PENDAHULUAN
Di Indonesia jumlah penyalah guna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai
4,1 juta orang dalam setahun terakhir pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014.1 Hasil
proyeksi angka prevalensi penyalahguna narkoba akan meningkat setiap tahun. Fakta tersebut di
dukung oleh adanya kecenderungan peningkatan angka sitaan dan pengungkapan kasus narkoba.3
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau
istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat
berbahanya)
merupakan
masalah
yang
sangat
kompleks,
yang
memerlukan
upaya
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
yang dibedakan ke dalam golongan- golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif, yang
selanjutnya
disebut
NAPZA,
adalah
bahan/zat
yang
dapat
mempengaruhi
kondisi
hasil kombinasi dari stimulasi kognitif ataupun stimulasi afektif, berupa perilaku nyata (real
behavior) dalam bentuk penggunaan narkoba yang sesunguhnya. Dengan demikian,
ketergantungan psikologis ditandai dengan ketergantungan pada aspek-aspek pemikiran
(kognitif), emosi-perasaan (afektif) untuk selalu tertuju pada narkoba, dan berusaha sungguhsungguh untuk mengonsumsinya.1
Ketergantungan fisiologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai dengan
kecenderungan sakaw (lapar/haus akan narkoba). Sensasi rasa lapar atau haus mendorong
individu untuk segera mengonsumsi narkoba. Kondisi sakaw sering kali tak mampu dihambat
atau dihalangi pecandu. Karena itu, mau tak mau ia harus memenuhinya. Tidak terpenuhinya rasa
sakaw akan menyebabkan suatu penderitaan (kelaparan/kehausan). Dengan demikian, orang
yang mengalami ketergantungan secara fisiologis terhadap narkoba, akan sulit dihentikan atau
dilarang untuk mengonsumsi. Semakin keras dilarang, semakin keras pula ia berupaya
bagaimana memperoleh dan dapat mengonsumsi narkoba tersebut. Apakah dengan cara halal
atau tidak, seseorang tidak memedulikan lagi norma-norma etika yang ada dalam lingkungan
sosial.1
Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara
tiba-tiba, akan menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.5
Epidemiologi
Dewasa ini diperkirakan di Indonesia terdapat lebih dari 3,5 juta pengguna zat psikoaktif
(Badan Narkotika Nasional, 2006). Dalam jumlah tersebut, hanya kurang dari 10 ribu orang yang
tersentuh layanan terapi: 1000 orang dalam terapi substitusi metadon, 500 orang terapi
substitusi buprenorfin, kurang dari 1000 orang dalam rehabilitasi (pesantren, theraupetic
communities, kelompok bantu diri/self-help group), 2000 orang dalam layanan medis lain dan
sekitar 4000 orang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan dan tahanan polisi. Sedangkan
hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia
(puslitkes-UI) pada tahun 2008 menunjukkan angka prevalensi pecandu narkoba di Indonesia
sebesar 1,9% atau sekitar 3,1-3,5 juta jiwa. Di tahun 2011 angka prevalensi itu naik menjadi
2,2% atau sekitar 3,7-4,7 juta orang,3,4
Etiologi
a. Faktor Psikodinamik (teori psikososial dan psikodinamika)
Pendekatan psikodinamika untuk seseorang dengan penyalahgunaan zat diterima dan
dinilai secara lebih luas, daripada dalam pengobatan pasien alkoholik. Berbeda dengan
pasien alkoholik, mereka dengan penyalahgunaan banyak zat disebabkan lebih mungkin
memiliki masa anak-anak yang tidak stabil, lebih mungkin mengobati diri sendiri dengan zat,
dan lebih mungkin mendapatkan manfaat dari psikoterapi. Penelitian yang cukup banyak
menghubungkan gangguan kepribadian dengan perkembangan ketergantungan zat.
Teori psikososial lain menjelaskan hubungan dengan keluarga dan dengan masyarakat
pada umumnya. Terdapat banyak alasan untuk mencurigai suatu peranan masyarakat dalam
perkembangan pola penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Tetapi, dalam tekanan sosial
tersebut, tidak semua anak mendapatkan diagnosis penyalahgunaan atau ketergantungan zat,
jadi mengarahkan kemungkinan adanya keterlibatan faktor penyebab lainnya.1
b. Teori Perilaku
Beberapa model perilaku penyalahgunaan zat memfokuskan pada perilaku mencari zat
dibanding pada gejala ketergantungan fisik. Sebagian besar penyalahgunaan zat
menimbulkan pengalaman positif setelah penggunaan pertama, dan oleh karena itu zat
tersebut bertindak sebagai penguat positif perilaku mencari zat.1
Prinsip pertama dan kedua adalah kualitas pendorong positif dan efek merugikan dari
beberapa zat. Sebagian besar zat yang disalahgunakan disertai dengan suatu pengalaman
positif setelah digunakan untuk pertama kalinya. Jadi, zat bertindak sebagai suatu pendorong
postitif untuk perilaku mencari zat lagi. Banyak zat juga disertai dengan efek merugikan,
yang bertindak menurunkan perilaku dalam mencari zat lagi. Ketiga, orang harus mampu
membedakan zat yang disalahgunakan dari zat lainnya. Keempat, hampir semua perilaku
mencari zat disertai dengan petunjuk lain yang menjadi berhubungan dengan pengalaman
menggunakan zat.1
c. Faktor Genetik
4
Bukti-bukti kuat dari penelitian pada anak kembar, anak angkat, dan saudara kandung
telah menimbulkan indikasi yang jelas bahwa penyalahgunaan alkohol mempunyai suatu
komponen genetika dalam penyebabnya. Terdapat banyak data yang kurang meyakinkan
dimana jenis lain penyalahgunaan atau ketergantungan zat memiliki pola genetika dalam
perkembangannya. Tetapi, beberapa penelitian telah menemukan suatu dasar genetika untuk
ketergantungan dan penyalahgunaan zat non alkohol. Baru-baru ini, peneliti telah
menggunakan teknologi RFLP (Restriction Fragment Length Polumorphism) dalam meneliti
penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat, dan beberapa laporan hubungan RFLP telah
diterbitkan.1
d. Faktor Neurokimiawi
Dengan pengecualian alcohol, para peneliti telah mengidentifikasi neurotransmitter atau
reseptor neurotransmitter tertentu yang terlibat dengan sebagian besar zat yang
disalahgunakan. Sejumlah peneliti mendasarkan studi mereka pada hipotesis tersebut.
Sebagai contoh, opioid bekerja sebagai resptor opioid. Seseorang dengan aktivitas opioid
endogen yang terlalu sedikit (contohnya konsentrasi endorfinyang rendah) atau dengan
aktivitas antagonis opioid endogen yang terlalu banyak mungkin beresiko mengalami
ketergantungan opioid. Bahkan pada orang dengan fungsi resptor endogen dan konsentrasi
neurotransmitter yang benar-benar normal, penyalahgunaan jangka panjang suatu zat tertentu
pada akhirnya mungkin akan memodulasi sistem resptor di otak sehingga zat eksogen
dibutuhkan untuk mempertahankan homeostatis. Proses pada tingkat reseptor semacam itu
mungkin menjadi mekanisme untuk membentuk toleransi di dalam SSP. Namun, untuk
menunjukkan
adanya
modulasi
pelepasan
neurotransmitter
dan
fungsi
reseptor
neurotransmitter terbukti sulit, dan penelitian terkini memfokuskan efek zat pada sistem duta
kedua dan pada regulasi gen.1
e. Jaras dan Neurotransmitter
Neurotransmitter utama yang mungkin terlibat dalam perkembangan penyalahgunaan zat
dan ketergantungan zat adalah sistem opiat, katekolamin (khususnya dopamine), dan GABA.
Dan yang memiliki kepentingan khusus adalah neuron di daerah tegmental ventral yang
berjalan ke daerah kortikal dan limbic, khususnya nucleus akumbens. Jalur khusus tersebut
diperkirakan terlibat dalam sensasi menyenangkan (reward sensation) dan diperkirakan
5
merupakan mediator utama untuk efek dari zat tertentu seperti amfetamin dan kokain. Lokus
sereleus, kelompok terbesar neuron adrenergik, diperkirakan terlibat dalam perantara efek
opiat dan opioid.1
FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penggunaan Zat
a. Faktor diri/pribadi seseorang
Penyalahgunaan obat dipengaruhi oleh keadaan mental, kondisi fisik dan psikologis
seseorang. Kondisi mental seperti gangguan kepribadian, depresi, dapat memperbesar
kecenderungan seseorang untuk menyalahgunakan narkoba. Faktor individu pada umumnya
ditentukan oleh dua aspek :1
1. Aspek biologis
Secara biologis, seseorang dapat masuk ke dalam penyalahgunaan narkoba
disebabkan antara lain karena ingin menghilangkan rasa sakit atau keletihan.
2. Faktor psikologis
Sebagian besar penyalahgunaan obat dimulai pada masa remaja. Seseorang dapat
terjerumus dalam pemakaian narkoba karena beberapa alasan antara lain:
a) Ingin meningkatkan semangat dan gairah kerja atau juga ingin meningkatkan
keperkasaan atau percaya diri.
b) Ingin melepaskan diri dari berbagai beban hidup yang menimpanya.
c) Ingin melepaskan diri dari kesunyian, kehampaan, atau ingin mencari hiburan.
d) Ingin diterima sebagai anggota suatu kelompok karena menganggap bahwa
kelompok yang ingin dimasukinya mempunyai trend yang patut diikuti
e) Ingin coba-coba atau ingin mencari pengalaman baru.
f) Merasa dijauhkan atau diasingkan atau tidak dicintai atau merasa tidak dihargai.
3. Faktor Lingkungan
a) Keluarga yang kurang komunikatif, kurang perhatian, kurang membagi kasih
sayang dan kurangnya penghargaan terhadap sesama anggota keluarga.
b) Keluarga yang kurang pengawasannya terhadap sesama anggota keluarga
c) Lingkungan sosial yang tidak harmonis dan tidak terikat dengan berbagai norma
seperti norma hukum, agama, susila, dan lain-lain.
d) Lingkungan yang kurang disiplin, tidak mempunyai tata tertib, tidak mempunyai
sistem pengawasan yang memadai, dan kurangnya sistem pengamanan lingkungan
baik lingkungan pendidikan, lilngkungan kerja, atau tempat tinggal.
e) Pergaulan sebaya yang tidak sehat.
f) Peraturan atau undang-undang yang tidak tegas sehingga tidak membuat jera para
pelaku peredaran narkoba.
g) Lemahnya penegakan hukum oleh para penegak hukum seperti polisi, hakim,
jaksa, bea cukai, dan lain-lain.
h) Pandangan yang keliru tentang masalah penanggulangan narkoba bahwa masalah
narkoba adalah urusan pemerintah saja.
i) Fasilitas pelayanan dan rehabilitasi yang mahal bagi korban narkoba.
4. Faktor Keberadaan Narkoba
a) Harga narkoba yang semakin murah dan semakin dijangkau oleh masyarakat. Hal
ini terjadi juga karena adanya paket hemat dari kemasan narkoba itu sendiri.
b) Narkoba semakin banyak baik jenis, cara pemakaian, atau pun bentuk kemasannya.
c) Modus operasi para pelaku tindak pidana narkoba semakin jeli dan licik sehingga
sulit diungkap oleh aparat penegak hokum.
d) Semakin mudahnya akses internet yang menginformasikan tentang keberadaan,
pembuatan atau peredaran narkoba.
e) Perdagangan narkoba dikendalikan oleh sindikat yang kuat dan profesional
Tahapan-tahapan yang dialami oleh Penyalahgunaan zat
Oleh
U.S
National
Comission
On
Marihuana
and
Drug
Abuse
berusaha
mereka berkumpul biasanya mereka terbawa dan terhanyut dalam kecenderungan untuk
memakai obat/ zat tadi secara berlebihan.
3) Situational Users
Umumnya orang yang tergolong tahap ketiga ini, mulai menggunakan obat/ zat secara sadar
kalau mereka menghadapi masa masa sulit. Mereka percaya bahwa hanya dengan
menggunakan/mengkonsumsi obat tadi, mereka lebih sanggup mengatasi persoalan hidup
yang sulit tadi. Penggunaan obat pada golongan ini dapat merupakan satu pola tingkah laku
tertentu sehingga mendorong individu tadi untuk mengulangi perbuatannya sehingga resiko
menjadi addict/ kecanduan akan menjadi jauh lebih besar dibandingkkan kelompok I dan II
diatas.
4) Intensified Users
Kelompok yang sudah secara kronis menggunakan obat/ zat tertentu. Kelompok ini merasa
butuh memakai obat tadi untuk memperoleh kenikmatan atau mencari pelarian dari tekanan
hidup. Walau penggunaannya sudah lebih banyak, tapi individu semacam ini masih sangggup
ber-interaksi
dengan
masyarakat
secara
baik.
Hanya
mereka
bertendensi
untuk
2) Adiksi atau ketergantungan, yaitu yang mengalami toleransi, putus zat, tidak mampu
menghentikan kebiasaan menggunakan, menggunakan dosis NAPZA lebih dari yang diinginkan.
2.2.
4.2.
signifikan dalam fungsi sosial, okupasional, atau area fungsi penting lain.
Gejala tidak disebabkan oleh suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
4.3.
10
1.
2.
putus
zat
ini.
Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan
meneruskan penggunaan zat.
11
Psikotropika
Stimulan
Halusinogen
Alcohol
Amfetamin
LSD, DMT
Benzodiazepin
Metamfetamin
Meskalin
Opioid
Kokain
PCP
Solven
Nikotin
Ketamin
Barbiturat
Khat
Kafein
Magic mushrooms
MDMA
MDMA
12
1. Alkohol
Umumnya digunakan dalam bentuk minuman beralkohol. Di indonesia, terutama di
daerah Indoneisa Timur dan beberapa tempat di daerah Sumatera, terdapat antara 2-3 juta
orang yang menggunakan minuman alkohol dari ringan sampai berat. Di Amerika Serikat
terdapat 12-18 juta orang mengalami ketergantungan alkohol dan problem drinkers.
Penyalahgunaan alkohol di kalangan remaja sukar dicegah karena kurang sempurnanya
pengawasan. Di banyak negara berkembang, pemerintah umumnya dirasakan bersifat
ambivalen, sebab sebagian besar anggaran belanjanya diambil dari pajak industri
minuman beralkohol. Sebagian remaja sampai usia dewasa cukup bebas dan
berkesempatan menggunakan minuman beralkohol, laki-laki lebih banyak dari
perempuan tetapi populasi peminum perempuan meningkat dan menggunakan alcohol,
usia dewasa lebih stabil menggunakannya secara berkelanjutan.
Jenis-jenis minuman beralkohol di Indonesia sangat bervariasi (dari tradisional
sampai fermentasi buatan, dari berkadar tinggi hingga rendah). Minuman beralkohol
memberikan berbagai gambaran klinis, antara lain :
1.1.
Intoksikasi berupa euforia, cadel, nistagmus, bradikardia, hipotensi, kejang, koma.
Pada keadaan intoksikasi berat, reflek menjadi negatif.
Keadaan Putus Alkohol berupa halusinasi, ilusi (bad dream), kejang, delirium
1.2.
Tremens, gemetar, keluhan gastrointestinal, muka merah, mata merah dan hipertensi.
1.3.
Gangguan fisik berupa mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis, ulkus
peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defeisiensi vitamin, fetal
alcohol syndrome
1.4.
Gangguan mental berupa depresi hingga skizofrenia.
1.5.
Gangguan lain berupa kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem domestik dan
tindak kekerasan.
2. Opioid
Merupakan salah
satu
golongan
NAPZA
yang
sangat
kuat
potensi
2.3.
2.4.
14
3.1.
3.2.
3.3.
4. Kokain
Kokain adalah sejenis stimulansi yang di Indonesia saat ini belum begitu populer.
Namun bertambahnya sitaan kokain secara ilegal dan meningkatnya kasus-kasus
penggunaan kokain akhir-akhir ini, bukan tidak mungkin epidemi akan merajai pasaran
peredaran NAPZA dalam masa-masa mendatang. Kokain dihasilkan dari daun tumbuhan
yang disebut Erythroxylon coca. Tanaman tersebut tumbuh subur di sebelah timur
pegunungan Andes di Amerika Selatan.
Bentuk kokain yang diperjualbelikan di Indonesia dalam bentuk bubuk putih.
Harga 1 gram sekitar sejuta dua ratus ribu rupiah (lebih mahal dari heroin). Umumnya
pengguna kokain memulai kebiasaannya dengan cara snorting dan berakhir dengan
menyuntik intravenous atau dengan cara merokok. Akibat penyalahgunaan kokain adalah:
4.1.
Masalah fisik (dengan penggunaan snorting) berupa pilek terus menerus, sinusitis,
epistaksis, luka-luka pada rongga hidung, perforasi septum nasi. (dengan suntikan)
berupa infeksi lokal pada kulit sampai sistemik (virus, bakteri, parasit atau jamur),
abses daerah kulit, endokarditis bakteri, hepatitis (B dan C), HIV/AIDS. Inhalasi
melalui merokok juga dapat menyebabkan radang tenggorokan, melanoptysis atau
sputum bercak-bercak darah, bronkhitis kronik sampai pneumonia. Cocain baby
(retardasi pertumbuhan intra-uterine, bayi lahir lebih kecil sampai prematur yang
diikuti kelainan mental berupa irritable, gangguan tidur, kesukaran makan).
4.2.
Masalah psikiatri berupa toleransi dan ketergantungan yaitu sifat toleransi tubuh
terhadap kokain sangat cepat, kendati pengguna tidak menyadari dosis yang
digunakan kian meningkat. Akibatnya, ia tidak mampu mengendalikan diri, dan untuk
mencukupi kebutuhannya ia mengonsumsi kokain dengan mencampurinya dengan zat
adiktif lain (speedball) untuk mendapatkan efek yang diinginkan.Gejala fisik putus
15
zat kurang dikenal. Namun secara mental sangat merugikan, berupa agitasi, depresi,
fatigue, high craving, cemas, marah meledak-ledak, gangguan tidur, mimpi aneh,
makan berlebihan, mudah tersinggung, mual, otot-otot pegal hingga lethargy.
Masalah sosial brupa separasi perkawinan sampai perceraian, pertengkaran dalam
4.3.
4.4.
bubuk kokain asli) berupa kelumpuhan alat pernapasan, aritmia kordis, kejang
berulang kali, mati lemas karena merasa seperti dicekik, reaksi alergi, stroke (karena
naiknya tekanan darah secara mendadak), kehamilan (pendarahan antepartum,
aborsi). Pada bayi dapat terjadi Sudden Infant Death Syndrome.
5. Amfetamin
Adalah senyawa kimia yang bersifat stimulansia (lebih sering dikenal dengan
Amphetamine Type Stimulants atau ATS). Dewasa ini oleh sindikat psikotropik ilegal,
derivat amfetamin dipasarkan di Indonesia dalam bentuk ecstasy dan shabu. Akibat
penyalahgunaan amfetamin (termasuk ecstasy dan shabu) adalah:
5.1.
5.2.
kondisi putus zat yang menyebabkan lethargy, fatigue, exausted, serangan panik,
gangguan tidur, depresi berat, halusinasi (terutama ecstacy dan shabu.
Masalah social berupa tindak kekerasan (berkelahi), kecelakaan
5.3.
6.
lalu
lintas,aktivitas kriminal.
Benzodiazepin
Derivat benzodiazepin dikenal dalam bentuk tablet dan suntikan. Dalam bentuk
suntikan umumnya menggunakan injeksi diazepam. Sedang dalam bentuk tablet cukup
bervariasi: nitrazepam, flunitrazepam, flurazepam, bromazepam, dan diazepam. Akibat
penyalahgunaan benzodiazepin menimbulkan:
16
6.1.
6.2.
Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat
digolongkan sebagai berikut :
1.1.
Pada saat menggunakan NAPZA berjalan sempoyongan, bicara pelo (cadel),
apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga.
Bila kelebihan disis (overdosis), Nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat,
1.2.
2.2.
tampat kerja.
Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu
2.3.
lebih dulu.
2.4.
Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu
dengan anggota keluarga lain dirumah.
Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,
2.5.
kemudian menghilang.
2.6.
Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik
17
relaps atau sulit untuk berada dalam kondisi abstinen atau bebas dari napza. Therapeutic
Community (TC) dapat digambarkan sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien yang
membutuhkan lingkungan yang mendukung dan lingkungan lain yang bermakna dalam
mempertahankan kondisi bebas napza atau abstinen.1
Pencegahan relaps dapat dilakukan melalui pendekatan perilaku kognitif untuk
manajemen diri yang berfokus pada pengajaran individu untuk mendapatkan alternatif terhadap
situasi yang memiliki resiko tinggi akan terbentuknya kembali perilaku relaps, ada tiga kondisi
yang beresiko tinggi akan membentuk perilaku relaps kembali yaitu emosi negatif, konflik
interpersonal, dan tekanan sosial. Program yang dapat dilaksanakan untuk pencegahan relaps
yaitu aftercare program. Program yang bertujuan agar individu mempunyai tempat atau
kelompok yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta memiliki lingkungan hidup yang
positif.1
Penanganan dan Rehabilitasi
Rehabilitasi NAPZA adalah rehabilitasi yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial,
pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi para mantan pengguna
NAPZA agar mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Rehabilitasi NAPZA
merupakan suatu bentuk terapi dimana klien dengan ketergantungan NAPZA ditempatkan dalam
suatu institusi tertutup selama beberapa waktu untuk mengedukasi pengguna yang berusaha
untuk mengubah perilakunya, mampu mengantisipasi dan mengatasi masalah relaps (kambuh)
(BNN, 2006).
Model-model
Pelayanan
Rehabilitasi
NAPZA
Berdasarkan
KEPMENKES
2.
sedikit (gradual).
Terapi Maintenance
Terapi maintenance (rumatan) adalah pelayanan pasca detoksifikasi dengan tanpa
komplikasi medik.
Terapi Psikososial
19
Dapat dilakukan melalui pendekatan Non Medis, misalnya Sosial, Agama, Spiritual,
Therapeutic Community, Twelve Steps, dan alternatif lain. Metode ini diperlukan tindak
lanjut dari sektor terkait seperti Departemen Sosial, Departemen Agama atau pusat-pusat
yang mengembangkan metode tersebut. Pelaksanaan metode apapun, harus tetap
berkoordinasi bersama dokter puskesmas Kecamatan setempat atau dokter rumah sakit
terdekat untuk menanggulangi masalah kesehatan fisik dan mental yang mungkin dan
atau dapat terjadi selama proses rehabilitasi.
3. Rujukan
Pasien penyalahguna dan ketergantungan NAPZA dengan komplikasi medis fisik dirujuk
ke Rumah Sakit Umum Kabupaten / Kota atau Rumah Sakit Umum Provinsi. Pasien
penyalahguna dan ketergantungan NAPZA dengan komplikasi medis psikiatris dirujuk ke
Rumah Sakit Jiwa atau bagian psikiatri Rumah Sakit Umum terdekat.
Model pelayanan dan rehabilitasi medis3
a. Metadon
Metadon adalah zat opioid sintetik berbentuk cair yang diberikan lewat mulut.
Metadon merupakan obat yang paling sering digunakan untuk terapi substitusi
bagi ketergantungan opioid. Bentuk terapi ini telah diteliti secara luas sebagai
terapi modalitas. Pada pasien dengan pengguna heroin yang memakai rehabilitasi
dengan Metadon, maka dosis Metadon dosis tinggi dinilai lebih efektif daripada
dosisnya rendah atau menengah. Dosis Metadon yang tinggi akan diturunkan
secara bertahap.
Terapi rumatan Metadon diikuti perbaikan kesehatan secara substansial dan
insiden efek samping rendah. Hampir pasien yang mengikuti terapi Metadon
berespon baik Meski demikian, tidak semua pengguna dengan ketergantungn
opioid dapat diberi terapi substitusi Metadon. Bagi mereka yang tidak dapat
menggunakan metode ini, tersedia banyak pendekatan lainnya dan menggugah
mereka tetap berada dalam terapi.
b. Burprenorfin
Burprenorfin adalah obat yang diberikan oleh dokter. Burprenorfin tidak
diabsorbsi dengan baik jika ditelan, karena itu cara penggunaannya adalah
sublingual (diletakkan di bawah lidah).
1. Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan bimbingan individu dan
kelompok
20
sendiri
mempunyai
beberapa
nilai
untuk
mempertahankan
pemulihannya.
c. Cardinal Rules
No Drugs, No Sex, and No Violence
d. Filosofi TC
Program TC berlandaskan pada filosofi dan slogan-slogan tertentu, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis
3. Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan agama
Ada berbagai macam pusat rehabilitasi dengan pendekatan agama, misalnya
Pondok Pesantren dengan pendekatan nilainilai agama Islam dimana kegiatan
utamanya adalah berdzikir. Beda halnya di Thailand dimana para biksu Budha
merawat klien yang mengalami ketergantungan opioida di kuil, antara lain kuil
Budha Tan Kraborg. Para pendeta ini juga telah dilatih dalam memberi konseling
kepada klien.
4. Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan Narcotic Anonymus
Suatu program recovery yang dijalankan seorang pecandu berdasarkan prinsip
12 langkah. Langkah-langkah ini harus dijalankan lebih dari satu kali. Setelah selesai
mengerjakan seluruh langkah yang ada, seorang pecandu harus menjalankan kembali
langkah pertama. Karena banyak hal baru yang terjadi dan timbul sehingga seorang
pecandu harus menjalankan recorvery-nya seumur hidup.
5. Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan terpadu
21
Abstinensia
Menjauhkan diri dari teman, tempat, benda dan hal lain yang dapat menimbulkan
22
Pada fase stabilisasi, pasien mulai mengetahui bahwa kalau berhenti, akan timbul
dorongan ingin menggunakan kembali (craving) dan akibatnya fisik dapat menimbulkan
gejala sakau atau gejala putus zat atau withdrawal. Bila pasien gagal pada fase ini,
mereka tidak dapat menahan gejala-gejala withdrawal, dank arena tidak dapat menahan
penderitaan, mereka menggunakan napza kembali.
3. Fase pemulihan dini
Pada fase ini, pasien telah belajar mengenai adiksi, mengambil jarak dengan
teman-teman pengguna lain, menjalin hubungan hanya dengan teman-teman yang
mendukung pemulihan diri. Penyebab terjadinya relaps pada fase ini terutama disebabkan
karena kurangnya kemampuan berinteraksi social.
4. Fase pemulihan menengah
Pasien mulai mengembangkan pola hidup pada nilai-nilai wajar dalam bidang
pendidikan, suasana pekerjaan, lingkungan keluarga. Relaps terjadi karena stress yang
timbul terhadap kehidupan yang nyata.
5. Fase pemulihan akhir
Pada fase ini, seharusnya sudah mulai dikembangkan self esteem, kemampuan
untuk hidup produktif dan bahagia. Kegagalan disini, umumnya karena kurangnya
kemampuan mengatasi inner child problem.
6. Fase maintenance
Pasien pada fase ini, harus bisa mengatasi stress dalam kehidupan dengan clean &
sober. Relaps terjadi karena tidak mampu mempertahankan program pemulihannya akibat
tekanan social yang berat yang tidak mampu diatasi.
Dalam proses pemulihan, ada suatu gejala penting yang harus dipahami yaitu
relaps. Relaps dapat dianggap sebagai titik awal dari menggunakan napza kembali (sering
disebut slip, terpeleset atau lapse), setelah sebelumnya didahului oleh abstinensia. Relaps
bukan suatu kejadian yang berdiri sendiri, tapi merupakan manifestasi perilaku
disfungsional yang terus menerus meningkat dan kembali menggunakan napza. Jadi
23
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penyalahgunaan zat merupakan suatu pola pemakaian zat yang maladaptive yang
menimbulkan gejala-gejala gangguan kognitif, perilaku, dan fisiologik. Banyak hal yang
meneyebabkan penyalahgunaan zat antara lain adalah faktor individu dan lingkungan serta faktor
zat itu sendiri. Penyalahgunaan zat, selain memberikan gejala fisik, menimbulkan gejala pada
fungsi mental,misalnya gangguan pada suasana perasaan atau bahkan gejala psikotik, sehingga
menimbulkan hendaya atau distress dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
Dalam sudut pandang psikologis salah satu motif utama penggunaan ketergantungan zat adalah
untuk meningkatkan mood, sehingga zat bernilai positif yaitu dapat meningkatkan mood positif
dan mengurangi mood negatif serta dapat mengurangi stres dan ketegangan. Sosiokultural
menekankan pentingnya peran kelompok, orang tua, serta media dalam menentukan perilaku
yang dapat diterima dan yang tidak, antara lain bagaimana contoh yang diberikan keluarga
berperan dalam pembentukan penyalahgunaan zat dan penting juga untuk diperhatikan adalah
24
ketersediaan zat di lingkungan jika banyak zat diperjualbelikan akan menimbulkan kecendrungan
ke arah penyalah-gunaan zat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA, Gangguan Terkait Zat edited by Muttaqin H, Sihombing Retna
NE. in Kaplan&Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis, 2nd ed. ECG: Jakarta. 2012, p. 86146.
2. Maslim R, ed. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat. in PPDGJ-III.
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajawa: Jakarta. 2001, p. 36-43.
3. Husain AB, Gangguan Penggunaan Zat. in Buku Ajar Psikiatrik edited by Elvira SD,
Hadisukanto G. Badan Penerbit FKUI: Jakarta. 2010, p. 138-69
4. Humas BNN. Rehabilitasi Adiksi Berbasis Masyarakat Dalam Rangka Dukungan
Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat. Cited. 2013 Augs.26. Available
from URL:www.bnn.go.id
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 2415/Menkes/PER/XII/2011
tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahgunaan dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika. Diunduh dari: https://yankes.kemkes.go.id/view.php?file...t=NTcy pada
tanggal 1 Desember 2016.
25
26