Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
Di Indonesia jumlah penyalah guna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai
4,1 juta orang dalam setahun terakhir pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014.1 Hasil
proyeksi angka prevalensi penyalahguna narkoba akan meningkat setiap tahun. Fakta tersebut di
dukung oleh adanya kecenderungan peningkatan angka sitaan dan pengungkapan kasus narkoba.3
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau
istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat
berbahanya)

merupakan

masalah

yang

sangat

kompleks,

yang

memerlukan

upaya

penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor,


dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen
dan konsisten. Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila
disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih
lagi bila disertai peredaran di jalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun
masyarakat luas khususnya generasi muda.
Fenomena penyalahgunaan zat mempunyai banyak implikasi untuk penelitian otak,
psikiatri klinis, dan masyarakat pada umumnya. Dinyatakan dengan sederhana, beberapa zat
dapat mempengaruhi keadaan mental yang dirasakan dari dalam (sebagai contohnya, mood)
maupun aktivitas yang dapat diobservasi dari luar (yaitu, perilaku). 1
Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan pada tahun 2006 di lembaga
Balai Kasih Sayang Pamardi Siwi BNN menunjukkan bahwa terdapat 38 kasus relaps berkalikali dan masuk kembali ke lembaga rehabilitasi yang sama. Tahun 2007 tingkat relaps sebesar
95% bahkan ada residen yang masuk untuk ke empat kalinya ke lembaga rehabilitasi tersebut.
Tahun 2008 menunjukkan data relaps di indonesia mencapai 90%.4

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
yang dibedakan ke dalam golongan- golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif, yang
selanjutnya

disebut

NAPZA,

adalah

bahan/zat

yang

dapat

mempengaruhi

kondisi

kejiwaan/psikologi seseorangserta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi.5


Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.5
Menurut WHO, ketergantungan adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik
dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah zat/obat yang makin bertambah (toleransi), dan
apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal
syamptom). Sedangkan penyalahgunaan zat adalah pemakaian terus-menerus atau jarang tetapi
berlebihan terhadap suatu zat atau obat yag sama sekali tidak ada kaitannya dengan terapi medis.
Zat yang dimaksud adalalah zat psikoaktif yang berpengaruh pada sistem saraf pusat (otak) dan
dapat mempengaruhi kesadaran, perilaku, pikiran, dan perasaan.Ketergantungan secara perilaku
adalah menekankan pada aktivitas mencari zat dan bukti terkait tentang pola penggunaan
patologis. Sedangkan ketergantungan fisik adalah merujuk pada efek fisik (fisiologis) dari
episode multiple penggunaan zat. Selain itu ketergantungan juga berhubungan dengan kata
kecanduan dan pecandu.1
Ketergantungan psikologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai dengan stimulasi
kognitif dan efektif yang mendorong kognitif (perilaku) seseorang untuk selalu mengonsumsi
narkoba. Stimulasi kognitif tampak pada individu yang selalu membayangkan, memikirkan, dan
merencanakan untuk dapat menikmati narkoba. Sementara itu, stimulasi afektif adalah
rangsangan emosi yang mengarahkan individu untuk merasakan kepuasan yang pernah dialami
sebelumnya. Orang yang memiliki stimulasi afektif cenderung akan mengulang-ulang
kenikmatan dari pengonsumsian narkoba sebelumnya. Sementara itu, kondisi konatif merupakan
2

hasil kombinasi dari stimulasi kognitif ataupun stimulasi afektif, berupa perilaku nyata (real
behavior) dalam bentuk penggunaan narkoba yang sesunguhnya. Dengan demikian,
ketergantungan psikologis ditandai dengan ketergantungan pada aspek-aspek pemikiran
(kognitif), emosi-perasaan (afektif) untuk selalu tertuju pada narkoba, dan berusaha sungguhsungguh untuk mengonsumsinya.1
Ketergantungan fisiologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai dengan
kecenderungan sakaw (lapar/haus akan narkoba). Sensasi rasa lapar atau haus mendorong
individu untuk segera mengonsumsi narkoba. Kondisi sakaw sering kali tak mampu dihambat
atau dihalangi pecandu. Karena itu, mau tak mau ia harus memenuhinya. Tidak terpenuhinya rasa
sakaw akan menyebabkan suatu penderitaan (kelaparan/kehausan). Dengan demikian, orang
yang mengalami ketergantungan secara fisiologis terhadap narkoba, akan sulit dihentikan atau
dilarang untuk mengonsumsi. Semakin keras dilarang, semakin keras pula ia berupaya
bagaimana memperoleh dan dapat mengonsumsi narkoba tersebut. Apakah dengan cara halal
atau tidak, seseorang tidak memedulikan lagi norma-norma etika yang ada dalam lingkungan
sosial.1
Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara
tiba-tiba, akan menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.5
Epidemiologi
Dewasa ini diperkirakan di Indonesia terdapat lebih dari 3,5 juta pengguna zat psikoaktif
(Badan Narkotika Nasional, 2006). Dalam jumlah tersebut, hanya kurang dari 10 ribu orang yang
tersentuh layanan terapi: 1000 orang dalam terapi substitusi metadon, 500 orang terapi
substitusi buprenorfin, kurang dari 1000 orang dalam rehabilitasi (pesantren, theraupetic
communities, kelompok bantu diri/self-help group), 2000 orang dalam layanan medis lain dan
sekitar 4000 orang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan dan tahanan polisi. Sedangkan
hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia
(puslitkes-UI) pada tahun 2008 menunjukkan angka prevalensi pecandu narkoba di Indonesia

sebesar 1,9% atau sekitar 3,1-3,5 juta jiwa. Di tahun 2011 angka prevalensi itu naik menjadi
2,2% atau sekitar 3,7-4,7 juta orang,3,4

Etiologi
a. Faktor Psikodinamik (teori psikososial dan psikodinamika)
Pendekatan psikodinamika untuk seseorang dengan penyalahgunaan zat diterima dan
dinilai secara lebih luas, daripada dalam pengobatan pasien alkoholik. Berbeda dengan
pasien alkoholik, mereka dengan penyalahgunaan banyak zat disebabkan lebih mungkin
memiliki masa anak-anak yang tidak stabil, lebih mungkin mengobati diri sendiri dengan zat,
dan lebih mungkin mendapatkan manfaat dari psikoterapi. Penelitian yang cukup banyak
menghubungkan gangguan kepribadian dengan perkembangan ketergantungan zat.
Teori psikososial lain menjelaskan hubungan dengan keluarga dan dengan masyarakat
pada umumnya. Terdapat banyak alasan untuk mencurigai suatu peranan masyarakat dalam
perkembangan pola penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Tetapi, dalam tekanan sosial
tersebut, tidak semua anak mendapatkan diagnosis penyalahgunaan atau ketergantungan zat,
jadi mengarahkan kemungkinan adanya keterlibatan faktor penyebab lainnya.1
b. Teori Perilaku
Beberapa model perilaku penyalahgunaan zat memfokuskan pada perilaku mencari zat
dibanding pada gejala ketergantungan fisik. Sebagian besar penyalahgunaan zat
menimbulkan pengalaman positif setelah penggunaan pertama, dan oleh karena itu zat
tersebut bertindak sebagai penguat positif perilaku mencari zat.1
Prinsip pertama dan kedua adalah kualitas pendorong positif dan efek merugikan dari
beberapa zat. Sebagian besar zat yang disalahgunakan disertai dengan suatu pengalaman
positif setelah digunakan untuk pertama kalinya. Jadi, zat bertindak sebagai suatu pendorong
postitif untuk perilaku mencari zat lagi. Banyak zat juga disertai dengan efek merugikan,
yang bertindak menurunkan perilaku dalam mencari zat lagi. Ketiga, orang harus mampu
membedakan zat yang disalahgunakan dari zat lainnya. Keempat, hampir semua perilaku
mencari zat disertai dengan petunjuk lain yang menjadi berhubungan dengan pengalaman
menggunakan zat.1
c. Faktor Genetik
4

Bukti-bukti kuat dari penelitian pada anak kembar, anak angkat, dan saudara kandung
telah menimbulkan indikasi yang jelas bahwa penyalahgunaan alkohol mempunyai suatu
komponen genetika dalam penyebabnya. Terdapat banyak data yang kurang meyakinkan
dimana jenis lain penyalahgunaan atau ketergantungan zat memiliki pola genetika dalam
perkembangannya. Tetapi, beberapa penelitian telah menemukan suatu dasar genetika untuk
ketergantungan dan penyalahgunaan zat non alkohol. Baru-baru ini, peneliti telah
menggunakan teknologi RFLP (Restriction Fragment Length Polumorphism) dalam meneliti
penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat, dan beberapa laporan hubungan RFLP telah
diterbitkan.1
d. Faktor Neurokimiawi
Dengan pengecualian alcohol, para peneliti telah mengidentifikasi neurotransmitter atau
reseptor neurotransmitter tertentu yang terlibat dengan sebagian besar zat yang
disalahgunakan. Sejumlah peneliti mendasarkan studi mereka pada hipotesis tersebut.
Sebagai contoh, opioid bekerja sebagai resptor opioid. Seseorang dengan aktivitas opioid
endogen yang terlalu sedikit (contohnya konsentrasi endorfinyang rendah) atau dengan
aktivitas antagonis opioid endogen yang terlalu banyak mungkin beresiko mengalami
ketergantungan opioid. Bahkan pada orang dengan fungsi resptor endogen dan konsentrasi
neurotransmitter yang benar-benar normal, penyalahgunaan jangka panjang suatu zat tertentu
pada akhirnya mungkin akan memodulasi sistem resptor di otak sehingga zat eksogen
dibutuhkan untuk mempertahankan homeostatis. Proses pada tingkat reseptor semacam itu
mungkin menjadi mekanisme untuk membentuk toleransi di dalam SSP. Namun, untuk
menunjukkan

adanya

modulasi

pelepasan

neurotransmitter

dan

fungsi

reseptor

neurotransmitter terbukti sulit, dan penelitian terkini memfokuskan efek zat pada sistem duta
kedua dan pada regulasi gen.1
e. Jaras dan Neurotransmitter
Neurotransmitter utama yang mungkin terlibat dalam perkembangan penyalahgunaan zat
dan ketergantungan zat adalah sistem opiat, katekolamin (khususnya dopamine), dan GABA.
Dan yang memiliki kepentingan khusus adalah neuron di daerah tegmental ventral yang
berjalan ke daerah kortikal dan limbic, khususnya nucleus akumbens. Jalur khusus tersebut
diperkirakan terlibat dalam sensasi menyenangkan (reward sensation) dan diperkirakan
5

merupakan mediator utama untuk efek dari zat tertentu seperti amfetamin dan kokain. Lokus
sereleus, kelompok terbesar neuron adrenergik, diperkirakan terlibat dalam perantara efek
opiat dan opioid.1
FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penggunaan Zat
a. Faktor diri/pribadi seseorang
Penyalahgunaan obat dipengaruhi oleh keadaan mental, kondisi fisik dan psikologis
seseorang. Kondisi mental seperti gangguan kepribadian, depresi, dapat memperbesar
kecenderungan seseorang untuk menyalahgunakan narkoba. Faktor individu pada umumnya
ditentukan oleh dua aspek :1
1. Aspek biologis
Secara biologis, seseorang dapat masuk ke dalam penyalahgunaan narkoba
disebabkan antara lain karena ingin menghilangkan rasa sakit atau keletihan.
2. Faktor psikologis
Sebagian besar penyalahgunaan obat dimulai pada masa remaja. Seseorang dapat
terjerumus dalam pemakaian narkoba karena beberapa alasan antara lain:
a) Ingin meningkatkan semangat dan gairah kerja atau juga ingin meningkatkan
keperkasaan atau percaya diri.
b) Ingin melepaskan diri dari berbagai beban hidup yang menimpanya.
c) Ingin melepaskan diri dari kesunyian, kehampaan, atau ingin mencari hiburan.
d) Ingin diterima sebagai anggota suatu kelompok karena menganggap bahwa
kelompok yang ingin dimasukinya mempunyai trend yang patut diikuti
e) Ingin coba-coba atau ingin mencari pengalaman baru.
f) Merasa dijauhkan atau diasingkan atau tidak dicintai atau merasa tidak dihargai.
3. Faktor Lingkungan
a) Keluarga yang kurang komunikatif, kurang perhatian, kurang membagi kasih
sayang dan kurangnya penghargaan terhadap sesama anggota keluarga.
b) Keluarga yang kurang pengawasannya terhadap sesama anggota keluarga
c) Lingkungan sosial yang tidak harmonis dan tidak terikat dengan berbagai norma
seperti norma hukum, agama, susila, dan lain-lain.

d) Lingkungan yang kurang disiplin, tidak mempunyai tata tertib, tidak mempunyai
sistem pengawasan yang memadai, dan kurangnya sistem pengamanan lingkungan
baik lingkungan pendidikan, lilngkungan kerja, atau tempat tinggal.
e) Pergaulan sebaya yang tidak sehat.
f) Peraturan atau undang-undang yang tidak tegas sehingga tidak membuat jera para
pelaku peredaran narkoba.
g) Lemahnya penegakan hukum oleh para penegak hukum seperti polisi, hakim,
jaksa, bea cukai, dan lain-lain.
h) Pandangan yang keliru tentang masalah penanggulangan narkoba bahwa masalah
narkoba adalah urusan pemerintah saja.
i) Fasilitas pelayanan dan rehabilitasi yang mahal bagi korban narkoba.
4. Faktor Keberadaan Narkoba
a) Harga narkoba yang semakin murah dan semakin dijangkau oleh masyarakat. Hal
ini terjadi juga karena adanya paket hemat dari kemasan narkoba itu sendiri.
b) Narkoba semakin banyak baik jenis, cara pemakaian, atau pun bentuk kemasannya.
c) Modus operasi para pelaku tindak pidana narkoba semakin jeli dan licik sehingga
sulit diungkap oleh aparat penegak hokum.
d) Semakin mudahnya akses internet yang menginformasikan tentang keberadaan,
pembuatan atau peredaran narkoba.
e) Perdagangan narkoba dikendalikan oleh sindikat yang kuat dan profesional
Tahapan-tahapan yang dialami oleh Penyalahgunaan zat
Oleh

U.S

National

Comission

On

Marihuana

and

Drug

Abuse

berusaha

mengklasifikasikan tahapan penyalah-guna zat menjadi beberapa tahap:1


1) Experimental Users
Mereka yang menggunakan zat tadi tanpa mempunyai motivasi tertentu. Mereka hanya
terdorong oleh rasa ingin tahu,. Pemakaian biasanya sesekali dengan dosis yang relatif kecil.
Hal ini dapat disamakan seesorang yang mulai mengenal rokok.
2) Recreational Users/ casual Users
Kelompok ini biasanya menggunakan zat/ obat tertentu dalam pertemuan/pesta atau dalam
kebersamaan (menikmati rekreasi). Mereka biasanya mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan kelompoknya. Interaksi sosial masih dirasakan wajar-wajar saja hanya sewaktu

mereka berkumpul biasanya mereka terbawa dan terhanyut dalam kecenderungan untuk
memakai obat/ zat tadi secara berlebihan.
3) Situational Users
Umumnya orang yang tergolong tahap ketiga ini, mulai menggunakan obat/ zat secara sadar
kalau mereka menghadapi masa masa sulit. Mereka percaya bahwa hanya dengan
menggunakan/mengkonsumsi obat tadi, mereka lebih sanggup mengatasi persoalan hidup
yang sulit tadi. Penggunaan obat pada golongan ini dapat merupakan satu pola tingkah laku
tertentu sehingga mendorong individu tadi untuk mengulangi perbuatannya sehingga resiko
menjadi addict/ kecanduan akan menjadi jauh lebih besar dibandingkkan kelompok I dan II
diatas.
4) Intensified Users
Kelompok yang sudah secara kronis menggunakan obat/ zat tertentu. Kelompok ini merasa
butuh memakai obat tadi untuk memperoleh kenikmatan atau mencari pelarian dari tekanan
hidup. Walau penggunaannya sudah lebih banyak, tapi individu semacam ini masih sangggup
ber-interaksi

dengan

masyarakat

secara

baik.

Hanya

mereka

bertendensi

untuk

mengkonsumsikan pemakaian obat tadi secara berlebihan.


5) Compulsive Dependence Users
Pengguna dengan jumlah dan frekuensi yang lebih banyak dengan jumlah dan frekuensi yang
lebih banyak lagi melepaskan kebiasaannya tanpa merasakan guncanngan psikis/ fisik.
Apabila mereka tidak menggunakan zat tadi, mereka sudah mengalami withdrawl
symptoms/sindroma putus obat yang cukup berat. Mereka memang sudah tergantung
hidupnya dari pemakaian obat/zat tadi.
Kriteria Ketergantungan dan Penyalahgunaan zat
Ketergantungan dan penyalahgunaan NAPZA adalah istilah kedokteran. Seseorang
disebut ketergantungan dan mengalami penyalahgunaan NAPZA, bila memenuhi kriteria
diagnostik tertentu. Menurut PPDGJ-III, Gangguan Penggunaan NAPZA terdiri atas 2 bentuk:2
1) Penyalahgunaan, yaitu yang mempunyai harmful effects terhadap kehidupan orang,
menimbulkan problem kerja, mengganggu hubungan dengan orang lain (relationship) serta
mempunyai aspek legal

2) Adiksi atau ketergantungan, yaitu yang mengalami toleransi, putus zat, tidak mampu
menghentikan kebiasaan menggunakan, menggunakan dosis NAPZA lebih dari yang diinginkan.

Kriteria berdasarkan DSM-IV-TR yaitu :


1. Kriteria DSM-IV-TR untuk Intoksikasi Zat1
1.1.
Berkembangnya sindrom spesifik zat yang reversible akibat baru saja
mengkonsumsi (atau terpajan pada) suatu zat.
1.2.
Terdapat perubahan perilaku atau psikologis yang maladaptive dan signifikan
yang disebabkan oleh efek zat tersebut pada sistem saraf pusat (agresif, modd labil,
hendaya kognitif, daya nilai terganggu, fungsi social atau okupasional terganggu) dan
timbul selama atau segera setelah penggunaan zat.
1.3.
Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
2. Kriteria DSM-IV-TR untuk Ketergantungan Zat1
Suatu pola maladaptif penggunaan zat, yang menimbulkan hendaya atau penderitaan
yang secara klinis signifikan, yang dimanifestasikan oleh tiga (atau lebih) hal berikut,
terjadi dalam periode 12 bulan yang sama:
2.1.
Toleransi, seperti didefenisikan salah satu di bawah ini:
2.1.1. Kebutuhan untuk terus meningkatkan jumlah zat untuk mencapai intoksikasi
atau efek yang diinginkan.
2.1.2. Penurunan efek yang sangat nyata dengan berlanjutnya penggunaan zat dalam
jumlah yang sama.
Putus zat, seperti didefenisikan salah satu di bawah ini:
2.2.1. Karakteristik sindrom putus zat untuk zat tersebut (mengacu kriteria A dan B

2.2.

untuk keadaan purus zat dari suatu zat spesifik)


2.2.2. Zat yang sama (atau berkaitan erat) dikonsumsi untuk meredakan atau
menghindari gejala putus zat
2.2.3. Zat sering dikonsumsi dalam jumlah lebih besar atau dalam periode yang
lebih lama dari seharusnya
2.2.4. Terdapat keinginan persisten atau ketidakberhasilan upaya untuk mengurangi
atau mengendalikan aktivitas penggunaan zat
2.2.5. Menghabiskan banyak waktu melakukan aktivitas yang diperlukan untuk
memperoleh zat (cth., mengunjungi banyak dokter atau berkendara jarak
jauh), menggunakan zat (cth., merokok seperti kereta api), atau untuk pulih
dari efeknya
9

2.2.6. Mengorbankan atau mengurangi aktivitas reaksional, pekerjaan, atau sosial


yang penting karena penggunaan zat
2.2.7. Penggunaan zat berlanjut meski menyadari masalah fisik atau psikologis
rekuren yang dialami mungkin disebabkan atau dieksaserbasi zat tersebut
(cth., saat ini menggunakan kokain walau menyadari adanya depresi
terinduksi kokain atau minum berkelanjutan meski mengetahui bahwa ulkus
akan menjadi lebih parah dengan mengonsumsi alkohol).
3. Kriteria DSM-IV-TR untuk Penyalahgunaan Zat1
3.1.
Suatu pola maladaptif penggunaan zat yang menimbulkan hendaya atau
penderitaan yang secara klinis signifikan, seperti dimanifestasikan oleh satu (atau
lebih) hal berikut yang terjadi dalam periode 12 bulan:
3.1.1. Penggunaan zat berulang mengakibatkan kegagalan memenuhi kewajiban
peran utama dalam pekerjaan, sekolah, atau rumah (cth., absen berulang atau
kinerja buruk dalam pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan zat;
absen, skors, atau dikeluarkan dari sekolah terkait zat; penelantaran anak atau
rumah tangga)
3.1.2. Penggunaan zat berulang pada situasi yang secara fisik berbahaya (cth.,
mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin saat sedang mengalami
hendaya akibat penggunaan zat)
3.1.3. Masalah hukum berulang terkait zat (cth., penahanan karena perilaku kacau
terkait zat)
3.1.4. Penggunaan zat berlanjut meski memiliki masalah sosial atau interpersonal
yang persisten atau rekuren yang disebabkan atau dieksaserbasi oleh efek zat
(cth., berselisih dengan pasangan tentang konsekuensi intoksikasi, perkelahian
fisik)
3.2.
Gejala tidak memenuhi kriteria ketergantungan Zat untuk kelas zat ini.
4. Kriteria DSM-IV-TR untuk Keadaan Putus Zat1
4.1.
Berkembangnya sindrom spesifik zat akibat penghentian penggunaan zat yang
telah berlangsung lama dan berat.
Sindrom spesifik zat menyebabkan penderitaan atau hendaya yang secara klinis

4.2.

signifikan dalam fungsi sosial, okupasional, atau area fungsi penting lain.
Gejala tidak disebabkan oleh suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik

4.3.

diterangkan oleh gangguan mental lain.


Kriteria berdasarkan PPDGJ-III yaitu :

10

1.

Kriteria PPDGJ-III untuk Sindrom ketegantungan2


1.1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk
menggunakan zat psikoaktif.
1.2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk sejak mulainya,
usaha penghentian, atau pada tingkat sedang menggunakan.
1.3. Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat atau
pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas atau orang tersebut
menggunakan zat atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan
atau menghindari terjadinya gejala putus zat.
1.4. Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan guna
memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih rendah (contoh
yang jelas dapat ditemukan pada individu yang ketergantungan alkohol dan opiad yang
dosis hariannya dapat mencapai taraf yang dapat membuat tak berdaya atau mematikan
bagi pengguna pemula).
1.5. Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minta lain disebabkan
penggunaan zat psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari akibatnya.
1.6. Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan
kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol yang berlebihan,
keadaan depresi sebagai akibat dari suatu periode penggunaan zat yang berta, atau
hendaya fungsi kognitif berkaitan dengan penggunaan zat; upaya perlu diadakan untuk
memastikan bahwa pengguna zat sungguh-sungguh, atau dapat diandalkan, sadar akan
hakekat dan besarnya bahaya.

2.

Kriteria PPDGJ-III untuk Keadaan Putus Zat


2.1. Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom ketergantungan dan
diagnosis sindrom ketergantungan zat harus turut dipertimbangkan.
2.2. Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini merupakan
alasan rujukan dan cukup parah sampai memerlukan perhatian medis secara khusus.
2.3. Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan psikologis
(misalnya anxietas, depresi, dan gangguan tidur) merupakan gambaran umum dari
keadaan

putus

zat

ini.

Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan
meneruskan penggunaan zat.

11

Dalam konsep kedokteran, ketergantungan NAPZA merupakan gangguan yang


menunjukkan adanya perubahan dalam proses kimiawi otak sehingga memberikan efek
ketergantungan (craving, withdrawal, tolerance). Sedang penyalahgunaan dikaitkan dengan
tingkah laku bereksperimentasi, mengalamsi rasa kecewa, perilaku membangkang, masalah
keuangan dan self medication. Dalam masyarakat, kedua istilah tersebut sering disalahtafsirkan.
Pada umumnya seseorang mengalami penyalahgunaan NAPZA, belum tentu menderita
ketergantungan.2
Jenis-jenis NAPZA dan Efeknya
Karena potensi ketergantungan yang sangat besar, opioid selalu dianggap sebagai tolok
ukur dalam pembicaraan masalah NAPZA menyangkut terapi, prevalensi dan lain-lainnya.
Klasifikasi Napza berdasarkan undang-undang th 1997: 6
Narkoba

Psikotropika

Gol 1 (hanya utk iptek): Tanaman poppy,


opium, kokain, ganja, heroin

Gol 1 (hanya utk iptek):LSD, MDMA,


Meskalin, dll

Gol 2: methadone, morfin, petidin

Gol 2: Amfetamin, PCP, dll

Gol 3: kodein, ethyilmorfina

Gol 3: Nopseudoefedrin, bromazepam,


alprazolam, diazepam, dll

Tabel 1. Klasifikasi Napza berdasarkan UU tahun 19973


Berdasarkan klarifikasi kerjanya maka Napza dapat dibagi menjadi:
Depresan

Stimulan

Halusinogen

Alcohol

Amfetamin

LSD, DMT

Benzodiazepin

Metamfetamin

Meskalin

Opioid

Kokain

PCP

Solven

Nikotin

Ketamin

Barbiturat

Khat

Kanabis (dosis tinggi)

Kanabis (dosis rendah)

Kafein

Magic mushrooms

MDMA

MDMA

Tabel 2. Klasifikasi Napza berdasarkan cara kerjanya 2

12

1. Alkohol
Umumnya digunakan dalam bentuk minuman beralkohol. Di indonesia, terutama di
daerah Indoneisa Timur dan beberapa tempat di daerah Sumatera, terdapat antara 2-3 juta
orang yang menggunakan minuman alkohol dari ringan sampai berat. Di Amerika Serikat
terdapat 12-18 juta orang mengalami ketergantungan alkohol dan problem drinkers.
Penyalahgunaan alkohol di kalangan remaja sukar dicegah karena kurang sempurnanya
pengawasan. Di banyak negara berkembang, pemerintah umumnya dirasakan bersifat
ambivalen, sebab sebagian besar anggaran belanjanya diambil dari pajak industri
minuman beralkohol. Sebagian remaja sampai usia dewasa cukup bebas dan
berkesempatan menggunakan minuman beralkohol, laki-laki lebih banyak dari
perempuan tetapi populasi peminum perempuan meningkat dan menggunakan alcohol,
usia dewasa lebih stabil menggunakannya secara berkelanjutan.
Jenis-jenis minuman beralkohol di Indonesia sangat bervariasi (dari tradisional
sampai fermentasi buatan, dari berkadar tinggi hingga rendah). Minuman beralkohol
memberikan berbagai gambaran klinis, antara lain :
1.1.
Intoksikasi berupa euforia, cadel, nistagmus, bradikardia, hipotensi, kejang, koma.
Pada keadaan intoksikasi berat, reflek menjadi negatif.
Keadaan Putus Alkohol berupa halusinasi, ilusi (bad dream), kejang, delirium

1.2.

Tremens, gemetar, keluhan gastrointestinal, muka merah, mata merah dan hipertensi.
1.3.
Gangguan fisik berupa mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis, ulkus
peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defeisiensi vitamin, fetal
alcohol syndrome
1.4.
Gangguan mental berupa depresi hingga skizofrenia.
1.5.
Gangguan lain berupa kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem domestik dan
tindak kekerasan.
2. Opioid
Merupakan salah

satu

golongan

NAPZA

yang

sangat

kuat

potensi

ketergantungannya, sehingga disebut dengan julukan horor drug. Yang termasuk


golongan opioid adalah morfin, petidin, heroin, metadon, kodein. Golongan opioid yang
paling sering disalahgunakan adalah heroin.
Heroin di Indonesia disebut: putaw (atau pete, hero atau petewe). Heroin
merupakan opioid semisintetik yang yang berasal dari morfin. Bentuk heroin yaitu kristal
putih yang larut dalam air. Bila heroin berwarna berarti berasal dari kontaminannya.
Di Indonesia, sekurangnya terdapat 300-500 ribu orang dengan ketergantungan heroin (di
13

AS, sekurangnya 810.000 orang menjadi ketergantungan heroin ). Studi menunjukkan


bahwa jumlah pengguna lama agak menurun selama setahun terakhir, tetapi pengguna
pemula terutama remaja terus bertambah meski tidak bermakna, purity makin rendah
(paket murah) dengan sasaran populasi sosial ekonomi rendah, komplikasi makin marah
(HIV/AIDS, hepatits, TB). Heroin dapat popular disebabkan karena awitan cepat, euforia
kuat, dengan penggunaan dragon dapat terjadi rush (atau abadi) atau penggunaan secara
intra-venous merupakan pilihan utama adiksi.Akibat penyalahgunaan opioid yaitu :
2.1.
Masalah fisik berupa abses pada kulit sampai septickemia, infeksi karena emboli,
dapat sampai stroke, endokarditis, hepatitis (B dan C), HIV/AIDS, injeksi
menyebabkan trauma pada jaringan saraf lokal, Opiate neonatal abstinence syndrome.
2.2.
Masalah psikiatri yaitu berupa gejala withdrawal menyebabkan perilaku agresif,
suicide, depresi berat sampai skozofrenia.
Masalah sosial yaitu berupa gangguan interaksi di rumah tangga sampai

2.3.

lingkungan masyarakat, traffic accidents, perilaku kriminal sampai tindak kekerasan,


gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam, menodong, membohong,
menipu sampai membunuh).
Penyebab kematian yaitu reaksi heroin akut menyebabkan kolaps-nya

2.4.

kardiovaskular dan akhirnya meninggal, overdose karena heroin menekan susunan


saraf pusat, sukar bernafas dan menyebabkan kematian, adanya indak kekerasan,
bronkhopneumonia, endokarditis.
3. Ganja
Daun ganja (juga kembangnya) berasal dari tanaman perdu Cannabis sativa.
Bahan aktifnya berasal dari tanaman ganja yang bersifat adiktif, disebut delta tetra
hidrokannabinol (THK) yang hanya larut dalam lemak. Karena tidak dapat larut dalam
air, THK tinggal lama didalam lemak jaringan (termasuk jaringan lemak otak, sehingga
menyebabkan brain damage).
Gambaran klinis disebakan ganja tergolongan kombinasi antara CNS-depresant,
stimulansia dan halusinogenik. Di Indonesia, ganja disebut dengan cimek, gelek,
maribuana, hashish. Bentuk umumnya yaitu serpihan daun atau kembang ganja yang
diperjual belikan dalam bentuk lintingan, gram-graman, kilo-kiloan hingga berton-ton.
Dikenal juga bentuk lain yaitu budha stick dan minyak ganja.
Akibat penyalahgunaan ganja adalah:

14

3.1.

Problem fisik: Gangguan system reproduksi (infertilitas, mengganggu menstruasi,


maturasi organ seksual, kehilangan libido, impotensi), Fetal damage selama
kehamilan, mengandung agen penyebab timbulnya sel-sel epitel kanker (carcinogenic
agents): kanker paru, organ pernapasan bagian atas, saluran pencernaan, leher, kepala,
Emphysema
Problem psikatri: Gangguan memori sampai kesulitan belajar, sindrom

3.2.

amotivasional, ansietas, panic sampai reaksi bingung, psikosis paranoid sampai


skizofrenia, depresi berat sampai suicide, apatis
Sebab kematian: Suicide, infeksi berat, tindak kekerasan

3.3.

4. Kokain
Kokain adalah sejenis stimulansi yang di Indonesia saat ini belum begitu populer.
Namun bertambahnya sitaan kokain secara ilegal dan meningkatnya kasus-kasus
penggunaan kokain akhir-akhir ini, bukan tidak mungkin epidemi akan merajai pasaran
peredaran NAPZA dalam masa-masa mendatang. Kokain dihasilkan dari daun tumbuhan
yang disebut Erythroxylon coca. Tanaman tersebut tumbuh subur di sebelah timur
pegunungan Andes di Amerika Selatan.
Bentuk kokain yang diperjualbelikan di Indonesia dalam bentuk bubuk putih.
Harga 1 gram sekitar sejuta dua ratus ribu rupiah (lebih mahal dari heroin). Umumnya
pengguna kokain memulai kebiasaannya dengan cara snorting dan berakhir dengan
menyuntik intravenous atau dengan cara merokok. Akibat penyalahgunaan kokain adalah:
4.1.
Masalah fisik (dengan penggunaan snorting) berupa pilek terus menerus, sinusitis,
epistaksis, luka-luka pada rongga hidung, perforasi septum nasi. (dengan suntikan)
berupa infeksi lokal pada kulit sampai sistemik (virus, bakteri, parasit atau jamur),
abses daerah kulit, endokarditis bakteri, hepatitis (B dan C), HIV/AIDS. Inhalasi
melalui merokok juga dapat menyebabkan radang tenggorokan, melanoptysis atau
sputum bercak-bercak darah, bronkhitis kronik sampai pneumonia. Cocain baby
(retardasi pertumbuhan intra-uterine, bayi lahir lebih kecil sampai prematur yang
diikuti kelainan mental berupa irritable, gangguan tidur, kesukaran makan).
4.2.
Masalah psikiatri berupa toleransi dan ketergantungan yaitu sifat toleransi tubuh
terhadap kokain sangat cepat, kendati pengguna tidak menyadari dosis yang
digunakan kian meningkat. Akibatnya, ia tidak mampu mengendalikan diri, dan untuk
mencukupi kebutuhannya ia mengonsumsi kokain dengan mencampurinya dengan zat
adiktif lain (speedball) untuk mendapatkan efek yang diinginkan.Gejala fisik putus
15

zat kurang dikenal. Namun secara mental sangat merugikan, berupa agitasi, depresi,
fatigue, high craving, cemas, marah meledak-ledak, gangguan tidur, mimpi aneh,
makan berlebihan, mudah tersinggung, mual, otot-otot pegal hingga lethargy.
Masalah sosial brupa separasi perkawinan sampai perceraian, pertengkaran dalam

4.3.

rumah tangga, toleransi karena penggunaan kokain menyebabkan besarnya biaya


penyediaan kokain, terbatasnya penghasilan menyebabkan hutang yang menumpuk,
kehilangan pekerjaan karena hilangnya produktivitas diri, angka absen yang
meningkat, kehilangan proffesional licence atau certificate, ditahan, dihukum hingga
pidana.
Penyebab kematian, umumnya karena overdosis (lebih dari 1,2 sampai 1,5 gram

4.4.

bubuk kokain asli) berupa kelumpuhan alat pernapasan, aritmia kordis, kejang
berulang kali, mati lemas karena merasa seperti dicekik, reaksi alergi, stroke (karena
naiknya tekanan darah secara mendadak), kehamilan (pendarahan antepartum,
aborsi). Pada bayi dapat terjadi Sudden Infant Death Syndrome.
5. Amfetamin
Adalah senyawa kimia yang bersifat stimulansia (lebih sering dikenal dengan
Amphetamine Type Stimulants atau ATS). Dewasa ini oleh sindikat psikotropik ilegal,
derivat amfetamin dipasarkan di Indonesia dalam bentuk ecstasy dan shabu. Akibat
penyalahgunaan amfetamin (termasuk ecstasy dan shabu) adalah:
5.1.

Masalah fisik berupa malnutrisi akibat defisiensi vitamin, kehilangan nafsu


makan, denyut jantung meninggi sehingga menbahayakan bagi mereka yang pernah
mempunyai riwayat penyakit jantung, gangguan ginjal, emboli paru dan stroke,
hepatitis, HIV/AIDS bagi mereka yang menggunakan suntikan amfetamin.
Masalah psikiatri berupa Perilaku agresif, psikosis paranoid sampai skizofrenia,

5.2.

kondisi putus zat yang menyebabkan lethargy, fatigue, exausted, serangan panik,
gangguan tidur, depresi berat, halusinasi (terutama ecstacy dan shabu.
Masalah social berupa tindak kekerasan (berkelahi), kecelakaan

5.3.
6.

lalu

lintas,aktivitas kriminal.
Benzodiazepin
Derivat benzodiazepin dikenal dalam bentuk tablet dan suntikan. Dalam bentuk
suntikan umumnya menggunakan injeksi diazepam. Sedang dalam bentuk tablet cukup
bervariasi: nitrazepam, flunitrazepam, flurazepam, bromazepam, dan diazepam. Akibat
penyalahgunaan benzodiazepin menimbulkan:
16

6.1.

Masalah fisik berupa penggunaan suntikan dapat menyebabkan abses, infeksi


sitemik dan hepatitis, HIV/AIDS, gangguan gastrointestinal, gangguan neurologic,
malnutrisi.
Masalah psikiatri berupa perilaku agresif terutama dalam keadaan intoksikasi,

6.2.

ansietas, panik, withdrawal state menimbulkan perilaku agresif dan violence.


6.3.
Masalah social berupa mengganggu interaksi dalam rumah tangga dan lingkungan
masyarakat, tindak pidana dan terlibat hokum, dan enggunaan finansial terganggu
(boros dan tidak menentu).
Gejala Klinis Penyalahguna Zat
1.

Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat
digolongkan sebagai berikut :
1.1.
Pada saat menggunakan NAPZA berjalan sempoyongan, bicara pelo (cadel),
apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga.
Bila kelebihan disis (overdosis), Nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat,

1.2.

kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.


1.3.
Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) Mata dan hidung berair,menguap terus
menerus, diare, rasa sakit diseluruh tubuh, takut air sehingga malas mandi, kejang,
kesadaran menurun.
1.4.
Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan
dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terdapat bekas suntikan pada lengan
atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik).
2. Perubahan Sikap dan Perilaku
2.1.
Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering
membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.
Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau

2.2.

tampat kerja.
Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu

2.3.

lebih dulu.
2.4.
Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu
dengan anggota keluarga lain dirumah.
Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,

2.5.

kemudian menghilang.
2.6.
Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik
17

keluarga, mencuri, mengompas, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan


polisi.
2.7.
Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan,
pencuriga, tertutup dan penuh rahasia.
Gambaran kekambuhan Penyalahguna Zat
Kekambuhan (relaps) merupakan perilaku penggunaan kembali narkoba setelah
menjalani penanganan secara rehabilitasi yang ditandai dengan adanya pemikiran, perilaku, dan
perasaan adiktif setelah periode putus zat. Relaps dapat terjadi apabila individu bergaul kembali
dengan teman-teman pemakai narkoba atau bandarnya, Individu tidak mampu menahan
keinginan atau sugesti untuk memakai kembali narkoba dan individu mengalami stres atau
frustasi. Oleh karena itu terapi detoksifikasi seringkali dilakukan dengan tujuan untuk dapat
menghentikan kecanduan. Namun demikian pada intinya, kesadaran dan niat penuh dari dalam
hati merupakan senjata yang paling ampuh untuk memerangi keinginan.3,4
Secara umum dampak akibat penggunaan narkotika terbagi menjadi dua yaitu dampak
secara psikis dan dampak secara sosial. Untuk dampak psikis akibat yang sering muncul adalah
pengguna menjadi sangat menurun produktivitasnya, kehilangan rasa percaya diri, memiliki sifat
apatis serta mudah curiga kepada orang lain bahkan kepada orang terdekatnya seperti orang tuan
atau saudara kandungnya sendiri. Sedangkan untuk dampak sosial akibat yang sering muncul
adalah pengguna dikucilkan oleh masyarakat karena dianggap merupakan orang yang
berperilaku kurang baik dan merugikan. Dan untuk para pengguna yang relaps efek yang
ditimbulkan adalah dosis pemakaian yang semakin meningkat dari sebelumnya. 4
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekambuhan penyalahgunaan zat terbagi menjadi
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal yang diketahui memiliki pengaruh terhadap
terjadinya relaps yakni motivasi dari dalam diri, keadaan emosi, depresi dan gangguan
kecemasan, gangguan mood. Sedangkan Faktor eksternal yang memiliki pengaruh terhadap
relaps yaitu konflik interpersonal dan tekanan sosial, dukungan sosial dan riwayat keluarga sbg
pengguna, ekonomi keluarga yang memadai.1
Rehabilitasi jangka panjang dalam hal ini yang digunakan adalah Therapeutic
Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku. Direkomendasikan bagi
pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan napza dalam waktu lama dan berulang kali
18

relaps atau sulit untuk berada dalam kondisi abstinen atau bebas dari napza. Therapeutic
Community (TC) dapat digambarkan sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien yang
membutuhkan lingkungan yang mendukung dan lingkungan lain yang bermakna dalam
mempertahankan kondisi bebas napza atau abstinen.1
Pencegahan relaps dapat dilakukan melalui pendekatan perilaku kognitif untuk
manajemen diri yang berfokus pada pengajaran individu untuk mendapatkan alternatif terhadap
situasi yang memiliki resiko tinggi akan terbentuknya kembali perilaku relaps, ada tiga kondisi
yang beresiko tinggi akan membentuk perilaku relaps kembali yaitu emosi negatif, konflik
interpersonal, dan tekanan sosial. Program yang dapat dilaksanakan untuk pencegahan relaps
yaitu aftercare program. Program yang bertujuan agar individu mempunyai tempat atau
kelompok yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta memiliki lingkungan hidup yang
positif.1
Penanganan dan Rehabilitasi
Rehabilitasi NAPZA adalah rehabilitasi yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial,
pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi para mantan pengguna
NAPZA agar mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Rehabilitasi NAPZA
merupakan suatu bentuk terapi dimana klien dengan ketergantungan NAPZA ditempatkan dalam
suatu institusi tertutup selama beberapa waktu untuk mengedukasi pengguna yang berusaha
untuk mengubah perilakunya, mampu mengantisipasi dan mengatasi masalah relaps (kambuh)
(BNN, 2006).
Model-model

Pelayanan

Rehabilitasi

NAPZA

Berdasarkan

KEPMENKES

No.996/MENKES/SK/VIII/2002, pelayanan rehabilitasi meliputi:3


1. Pelayanan Medik
a. Detoksifikasi
Detoksifikasi adalah suatu proses dimana seorang individu yang ketergantungan
fisik terhadap zat psikoaktif (khususnya Opioida), dilakukan pelepasan zat
psikoaktif (opioida) tersebut secara tiba-tiba (abrupt) atau secara sedikit demi
b.

2.

sedikit (gradual).
Terapi Maintenance
Terapi maintenance (rumatan) adalah pelayanan pasca detoksifikasi dengan tanpa

komplikasi medik.
Terapi Psikososial
19

Dapat dilakukan melalui pendekatan Non Medis, misalnya Sosial, Agama, Spiritual,
Therapeutic Community, Twelve Steps, dan alternatif lain. Metode ini diperlukan tindak
lanjut dari sektor terkait seperti Departemen Sosial, Departemen Agama atau pusat-pusat
yang mengembangkan metode tersebut. Pelaksanaan metode apapun, harus tetap
berkoordinasi bersama dokter puskesmas Kecamatan setempat atau dokter rumah sakit
terdekat untuk menanggulangi masalah kesehatan fisik dan mental yang mungkin dan
atau dapat terjadi selama proses rehabilitasi.
3. Rujukan
Pasien penyalahguna dan ketergantungan NAPZA dengan komplikasi medis fisik dirujuk
ke Rumah Sakit Umum Kabupaten / Kota atau Rumah Sakit Umum Provinsi. Pasien
penyalahguna dan ketergantungan NAPZA dengan komplikasi medis psikiatris dirujuk ke
Rumah Sakit Jiwa atau bagian psikiatri Rumah Sakit Umum terdekat.
Model pelayanan dan rehabilitasi medis3
a. Metadon
Metadon adalah zat opioid sintetik berbentuk cair yang diberikan lewat mulut.
Metadon merupakan obat yang paling sering digunakan untuk terapi substitusi
bagi ketergantungan opioid. Bentuk terapi ini telah diteliti secara luas sebagai
terapi modalitas. Pada pasien dengan pengguna heroin yang memakai rehabilitasi
dengan Metadon, maka dosis Metadon dosis tinggi dinilai lebih efektif daripada
dosisnya rendah atau menengah. Dosis Metadon yang tinggi akan diturunkan
secara bertahap.
Terapi rumatan Metadon diikuti perbaikan kesehatan secara substansial dan
insiden efek samping rendah. Hampir pasien yang mengikuti terapi Metadon
berespon baik Meski demikian, tidak semua pengguna dengan ketergantungn
opioid dapat diberi terapi substitusi Metadon. Bagi mereka yang tidak dapat
menggunakan metode ini, tersedia banyak pendekatan lainnya dan menggugah
mereka tetap berada dalam terapi.
b. Burprenorfin
Burprenorfin adalah obat yang diberikan oleh dokter. Burprenorfin tidak
diabsorbsi dengan baik jika ditelan, karena itu cara penggunaannya adalah
sublingual (diletakkan di bawah lidah).
1. Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan bimbingan individu dan
kelompok

20

Terapi ini merupakan terapi konvensional untuk pasien ketergantungan


NAPZA yang tidak menjalani rawat inap dan dapat dilakukan secara individual
maupun kelompok. Program ini didesain dengan kegiatan yang bervariasi seperti
edukasi keterampilan, meningkatkan sosialisasi, pertemuan yang bersifat vokasional,
edukasi moral dan spiritual, serta terapi 12 langkah (the 12 steps recopvery program).
2. Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan Therapeutic Community
a. Pengertian
Therapeutic Community (TC) adalah sebuah kelompok yang terdiri dari individu
dengan masalah yang sama, tinggal di tempat yang sama, memiliki seperangkat
peraturan, filosofi, norma dan nilai, serta kultural yang disetujui, dipahami dan
dianut bersama. Kesemuanya dijalankan demi pemulihan diri masing-masing.
b. Tujuan TC
Klien dapat mengolah subkultur yang dianut pengguna ke arah kultur masyarakat
luas (mainstream society), menuju kehidupan yang sehat dan produktif, meskipun
pengguna

sendiri

mempunyai

beberapa

nilai

untuk

mempertahankan

pemulihannya.
c. Cardinal Rules
No Drugs, No Sex, and No Violence
d. Filosofi TC
Program TC berlandaskan pada filosofi dan slogan-slogan tertentu, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis
3. Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan agama
Ada berbagai macam pusat rehabilitasi dengan pendekatan agama, misalnya
Pondok Pesantren dengan pendekatan nilainilai agama Islam dimana kegiatan
utamanya adalah berdzikir. Beda halnya di Thailand dimana para biksu Budha
merawat klien yang mengalami ketergantungan opioida di kuil, antara lain kuil
Budha Tan Kraborg. Para pendeta ini juga telah dilatih dalam memberi konseling
kepada klien.
4. Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan Narcotic Anonymus
Suatu program recovery yang dijalankan seorang pecandu berdasarkan prinsip
12 langkah. Langkah-langkah ini harus dijalankan lebih dari satu kali. Setelah selesai
mengerjakan seluruh langkah yang ada, seorang pecandu harus menjalankan kembali
langkah pertama. Karena banyak hal baru yang terjadi dan timbul sehingga seorang
pecandu harus menjalankan recorvery-nya seumur hidup.
5. Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan terpadu

21

Suatu pelayanan rehabilitasi dengan memadukan konsep dari berbagai


pendekatan dan bidang ilmu yang mendukung sehingga dapat memfasilitasi korban
NAPZA dalam mengatasi masalahnya dari aspek bio, psiko, sosial, dan spiritual.
Tahapan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahguna
Narkoba dilaksanakan sesuai Standar Minimal dan Pedoman Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan Narkoba yang disusun BNN.
Proses Pemulihan
Proses pemulihan adiksi napza bukan hanya melepaskan si pecandu dari ketergantungan
napza, tetapi juga mencegah mereka kembali menggunakannya. Proses pemulihan adalah suatu
perjalanan panjang yang menyakitkan bagi para pasien adiksi napza, mulai dari lepasnya napza
dari tubuh sampai ke pola hidup sehat. Dalam proises pemulihan, seorang adiksi harus membuat
perubahan intrapersonal dan interpersonal. Proses pemulihan dari berhenti menggunakan napza
atau abstinensia.3
Cirri-ciri ideal dari proses pemulihan :
-

Abstinensia
Menjauhkan diri dari teman, tempat, benda dan hal lain yang dapat menimbulkan

keinginan menggunakan napza kembali


Berhenti mempersalahkan diri sendiri
Belajar mengendalikan eprasaan
Belajar merubah pola pikir adiktif
Belajar mengenali permasalahn diri sendiri, orang lain dan sekitarnya

Proses pemulihan terdiri atas beberapa fase berikut :3


1. Fase pra terapi
Sebagai akibat kecanduan napza pasien terpaksa terus menerus menggunakan
napza. Kadang-kadang mereka merasa yakin dapat mampu mengendalikan penggunaan
napza. Namun realita menunjukkan mereka gagal, dan akhirnya tetap menggunakan
terus.
2. Fase stabilisasi

22

Pada fase stabilisasi, pasien mulai mengetahui bahwa kalau berhenti, akan timbul
dorongan ingin menggunakan kembali (craving) dan akibatnya fisik dapat menimbulkan
gejala sakau atau gejala putus zat atau withdrawal. Bila pasien gagal pada fase ini,
mereka tidak dapat menahan gejala-gejala withdrawal, dank arena tidak dapat menahan
penderitaan, mereka menggunakan napza kembali.
3. Fase pemulihan dini
Pada fase ini, pasien telah belajar mengenai adiksi, mengambil jarak dengan
teman-teman pengguna lain, menjalin hubungan hanya dengan teman-teman yang
mendukung pemulihan diri. Penyebab terjadinya relaps pada fase ini terutama disebabkan
karena kurangnya kemampuan berinteraksi social.
4. Fase pemulihan menengah
Pasien mulai mengembangkan pola hidup pada nilai-nilai wajar dalam bidang
pendidikan, suasana pekerjaan, lingkungan keluarga. Relaps terjadi karena stress yang
timbul terhadap kehidupan yang nyata.
5. Fase pemulihan akhir
Pada fase ini, seharusnya sudah mulai dikembangkan self esteem, kemampuan
untuk hidup produktif dan bahagia. Kegagalan disini, umumnya karena kurangnya
kemampuan mengatasi inner child problem.
6. Fase maintenance
Pasien pada fase ini, harus bisa mengatasi stress dalam kehidupan dengan clean &
sober. Relaps terjadi karena tidak mampu mempertahankan program pemulihannya akibat
tekanan social yang berat yang tidak mampu diatasi.
Dalam proses pemulihan, ada suatu gejala penting yang harus dipahami yaitu
relaps. Relaps dapat dianggap sebagai titik awal dari menggunakan napza kembali (sering
disebut slip, terpeleset atau lapse), setelah sebelumnya didahului oleh abstinensia. Relaps
bukan suatu kejadian yang berdiri sendiri, tapi merupakan manifestasi perilaku
disfungsional yang terus menerus meningkat dan kembali menggunakan napza. Jadi
23

merupakan suatu proses yang sebetulnya dapat dikendalikan. Penelitian membuktikan


bahwa relaps dimulai oleh sejumlah warning signs yang umumnya tidak diketahui pasien.
Banyak teknik terapi yang dikembangkan khusus untuk mengatasi relaps.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penyalahgunaan zat merupakan suatu pola pemakaian zat yang maladaptive yang
menimbulkan gejala-gejala gangguan kognitif, perilaku, dan fisiologik. Banyak hal yang
meneyebabkan penyalahgunaan zat antara lain adalah faktor individu dan lingkungan serta faktor
zat itu sendiri. Penyalahgunaan zat, selain memberikan gejala fisik, menimbulkan gejala pada
fungsi mental,misalnya gangguan pada suasana perasaan atau bahkan gejala psikotik, sehingga
menimbulkan hendaya atau distress dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
Dalam sudut pandang psikologis salah satu motif utama penggunaan ketergantungan zat adalah
untuk meningkatkan mood, sehingga zat bernilai positif yaitu dapat meningkatkan mood positif
dan mengurangi mood negatif serta dapat mengurangi stres dan ketegangan. Sosiokultural
menekankan pentingnya peran kelompok, orang tua, serta media dalam menentukan perilaku
yang dapat diterima dan yang tidak, antara lain bagaimana contoh yang diberikan keluarga
berperan dalam pembentukan penyalahgunaan zat dan penting juga untuk diperhatikan adalah
24

ketersediaan zat di lingkungan jika banyak zat diperjualbelikan akan menimbulkan kecendrungan
ke arah penyalah-gunaan zat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA, Gangguan Terkait Zat edited by Muttaqin H, Sihombing Retna
NE. in Kaplan&Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis, 2nd ed. ECG: Jakarta. 2012, p. 86146.
2. Maslim R, ed. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat. in PPDGJ-III.
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajawa: Jakarta. 2001, p. 36-43.
3. Husain AB, Gangguan Penggunaan Zat. in Buku Ajar Psikiatrik edited by Elvira SD,
Hadisukanto G. Badan Penerbit FKUI: Jakarta. 2010, p. 138-69
4. Humas BNN. Rehabilitasi Adiksi Berbasis Masyarakat Dalam Rangka Dukungan
Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat. Cited. 2013 Augs.26. Available
from URL:www.bnn.go.id
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 2415/Menkes/PER/XII/2011
tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahgunaan dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika. Diunduh dari: https://yankes.kemkes.go.id/view.php?file...t=NTcy pada
tanggal 1 Desember 2016.

25

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Diunduh


dari e-pharm.depkes.go.id/front/pdf/UU51997.pdf pada tanggal 1 Desember 2016.

26

Anda mungkin juga menyukai