Pasien
suka minum kopi 3 gelas/hari terutama di pagi hari. Sebelum sakit pasien
jarang minum air putih.

1.3 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Kompos Mentis

Sikap

: Berbaring

Kooperasi

: Kooperatif

Tinggi Badan

:150 cm

Berat Badan

: -

Keadaan Gizi

: Normal

Tekanan Darah

: 160/ 90 mmHg

Nadi

: 88 x/ menit, regular, isi cukup, equal

Pernafasan

: 16 x/ menit, regular, kedalaman cukup

Suhu

: 36,8 C (axilla)

Umu Balans/6 jam

: Input: Minum(600 cc) + IVFD (0) =

400 cc
Output: Urine(100cc)+IWL(100cc) = 200cc
Balance Cairan = +200 cc
3

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
Kepala

Hasil
Deformitas (-), rambut hitam, distribusi

Mata

tersebar merata, tidak mudah dicabut


Palpebra oedem (+/+), Xanthelasma (-/-),
konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor (+/+), reflek cahaya langsung dan

Telinga

tidak langsung (+/+)


Normotia (+/+), Nyeri tekan tragus dan anti
tragus (-/-), Nyeri Tarik (-/-), sekret (-/-),

Hidung

serumen (+/+), membran timpani intak (+/+)


Deviasi septum (-), nafas cuping hidung (-),

Mulut
Tenggorokkan

sekret (-), mukosa hiperemis (-)


Mukosa bibir lembab, sianosis (-)
Arcus faring simetris, faring hiperemis (-),

Leher
Jantung

T1-T1
KGB tidak teraba membesar, JVP 5-2 cm H2O
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi:
-

Batas jantung kanan: Linea sternalis


kanan

Batas jantung kiri : 1 cm medial dari


linea midklavukularis kiri

Pinggang jantung : ICS 3 linea


parasternalis kiri

Auskultasi : BJ I, II, reguler, murmur (-),


Paru

gallop (-)
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis,
retraksi sela iga.
Palpasi : vokal fremitus simetris teraba sama
4

kuat
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler +/+, rho -/-, wheezing
Abdomen

-/Cembung, tegang, nyeri tekan (-), hepar lien


sulit di nilai, bising usus (-), shifting dullnes
(+), undulasi (-),

Ekstremitas

Akral hangat, oedem di keempat ekstremitas,


pitting minimal, efloresensi bermakna (-),
CRT <2 detik

1.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
SGOT
SGPT
Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Luc
Protein Total
Albumin
Globulin
Asam Urat
Ureum Darah
Kreatinin Darah
Glukosa Darah

16/9/2013
12,6
38
7,4
365
4,42
89,9
28,5
33,2
14,4
24
11
0
5
57
32
4
2
3.0
1.4
1.6
4.8
60
1,5
72

Nilai Rujukan
13,2 - 17,3 g/dl
33 - 45 %
5,0 - 10,0 ribu/Ul
150 - 440 ribu/Ul
4,40 5,90 jt/Ul
80,0 100,0 fl
26,0 34,0 pg
32,0 36,0 g/dl
11,5 14,5 %
0 34 U/I
0 40 U/I
01%
13%
50 70 %
20 40 %
28%
< 4,5 %
6.00 8.00
3.40 4.80 g/dl
2.50 3.00 g/dl
<7 mg/dl
0 48 mg/dl
0.0 0.9 mg/dl
70 140

Sewaktu
Trigliserida
Kolesterol Total

428

< 150
< 200

HDL
Elektrolit
Na
K
Cl

42

30 63

139
3.43
114

135-147
3,10 5,10
95 108

Hasil Laboratorium Tanggal 17 September 2013


PUK
Urinalisis
Urobilinogen
Berat Jenis
Bilirubin
Keton
Nitrit
pH
Leukosit
Darah/Hb
Glukosa Urin/reduksi
Warna
Kejernihan
Sedimen Urin
Epitel
Leukosit
Eritrosit
Silinder
Kristal
Bakteri
Lain-lain

1681

< 150 mg/24 jam

0.2
1.025
5.5
3+
Yellow
Cloudy

<1 E.U./dl
1.005-1.030
Negative
Negative
Negative
4,8-7,4
Negative
Negative
Negative
Yellow
Clear

Positive
1-3
10-15
Negative
Negative
Positive
Negative

0-5/LPB
0-2/LPB
Negative/LPK
Negative
Negative
Negative

EKG

Sinus Rhytme

HR > 70 x/menit

Normoaxis

Gel P = 0,04

P-R interval = 0,12

QRS = 0,08

ST elevasi (-)

ST depres (-)
7

T inverted (-)

1.5. Resume
Tn. Repli Saman, 17 tahun, laki-laki, datang dengan keluhan bengkak pada
kaki, perut dan mata sejak 1 bulan. Bengkak mata serta muka sejak 1 bulan
SMRS. Bengkak pertama kali mulai terjadi di kaki kanan sejak 3 bulan SMRS.
Seminggu kemudian, bengkak terjadi pada kaki kiri. Bulan kedua setelah bengkak
pada kedua kaki, bengkak mulai terjadi pada bagian perut pasien. Bengkak
semakin memberat pada kaki, perut dan pada bulan ketiga (1 bulan SMRS) terjadi
bengkak pada mata pasien di pagi hari saat bangun tidur namun membaik di sore
hari. Bengkak disertai mual dan muntah setiap kali habis makan. Napsu makan
pasien menjadi menurun sejak sakit. Pasien juga mengeluh sakit kepala, mudah
lelah, sesak (+), PND (-), DOE (+), ortopnoe (-). Pasien merasa berat badannya
turun. Nocturia (+), warna kuning, berbusa (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan oedem anasarka dan konjungtiva pucat.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan anemia normositik normokrom,
hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia dan proteinuria.
1.5 Diagnosis Kerja
Sindroma Nefrotik
1.7. Diagnosis Banding
Nefritis Lupus
1.8 Analisa kasus
Sindroma Nefrotik
Dari anamnesis pasien mengeluh bengkak di kaki, perut, hingga ke wajah,
nocturia, dan kencing berbusa. Dari pemeriksaan fisik didapatkan oedem anasarka
8

dan dari pemeriksaan penunjang didapat anemia normositik normokrom (Hb 12,6
g/dl; MCV 85,9; MCH; 28,5; MCHC 33,2), hipoalbuminemia (Albumin 1,4),
proteinuria masif (1,4 g/dl), hiperkolesterolemia ( TG 483, Kolesterol <200,
HDL< 42) , mikrohematuria (pada Urinalisis didapat darah/Hb 3+).
Pada penatalaksanaan pasien ini, diberikan terapi non farmakologis dan
farmakologis. Untuk non farmakologis, pasien di edukasikan untuk membatasi
carian (minum) 600 ml/ hari. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya
ekstravasasi cairan intravaskuler ke jaringan interstitiel yang akan menyebabkan
oedem anasarka pada pasien ini. Sedangkan untuk terapi farmakologis pada pasien
ini diberikan diuretik dan anti hipertensi. Diueretik yang diberikan pada pasien ini
yaitu Furosemid dengan dosis 2 x 40 mg iv. Anti hipertensi yang diberikan adalah
captopril dengan dosis 2 x 25 mg po. Furosemid merupakan obat antihipertensi
golongan diuretik kuat (Loop Diuretic). Diuretik kuat bekerja di ansa henle
asenden bagian tebal dengan menghambat kotransport Na, K, Cl dan menghambat
resorpsi air dan elektrolit. Pemberian obat ini bertujuan untuk mengatasi oedem
yang terjadi pada pasien. Captopril merupakan obat antihipertensi golongan ACE
Inhibitor (Angiotensin Converter Enzim). Obat ini diginjal menyebabkan
vasodilatasi arteri renalis sehingga meningkatkan aliran darah ginjal dan secara
umum akan memperbaiki laju filtrasi glomerulus. Pada sirkulasi glomerulus, ACE
inhibitor menimbulkan vasodilatasi lebih dominan pada arteriol aferen sehingga
menurunkan tekanan intraglomerulaer.
Prognosis pada pasien ini umunya baik karena dapat dengan cepat di
diagnosa dan dilakukan tatalaksana pada pasien ini. Namun ada beberapa hal yang
dapat memperburuk prognosisnya seperti adanya hipertensi. Karena penyakit ini
memiliki angka kekambuhan yang cukup tinggi maka prognosis untuk
kekambuhannya buruk.
Nefritis Lupus
Diagnosis banding pada pasien ini nefritis lupus karena merupakan salah
satu penyebab tersering yang dapat menyebabkan sindroma nefrotik. Selain itu,
pada pemeriksaan laboratorium ditemukan hasil Protein Urin Kuantitatif 1681
mg/24 jam dan protein urin pada pemeriksaan urin lengkap yaitu 3+.
9

1.9 Pemeriksaan Anjuran


- Foto thorak PA
- Pemeriksaan USG ginjal
- Pemeriksaan ANA bila mampu laksana

1.10 Tatalaksana

Non Farmakologi

Restriksi cairan 600 ml/hari

Farmakologi

Furosemid 2 x 40 mg iv

Captopril 2 x 25 mg po

1.11 Prognosis

Ad Vitam

: Dubia ad bonam

Ad functionam

: Dubia ad bonam

Ad sanationam

: Dubia ad malam

10

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai
oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari),
hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia dan lipiduria.
Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus
yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Istilah sindrom
nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik dikarenakan
etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta histopatologinya
B. KLASIFIKASI
Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 2 kelompok:
A. Sindrom Nefritik Primer
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Sehingga dikatakan idiopatik namun diduga berhubungan dengan genetic
maupun imunologi alergi. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
11

Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital,


yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau
usia di bawah 1 tahun.
I. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan

sebagai

resesif

autosomal

atau

karena

reaksi

maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik


jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa
dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun jarang atau
bahkan tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

II. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan yang dibuat


berdasarkan histopatologinya, yaitu :
a.

Kelainan minimal

Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot


processus sel epitel berpadu (mikroskop elektron)

Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada


dinding kapiler glomerolus

Lebih banyak terdapat pada anak

Prognosis baik

b.

Nefropati membranosa

Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa


proliferasi sel

Prognosis kurang baik

c.

Glomerulonefritis proliferatif

Eksudatif difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus dan
terjadi pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler
tersumbat.
12

Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)


Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang
lobular.

Dengan bulan sabit (crescent)


Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan
viseral.

Glomelurosklerosis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membrana basalis de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau betaIA rendah.

d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental

Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus

Prognosis buruk

B. Sindrom Nefrotik Sekunder


Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai disebabkan oleh:

Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,


sindrom Alport, miksedema.

Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,


AIDS.

Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun


serangga, bisa ular.

Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,


purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis.

Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

C. EPIDEMIOLOGI
13

Pada pasien (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal
(75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat
dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. SN dapat menyerang semua
umur tetapi terutama menyerang pasien yang berusia antara 2-6 tahun. Anak lakilaki lebih banyak menderita dibandingkan anak perempuan dengan rasio 3:2. Pada
pasien kira-kira 90% disebabkan oleh panyakit Glomerulus primer dan 10%
adalah sekunder disebabkan oleh penyakit sistemik seperti nefritis HenochSchonlein, Lupus Eritematous Sistemik, amyloidosis dan sebagainya.
Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian
SN

idiopatik

2-3

kasus/100.000

anak/tahun

sedangkan

pada

dewasa

3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak


disebabkan oleh diabetes mellitus.
Sepertiga penderita SN tidak akan mengalami kambuh setelah remisi
pertama, namun duapertiga penderita SN akan mengalami kambuh. Angka
kekambuhan pada sindrom nefrotik kira-kira 70% dengan proteinuria dan edema
berulang.
D. PATOFISIOLOGI
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal
glomerulus. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang
bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Oedem
palpebra atau mata bengkak dipagi hari muncul akibat rendahnya kadar albumin
serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma sehingga terjadi
ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial, dimana palpebra merupakan
jaringan ikat paling longgar di tubuh kita.

14

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma


intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma (hipovolemi) atau volume sirkulasi efektif
merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium
dan air ini timbul sebagai usaha dari ginjal dalam mengkompensasi keadaan
dalam tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal.
Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan
demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat
ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang
memicu

aktivitas

sistem

renin-angiotensin-aldosteron

(RAAS),

hormon

katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan
air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill yang dijabarkan seperti bagan di
bawah ini :

15

Kelainan Glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminernia

Tekanan onkotik koloin plasma

Volume plasma

Retensi Na di tubulus distal dan sekresi ADH

EDEMA
Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua
penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan
penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep
baru yang disebut teori overfill yang dijabarkan seperti bagan di bawah ini:

16

Kelainan Glomerulus

Retensi Na renal primer


Albuminuria
Volume Plasma

Hipoalbuminemia

EDEMA
Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.
Pembentukan oedem palpebra pada sindrom nefrotik merupakan suatu
proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill
berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama,
karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula
oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol
disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama

17

pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan


VLDL ( very low density lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar
LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme.
Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL
menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL
( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme
VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan
onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun
diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol
acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini
juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk
katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia
yang terjadi pada SN.
E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi; menurunnya nafsu makan,
malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan
urin berbusa. Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di
intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada
rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat
akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum
ataupun labia mayor. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis
dan prolaps ani.
Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta
anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering
dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang
dengan adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.
Hepatomegali dapat di temukan, hal ini dikaitkan dengan sinteis protein yang

18

meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat nyeri perut kuadran kanan
atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut
Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi
psikososial yang merupakan akibat stress nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang.
Empat gejala klinis yang paling utama dari pasien Sindroma nefrotik
adalah sebagai berikut:
1. Proteinuria
Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang
terjadi lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain.
Jumlah protein dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh
(1gr/ m2/hari) atau 2-3,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan
perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan pada filter glomerulus.
2. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar
dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal.
Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju eksresi protein urin
dan derajat hipoalbuminemia. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun
tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin
normal atau menurun.
3. Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan
albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid
meningkat. Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1)
hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk
19

lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein


lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
4. Oedem palpebra atau edema
Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori
underfilled dan teori overfille. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema
terjadi karena menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein
melalui urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma,
yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan
intersisial. Penurunan volume intravakular menyebabkan penurunan tekanan
perfusi ginjal, sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron,
yang merangasang reabsorbsi natrium ditubulus distal. Penurunan volume
intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang mempertinggi
penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka
cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial
sehingga memperberat edema.
Sedangkan pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air
diakibatkan karena mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Serta adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan
permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta ginjal. Retensi natrium primer akibat
defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan plasma dan cairan ekstraseluler.
Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam ruang interstisial.

20

Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan
aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak
terdapat pada semua penderita Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di
pakai untuk menerangkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan volume
plama yang tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia.
F. DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu :
1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik
dimana dalam urin terdapat protein 40 mg/m2 lpb/jam atau > 50 mg/kgBB/
24 jam, atau rasio albumin/ kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg, atau
dipstik 2+. Proteinuria pada sindrom nefrotik kelainan minimal relatif
selektif, yang terbentuk terutama oleh albumin.
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum < 2,5 g/dl. Harga normal kadar albumin plasma pada anak
dengan gizi baik berkisar antara 3.6-4.4 g/dl. Pada sindrom nefrotik retensi
cairan dan oedem palpebra baru akan terlihat apabila kadar albumin plasma
turun dibawah 2.5-3.0 g/dl, bahkan sering dijumpai kadar albumin plasma
yang jauh dibawah kadar tersebut.
3. Oedem anasarka
4. Hiperlipidemia
Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia (kolesterol
serum lebih dari 200 mg/dl).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1.

Urinalisis dan bila perlu biakan urin.

2.

Protein urin kuantitatif, dapat berupa urine


24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari

3.

Pemeriksaan darah

21

a. Darah

tepi

(hemoglobin,

leukosit,

hitung

jenis,

trombosit,

hematokrit,LED)
b. Kadar albumin dan kolestrol plasma
c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kratinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwatz
d. Titer ASO dan kadar komplemen C3 bila terdapat hematuria
mikroskopis persistent.
e. Bila curiga LES, pemeriksaan dilengkapi dengan pemeriksaan kadar
komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody) dan anti-dsDNA.
G. PENATALAKSANAAN
Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan
edema, memulai pengobatn steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan
streoid di mulai, dilakukan pemeriksaan uji mantoux. Bila hasilnya positif
diberikan profilaksis INH bersama streoid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya
dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah
infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan
aktifitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak
boleh sekolah.
Diet
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap
kontra indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan
sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerrulus. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari dengan kalori yang
adekuat. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP)
dan hambatan pertumbuhan pasien. Lemak dapat diberikan dengan jumlah yang
tidak melebihi 30% jumlah total kalori keseluruhan, lebih di anjurkan
22

memberikan karbonhidrat kompleks dari pada gula sederhana. Restriksi garam


dan cairan tidak diperlukan pada sebagian besar kasus sindrom nefrotik sensitif
steroid. Diet rendah garam (1-2 g/hari, atau 2 mmol/kg/hari) plus menghindar
camilan asin, dianjurkan selama pasien mengalami edema atau hipertensi.
Oedem Palpebra
Sebagian pasien dengan oedem palpebra ringan tidak memerlukan
diuretik.
Pasien dengan oedem palpebra nyata tanpa deplesi volume intravaskular
diberikan terapi sebagai berikut. Dimulai dengan furosemid 1-3 mg/kgBB/hari 2
kali sehari. Bila tidak ada respons, dosis dinaikkan sampai 4-6 mg/kgBB/hari
bersama dengan spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3 mg/kg/hari, sebagai
pottasium-sparing agent (diuretik hemat kalium). Kadang-kadang perlu diberikan
furosemid bolus intravena atau infus. Pemakaian diuretik lebih dari 1 minggu
dengan dosis tinggi harus hati-hati, perlu pemantauan terhadap hipovolumia dan
elektrolit serum.
Intake air tidak perlu direstriksi, kecuali pada pasien dengan oedem
palpebra hebat. Pada keadaan tersebut, intake cairan dibatasi sesuai dengan
insensible loss plus jumlah urine sehari sebelumnya.
Terapi diuretik kadang-kadang tidak efektif bahkan dapat membahayakan
pasien yang mengalami hipoalbuminemia (albumin serum < 1,5 g/dL) plus deplesi
volume intravaskular. Pemberian infus albumi 20% dengan furosemid dapat
memacu diuresis dan mengurangi oedem palpebra. Pada keadaan demikian
kadang-kadang diperlukan beberapa kali infus albumi. Bila pemberian diuretik
tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya disebabkan oleh
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin 1 g/dl), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstitial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid
intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi beaya, dapat diberikan
plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk
mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila di perlukan, albumin
23

atau plasma dapat diberikan selang-sehari untuk memberikan kesempatan


pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Pemberian plasma berpotensi
menyebabkan penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lain lain. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernafasan dapat dilakukan fungsi asites
berulang.
H. KOMPLIKASI
1. Infeksi
Pasien dengan NS berada pada risiko yang lebih tinggi terkena infeksi,
sebagian karena penyakit itu sendiri dan sebagian karena terapi imunosupresif.
Mereka memiliki kecenderungan yang kuat untuk infeksi pneumokokus. Beberapa
ahli mengusulkan bahwa pasien dengan NS diberikan profilaksis penisilin selama
relaps dari penyakit ini. Penting untuk diingat bahwa bakteri gram negatif
menyebabkan

proporsi

yang

signifikan

dari

infeksi

pada

pasien

dengan NS, dan sampai organisme telah diidentifikasi dalam pasien tertentu,
antibiotika

spektrum

luas

harus

ditentukan.

Pasien

pada

obat-obatan

imunosupresif, jika terkena infeksi varicella, sebaiknya menerima imunoglobulin


zoster dalam waktu 72 jam. Pasien dengan varicellaharus ditangani dengan infus
asiklovir.
2. Hipovolemia
Shock dan hipovolemia umumnya terjadi pada perkembangan edema.
Kehilangan cairan selama diare, muntah, sepsis dan terapi diuretik secara gegabah
memicu terjadinya hipovolemia. Tanda-tanda klinis dan gejala termasuk kram
pusat perut parah dengan atau tanpa muntah, penurunan output urine, kaki dingin,
tekanan darah rendah atau hipertensi reaktif. Laboratorium temuan natrium urin
rendah (<10 mEq / l) dan hematokrit meningkat menandakan shock hipovolemik.
pengobatan sangat penting dan infus koloid adalah andalan pengobatan; 4,5%
albumin, albumin 20% atau plasma harus diinfus perlahan-lahan di bawah
pengawasan hati-hati. Jika terjadi edema paru, infus harus dihentikan dan
diberikan furosemid intravena (1 mg / kg).
3. Hipertensi
24

Dalam sindrom nefrotik sensitive steroid (SSNS), tekanan darah biasanya


normal. Namun, hipertensi pada pasien dengan SSSN harus dievaluasi sangat hatihati. Ini mungkin mencerminkan hipervolemia atau vasokonstriksi ekstrim dalam
menanggapi hipovolemia dimediasi melalui sistem renin-angiotensin. kemudian,
kadar natrium urin akan sangat rendah. Jika tekanan darah melebihi batas normal,
terapi singkat antihipertensi dapat ditentukan setelah hipovolemia tidak
diperhitungkan. Umumnya obat antihipertensi yang digunakan adalah nifedipin,
hydralazine atau atenolol. Diuretik sangat berguna ketika hipertensi diakibatkan
overload cairan
4. Trombosis
Pasien dengan sindrom nefrotik dapat berkembang menjadi thrombosis
arteri dan vena. Kejadian thrombosis karena kombinasi factor hemodinamik dan
status hiperkoagulasi yang berhubungan dengan sindrom nefrotik. Ini terjadi
kehilanngan antitrombus melalui urine, sehingga meningkatkan resiko terjadinya
thrombosis pada sindrom nefrotik.

5. Gagal Ginjal Akut


Gagal ginjal akut sangat jarang terjadi pada SSNS, tetapi derajat ringan azotemia
prerenal terlihat dalam hubungan hipovolemia yang merespon penggantian
volume.
6. Osteoporosis
Risiko osteoporosis terpengaruh-steroid memiliki implikasi signifikan
jangka panjang. Faktor prediktif massa tulang yang rendah adalah usia lebih tua
saat onset, asupan kalsium yang rendah dan dosis steroid kumulatif.
7. Gizi Buruk :

25

Kehilangan protein darah terlalu banyak dapat mengakibatkan kekurangan


gizi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, tapi tertutupi oleh adanya
pembengkakan.

PROGNOSIS
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera
dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme
kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit
memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya
terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Factor yang paling penting dalam menentukan prognosis anak- anak
dengan sindrom nefrotik adalah kemampuan merespon steroid. Sementara lebih
dari 70 persen pasien dengan sindrom nefrotik sensitive steroid relaps dan hamper
50 persen memiliki relaps sering atau tergantung steroid, resiko mereka untuk
progersi kearah gagal ginjal kronis minimal. Studi-studi pada sajarah alam
menunjukkan bahwa 15-25 persen pasien dapat berlanjut menjadi relaps setelah
10-15 tahun setelah onset penyakit usia muda pada onset dan relaps sering selama
masa anak berhubungan dengan relaps pada masa dewasa.
Secara garis besar, prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaankeadaan sebagai berikut :

Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas
6 tahun.

Disertai oleh hipertensi.

Disertai hematuria.

Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.

Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.


Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi

respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
26

di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi
dengan pengobatan steroid.

DAFTAR PUSTAKA
1. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Kompendium
Nefrologi Anak. 2011.IDAI. Jakarta,
2. Lestari, Sukmarini, Sindrom Nefrotik. [online] 2009: www. fk-ui.com
3. Noer, MS. Pedoman Diagnosa dan Terapi Ilnau Kesehatan Anak. 2008:
RSUD dr. Soetorno Surabaya.
4. Wigya, IGN. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. 2004: FKUI. Jakarta.
5. Kasper, Dennis, M. 2005. Harrison's Principles of Internal Medicine, edisi 16.
New York. McGraw-Hill.
27

6. Komite Medik RSUD dr. Soebandi. 2002. Pedoman Diagnosis dan Terapi
SMF Ilmu Kesehatan Anak, Sindrom Nefrotik. Jember.
7.

A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan


Pelayanan Medik PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009

8.

Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan.


Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma. [cited
2010, Nov 28]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.
pdf/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.html

9.

Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17,


2010.

[cited

Dec

05,

2010].

Available:

http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
10. Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran., edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2001
11. Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia:
Elsevier saunders. 1996
12. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2010 Dec, 20]
13. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrisons Manual Of
Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806
14. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1.
4th

ed. Jakarta: IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549

15. Stephen JM, William G. Nephrotic Syndrome. Pathophysiology of Disease.


5th ed. USA: Lange-Mc Graw Hill. 2003. Page: 476-477

28

Anda mungkin juga menyukai