Anda di halaman 1dari 12

TUGAS INDIVIDU PATOLOGI

IKTERUS, SEPSIS, PULPY KIDNEY, DIFERENSIASI


RADANG DAN TUMOR

Disusun oleh:
Reinilda Alwina, SKH B94154335

Dosen penguji:
Dr Drh Wiwin Winarsih, MSi APVet

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

IKTERUS
Metabolisme bilirubin secara normal oleh hati:

Pemecahan secara ektsravaskular,

Uptake: hepatosit membuang bilirubin yang berikatan dengan albumin dari sirkulasi

Ikatan untu

Konjugasi: dengan asam glukoronat oleh UDP-glucuronyltransferase di retikulum endoplasma sehingga toksisitas berkurang dan la

Ekskresi: menuju empedu


Sirkulasi enterohepatik: Bilirubin terkonjugasi dikonversi jadi urob

Gambar 1 Skema normal metabolisme


bilirubin
hati
(A
Normal:
sedikitdi
pada
urin,

Ikterus dapat terjadi akibat bila kadar bilirubin, baik terkonjugasi maupun tak
terkonjugasi, tinggi dalam darah yang biasanya disebabkan oleh hiperbilirubinemia.
Ikterus dengan hiperbilirubinemia berbeda dengan ikterus, karena pada
hiperbilirubinemia belum tentu menunjukkan kejadian ikterus. Secara laboratoris,
ikterus dapat terdeteksi bila serum memiliki konsentrasi bilirubin lebih dari 1.5 hingga 2
mg/100 mL. Penyebab dari ikterus, dibagi menjadi 3 berdasarkan lokasi penyebabnya.

Ikterus / Jaundice
Hiperbilirubinemia
Prehepatik
Hemolisis
intravaskular

Produksi
berlebih
bilirubin akibat
hemolisis sel
darah merah
intravaskular
sehingga
melebihi
kapasitas hati
dalam
membuang
bilirubin dari
plasma dan
menyekresika
n bilirubin ke
empedu

Hepatik

Hemolisis
ekstravaskular

Perombakan
sel darah
merah melalui
hemolisis
ekstraselular
sehingga
melebihi
kapasitas hati
dan sekresi
bilirubin
terkonjugasi
ke kanalikuli
berupa
energydependant
process

Posthepatik
Cholestasis
ekstrahepatik

Penurunan uptake,
konjugasi atau
sekresi bilirubin
oleh hepatosit
akibat penyakit
yang parah (akut
atau kronis) dan
gangguan pada
kanalikuli empedu
dalam hati
(cholestasis
intrahepatik)

Penurunan
pengeluaran
empedu akibat
obstruksi pada
saluran empedu

Gambar 1 Skema ikterus berdasarkan lokasi penyebab (Vegad dan Swamy 2010)
Pada kejadian ikterus prehepatik, gangguan metabolisme bilirubin terdapat
pada bagian sebelum hati. Prehepatik dibagi menjadi 2 jenis penyebab, yaitu hemolisis
intravaskular dan hemolisis ekstravaskular. Saat terjadi hemolisis intravaskular,
kerusakan sel darah merah yang berlebih dalam vaskuler dapat memicu terjadinya
ikterus prehepatik. Banyaknya sel darah merah yang rusak menyebabkan peningkatan
fagositosis oleh makrofag yang kemudian memecah sel darah merah tersebut menjadi
bilirubin dan berikatan dengan plasma dalam vaskular sebagai bilirubin tak
terkonjugasi. Peningkatan bilirubin tersebut dapat melebihi kapasitas hati dalam
mengonjugasi bilirubin, sehingga sel darah merah yang tak terkonjugasi akan tetap
beredar dalam darah. Begitu pula pada kejadian hemolysis ekstravaskular, namun
perombakan sel darah merah terjadi di luar vaskular. Hal ini dapat terjadi akibat
beberapa hal, yaitu adanya penyakit hemolitik seperti babesiosis dan anaplasmosis,
infeksi virus, kelainan pada sel darah merah seperti AIHA (induce autoimmune
haemolytic anaemia) dan keberadaan toksin dari Clostridium haemolyticum pada sapi
(Vegad 2007).
Pada kejadian ikterus hepatik, gangguan yang terjadi berasal dari hati yaitu sel
hepatik dan kanalikuli empedu. Penyebab utama adalah kerusakan pada hepatoseluler
yang dapat memengaruhi pelepasan bilirubin, baik yang terkonjugasi maupun yang tak
terkonjugasi dalam darah, baik intrahepatik maupun ekstrahepatik (Ackermaan et al
2012). Kerusakan hepatosit ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (Leptospira), virus
(infectious canine hepatitis), toksin tanaman (Crotalaria), racun inorganic (fosfor) dan

komponen organik (Vegad 2007). Hal ini yang dapat menyebabkan adanya gangguan
sel hepatik dalam produksi enzim glukonil transferase dan gangguan ekskresi bilirubin
terkonjugasi (cholestasis intrahepatik) ke dalam empedu, sehingga terjadi akumulasi
bilirubin baik terkonjugasi maupun tak terkonjugasi dalam darah.
Pada posthepatik, terjadi gangguan ekskresi dari bilirubin terkonjugasi pada
sistem ekskresi hati (cholestasis ekstrahepatik) (Vegad 2007). Hal ini dapat disebabkan
beberapa hal, yaitu tumor pada duktus empedu, cholangitis, cholecystitis, pankreatitis,
atau tertutupnya duktus empedu berupa adanya obstruksi. Bila terjadi obstruksi secara
total, maka akan berefek pada gambaran feses yang berwarna abu dan putty-like,
sedangkan pada urin masih terdapat bilirubin terkonjugasi karena molekulnya yang
lebih kecil sehingga dapat difilter oleh ginjal. Pemeriksaan secara laboratorium pada
darah yang menjadi penanda khusus terhadap ikterus posthepatik dapat berupa
peningkatan enzim alkaline fosfatase (ALP).
Ikterus atau jaundice dapat dilihat secara antemortem melalui perubahan warna
pada jaringan yang kaya akan elastin seperti aorta dan sclera dan membrane mukosa
mulut, sistem urogenital dan sistem pencernaan. Secara postmortem, dapat
diidentifikasi pada omentum, mesenterium dan jaringan adipose, kecuali pada sapi
Jersey dan Guernsey, kuda dan nonhuman primates karena pada umumnya serum
dan lemak sudah berwarna kuning oleh karotenoid (Ackermann et al 2012). Secara
mikroskopik sulit untuk dideteksi, kecuali bila kadar bilirubin sangat banyak sehingga
dapat dilihat pada duktus empedu dan kanalikuli empedu, terutama pada kejadian
yang disebabkan obstruksi (hepatik dan posthepatik). Selain itu, penentuan jenis
bilirubin sangat membantu dalam menentukan jenis yang dapat menggunakan reaksi
Van den Bergh yaitu reaksi antara plasma atau serum dengan reagen Ehrlich (Vegad
2007) dimana bilirubin tak terkonjugasi menunjukkan reaksi yang lebih lama sekitar 10
menit hingga menimbulkan warna keemasan. Perbandingan antara ketiga tipe ikterus
menurut Vegad (2007) dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan ikterus tipe prehepatik, hepatik dan posthepatik

Warna jaringan,
plasma atau
serum
Warna feses
Konsistensi
feses
Warna urin
Index ikterus
Reaksi Van den
Bergh

Ikterus prehepatik

Ikterus hepatik

Kuning cerah
sampai sedikit pekat

Kuning cerah
sampai sedikit
pekat
Normal
Normal

Kuning pekat
Normal
Kuning cerah
Rendah sampai
sedang
Tidak langsung

Ikterus
posthepatik
Kuning pekat

Abu-abu
Berminyak

Kuning pekat
Sedang

Kuning pekat
Tinggi

Bifase

Langsung

SEPSIS
Keadaan dimana terdapat mikroorganisme bersama toksin yang dihasilkannya
berada dalam aliran darah dan seeding ke dalam darah melalui keberadaan koloni di
satu atau lebih jaringan dalam tubuh.

Septisemia
Gambar 2 Bagan kejadian bakteremia, sepsis dan pyaemia (Govan et al 1981)
atau
sepsis
merupkan kondisi yang dapat timbul akibat adanya organisme yang virulen seperti
Streptococci pyogenes, sindrom shock akibat komplikasi diinisiasi oleh penyebab yang
lain, terutama bila saluran pencernaan juga ikut serta karena organisme coliform
banyak terdapat dalam saluran cerna, dan akan lebih mudah terjadi pada organisme
yang mekanisme sistem imunnya mengalami gangguan atau dalam keadaan turun
(Govan et al 1981).
Septisemia harus dibedakan dengan emboli bakteri yang biasanya akan
membentuk koloni besar yang terlindung oleh sel debris dan fibrin dalam suatu
jaringan sepeti paru, hati, ginjal atau otak untuk membentuk infeksi sekunder (abses).
Namun proses tersebut terjadi secara subklinis dan ketika dilakukan pengecekan
darah tidak terlalu banyak menunjukkan hasil bakteri pada darah (Ackermann et al
2012).
Septisemia juga dapat terjadi akibat toksin yang dihasilkan oleh
mikroorganisme tersebut terhadap sel organisme ianng, sehingga perubahan mediator
kimia dalam tubuh dapat menimbulkan septic shock (Ackermann et al 2012). Hal
utama yang dapat terjadi bila kondisi septic shock terus berlanjut, antara lain
hemodinamik yang terganggu (penurunan tekanan darah dan peningkatan heart rate),
temperatur yang abnormal, hipofusi progresif dari mikrovaskular, hipoksia pada sel-sel,
penyesuaian jumlah leukosit dan platelet, disseminated intravascular coagulation
(DIC), kegagalan fungsi multiorgan dan kematian.

Organisme yang menginfeksi tubuh akan menimbulkan respon inflamasi


dengan bantuan aktivasi sel monosit, makrofag dan neutrofil kemudian berinteraksi
dengan sel endotel. Keberadaan mediator peradangan juga dapat menyebabkan
kerusakan endotel dimana jumlah selfagosit, komponen komplemen, platelet dan
protein koagulase menurun. Kerusakan mikrosirkulasi dan gangguan endotel secara

Respon lebih jauh oleh tubuh termasuk berupa mobilisasi plasma yang berisi mediator
Aktivasi
peradangan
sel monosit,
seperti
makrofag,
sitokin, kin
da

Kerusakan vascular, thrombosis dan integritas

Gambar 4 Skema
diffuse dapat menimbulkan trombosis sebagai efek dari adanya proses persembuhan
ataupun hilangnya integritas endotel sehingga suplai darah pada jaringan tidak optimal.
Hal ini dapat memicu timbulnya hipoksia pada jaringan dan organ sehingga mengalami
gangguan fungsi pada beberapa organ penting pada tubuh atau bias disebut multiple
organ dysfunction syndrome (MODS). Pada anjing, sepsis yang berasal dari abdomen
dapat memicu terjadinya MODS pada sistem organ apapun sehingga meningkatkan
resiko kematian (Ackermann et al 2012). Pada hewan yang mati akibat septic shock
biasanya dapat ditemukan adanya cairan pada rongga tubuh, edema pulmonum,
hemoragi ptechiae, kongesti pada hati dan usus, serta dehidrasi. Sedangkan secara
mikroskopik dapat ditemukan adanya lesio nekrosis akut tubulus renalis, hepatosit
centrolobular, myosit jantung, adrenals dan ujung-ujung dari vili usus.

PULPY KIDNEY
Etiologi dari kondisi ginjal berupa Pulpy kidney adalah Enterotoksemia (toksin) dari Clostridium perfringens. Mekanisme infeksi C. perfringens tersebut sebagai
berikut:

Degenerasi akut
epitel tubulus distal,
nekrosis serta
edema interstisial
dan hemoragi

PA: Ginjal lembek


atau lunak

Enterotoksemia (toksin) merupakan


angiotoksik

Matriks ekstraseluler
sekitar tubulus
renalis

Meningkatkan
permeabilitas sel
endotel

Plasma beserta toksin bocor

HP: Degenerasi
ringan dan nekrosa
epitel tubulus
proksimal dengan
edema, kongesti
dan hemoragi
interstisial di
korteks renal dan
kongesti di medulla

Clostridium
perfringens tipe D

Gambar 3 Skema mekanisme C.perfringens tipe D yang mengakibatkan terjadinya


pulpy kidney (Ackermann et al 2012).

Clostridium merupakan salah satu bakteri yang sering ditemukan pada usus.
Bila pada usus terdapat luka yang menyebabkan terpaparnya pembuluh darah dengan
bakteri Clostridium tersebut, maka dapat menyebabkan terbawanya bakteri hingga ke
ginjal melalui pembuluh darah. Bakteri Clostridium memiliki toksin berupa
enterotoksemia (-toksin) yang juga bersifat angiotoksik. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya peningkatan permeabilitas sel endotel dari pembuluh darah sehingga
plasma yang berisi -toksin tersebut keluar menuju matriks ekstraseluler sekitar
tubulus renalis di ginjal. Keberadaan -toksin menimbulkan terjadinya degenerasi
epitel tubulus distal secara akut disertai edema interstisial, bahkan hemoragi dan
nekrosis. Gambaran secara patologi anatomi postmortem yang sangat khas adalah
ginjal yang sangat lembek atau lunak. Secara histopatologi, terdapat gambaran
degenerasi ringan dan nekrosa epitel tubulus proksimal disertai edema, kongesti dan

hemoragi interstisial di bagian korteks renal dan kongesti di medulla (Ackermann et al


2012).
Faktor predisposisi terjadinya pulpy kidney ialah bila terdapat banyak pakan
yang mengandung zat tepung di usus halus dapat meningkatkan proliferasi bakteri
sehingga perkembangan dan pertumbuhan bakteri semakin banyak dalam usus.

PERBEDAAN TUMOR, ABSES, & RADANG


GRANULOMATOUS
Karakteristi
k

Tumor (Vegad 2007)

Ukuran

Variasi (1-20 mm
hingga beberapa
cm)
Variasi sel
pembentuk (putih
keabuan, kuning,
merah, coklat atau
hitam, sedangkan
area nekrosa putih
atau kuning)

Warna

Ada yang terdapat


sirkumskrip (benign)
dan ada yang
ireguler (malignant)
Variasi

Aspek
permukaan
Konsistensi
-

Waktu
Komponen

Insisi

Variasi
Padat bila terdaoat
jaringan ikat dan
kolagen fibrotik
Keras bila ada
fibrous stroma
schirrous
Lunak bila terjadi
degenerasi,
suppurasi dan
nekrosa serta
terdapat di otak
encephaloid
Berair bila ada
oedema
Licin bila ada mucin
Progresif akut
hingga kronis
Sel yang mengalami
pertumbuhan tidak
terkontrol dan
proliferasi berlebih
dan variasi dari
jaringan yang ikut
serta.
Sel tumor menekan
jaringan lain

Abses (Ackermann
et al 2012; Vegad
2007)
Variasi (membentuk
rongga berisi pus di
jaringan atau organ)
Warna (tergantung
bakteri)
Putihkuninghijau

Radang
granulomatous
(Vegad 2007)
Kecil (0.5-2 mm)

Variasi

Tidak rata, kasar,


bergranul seperti
pasir
Padat dan kasar

Lunak karena berisi


pus

Nekrosis tampak
kekuningan
cheesycaseous
necrosis

Akut

Kronis

Neutrofil (dominan),
sel debris, makrofag
dan fibroblast yang
kemudian
membentuk pus

Monositmakrofag
(dominan)
menyebar antara
parenkim dan
jaringan ikat.

Konsistensi
serouspurulent

Keras dan seperti


pasir, sedikit

disekitarnya
(benign) dan ada
yang merusak
struktur jaringan lain
(malignant)

caseous

eksudat

DAFTAR PUSTAKA
Ackermann MR, Brown DL, Carlson CS, Cullen JM, Foster RA, Fry MM, Gal A, Gelberg
HB, Ginn PE, Hargis AM, et al. 2012. Pathology Basis of Veterinary Disease. Ed
ke-5. Zachary JD, McGavin MD, editor. Missouri (US): Elsevier Mosby
Govan ADT, Macfarlane PS, Callander R. 1981. Pathology Illustrated. New York (US)
Churchill Livingstone.
Nguyen HB, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, Huang DT,
Osborn T, Stevens D, Talan DA. 2006. Severe Sepsis and Septic Shock: Review
of the Literature and Emergency Department Management Guidelines. Annals of
Emergency Medicine. 48(1):28-54.
Vegad JL. 2007. A Textbook of Veterinary General Pathology. Meerahai (IN): Ibdc
Publishers.
Vegad JL, Swamy M. 2010. A Textbook of Veterinary Systemic Pathology. Meerahai
(IN): Ibdc Publishers.

Anda mungkin juga menyukai