Anda di halaman 1dari 50

WRAP UP

Penglihatan Terganggu

Kelompok A-11
Ketua

: Iqbal Muhammad

(1102014132)

Sekretaris

: Anindya Anjas Putriavi

(1102014027)

Anggota

: Hanny Dwi Setiowati

(1102012108)

Amirtha Mustikasari

(1102013022)

Fitria Rizki

(1102014108)

Galuh Intania

(1102014113)

Hani Hanifah

(1102014119)

Ika Tri Rahayu

(1102014124)

Ina Romantin

(1102014128)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016/2017

Skenario

Tn. A, 56 tahun, mengeluh penglihatan terganggu di kedua mata sejak 2 bulan yang
lalu. Kadang-kadang terlihat bintik gelap dan lingkaran-lingkaran cahaya. Pasien sudah
mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun. Saat ini telapak kaki terasa kesemutan dan nyeri bila
berjalan.
Tekanan darah 130/90 mmHg, berat badan 80 kg, tinggi badan 165 cm dan indeks
massa tubuh (IMT) 29,4 kg/m2, lingkar perut 108 cm. Kulit teraba kering dan pada
pemeriksaan sensorik dengan monofilament Semmes Weinstein 10 gram sudah terdapat
penurunan rasa nyeri. Pemeriksaan Ankle Brachial Index 0,9. Pada pemeriksaan funduskopi
terdapat mikroaneurisma dan perdarahan dalam retina. Hasil laboratorium glukosa darah
puasa 256 mg/dl, glukosa darah 2 jam setelah makan 345 mg/dl, HbA1c 10,2 g/dl dan protein
urin positif 3.
Dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat
komplikasi kronik mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pasien juga diberikan
edukasi perencanaan makan diet 1900 kalori yang halal dan baik sesuai ajaran Islam, jenis
olahraga yang sesuai dan pemberian insulin untuk mengontrol glukosa darahnya, serta efek
samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat.

Brain Storming
Kata Sulit
1

1. Monofilament Semmes-Weinstein: Tes untuk melihat ada atau tidaknya diabetik periferal
neuropati dengan menyentuhkan monofilamen ke 10 titik.
2. Diabetes Melitus Tipe 2: Intoleransi karbohidrat ditandai dengan resistensi insulin,
kelebihan produksi glukosa di hepar dan hiperglikemia
3. Ankle Brachial Index: Pengukuran tekanan darah di kaki dan tangan lalu dibandingkan.
4. Funduskopi: Pemeriksaan fundus oculi menggunakan oftalmoskop.
5. Mikroaneurisma: Aneurisma yang terletak di pembuluh darah kecil.
6. Mikroangiopati: Matinya pembuluh darah kecil karena adanya lipid atau gumpalan darah
di sepanjang pembuluh darah kecil.
7. Makroangioati: Matinya pembuluh darah besar karena adanya lipid atau gumpalan darah
di sepanjang pembuluh darah besar.
8. Neuropati: Gangguan saraf yang menyebabkan nyeri pada tubuh.
9. HbA1c: Glukosa yang menempel pada Hb untuk melihat seberapa baik pengontrolan
diabetes.
Pertanyaan
1 Mengapa didapatkan nyeri dan kesemutan pada kaki pasien?
10. Mengapa pasien mengeluh penglihatan terganggu dan ada pendarahan pada retina?
11. Apakah ada hubungan Diabetes Melitus Tipe 2 dengan penglihatan terganggu?
12. Mengapa kulit pasien teraba kering?
13. Bagaimana cara insulin mengontrol glukosa darah?
14. Berapa nilai normal IMT, glukosa darah, G2PP, protein urin dan HbA1c? Berapa nilai
kriteria untuk Diabetes Melitus Tipe 2?
15. Ada berapa tipe Diabetes Melitus dan apa perbedaannya?
16. Apa saja yang bisa dilihat lewat funduskopi?
17. Adakah hubungan Diabetes Melitus Tipe 2 dan pre-hipertensi?
18. Kapan insulin diberikan dan apa efek sampingnya?
19. Apa makanan pantangan yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh pasien
Diabetes Melitus Tipe 2?
20. Apa olahraga yang sesuai?
21. Mengapa rencana dietnya 1900 kalori dan apa saja makanan yang harus dijaga?
22. Apa makanan yang halalan tayyiban menurut agama Islam?
23. Apa saja komplikasi Diabetes Melitus Tipe 2?

Jawaban
1. Karena adanya mikroangiopati dan makroangiopati menghambat aliran darah ke SSP, lalu
terjadi gangguan fungsional sistem saraf sehingga pasien merasa nyeri dan kesemutan.
2. Adanya mikroangiopati sehingga menyumbat pembuluh darah kecil pada mata, terjadi
mikroaneurisma hingga pembuluh darah kecil tersebut pecah lalu gumpalan darah dan
2

lipid masuk ke retina mata yang berdampak terlihatnya bintik gelap dan lingkaran cahaya
pada retina mata.
3. Terjawab di nomor 2
4. Alasannya:
Karena pasien DM tipe 2 sering merasakan 3P (poliuria, polifagia, polidipsi) akibat dari
poliuria yaitu sering berkemih hingga menimbulkan dehidrasi.
Karena ada disfungsi kelenjar keringkat
Karena metabolisme sel terganggu menyebabkan kurangnya kadar H2O lalu timbul
dehidrasi dan kulit menjadi kering.
5. Insulin berfungsi sebagai transporter glukosa dalam darah ke sel-sel.
6. Nilai normal:
IMT: 18.5-22.9 (untuk Asia)
Glukosa Sewaktu:
o Kapiler: <90 mg/dl (>200 mg/dl: Diabetes)
o Vena: <100 mg/dl (>200 mg/dl: Diabetes)
Glukosa Puasa:
o Kapiler: <90 mg/dl (>100 mg/dl: Diabetes)
o Vena: <100 mg/dl (>126 mg/dl: Diabetes)
Protein Urin: 0/Negatif
HbA1c: <5.7 g/dl
7. Ada dua tipe:
a. DM Tipe 1: butuh insulin (Non-Dependent Insulin Diabetes Melitus), sering pada anakanak dan remaja
b. DM Tipe 2: tidak ketergantungan dengan insulin (Dependent Insulin Diabetes Melitus),
sering pada umur >30 tahun
8. Keadaan retina, pembuluh darahnya, dan lain-lain.
9. Lipid dan gumpalan darah membuat elastisitas pembuluh darah berkurang dan menjadi
kaku sehingga kerja jantung meningkat Pre-Hipertensi.
10. Efek samping: Hipoglikemia dan resistensi insulin. Pada:
a. DM Tipe 2: Ketika terapi obat, olahraga dan diet tidak berhasil menurunkan kadar
glukosa dalam darah.
b. DM Tipe 1: Langsung diberi insulin.
11. Tinggi lemak jenuh, tinggi glukosa, tinggi karbohidrat simpleks dan tinggi garam.
12. Untuk DM Tipe 2 butuh olahraga yang ringan seperti jogging, jalan pagi, bersepeda dan
lain-lain.
13. Pola makan 3 kali sehari (makanan utama) yang tinggi karbohidrat kompleks, rendah
karbohidrat simpleks, tinggi serat, rendah lemak jenuh dan lain-lain.
14. Makanan yang tidak najis, bukan bangkai (kecuali bangkai ikan dan belalang),
disembelih dengan nama Allah dan didapatkan dengan cara yang baik (halal).
15. Nefropati, katarak, hipertensi, PJK dan gagal ginjal.

Hipotesis
3

Diabetes Melitus terbagi menjadi 2 bagian yaitu, DM Tipe 1 (IDDM) dan Diabetes Melitus
Tipe 2 (NIDDM). Gejala khas pada pasien DM adalah polyuria, polifagia, polidipsi dan
didukung oleh pemeriksaan lab: GDS > 200mg/dl, GDP > 100mg/dl, GD2PP > 140mg/dl,
HbA1C >5.7. Diabetes Melitus dapat menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah organ
organ berupa mikroangiopati dan makroangiopati. DM dapat di kontrol dengan cara
pemberian obat, olahraga, pengaturan pola makan, menurunkan berat badan dan memperbaiki
pola hidup. Apabila glukosa darah tetap tinggi dan ada komplikasi, maka dapat di berikan
insulin. Jenis makanan yang baik menurut agama Islam adalah halalan tayyiban.

Sasaran Belajar
LI.1.

Memahami dan Menjelaskan Anatomi Pankreas


LO.1.1
Memahami dan Menjelaskan Makroskopik Pankreas
LO.1.2
Memahami dan Menjelaskan Mikroskopik Pankreas

LI.2.

Memahami dan Menjelaskan Fisiologi dan Biokimia Insulin


LO.2.1
Memahami dan Menjelaskan Struktur Insulin
LO.2.2
Memahami dan Menjelaskan Sintesis Insulin
LO.2.3
Memahami dan Menjelaskan Sekresi Insulin
LO.2.4
Memahami dan Menjelaskan Pengaturan Insulin dalam Tubuh
(Stimulasi dan Penghambatan)
LO.2.5
Memahami dan Menjelaskan Efek Insulin terhadap
Metabolisme Karbohidrat, Protein dan Lemak

LI.3.

Memahami dan Menjelaskan Diabetes Melitus


LO.3.1.
Memahami dan Menjelaskan Definisi Diabetes Melitus
LO.3.2.
Memahami dan Menjelaskan Etiologi Diabetes Melitus
LO.3.3.
Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Diabetes Melitus
LO.3.4.
Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Diabetes Melitus
LO.3.5.
Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Diabetes
Melitus
LO.3.6.
Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Diabetes Melitus
LO.3.7.
Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding Diabetes
Melitus
LO.3.8.
Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Diabetes Melitus
LO.3.9.
Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Diabetes Melitus
LO.3.10.
Memahami dan Menjelaskan Prognosis Diabetes Melitus
LO.3.11.
Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Diabetes Melitus

LI.4.

Memahami dan Menjelaskan Retinopati Diabetik


LO.4.1
Memahami dan Menjelaskan Definisi Retinopati Diabetik
LO.4.2
Memahami dan Menjelaskan Etiologi Retinopati Diabetik
LO.4.3
Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Retinopati Diabetik
LO.4.4
Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Retinopati Diabetik
LO.4.5
Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Retinopati
Diabetik
LO.4.6
Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Retinopati Diabetik
LO.4.7
Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding Retinopati
Diabetik
LO.4.8
Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Retinopati Diabetik
LO.4.9
Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Retinopati Diabetik
LO.4.10
Memahami dan Menjelaskan Prognosis Retinopati Diabetik
LO.4.11
Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Retinopati Diabetik

LI.5.

Pankreas Makanan yang Halalan Tayyiban menurut Agama Islam

LI 1. Memahami dan Menjelaskan tentang Pankreas


LO 1.1 Memahami dan Menjelaskan Makroskopik Pankreas
Pankreas merupakan organ yang memanjang dan terletak pada epigastrium dan kuadran kiri
atas. Terletak retroperitoneal melintang di abdomen bagian atas dengan panjang 25 cm, dan
berat 120 g. Strukturnya lunak, berlobus, dan terletak pada dinding posterior abdomen di
belakang peritoneum. Pankreas menyilang planum transpyloricum. Pancreas dapat dibagi
dalam caput, collum, corpus, cauda.
Pancreas dapat dibagi dalam:
Caput Pancreatis: berbentuk seperti cakram dan terletak di dalam bagiancekung
duodenum. Sebagian caput meluas ke kiri di belakang arteria san venamesenterica
superior serta dinamakan Processus Uncinatus.
Collum Pancreatis: merupakan bagian pancreas yang mengecil danmenghubungkan caput
dan corpus pancreatis. Collum pancreatis terletak didepan pangkal vena portae hepatis dan
tempat dipercabangkannya arteriamesenterica superior dari aorta.
Corpus Pancreatis: berjalan ke atas dan kiri, menyilang garis tengah. Pada potongan
melintang sedikit berbentuk segitiga.
Cauda Pancreatis: berjalan ke depan menuju ligamentum lienorenalis danmengadakan
hubungan dengan hilum lienale.

Hubungan
Anterior: (kanan ke kiri) colon transversum dan perlekatan mesocolon transversum, bursa
omentalis, dan gaster.
Posterior: (kanan ke kiri) ductus choledochus, vena portae hepatis dan vena lienalis, vena
cava inferior, aorta, pangkal arteria mesenterica superior, musculus psoas major sinistra,
glandula suprarenalis sinistra, ren sinister, dan hilum lienale.
Vaskularisasi Pankreas
Arteri
- A. pancreaticoduodenalis superior
(cabang a. gastroduodenalis)
- A. pancreaticoduodenalis inferior
(cabang a. mesenterica cranialis)
- A. pancreatica magna, a.pancretica
caudalis dan inferior (cabang a.
lienalis)
Vena
Vena yang sesuai dengan arteriaenya
mengalirkan darah ke sistem porta.

Aliran Limfatik
Kelenjar limfe terletak di sepanjang arteria yang mendarahi kelenjar. Pembuluh eferen
akhirnya mengalirkan cairan limf ke nodi limf coeliaci dan mesenterica superiores.
Persyarafan
Berasal dari serabut-serabut saraf simpatis (ganglion seliaca) dan parasimpatis (vagus).
Saluran Keluar Pankreas
Ductus Pancreaticus Mayor (WIRSUNGI)
Mulai dari cauda dan berjalan di sepanjang kelenjar menuju ke caput, menerima banyak
cabang pada perjalanannya. Ductus ini bermuara ke pars desendens duodenum di sekitar
pertengahannya bergabung dengan ductus choledochus membentuk papilla duodeni mayor
Vateri. Kadang-kadang muara ductus pancreaticus di duodenum terpisah dari ductus
choledochus.
Ductus Pancreaticus Minor (SANTORINI)
Mengalirkan getah pancreas dari bagian atas caput pancreas dan kemudian bermuara ke
duodenum sedikit di atas muara ductus pancreaticus pada papilla duodeni minor.
LO 1.2 Memahami dan Menjelaskan Mikroskopik Pankreas

Pankreas merupakan kelenjar (ganda) eksokrin dan endokrin. Bagian endokrin kelenjar yaitu
pulau-pulau Langerhans menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang mempunyai
peranan penting pada metabolisme karbohidrat. Ada 2 bagian:
Bagian eksokrin: Menghasilkan sekret yang mengandung enzim-enzim yang dapat
menghidrolisis lemak dan karbohidrat. Merupakan kel. acinosa complex. Didalam lumen
kadang-kadang terdapat sel gepeng (sel centroacinar)
Bagian endokrin:
- Disusun oleh sel-sel khusus yang berkelompok dalam suatu daerah tertentu yang kaya
pembuluh darah disebut pulau-pulau Langerhans
- Berkelompok dalam pulau2 Langerhans, tersebar, berbentuk sferis berwarna pucat
- Sel tersusun dalam bentuk genjel tak teratur, ditembus banyak jaring kapiler tipe fenestra
- Dengan pewarnaan khusus dapat dibedakan 4 macam sel yaitu, sel , , dan c/PP.

Sel
- 20% populasi sel
- Mensekresi glucagon
- Bentuk besar, mencolok, terutama di perifer
Sel
- 75% dari polulasi, sel paling kecil, menempati bagian tengah
- Mensekresi insulin
- Granula lebih kecil (200 m)
Sel
- Sel paling besar, 5% dari populasi
- Granula mirip sel , tapi kurang padat
- Menghasilkan hormon Somatostatin yang di pankreas bekerja mengatur pelepasan hormon
pulau Langerhans yang lain (parakrin)
Sel C/sel PP
- Ditemukan hanya pada spesies tertentu, mis. Guinea pig, jumlah terbatas, ukuran sama
dengan sel , dengan sedikit atau tanpa granula.
- Mensekresi polipeptida pankreas
LI 2 Memahami dan Menjelaskan Fisiologi dan Biokimia Insulin
LO 2.1 Memahami dan Menjelaskan Struktur Insulin

Insulin adalah suatu polipeptida yang mengandung dua rantai asam amino yang dihubungkan
oleh jembatan disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam
amino. Ada perbedaan kecil dalam komposisi molekul asam amino dari suatu spesies ke
spesies lain. Perbedaan ini biasanya tidak cukup besar untuk dapat mempengaruhi aktivitas
biologis suatu insulin pada spesies heterolog tetapi sukup besar untuk menyebabkan insulin
bersifat antigenic. Bila insulin dari suatu spesies disuntikkan dalam jangka lama ke spesies
lain, akan terbentuk antibody antiinsulin yang menghambat insulin yang disuntikkan. Hampir
semua pasien yang pernah mendapat insulin sapi yang ada di pasaran selama lebih dari 2
bulanmembentuk antibody terhadap insulin sapi, tetapi titernya biasanya rendah. Insulin babi
berbeda dari insulin manusia hanya pada satu residu asam amino dan memiliki antigenisitas
yang rendah. Insulin manusia yang dihasilkan dalam bakteri oleh teknologi DNA rekombinan
sekarang digunakan secara luas untuk menghindari pembentukan antibodi.
LO 2.2 Memahami dan Menjelaskan Sintesis Insulin
9

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk prepoinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, prepoinsulin mengalami
pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembunggelembung (secretory vesicle) dalam sel tersebut. Di sini, dengan bantuan enzim peptidase,
proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel. Mekanisme secara fisiologis di atas,
diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme glukosa, sehubungan dengan fungsi
insulin dalam proses utilasi glukosa dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang meningkat,
merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta memproduksi
insulin, meskipun beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, juga dapat memiliki efek yang
sama. Mekanisme sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan terhadap sel beta
cukup rumit, dan belum sepenuhnya dipahami secara jelas.
LO 2.3 Memahami dan Menjelaskan Sekresi Insulin

Sel-sel beta pancreas mempunyai sejumlah besar pengangkut glukosa (GLUT-2) yang
memungkinkan terjadinya ambilan glukosa dengan kecepatan yang sebanding dengan nilai
kisaran fisiologis konsentrasi glukosa dalam darah. Begitu berada di dalam sel, glukosa akan
terfosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh glukokinase. Langkah ini menjadi penentu
kecepatan metabolisme glukosa di sel beta dan dianggap sebagai mekanisme utama untuk
mendeteksi glukosa DNA menyesuaikan jumlah insulin yang disekresikan dengan kadar
glukosa darah. Glukosa-6fosfatase selanjutnya dioksidasi untuk membentuk adenosine
trifosfat (ATP) yang menghambat kanal kalium yang peka-ATP di sel.
Penutupan kanal kalium akan mendepolarisasikan membrane sel sehingga akan
membuka kanal natrium bergerbang voltase, yang sensitive terhadap perubahan voltase
membrane. Keadaan ini akan menimbulkan aliran masuk kalsium yang merangsang
penggabungan vesikel yang berisi insulin dengan membrane sel dan sekresi insulin ke dalam
cairan ekstrasel melalui eksositosis.
10

Insulin
dibentuk
dalam
reticulum
endoplasma kasar sel B. Insulin kemudian
dipindahkan ke apparatus Golgi, tempat ia
mengalami pengemasan dalam granula berlapis
membrane. Granula ini bergerak ke membrane
plasma melalui suatu proses yang melibatkan
mikrotubulus, dan isi granula dikeluarkan
melalui eksitosis. Insulin kemudian melintasi
lamina basalis sel B serta kapiler di dekatnya dan
endotel kapiler yang berpori untuk mencapai
aliran darah.
Seperti hormone polipeptida dan protein
serupa lain yang masuk ke dalam reticulum endoplasma, insulin disintesis sebagai suatu
bagian dari praprohormon yang berukuran besar. Pada manusia, gen untuk insulin terletak di
lengan pendek kromosom 11. Praproinsulin memiliki peptide sinyal asam amino 23 yang
dikeluarkan sewaktu molekul ini molekul ini memasuki reticulum endoplasma. Molekul
sisanya kemudian berlipat, lalu terbentuk ikatan disulfide sehingga akhirnya terbentuk
proinsulin. Segmen peptide yang menghubungkan rantai A dan B, connecting peptide
(peptide C), mempermudah melipatnya molekul dan kemudian terlepas dari granula sebelum
sekresi. Peptide C dapat diukur dengan radioimmunoassay, dan kadarnya digunakan untuk
menilai indeks fungsi sel B pada pasien yang mendapat insulin eksogen.
LO 2.4 Memahami dan Menjelaskan Regulasi Insulin

Glukosa masuk ke dalam semua sel melalui difusi terfasilitasi atau, di usus dan ginjal,
melalui transport aktif sekunder dengan Na+. di otot, jaringan lemak, dan sebagian jaringan
lain, insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel dengan meningkatkan jumlah
transporter (pengangkut) glukosa di membrane sel. Transporter glukosa yang berperan dalam
difusi terfasilitasi glukosa melintasi membrane sel adalah sekelompok protein yang berkaitan
erat dan 12 kali melintasi membrane sel serta memiliki terminal amino dan karboksil di
dalam sel. Protein-protein ini berbeda, dan tidak memiliki homologi, dengan transporter
glukosa dependen natrium (sodium-dependent glucose transporter), SGLT 1 dan SGLT 2,
yang berperan dalam transport aktif sekunder glukosa keluar usus dan tubulus ginjal, maupun
SGLT juga memiliki 12 ranah (domain) transmembran. Asam amino transporter fasilitatif,
yang terutama terdapat dalam segmen heliks transmembran 3, 5, 7, dan 11 tampaknya
mengelilingi saluran tempat masuk glukosa. Diperkirakan kemudian terjadi konformasi lalu
perubahan, dan glukosa kemudian dilepaskan ke dalam sel. Telah diketahui tujuh transporter
glukosa yang berbeda-beda, yang diberi nama sesuai urutan penemuan GLUT 1-7. Molekul11

molekul ini mengandung 492-524 residu asam amino, dan afinitasnya terhadap glukosa
bervariasi. Tiap-tiap transporter tampaknya memiliki tugas khusus. GLUT 4 adalah
transporter di jaringan otot dan adiposa yang dirangsang oleh insulin. Dalam vesikel di
sitoplasma sel-sel peka insulin, terdapat cadangan molekul GLUT 4. Bila reseptor insulin di
sel-sel ini diaktifkan,vesikel tersebut bergerak cepat ke membran sel dan berfusi dengannya,
menyelipkan transporter ke dalam membrane sel. Saat kerja insulin terhenti, bercak
membrane yang mengandung transporter mengalami endositosis, dan vesikel siap untuk
pajanan insulin berikutnya. Pengaktifan reseptor insulin menyebabkan pergerakan vesikel ke
membrane sel dengan mengaktifkan fosfoinositol 3-kinase, tetapi bagaimana pengaktifan ini
memicu pergerakan vesikel masih belum dipastikan.
Pada jaringan yang jumlah transporter glukosa di membrane selnya ditingkatkan oleh
insulin, kecepatan fosforilasi glukosa, setelah masuk ke dalam sel, diatur oleh hormone lain.
Hormone pertumbuhan dan kortisol menghambat fosforilasi di jaringan tertentu. Proses ini
dalam keadaan normal berlangsung sedemikian cepat sehingga bukanlah merupakan reaksi
penentu kecepatan (rate-limiting step) dalam metabolism glukosa. Namun, proses ini
merupakan reaksi penentu kecepatan di sel B.
Insulin juga meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel hati, tetapi bukan melalui
peningkatan jumlah transporter glukosa GLUT 4 di membrane sel, melainkan dengan
memicu glukokinase. Hal ini meningkatkan fosforilasi glukosa sehingga kadar glukosa bebas
intrasel tetap rendah, mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel. Jaringan peka insulin
juga mengandung populasi vesikel GLUT 4 yang bergerak ke dalam membrane sel sebagai
respons dari berolahraga dan populasi vesikel ini tidak bergantung pada kerja insulin. Hal ini
merupakan penyebab mengapa berolahraga dapat menurunkan kadar gula darah. Suatu kinase
yang diaktifkan oleh 5-AMP mungkin berperan dalam insersi vesikel ini ke membrane sel.
Peningkatan sekresi insulin terhadap asupan glukosa yang membuat kadar glukosa
darah meningkat terdiri dari dua fase:
A Fase 1 (acute insulin secretion response): sekresi insulin segera setelah ada
rangsangan sel beta, muncul cepat dan berakhir cepat mencegah hiperglikemi akut.
B Fase 2 (sustained phase): setelah fase 1, sekresi insulin mulai meningkat perlahan
dan bertahan dalam waktu relative lebih lama
Jika fase 1 tidak adekuat mekanisme kompensasi peningkatan sekresi insulin fase 2
Pengangkut Glukosa (Glucose Transporter)
Disingkat menjadi GLUT, dan memiliki 6 bentuk, yaitu GLUT 1, GLUT 2, GLUT 3 dst.
Melaksanakan difusi pasif terfasilitasi glukosa melewati membrane plasma. Fungsi tiap
GLUT berbeda-beda
a. GLUT 1: memindahkan glukosa menembus sawar darah dan otak
b. GLUT 2: memindahkan glukosa yang masuk ke ginjal dan usus ke aliran darah sekitar
melalui kotranspor
c. GLUT 3: pengangkut utama glukosa ke dalan neuron
d. GLUT 4: bertanggung jawab atas sebagian besar penyerapan glukosa oleh mayoritas sel
tubuh, yang bekerja hanya setelah berikatan dengan insulin. GLUT 4 sangat banyak
terdapat di jaringan yang paling banyak menyerap glukosa dan darah, yaitu otot rangka
dan sel jaringan lemak.

12

Ekskresi
Pada orang normal dan pasien DM tanpa komplikasi, masa paruh insulin di plasma sekitar
5-6 menit, sedangkan pada DM yang mempunyai antibody anti-insulin nilai tersebut
memanjang. Proinsulin masa paruhnya lebih panjang (+ 17 menit). Insulin dalam peredaran
darah didistribusi ke seluruh tubuh melalui cairan ekstrasel.
Degradasinya terjadi di hepar, ginjal, otak, dan sekitar 50% insulin di hepar akan dirusak
dan tidak akan mencapai sirkulasi sistemik. Klirens peptide-C di hepar lebih rendah,
karenanya masa paruhnya lebih panjang (+ 30 menit). Hormon ini mengalami filtrasi
glomeruli dan reabsrobsi serta degradasi di tubuli ginjal. Gangguan fungsi ginjal yang berat
dapat mempengaruhi kecepatan eliminasi insulin.
Ada 2 enzim yang berperan pada degradasi insulin yaitu (1) enzim glutation insulin
transhidrogenase yang menggunakan glutation tereduksi untuk memecah jembatan disulfide
dan (2) enzim proteolitik yang memecah rantai asam amino. Akibat pemecahan jembatan
disulfide maka rantai A bebas dapat ditemukan dalam plasma dan urin.
LO 2.5 Memahami dan Menjelaskan Efek dari Insulin
Efek pada karbohidrat
Insulin memilik 4 efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan menigkatkan
penyimpanan karbohidrat:
o Insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel. Beberapa jaringan yang tidak
bergantung pada insulin untuk meyerap glukosa yaitu otak,otot yang aktif dan hati
o Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa baik di otot
maupun dihati
o Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa. Dengan
menghambat penguraian glikogen, insulin meningkatkan penyimpanan karbohidrat dan
menurunkan penguraian glukosa dalam hati
o Insulin menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat
glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati. Insulin menurunkan
konsentrasi glukosa darah dengan meningkatkan penyerapan glukosa dari darah untuk
digunakan dan disimpan oleh sel, secara simultan menghambat mekanisme yang
digunakan oleh hati untuk mengeluarkan glukosa baru dalam darah. Insulin adalah satu
satunya hormon yang menurunkan kadar glukosa darah.
13

Efek pada lemak


Insulin efeknya menurunkan kadar asam lemak darah dan membentuk simpanan
trigliserida:
o Insulin meningkatkan transportasi glukosa ke dalam sel jaringan adiposa. Glukosa
berfungsi sebagai prekursor untuk pembentukan assm lemak dan gliserol, yaitu bahan
mentah untuk membentuk trigliserida.
o Insulin meningkatkan enzim enzim yang mengkatalisasi pembentukan asam lemak dari
turunan glukosa
o Insulin meningkatkan masuknya asam asam lemak dari daeah ke dalam se jaringan
adiposa.
o Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak), sehingga terjadi penurunan
pengeluaran asam lemak dari jaringan adiposa ke dalam darah.

Efek pada protein


Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis protein:
o Insulin mendorong transportasi aktif asam asam amino dari darah ke dalam otot dan
jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan menghasilkan
bahan pembangun untuk sintesis protein dalam sel.
o Insulin meningkatkan kecepatan penggabungan asam amino ke dalam protein dengan
merangsang perangkat pembuat protein di dalam sel.
o Insulin menghambat penguraian protein.
o Faktor yang mempengaruhi sekresi insulin

Peningkatan kadar glukosa darah, seperti setelah penyerapan makanan, secara langsung
merangsang sintesis dan pengeluaran insulin oleh sel beta. Sebaliknya penurunan kadar
glukosa darah di bawah normal, seperti pada puasa, secara langsung menghambat sekresi
insulin. Selain konsentrasi glukosa plasma, berbagai masukan berikut juga berperan dalam
mengatur sekresi insulin:
Peningkatan kadar asam amino plasma, setelah memakan makanan tinggi protein, secara
langsung merangsang sel beta untuk meningkatkan sekresi insulin. Melalui mekanisme
umpan balik negatif, peningkatan insulin tersebut meningkatkan masuknya asam asam
amino tersebut ke dalam sel, sehingga kadar asam amino dalam darah menurun sementara
sintesis protein meningkat.
Hormon pencernaan utama yang disekresikan oleh saluran pencernaan sebagai respons
terhadap adanya makanan, terutama gastric inhibitory peptide, merangsang sekresi insulin
pankreas selain memiliki efek regulatorik langsung pada sistem pencernaan. Melalui
kontrol ini, sekresi insulin meningkat secara feedforward atau antisipatorik bahkan
sebelum terjadi penyerapan zat gizi yang meningkatkan kadar glukosa darah dan asam
amino dalam darah.
Sistem saraf otonom secara langsung juga mempengaruhi sekresi insulin. Pulau pulau
langerhans dipersyarafi oleh banyak serat saraf parasimpatis dan simpatis. Peningkatan
aktivitas parasimpatis yang terjadi sebagai respons terhadap makanan dalam saluran
pencernaan merangsang pengerluaran insulin. Sebaliknya, stimulasi simpatis dan
peningkatan pengeluaran epinefrin akan menghambat sekresi insulin, penurunan insulin
meningkatkan kadar glukosa darah, suatu respons yang sesuai untuk keadaan keadaan
pada saat terjadi aktivitas sistem simpatis yaitu, stress dan olahraga.
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis
reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan
14

antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses
regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja
yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam
meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada
mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah
yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami
metabolism. Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan
mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang
berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap
insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.
LI 3 Memahami dan Menjelaskan Diabetes Melitus
LO 3.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes Melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
LO 3.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi Diabetes Melitus
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Tergantung
Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resisitensi insulin. Resistensi
insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi resistensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa,
namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel
pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa. Faktor resiko Diabetes Melitus terbagi
menjadi dua:
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah:
Ras dan Etnik
Resiko Diabetes melitus tipe 2 lebih besar pada hispani, kulit hitam, penduduk asli
amerika dan Asia.
Riwayat keluarga dengan diabetes
Seseorang dapat mewarisi gen penyebab diabetes melitus dari orang tua. Biasanya,
seseorang yang mengalami diabetes melitus mempunyai anggota keluarga yang juga
terkena diabaetes melitus.
Usia > 45 tahun
Resistensi insulin biasanya meningkat pada usia diatas 65 tahun.
Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4 kg
Riwayat pernah menderita DM Gestasional
Riwayat berat badan lahir rendah < 2,5 kg
2. Faktor risiko yang dapat diperbaiki:
Berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2)
HDL dibawah 35 mg/dL dan atau tingkat TGA >250 mg/dL dapat meningkatkan
resiko diabetes melitus tipe 2
Kurang aktivitas fisik
Hipertensi(>140/90 mmHg)
Dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
15

Diet tinggi gula rendah serat


Pola makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang diperlukan oleh
utbuh dapat memicu diabetes melitgus tipe 2 karena pankreas memiliki kadar
pankreas yang disekresikan dalam julam tertentu.
Gaya hidup
Makanan cepat saji dan olahraga tidak teratur merupakan gaya hidup yang dapat
memicu terjadi diabetes melitus tipe 2

Faktor risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes:


Penderita sindrom ovarium poli-kistik
Keadaan klinis lain yang terkait dengan ressitensi insulin
Sindrom metabolik
Riwayat toleransi glukosa terganggu/glukosa darah puasa terganggu
Riwayat penyakit kardiovascular (stroke, penyempitan pembuluh darah koroner jantung,
pembuluh darah arteri kaki)
LO 3.3 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009, klasifikasi Diabetes Melitus
adalah sebagai berikut:
1. Diabetes Melitus tipe 1
DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes Juvenile onset atau Insulin
dependent atau Ketosis prone, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam
beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah juvenile onset sendiri diberikan
karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan memuncak pada usia 1113 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30 atau menjelang 40. Karakteristik
dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon
plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap stimulus yang
semestinya meningkatkan sekresi insulin.
DM tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyakit autoimun. Pemeriksaan
histopatologi pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel
Langerhans. Pada 85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerang glutamic-acid
decarboxylase (GAD) di sel beta pankreas tersebut. Prevalensi DM tipe 1 meningkat pada
pasien dengan penyakit autoimun lain, seperti penyakit Grave, tiroiditis Hashimoto atau
myasthenia gravis. Sekitar 95% pasien memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA) DR3
atau HLA DR4.
Kelainan autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di
mana sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang molekul
sel beta pankreas yang menyerupai protein virus sehingga terjadi destruksi sel beta dan
defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu serangan terhadap sel beta,
antara lain virus (mumps, rubella, coxsackie), toksin kimia, sitotoksin, dan konsumsi susu
sapi pada masa bayi.
Selain akibat autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang
idiopatik. Tidak ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM tipe 1 yang bersifat
idiopatik ini, sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika dan
Asia.
2. Diabetes Melitus tipe 2

16

Tidak seperti pada DM tipe 1, DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan aktivitas
HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta yang masih
berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak bergantung seumur
hidup). DM tipe 2 ini bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin. Pada DM tipe 2 resistensi insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta
terdapat respons yang inadekuat pada sel beta pankreas.
Terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas di plasma, penurunan transpor glukosa
di otot, peningkatan produksi glukosa hati dan peningkatan lipolisis. Defek yang terjadi
pada DM tipe 2 disebabkan oleh gaya hidup yang diabetogenik (asupan kalori yang
berlebihan, aktivitas fisik yang rendah, obesitas) ditambah kecenderungan secara genetik.
Nilai BMI yang dapat memicu terjadinya DM tipe 2 adalah berbeda-beda untuk setiap ras.
3. Diabetes Melitus tipe lain
Defek genetik fungsi sel beta
Beberapa bentuk diabetes dihubungkan dengan defek monogen pada fungsi sel beta,
dicirikan dengan onset hiperglikemia pada usia yang relatif muda (<25 tahun) atau
disebut maturity-onset diabetes of the young (MODY). Terjadi gangguan sekresi insulin
namun kerja insulin di jaringan tetap normal. Saat ini telah diketahui abnormalitas pada
6 lokus di beberapa kromosom, yang paling sering adalah mutasi kromosom 12, juga
mutasi di kromosom 7p yang mengkode glukokinase. Selain itu juga telah diidentifikasi
kelaian genetik yang mengakibatkan ketidakmampuan mengubah proinsulin menjadi
insulin.
Defek genetik kerja insulin
Terdapat mutasi pada reseptor insulin, yang mengakibatkan hiperinsulinemia,
hiperglikemia dan diabetes. Beberapa individu dengan kelainan ini juga dapat
mengalami akantosis nigricans, pada wanita mengalami virilisasi dan pembesaran
ovarium. Penyakit eksokrin pancreas: Meliputi pankreasitis, trauma, pankreatektomi,
dan carcinoma pankreas.
Endokrinopati
Beberapa hormon seperti GH, kortisol, glukagon dan epinefrin bekerja mengantagonis
aktivitas insulin. Kelebihan hormon-hormon ini, seperti pada sindroma Cushing,
glukagonoma, feokromositoma dapat menyebabkan diabetes. Umumnya terjadi pada
orang yang sebelumnya mengalami defek sekresi insulin, dan hiperglikemia dapat
diperbaiki bila kelebihan hormon- hormon tersebut dikurangi.
Karena obat/zat kimia
Beberapa obat dapat mengganggu sekresi dan kerja insulin. Vacor (racun tikus) dan
pentamidin dapat merusak sel beta. Asam nikotinat dan glukokortikoid mengganggu
kerja insulin.
Infeksi
Virus tertentu dihubungkan dengan kerusakan sel beta, seperti rubella, coxsackievirus
B, CMV, adenovirus, dan mumps.
Imunologi
Ada dua kelainan imunologi yang diketahui, yaitu sindrom stiffman dan antibodi
zantiinsulin reseptor. Pada sindrom stiffman terjadi peninggian kadar autoantibodi
GAD di sel beta pankreas.
Sindroma genetik lain
Downs syndrome, Klinefelter syndrome, Turner syndrome, dll.

17

4. Diabetes Kehamilan/Gestasional
Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai intoleransi glukosa dengan onset pada waktu
kehamilan. Diabetes jenis ini merupakan komplikasi pada sekitar 1-14% kehamilan.
Biasanya toleransi glukosa akan kembali normal pada trimester ketiga.
LO 3.4 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Diabetes Melitus
DIABETES MELITUS TIPE 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan
kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin
pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang
disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam
virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada
beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell
Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD
(glutamic acid decarboxylase).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1.
Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh nondiabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan
prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel pulau
Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau
Langerhans.
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat beberapa
tipe sel, yaitu sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi
glukagon, sedangkan sel-sel memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian,
nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel . Ada beberapa
anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1
justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel yang terjadi, jadi lebih merupakan
akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel pulau Langerhans. Apakah merupakan
penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan
perjalanan penyakit.
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA)
ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin
menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif
ICSA.
Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir
80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya
ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan
perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM
Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi.
Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi
lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin Antibody). IAA ditemukan
pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi
dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin.
Destruksi otoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pancreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan
gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel
kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM
Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara
normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1
hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia.
Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah
18

cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi
insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan
terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka
panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi
glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat
terapi insulin.
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun
pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel
sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia
yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin
menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis
yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan
metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka,
dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin
juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk
merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein
transporter yang membantu transport glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan
adiposa.
DIABETES MELITUS TIPE 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya
dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan
populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini
penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat.
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan
jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya
DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian
terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang
bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi
untuk DM Tipe 2. Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang
berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam
darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2
bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal
atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
Resistensi Insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan
penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan
sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi
pengrusakan sel-sel Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1.
Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif,
tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi
pemberian insulin.
Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi
insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit
sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin
19

Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM
Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel pankreas yang terjadi secara progresif, yang
seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4
kelompok:
Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes
Kimia (Chemical Diabetes)
Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma
puasa < 140 mg/dl)
Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma
puasa > 140 mg/dl).
DIABETES SEKUNDER
Disebabkan karena penyakit atau pengobatan. Bergantung pada proses primernya (contoh:
destruksi sel beta pancreas atau terjadinya resistensi insulin peripheral), diabetes sekunder ini
sifatnya seperti diabetes tipe 1 atau 2. Penyebab terbanyak adalah:
a. Penyakit pancreas yang merusak sel beta (hemochromatosis, pancreatitis, cystic
fibrosis, pancreatic cancer)
b. Sindrom hormonal yang mengganggu sekresi insulin (pheochromocytoma)
c. Sindrom hormonal yang menyebabkan resistensi insulin perifer (acromegaly, Cushing
syndrome, pheochromocytoma)
d. Obat-obatan (phenytoin, glucocorticoids, estrogens)
DIABETES GESTASIONAL
Terjadi ketika hamil, sekresi insulin tidak dapat meningkat banyak untuk membantu
adanya penururan sensitivitas insulin. Diabetes Melitus Gestasional (GDM = Gestational
Diabetes Melitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa
kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri
beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang
dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan
berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu,
wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes
di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.
LO 3.5 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Diabetes Melitus
a. Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa
yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya
berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glukosuria. Glikosuria akan
menyebabkan diuresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran urin (polyuria) dan timbul
rasa haus (polydipsia).
b. Glukosa hilang bersama urin, pasien mengalami keseimbangan kalori negative dan berat
badan berkurang
c. Polifagia (rasa lapar yang semakin besar) karena kehilangan kalori
d. Lelah dan mengantuk
20

e. DM 1: polisdipsia, polyuria, penurunan berat badan, polifagia, lemah, somnolen beberapa


hari/minggu. Dapat mengalami sakit berat atau ketoasidosis dan meninggal jika tidak
ditangani dengan segera.
f. DM 2: gejala tidak terlihat. Diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di
laboratorium dan melakukan tes resistensi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat,
pasien akan menderita polydipsia, polyuria, lemah dan somnolen. Tidak ketoasidosis
karena tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relative. Kadar insulin pasien
dapat berkurang, normal atau tinggi tetapi tidak memadai untuk mempertahakan kadar
glukosa darah normal (hiperinsulinemia)

Menurut Newsroom (2009) seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes Melitus apabila
menderita dua dari tiga gejala yaitu:
a. Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan.
b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl.
c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl.

21

Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada pasien diabetes melitus menurut Riyadi (2007)
yaitu:
1. Poliuria (Peningkatan pengeluaran urin)
2. Polidipsia (Peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air
menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena
air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma
yang hipertonik (sangat peka). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH
(antidiuretik hormon) dan menimbulkan rasa haus.
3. Rasa lelah dan Kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes lama,
katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan
gkukosa sebagai sumber energi.
4. Polifagia (Peningkatan rasa lapar)
5. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan antibodi,
peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan
aliran darah pada penderita diabetes kronik.
6. Kelainan kulit: gatal gatal, bisul
Kelaianan kulit berupa gatal gatal, biasanya terjadi didaerah ginjal. Lipatan kulit seperti
di ketiak dan dibawah payudara. Biasanya akibat tumbuhnya jamur.
7. Kelaianan ginekologis: Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama
candida.
8. Kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati
Pada penderita diabetes melitus regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat
kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel
persarafan terutama perfifer mengalami kerusakan
9. Kelemahan tubuh
Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energi metabolik yang dilakukan oleh
sel melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secar optimal.
10. Luka/bisul yang tidak sembuh-sembuh
Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan unsur
makanan yang lain. Pada penderita diabetes melitus bahan protein banyak diformulasikan
untuk kebutuhan energi sel sehingga bahan yang dipergunakan untuk penggantian jaringan
yang rusak mengalami gangguan. Selain itu luka yang sulit sembuh yg juga dapat
disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang cepat pada penderita diabetes melitus.
11. Pada laki-laki terkadang mengeluh impotensi
Penderita diabetes melitus mengalami penurunan produksi hormon seksual akibat
kerusakan testosteron dan sistem yang berperan.
12. Mata kabur
Disebabkan oleh katarak/ gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa oleh
hiperglikemia, mungkin juga disebabkan kelainan pada korpus vitreum.
LO 3.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Diabetes Melitus
Anamnesis
Gejala yang timbul
Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C, dan hasil
pemeriksaan khusus yang terkait DM
Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda

22

Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis
dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta
kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan
program latihan jasmani
Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hyperosmolar hiperglikemia, dan
hipoglikemia)
Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis serta
kaki
Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata, saluran
pencernaan, dll.)
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat
penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)
Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.

Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi badan, berat badan,dan lingkar pinggang
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri untuk
mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI), untuk
mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi
Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain

23

Pemeriksaan Lab/Penunjang Lain


Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
Test benedict
Interpretasi:
o 0 = Berwarna biru. Negatif. Tidak ada glukosa. Bukan DM
o +1 = Berwarna hijau. Ada sedikit glukosa. Belum pasti DM,
atau DM stadium dini/awal
o +2 = Berwarna orange. Ada glukosa. Jika pemeriksaan kadar
glukosa darah mendukung/sinergis, maka termasuk DM
o +3 = Berwarna orange tua. Ada glukosa. Positif DM.
o +4 = Berwarna merah pekat. Banyak glukosa. DM kronik.

Rothera test
Pada tes ini, digunakan urin sebagai spesimen, sebagai reagen dipakai, Rothera agents, dan
amonium hidroxida pekat. Tes ini untuk berguna untuk mendeteksi adanya aceton dan
asam asetat dalam urin, yang mengindikasikan adanya kemungkinan dari ketoasidosis
akibat DM kronik yang tidak ditangani. Zat zat tersebut terbentuk dari hasil pemecahan
lipid secara masif oleh tubuh karena glukosa tidak dapat digunakan sebagai sumber energi
dalam keadaan DM, sehingga tubuh melakukan mekanisme glukoneogenesis untuk
menghasilkan energi. Zat awal dari aceton dan asam asetat tersebut adalah Trigliseric
Acid/TGA, yang merupakan hasil pemecahan dari lemak.
HbA1c
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa
dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini
diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel. Metode
pemeriksaan HbA1C: ion-exchange chromatography, HPLC (high performance liquid
chromatography), Electroforesis, Immunoassay, Affinity chromatography, dan analisis
kimiawi dengan kolorimetri.
Metode Ion Exchange Chromatography
Harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer.
Interferens yang mengganggu adalah adanya HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil
negatif palsu.
Metode HPLC
Prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta memiliki
akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode
referensi.
Metode agar gel elektroforesis
Hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F
memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak
berpengaruh pada metode ini.
Metode Immunoassay (EIA)
Hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur HbA1C yang labil maupun HbA1A dan
HbA1B, mempunyai presisi yang baik.
Metode Affinity Chromatography
Non-glycated hemoglobin serta bentuk labil dari HbA1C tidak mengganggu penentuan
glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya
sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated
24

hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode
HPLC.

Metode Kolorimetri
Waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated
ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan pengukuran
yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
Kreatinin serum
Albuminuria
Keton, sedimen, dan protein dalam urin
Elektrokardiogram
Foto sinar-X dada

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesiik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulangulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil
yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

25

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL.
Prosedur
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap
makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam
hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa),
atau 1,75 gram/ kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu
5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan
sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam
sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
LO 3.7 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding Diabetes Melitus
A. Insulin Resistance
Resistensi Insulin (IR) adalah kondisi di mana jumlah normal insulin tidak memadai untuk
menghasilkan respons insulin normal dari sel lemak, sel otot dan sel hati. Resistensi
insulin umumnya bersifat "pasca-reseptor", yang berarti masalah terletak pada respon sel
terhadap insulin alih-alih produksi insulin. Kadar plasma yang tinggi dari insulin dan
glukosa akibat resistensi insulin diyakini sebagai asal usul sindrom metabolik dan diabetes
tipe 2, termasuk komplikasinya.
B. Hiperglikemi reaktif
Hiperglikemi reaktif adalah gangguan regulasi gula darah yang dapat terjadi sebagai reaksi
non spesifik terhadap terjadinya stress kerusakan jaringan, sehingga terjadi peningkatan
glukosa darah dari pada rentang kadar puasa normal 80 90 mg / dl darah, atau rentang
non puasa sekitar 140 160 mg /100 ml darah (Pulsinelli,1996), hyperglikemia reaktif ini
diartikan sebagai peningkatan kadar glukosa darah puasa lebih dari 110 mg/dl (zacharia,
dkk, 2005), reaksi ini adalah fenomena yang tidak berdiri sendiri dan merupakan salah
satu aspek perubahan biokimiawi multiple yang berhubungan dengan stroke akut
(Candelise, dkk, 1985).
C. Glucose intolerance
Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa 8 jam.
Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosadarah menunjukkan
salah satu dari tersebut dibawah ini:
1. Toleransi glukosa terganggu (TGT = IGT)

26

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan
adanya disglikemi yaitu kenaikan glukosa plasma 2 jam setelah beban 75 gram glukosa
pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) yaitu antara 140 mg/dl sampai
dengan 199 mg/dl. Keadaan ini disebut juga sebagai prediabetes oleh karena risiko
untuk mendapat Diabetes Melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler sangat besar.
Disebut TGT jika gula darah setelah makan tidak normal, atau berkisar antara 140-199
mg/dL. Sedangkan gula darah puasa normal.
2. Gula darah puasa terganggu (GDPT = IFG)
Kadar gula darah yang tinggi, tetapi tidak cukup tinggi untuk menjadi diabetes.
Disebut GPT jika kadar gula darah puasa (8-10 jam tidak mendapat asupan kalori) tidak
normal, atau berkisar 100-125 mg/dL.
D. Pancreatitis
LO 3.8 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Diabetes Melitus
NON-FARMAKOLOGIS
A.
Edukasi
DM umumnya terjadi saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan.
Timkes mendampingi pasien untuk menuju perubahan perilaku sehat. Pengetahuan tentang
pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya
harus diberikan kepada pasien.
B.
Latihan jasmani
Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau
menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. Latihan
jasmani yang dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan
aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu
dengan latihan aerobic berat (mencapai denyut jantung>70% maksimal). Latihan jasmani
dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.
C.
Terapi gizi medis
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat
direkomendasikan bagi pasien ddiabetes, Terapi gizi medis ini pada pronsipnya adalah
melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada stasus gizi medis diabetesi dan
melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Beberapa manfaat yang
telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: Menurunkan berat badan, Menurunkan
tekanan sistolik dan diastolik, Menurunkan kadar glukosa darah, Memperbaiki profil lipid,
Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, Memperbaiki sistem koagulsi darah. Tujuan
terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:
Kadar glukosa darah mendekati normal
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl.
Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl.
Kadar A1c <7%.
Tekanan darah <130/80 mmHg.
Profil Lipid
Kolesterol LDL<100 mg/dl
Kolesterol HDL >40 mg/dl.
Trigliserida < 150 mg/dl.
Beran badan senormal mungkin.
Jenis Bahan Makanan
1.

KARBOHIDRAT
27

Sebagai sumber energi, KH yang diberikan diabetisi tidak boleh lebih dar 55-65% dari
total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan
pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA: monounsaturated fatty acids).
Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
Rekomendasi karbohidrat:
Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung KH, lebih ditentukan oleh
jumlahnya dibandungkan dengan jenis KH itu sendiri.
Dari total kebutuhan kalori perhari, 60-70% diantaranya berasal dari sumber KH.
Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah KH maksimal 70% dari total
kebutuhan kalori perhari.
Julah serat 25-50 gram per hari.
Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai lebih
dari total kebutuhan kalori perhari.
Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin, aspartame,
acesulfame, dan sukralosa.
Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram/hari.
2.
PROTEIN
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori perhari.
Pada penderita kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40
gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein
mengandung energi sebesar 2 kilokalori/gram. Rekomendasi pemberian protein:
Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
Pada keadaan kadar glukosa yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi
konsentrasi glukosa darah.
Pada keadaan glukosa tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg
BB/hari.
Pada gangguan fungsi ginjal, asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/KgBB/hari
dan tidak kurang dari 40gram.
Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan
dibanding protein hewani.
3.
LEMAK
Lemak memiliki kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram dan penting untuk membawa
vitamin larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, K. Berdasarkan rantai karbonnya,
lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh
dan kolestrol sangat disarankan pada diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil
lipid tidak normal bagi pasien diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
(monounsaturated fatty acid: MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat
memperbaiki glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi, dapat
menurunkan kadar trigliserida, kolestrol total, kolestrol VLDL, dan meningkatkan kadar
kolestrol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty
acid: PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki
agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan
sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzyme lipoprotein lipase yang
dapat menurunkan kadar VLDL di jarngan perifer sehingga dapat menurunkan kadar
kolestrol LDL. Rekomendasi pemberian lemak:
Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari
total kebutuhan kalori per hari.
Jika kadar kolestrol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai
maksimal 7% dari total kalori perhari.
28

Konsumsi kolestrol maksimal 300mg/hari, jika ada kolestrol LDL 100 mg/dl, maka
maksimal kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari.
Batasi asam lemak bentuk trans.
Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang.
Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori
perhari.
Penghitungan Jumlah Kalori
Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh stasus gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan
kegiatan jasmani. Penetuan stasus gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus
Brocca.

Penentuan stasus gizi berdasarkan IMT


IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengat tinggi
badan (dalam meter) kuadrat.
Berat badan kurang <18,5
Berat badan normal 18,5-22,9
Berat badan lebih 23,0
Dengan resiko 23-24.9
Obes I 25-29,9
Obes II 30

Penentuan stasus gizi berdasarkan rumus Brocca


Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus:
Berat Badan Idaman (BBI kg) = (TB cm - 100) -10%
Penentuan stasus gizi dihitung dari: (BB aktual: BB idaman) x 100%
Berat badan kurang BB <90% BBI
Berat badan normal BB 90-110% BBI
Berat badan lebih
BB 110-120% BBI
Gemuk
BB>120% BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktek digunakan rumus Brocca.
Penentuan kebutuhan kalori perhari:
1.
Kebutuhan basal:
Laki-laki: BB idaman (Kg) x 30 kalori
Wanita: BB idaman (Kg) x 25 kalori
2.
Koreksi atau penyesuaian:
Umur diatas 40 tahun
: -5%
Aktivitas ringan
: +10%
Aktifitas sedang
: +20%
Aktifitas berat
: +30%
Berat badan gemuk
: -20%
Berat badan lebih
: -10%
Berat badan kurus
: +10%
3.
Stress metabolik
: +10-30%
4.
Kehamilan trimester I dan II :
+300 kalori
5.
Kehamilan trimester II dan
menyusui: +500 kalori
29

STANDAR DIET DIABETES MELITUS 1900 KAL


Protein- 64 gram Lemak- 51 gram Karbohidrat- 295,5 gram
Total kebutuhan bahan makanan sehari
Nasi
5 penukar karbohidrat
Ayam tanpa kulit/ikan
2 penukar hewani
Telur
1 penukar hewani
Kacang tolo/tempe/tahu
3 penukar nabati
Sayuran A
Sekehendak
Sayuran B
2 penukar sayuran
Buah
4 penukar buah
Minyak
6 penukar minyak
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (25%),
serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda
dengan orang normal, kecuali dengan pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan
untuk merubah pola makan ini secara bertahap sesuai kondisi dan kebiasaan penderita.
FARMAKOLOGIS
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1.
Obat hipoglikemik oral (OHO)

Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion

Penghambat glukoneogenesis (metformin)

Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

DPP-IV inhibitor
Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3
golongan, yaitu:
a) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik
oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
b) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel
terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan
tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih
efektif.
c) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor -glukosidase yang
bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan
hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia).
-

1)
Sulfonylurea (insulin secretagogues)
Pemberian: 15-30 mnt sebelum makan
Mek. Kerja: berinteraksi dengan ATP sensitive K channel pada membrane sel beta
depolarisasi membrane dan keadaan ini membuka kanal Ca. sehingga Ca masuk sel
beta, merangsang sekresi insulin.
Farmakokinetik: masa paruh dan metabolism sulfonylurea generasi 1 sangat
bervariasi. Semua sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan dieksresi melalui ginjal,

30

sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang
berat.
ES: hipoglikemi bahkan sampai koma, mual, muntah, diare, hematologic
(leukopenia, agranulositosis), susunan saraf pusat (vertigo, bingung, ataksia), mata
dsbg.
Indikasi: untuk pasien DM yang diabetesnya di peroleh pada usia diatas 40 tahun.
Kegagalan disebabkan perubahan farmakogenetik obat, misalnya penghancuran
yang terlalu cepat.
Peringatan: Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenile,
pasien yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan
keadaan gawat.
Interaksi: meningkatkan hipoglikemia (insulin, alcohol, sulfonamide, probenezid,
kloramfenikol)
2)
Meglitinid
Pemberian: sesaat sebelum makan
Mek. Kerja: sama dengan sulfonylurea, tetapi struktur kimianya berbeda.
Merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel beta
pankreas.
Pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam.
Masa paruh 1 jam, sehingga harus diberikan beberapa kali sehari sebelum makan.
Farmakokinetik: metabolism utama di hepar, 10% di ginjal.
ES: hipoglikemi, gangguan saluran cerna, dan alergi.
3)
Biguanid
Pemberian: sebelum/saat/sesudah makan
Terdiri: fenformin (ditarik dari peredaran karena sebabin asidosis laktat), buformin,
metformin.
Mek. Kerja: merupakan antihiperglikemik, metformin dapat menurunkan produksi
glukosa dihepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap
insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP activated protein
kinase). Pada DM yang gemuk, biguanid dapat menurunkan BB.
Farmakokinetik: metformin oral di absorpsi di intestine, dalam darah tidak terikat
protein plasma, eksresi dalam urin utuh, masa paruh sekitar 2 jam.
Dosis: awal 2x500 mg, maintenance dose 3x500 mg, max 2,5 gr. Diminum saat
makan.
Indikasi: pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonylurea dapat
diatasi dengan metformin, atau kombinasi dengan insulin atau sulfonylurea.
ES: mual, muntah, diare, metallic taste, ketosis (pada pasien yang mutlak dengan
insulin eksogen), gangguan keseimbangan elektrolit cairan tubuh.
KI: kehamilan, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremi dan penyakit
jantung kongestif dan penyakit paru, dengan hipoksia kronik, pemberian zat kontras
intravena atau yang akan di operasi harus dihentikan dan sesudah 48 jam boleh.
4)
Tiazolidinedion
Pemberian: tidak bergantung pada jadwal makan
Mek. Kerja: berikatan pada peroxisome proliferators activated receptor (PPAR )
suatu resptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
31

ES: peningkatan BB, edem, menambah volum plasma dan memperburuk gagal
jantung kongestif, hipoglikemi.
KI: gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Interaksi: dengan insulin dapat menyebabkan edem.
5)
Penghambat enzim Alfa-glikosidase (Acarbose)
Pemberian: bersama makan suapan pertama
Mek. Kerja: memperlambat absoprsi glukosa (polisakarida, dekstrin, dan disakarida)
di usus halus, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin.
ES: kembung, flatulens.
Interaksi: dengan insulin menimbulkan hipoglikemi.
6)
DPP-4 Inhibitor
Pemberian: diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
Mek. Kerja: glucagon like peptide 1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide
yang dihasilkan oleh sel L dimukosa usus. GLP-1 merupakan perangsang kuat
penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon. Namun,
sekresi GLP-1 menurun pada DM-2

2. Terapi Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang

Tidak terkendali dengan perencanaan makan

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO


Tipe - Jenis Insulin
Insulin dapat dibedakan atas dasar:
1) Waktu kerja insulin (onset), yaitu waktu mulai timbulnya efek insulin sejak disuntikan.
2) Puncak kerja insulin, yaitu waktu tercapainya puncak kerja insulin.
3) Lama kerja insulin (durasi), yaitu waktu dari timbulnya efek insulin sampai hilangnya efek
insulin.
Terdapat 4 buah insulin eksogen yang diproduksi dan dikategorikan berdasarkan puncak dan
jangka waktu efeknya. Berikut keterangan jenis insulin eksogen:
1) Insulin eksogen kerja cepat
Bentuknya berupa larutan jernih, mempunyai onset cepat dan durasi pendek. Yang
termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal Zinc Insulin/CZI). Saat ini dikenal 2
macam insulin CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang ada antara lain:
32

Actrapid, Velosulin, Semilente. Insulin jenis ini diberikan 30 menit sebelum makan,
mencapai puncak setelah 1 3 macam dan efeknya dapat bertahan samapai 8 jam.
2) Insulin Eksogen kerja sedang.
Bentuknya terlihat keruh karena berbentuk hablur-hablur kecil, dibuat dengan
menambahkan bahan yang dapat memperlama kerja obat dengan cara memperlambat
penyerapan insulin kedalam darah. Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine
Hegedorn (NPH), Monotard, Insulatard. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 2.5 jam.
Puncaknya tercapai dalam 4 15 jam dan efeknya dapat bertahan sampai dengan 24 jam
3) Insulin Eksogen campur antara kerja cepat & kerja sedang (Insulin premix)
Yaitu insulin yang mengandung insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Insulin ini
mempunyai onset cepat dan durasi sedang (24 jam). Preparatnya: Mixtard 30 / 40
4) Insulin Eksogen kerja panjang (lebih dari 24 jam)
Merupakan campuran dari insulin dan protamine, diabsorsi dengan lambat dari tempat
penyuntikan sehingga efek yang dirasakan cukup lam, yaitu sekitar 24 36 jam. Preparat:
Protamine Zinc Insulin (PZI), Ultratard
Jenis sediaan

Bufer

Mula
kerja

Puncak
(jam)

Masa kerja Kombinasi dengan


(jam)
(jam)

0,1-0,7

1,5-4

5-8

Semua jenis

Fosfat

0,25

0,5-1,5

2-5

Lente

NPH (isophan)
Lente

Fosfat
Asetat

1-2
1-2

6-12
6-12

18-24
18-24

Regular
Senilente

Kerja panjang
Protamin zinc
Ultralente
Glargin

Fosfat
asetat
-

4-6
4-6
2-5

14-20
16-18
5-24

24-36
20-36
18-24

Regular

Kerja cepat
Regular

solube

(kristal)
Lispro

Kerja sedang

Dosis pemberian insulin tergantung pada kadar gula darah, yaitu:


Gula darah
< 60 mg % = 0 unit
< 200 mg % = 5 8 unit
200 250 mg% = 10 12 unit
250 - 300 mg% = 15 16 unit
300 350 mg% = 20 unit
> 350 mg% = 20 24 unit
Efek samping penggunaan insulin:
Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan jumlah insulin. Pada 25-75% pasien yang
diberikan insulin konvensional dapat terjadi
Lipoatrofi
Lipoatrofi yaitu terjadi lekukan di bawah kulit tempat suntikan akibat atrofi jaringan lemak.
Hal ini diduga disebabkan oleh reaksi imun dan lebih sering terjadi pada wanita muda
terutama terjadi di negara yang memakai insulin tidak begitu murni.
Lipohipertrofi
33

Lipohipertrofi yaitu pengumpulan jaringan lemak subkutan di tempat suntikan akibat


lipogenik insulin. Lebih banyak ditemukan di negara yang memakai insulin murni. Regresi
terjadi bila insulin tidak lagi disuntikkan di tempat tersebut.
Alergi sistemik atau local
Reaksi alergi lokal terjadi 10x lebih sering daripada reaksi sistemik terutama pada
penggunaan sediaan yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritem dan indurasi di tempat
suntikan yang terjadi dalam beberpa menit atau jam dan berlangsung selama beberapa hari.
Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah pengobatan insulin dimulai. Inflamasi
lokal atau infeksi mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik, penggunaan antiseptik
yang menimbulkan sensitisasi atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan hilang
secara spontan. Reaksi umum dapat berupa urtikaria, erupsi kulit, angioudem, gangguan
gastrointestinal, gangguan pernapasan dan yang sangat jarang ialah hipotensi dan shock
yang diakhiri kematian.
Resistensi insulin
Edema insulin
Sepsis
Interaksi
Beberapa hormon melawan efek hipoglikemia insulin misalnya hormon pertumbuhan,
kortikosteroid, glukokortikoid, tiroid, estrogen, progestin, dan glukagon. Adrenalin
menghambat sekresi insulin dan merangsang glikogenolisis. Peningkatan hormon-hormon ini
perlu diperhitungkan dalam pengobatan insulin. Guanetidin menurunkan gula darah dan dosis
insulin perlu disesuaikan bila obat ini ditambahkan / dihilangkan dalam pengobatan.
Beberapa antibiotik (misalnya kloramfenikol, tetrasiklin), salisilat dan fenilbutason
meningkatkan kadar insulin dalam plasma dan mungkin memperlihatkan efek hipoglikemik.
Hipoglikemia cenderung terjadi pada penderita yang mendapat penghambat
adrenoseptor , obat ini juga mengaburkan takikardi akibat hipoglikemia. Potensiasi efek
hipoglikemik insulin terjadi dengan penghambat MAO, steroid anabolik dan fenfluramin.
Suntik Agonis GLP-1/incretin mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat
penglepasanglukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis.
Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas.
Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
(Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe2 di Indonesia 2011)
Dasar pemikiran terapi insulin
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya.
Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang
terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal (puasa,
sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang
34

dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin
kerja sedang atau panjang).
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related).
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin
kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal
dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1
kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1
kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa darah
prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid),
atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons
individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

Cara Penyuntikan Insulin


Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah alat
suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan kerja
menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan
insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan
pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan benar,
demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya
dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama. Harus diperhatikan
kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit yang
dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat
ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100 unit/mL).
LO 3.9 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Diabetes Melitus
KOMPLIKASI AKUT
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi
glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah:
1. Ketoasidosis Diabetik (DKA).
Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM tipe 1. Hal ini bisa juga
terjadi pada DM tipe 2. Hal ini terjadi karena kadar insulin sangat menurun, dan pasien
akan mengalami hal berikut:
a. Hiperglikemia
b. Hiperketonemia
c. Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis
dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton
(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan
35

ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis
metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis
osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi
hipotensi dan mengalami syok.
Akhimya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma
dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien
maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan
DKA dapat dilakukan sedini mungkin. Tanda dan Gejala Klinis dari Ketoasidosis
Diabetik:
1. Dehidrasi
8. Poliuria
2. Hipotensi (postural atau supine)
9. Bingung
3. Ekstremitas Dingin/sianosis perifer
10. Kelelahan
4. Takikardi
11. Mual-muntah
5. Kusmaul breathing
12. Kaki kram
6. Nafas bau aseton
13. Pandangan kabur
7. Hipotermia
14. Koma (10%)
2. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)
Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes
tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia
muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai berikut:
a. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.
b. Dehidrasi berat
c. Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani.
Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA
adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis. Penatalaksanaan berbeda dari ketoasidosis
hanya dua tindakan yang terpenting adalah pasien biasanya relatif sensitif insulin dan kirakira diberikan dosis setengah dari dosis insulin yang diberikan untuk terapi ketoasidosis,
biasanya 3 unit/jam.
3. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa
darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang.
Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM 1990-1991 yang
dilakukan Karsono dkk, memperlihatkan kekerapan episode hipoglikemia sebanyak 15,5
kasus pertahun, dengan wanita lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar
belakang DM. Meskipun hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan insulin,
tetapi biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau
belum mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada tubuhnya. Penyebab Hipoglikemia:
1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan
2. Berat badan turun
3. Sesudah olah raga
4. Sesudah melahirkan
5. Sembuh dari sakit
6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa

36

Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi
hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis
dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang. Tanda-tanda:
1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitug
sederhana.
3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau tangan,
berdebar-debar.
4. Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang.
Keempat stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oral ataupun
suntikan. Ada beberapa catatan perbedaan antara keduanya:
1) Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.
2) Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin bisa
diperkirakan pada puncak kerjanya, misalnya:
Insulin reguler
: 2-4 jam setelah suntikan
Insulin NPH
: 8-10 jam setelah suntikan
P.Z.I
: 18 jam setelah suntikan
3) Obat oral sedikit memberikan gejala saraf otonom (parasimpatik dan simpatik),
sedangkan akibat insulin sangat menonjol.
4. Komplikasi pada kulit penderita diabetes
1)
Acanthosis Nigricans
Kondisi dimana area berwarna coklat terlihat
pada axila, leher, selangkangan, terkadang juga
ditemukan di tangan, siku, dan lutut. Biasanya
pada pasien yang obese.
2)
Diabetic Dermopathy
Bentuknya seperti bintik- bintik yang terkadang
di ragukan sebagai age spots.bintik bintik ini
tidak terasa sakit, gatal atau pun terbuka
3)
Reaksi Alegi
Dikarenaka respon dari obat, seperti insulin dan pil diabetes
4)
Bullosis Diabeticorum ( Diabetic Blister)
Dapat terjadi di punggung jari, tangan, kaki. Sering dikaitkan dengan diabetic neuropathy.
Dapat hilang sendiri
5)
Eruptive Xanthomatosis
KOMPLIKASI KRONIS
1 Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
Pembuluh darah otak
2 Mikroangiopati
Retinopati diabetic
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspi-rin tidak mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetic
37

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me-ngurangi risiko nefropati
Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko
terjadinya nefropati
3 Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neu-ropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisikotinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar danbergetar sendiri, dan lebih terasa
sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perludilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropatidistal dengan pemeriksaan neurologi sederhana,
dengan monolamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatankaki yang memadai akan
menurunkan risiko amputasi.
Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine,antidepresan trisiklik, atau
gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit
iniseringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.
LO 3.10 Memahami dan Menjelaskan Prognosis Diabetes Melitus
Prognosis Diabetes Melitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak
selamanya buruk, pasien usia lanjut dengan Diabetes Melitus tri II (Diabetes Melitus III)
yang terawat baik prognosisnya baik. Pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh
dalam keadaan koma hipoglikemik atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik.
Hipoklikemik pada pasien usia lanjut biasanya berlangsung lama dan serius dengan akibat
kerusakan otak yang permanen. Karena hiporesmolar adalah komplikasi yang sering
ditemukan pada usia lanjut dan angka kematiannya tinggi.
Kematian berisiko dua sampai tiga kali lebih tinggi di antara orang dengan diabetes tipe
2 dibandingkan pada populasi umum. Sebanyak 75% orang dengan diabetes melitus tipe 2
akan mati karena penyakit jantung dan 15% dari stroke. Angka kematian akibat penyakit
kardiovaskuler hingga lima kali lebih tinggi pada orang dengan diabetes dibandingkan orang
tanpa diabetes. Untuk setiap kenaikan 1% pada level HbA1c, resiko kematian dari penyebab
diabetes meningkat terkait dengan 21%.
LO 3.11 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Diabetes Melitus
A. Pencegahan Primer
Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya hiperglikemia pada individu
yang berisiko untuk menjadi DM atau pada populasi umum. Merupakan yang paling sulit
karena sasaran adalah orang yang sehat. Semua pihak harus mempropagandakan pola
hidup sehat.
B. Pencegahan Sekunder
Menemukan pengidap DM sedini mungkin, dengan tes penyaringan terutama pada
populasi risiko tinggi. Pasien yang sebelumnya belum terdiagnosa akan tersedeksi dan
dapat dicegah komplikasinya. Syarat mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah
harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang tahun, tekanan
darah dan kadar lipid juga harus normal. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan:
a. Skrinning
38

Skrinning dilakukan dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa, dan GIT.
Skrinning direkomendasikan untuk:
Orang-orang yang mempunyai keluarga diabetes
Orang-orang dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamil
Orang-orang yang mempunyai gangguan vaskuler
Orang-orang yang gemuk
b. Pengobatan
Pengobatan diabetes melitus bergantung kepada pengobatan diet dan pengobatan bila
diperlukan. Kalau masih bisa tanpa obat, cukup dengan menurunkan berat badan
sampai mencapai berat badan ideal. Untuk itu perlu dibantu dengan diet dan bergerak
badan. Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi medik masih
merupakan pengobatan utama, tetapi bilamana hal ini bersama latihan jasmani/kegiatan
fisik ternyata gagal maka diperlukan penambahan obat oral. Obat hipoglikemik oral
hanya digunakan untuk mengobati beberapa individu dengan DM tipe II. Obat ini
menstimulasi pelapisan insulin dari sel beta pancreas atau pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer.
c. Diet
Diet adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan yang masuk
harus dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari kehari. Adalah sangat
penting bagi pasien yang menerima insulin dikordinasikan antara makanan yang masuk
dengan aktivitas insulin lebih jauh orang dengan DM tipe II, cenderung kegemukan
dimana ini berhubungan dengan resistensi insulin dan hiperglikemia. Toleransi glukosa
sering membaik dengan penurunan berat badan. Modifikasi dari faktor-faktor resiko:

Menjaga berat badan

Tekanan darah

Kadar kolesterol

Berhenti merokok

Membiasakan diri untuk hidup sehat

Biasakan diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik yang
terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang berulang untuk
mencapai kebugaran.

Hindari menonton televisi atau menggunakan komputer terlalu lama, karena


hal ini yang menyebabkan aktivitas fisik berkurang atau minim.

Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan. garam


yang tinggi. Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar karbohidrat dan
lemak tinggi.

Konsumsi sayuran dan buah-buahan.


C. Pencegahan Tersier
Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi yang
meliputi: mencegah komplikasi, mencegah progresi dari komplikasi supaya tidak gagal
organ, dan mencegah kecacatan tubuh.
LI 4 Memahami dan Menjelaskan Retinopati Diabetik
LO 4.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Retinopati Diabetik

39

Retinopati diabetik merupakan komplikasi kronis diabetes melitus berupa mikroangiopati


progresif yang ditandai oleh kerusakan mikro vaskular pada retina dengan gejala penurunan
atau perubahan penglihatan secara perlahan.
LO 4.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi Retinopati Diabetik
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya retinopati adalah:

Terjadi karena adanya perubahan dinding arteri

Adanya komposisi darah abnormal

Meningkatnya agregasi platelet dari plasma menyebabkan terbentuknya


mikrothrombin

Gangguan endothelium kapiler menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler,


selanjutnyaterjadi insudasi dinding kapiler dan penebalan membran dasar dan diikuti
dengan eksudasidinding haemorhagic dengan udem perikapiler

Perdarahan kapiler dapat terjadi di retina dalam sybhyaloid dimana letaknya di


depan jaringan retina. Hemoraghi tidak terjadi intravitreal tetapi terdapat dalam
ruangvitreo retinal yang tersisa karena vitreus mengalami retraksi

Aliran darah yang kurang lancar dalam kapiler-kapiler, sehingga terjadi


hipoksiarelatif di retina yang merangsang pertumbuhan pembuluh-pembuluh darah yang
baru.

Perubahan arteriosklerotik dan insufisiensi koroidal

Hipertensi yang kadang-kadang mengiringi diabetes

LO 4.3 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Retinopati Diabetik


Tahap
Deskripsi
Tidak ada
Tidak ada tanda-tanda abnormal yang ditemukan pada retina.
retinopati
Penglihatan normal.
Makulopati
Eksudat dan perdarahan dalam area macula, dan/atau bukti
edema retina, dan/atau bukti iskemia retina. Penglihatan
mungkin berkurang; mengancam penglihatan.
Praproliferatif Bukti oklusi (cotton wool spot). Vena menjadi ireguler dan
mungkin terlihat membentuk lingkaran. Penglihatan normal.
Proliferatif
Perubahan
oklusi
menyebabkan
pelepasan
substansi
vasoproliferatif dari retina yang menyebabkan pertumbuhan
pembuluh darah baru di lempeng optik (NVD) atau di tempat
lain pada retina (NVE). Penglihatan normal, mengancam
penglihatan.
Tahap
Deskripsi
Lanjut
Perubahan proliferatif dapat menyebabkan perdarahan ke dalam
vitreus atau antara vitreus dan retina. Retina juga dapat tertarik
dari epitel pigmen di bawahnya oleh proliferasi fibrosa yang
berkaitan dengan pertumbuhan pembuluh darah baru.
Penglihatan berkurang, sering akut dengan perdarahan vitreus;
mengancam penglihatan.
Early Treatment Diabetik Retinopathy Study Research Group (ETDRS) membagi retinopati
diabetik atas nonproliferatif dan proliferatif.Retinopati diabetik digolongkan ke dalam
40

retinopati diabetik non proliferatif (RDNP) apabila hanya ditemukan perubahan


mikrovaskular dalam retina. Neovaskuler merupakan tanda khas retinopati diabetik
proliferative.

1.
2.
3.
4.

1.

2.

Klasifikasi Retinopati Diabetik berdasarkan ETDRS


Retinopati Diabetik Non-Proliferatif
Retinopati nonproliferatif minimal: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena,
mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras.
Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang: terdapat 1 tanda berupa
dilatasi vena derajat ringan, perdarahan, eksudar keras, eksudat lunak atau
IRMA.
Retinopati nonproliferatif berat: terdapat 1 tanda berupa perdarahan dan
mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau
IRMA pada 1 kuadran.
Retinopati nonproliferatif sangat berat: ditemukan 2 tanda pada retinopati
non proliferative berat.

Retinopati Diabetik Proliferatif


Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi): bila ditemukan minimal
adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup <1/4 dari daerah
diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau neovaskular
dimana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus.
Retinopati proliferatif risiko tinggi: apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor
resiko sebagai berikut, a) ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di
retina, b) ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus, c)
pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup >
daerah diskus, d) perdarahan vitreus. Adanya pembuluh darah baru yang
jelas pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang
disertai perdarahan, merupakan dua gambaran yang paling sering ditemukan
pada retinopati proliferatif dengan resiko tinggi.

LO 4.4 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Retinopati Diabetik


41

Ada 3 proses biokimia yang terjadi pada hiperglikemia yang berkaitan dengan retinopati DM:
Jalur Poliol
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi berlebihan serta
akumulasi dari poliol (suatu senyawa gula dan alcohol) dalam jaringan termasuk lensa dan
saraf optic. Salah 1 sifat poliol adaah tidak dapat melewati membrane basalis sehingga
akan tertimbun dalam jumlah banyak di dalam sel dan menyebabkan peningkatan tekanan
osmotic sel dan menimbulkan gangguan morfolosi maupun fungsional sel.
Glikasi Nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan DNA yang terjadi selama hiperglikemia dapat
menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk
radikal bebas dan menyebabkan perubahan fungsi sel.
Protein Kinase C
Diketahui memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vascular, kontraktilitas, sintesis
membrane basalis dan proliferasi sel vascular. Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC
di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol
(regulator PKC) dari glukosa. Selain hiperglikemia, sejumlah faktor lain yang terkait
dengan DM seperti peningkatan agregasi trombosit, peningkatan agregasi eritrosit,
viskositas darah, hipertensi, peningkatan lemak darah dan faktor pertumbuhan diduga
berperan dalam terjadinya retinopati DM.
LO 4.5 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Retinopati Diabetik
Kesulitan membaca
Penglihatan kaburr
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip
Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa:
Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan
bentuk bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior.
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma dipolus posterior.
Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya irreguler dan berkelok-kelok
Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu
irreguler, kekuning-kunigan. Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung.
Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Soft exudate yang sering dsebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada
pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan
berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan
iskemia retina.
Pembuluh darah baru (neovaskularisasi) pada retina biasanya terletak dipermukaan
jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan
irreguler. Mula-mula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah
preretinal ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan retina, prdarahan subhialoid (preretinal) maupun perdarahan
badan kaca.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga
sangat mengganggu tajam penglihatan.
Perbedaan antara NPDR dan PDR
NPDR
PDR
42

Mikroaneurisma (+)
Mikroaneurisma (+)
Perdarahan intraretina (+) Perdarahan intraretina (+)
Hard eksudat (+)
Hard eksudat (+)
Oedem retina(+)
Oedem retina (+)
Cotton Wool Spots (+)
Cotton Wool Spots (+)
IRMA (+)
IRMA(+)
Neovaskularisasi (-)
Neovaskularisasi (+)
Perdarahan Vitreous (-)
Perdarahan Vitreous (+)
Pelepasan retina secaraPelepasan retina secara traksi (+)
traksi (-)
LO 4.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik dan berbagai stadiumnya didiagnosis berdasarkan pemeriksaan
stereoskopik fundus dengan dilatasi pupil.Oftalmoskopi dan foto funduskopi merupakan gold
standard bagi penyakit ini. Angiografi Fluoresens (FA) digunakan untuk menentukan jika
pengobatan laser diindikasikan. FA diberikan dengan cara menyuntikkan zat fluorresens
secara intravena dan kemudian zat tersebut melalui pembuluh darah akan sampai di fundus.
LO 4.7 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding Retinopati Diabetik
Diagnosis banding harus menyingkirkan penyakit vascular retina lainnya, adalah
hipertensive retinopathy. Retinopati hipertensi adalah suatu kondisi dengan karakteristik
perubahan vaskularisasi retina pada populasi yang menderita hipertensi.
Karakteristik utama pada diabetik retinopati yaitu perubahan parenkim dan vaskuler
retina dimana pada retina ditemukan mikroaneurismata, perdarahannya dalam bentuk bercak
dan titik serta edema sirsinata, adanya edema retina dan gangguan fungsi makula serta
vaskularisasi retina dan badan kaca. Sehingga dengan pemeriksaan laboratorium lengkap,
funduskopi dan Angiografi fluorescein akan ditemukan kelainan-kelainan pada retinopati
diabetik yang berbeda dengan retinopati hipertensif diantaranya pada retinopati hipertensif
tidak ada mikroaneurisma.Kelainan makula: pada retinopati hipertensif makula menjadi starshaped, sedangkan pada retinopati diabetik mengalami edema.Kapiler pada retinopati
hipertensif menipis, sedangkan retinopati diabetik menebal (beading).

Gb. OCT pada Mata normal

Gb. OCT pada Retinopati diabetic

LO 4.8 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Retinopati Diabetik


Prinsip utama penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan. Hal ini dapat
dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi perkembangan retinopati
diabetik nonproliferatif menjadi proliferatif.
1. Pemeriksaan rutin pada ahli mata
Penderita diabetes melitus tipe I retinopati jarang timbul hingga lima tahun setelah
diagnosis. Sedangkan pada sebagian besar penderita diabetes melitus tipe II telah
menderita retinopati saat didiagnosis diabetes pertama kali.Pasien- pasien ini harus
melakukan pemeriksaan mata saat diagnosis ditegakkan.Pasien wanita sangat beresiko
perburukan retinopati diabetik selama kehamilan. Pemeriksaan secara umum
43

direkomendasikan pada pasien hamil pada semester pertama dan selanjutnya tergantung
kebijakan ahli matanya.
Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Umur atau Kehamilan
Umur onset
Rekomendasi pemeriksaan pertamaFollow
up
rutin
DM/kehamilan kali
minimal
0-30 tahun
Dalam waktu 5 tahun setelahSetiap tahun
diagnosis
>31 tahun
Saat diagnosis
Setiap tahun
Hamil
Awal trimester pertama
Setiap 3 bulan atau
sesuai kebijakan dokter
mata
Berdasarkan beratnya retinopati dan risiko perburukan penglihatan, ahli mata mungkin lebih
memilih untuk megikuti perkembangan pasien-pasien tertentu lebih sering karena antisipasi
kebutuhan untuk terapi.
Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Temuan Pada Retina
Abnormalitas retina
Follow-up yang disarankan
Normal atau mikroaneurisma yangSetiap tahun
sedikit
Retinopati Diabetik non proliferatifSetiap 9 bulan
ringan
Retinopati Diabetik non proliferatif
Setiap 6 bulan
Retinopati Diabetik non proliferatif
Setiap 4 bulan
Edema makula
Setiap 2-4 bulan
Retinopati Diabetik proliferatif
Setiap 2-3 bulan
2. Kontrol Glukosa Darah dan Hipertensi
Untuk mengetahui kontrol glukosa darah terhadap retinopati diabetik, Diabetik Control
and Cmplication Trial (DCCT) melakukan penelitian terhadap 1441 pasien dengan DM
Tipe I yang belum disertai dengan retinopati dan yang sudah menderita RDNP. Hasilnya
adalah pasien yang tanpa retinopati dan mendapat terapi intensif selama 36 bulan
mengalami penurunan resiko terjadi retinopati sebesar 76% sedangkan pasien dengan
RDNP dapat mencegah resiko perburukan retinopati sebesar 54%. Pada penelitian yang
dilakukan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) pada penderita DM Tipe
II dengan terapi intensif menunjukkan bahwa setiap penurunan HbA1c sebesar 1% akan
diikuti dengan penurunan resiko komplikasi mikrovaskular sebesar 35%. Hasil penelitian
DCCT dan UKPDS tersebut memperihatkan bahwa meskipun kontrol glukosa darah
secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati diabetik secara sempurna,
namun dapat mengurangi resiko timbulnya retinopati diabetik dan memburuknya
retinopati diabetikyang sudah ada. UKPDS menunjukkan bahwa control hipertensi juga
menguntungkan mengurangi progresi dari retinopati dan kehilangan penglihatan.
3. Fotokoagulasi
Perkembangan neovaskuler memegang peranan penting dalam progresi retinopati
diabetik.Komplikasi dari retinopati diabetik proliferatif dapat meyebabkan kehilangan
penglihatan yang berat jika tidak diterapi. Suatu uji menunjukkan bahwa pengobatan
fotokoagulasi dengan sinar laser apabila dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif
untuk pasien dengan retinopati diabetik proliferatif dan edema makula untuk mencegah
hilangnya fungsi penglihatan akibat perdarahan vitreus dan ablasio retina. Indikasi terapi
fotokoagulasi adalah retinopati diabetik proliferatif, edema macula dan
44

neovaskularisasiyang terletak pada sudut bilik anterior. Ada 3 metode terapi fotokoagulasi
yaitu:
1) Scatter (panretinal) photocoagulation = PRP, dilakukan pada kasus dengan
kemunduran visus yang cepat atau retinopati diabetik resiko tinggi dan untuk
menghilangkan neovaskular dan mencegah neovaskularisasi progresif nantinya pada
saraf optikus dan pada permukaan retina atau pada sudut bilik anterior.
2) Focal photocoagulation, ditujukan pada mikroaneurisma atau lesi mikrovaskular di
tengah cincin hard exudates yang terletak 500-3000 m dari tengah fovea. Teknik ini
mengalami bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan edema macula.
3) Grid photocoagulation, suatu teknik penggunaan sinar laser dimana pembakaran
dengan bentuk kisi-kisi diarahkan pada daerah edema yang difus. Terapi edema
macula sering dilakukan dengan menggunakan kombinasi focal dan grid
photocoagulation.
4. Injeksi Anti VEGF
Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF manusia. Sebuah studi baru-baru
ini diusulkan menggunakan bevacizum intravitreus untuk degenerasi makula terkait usia.
Dalam kasus ini, 24 jam setelah perawatan kita melihat pengurangan dramatis dari
neovaskularisasi iris, dan tidak kambuh dalam waktu tindak lanjut 10 hari. Pengobatan
dengan bevacizumab tampaknya memiliki pengaruh yang cepat dan kuat pada
neovaskularisasi patologis. Avastin merupakan anti angiogenik yang tidak hanya menahan
dan mencegah pertumbuhan prolirerasi sel endotel vaskular tapi juga menyebabkan regresi
vaskular oleh karena peningkatan kematian sel endotel. Untuk pengunaan okuler, avastin
diberikan via intra vitreal injeksi ke dalam vitreus melewati pars plana dengan dosis 0,1
mL. Lucentis merupakan versi modifikasi dari avastin yang khusus dimodifikasi untuk
penggunaan di okuler via intra vitreal dengan dosis 0,05 Ml.
5. Vitrektomi
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan (opacity) vitreus
dan yang mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat juga membantu bagi pasien
dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang mengalami proliferasi fibrovaskuler.
Selain itu, vitrektomi juga diindikasikan bagi pasien yang mengalami ablasio retina,
perdarahan vitreus setelah fotokoagulasi, RDP berat, dan perdarahan vitreus yang tidak
mengalami perbaikan. Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study (DVRS) melakukan clinical
trial pada pasien dengan dengan diabetik retinopati proliferatif berat. DRVS mengevaluasi
keuntungan pada vitrektomi yang cepat (1-6 bulan setelah perdarahn vitreus) dengan yang
terlambat (setelah 1 tahun) dengan perdarahan vitreous berat dan kehilangan penglihatan
(<5/200). Pasien dengan diabetes tipe 1 secara jelas menunjukan keuntungan vitrektomi
awal, tetapi tidak pada tipe 2. DRSV juga menunjukkan keuntungan vitrektomi awal
dibandingkan dengan managemen konvensional pada mata dengan retinopati diabetik
proliferatif yang sangat berat.
LO 4.9 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Retinopati Diabetik
1 Rubeosis iridis progresif
Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling sering. Neovaskularisasi pada
iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina
akibat berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah
retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai
percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskular pada
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body
dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan aquous
45

dengan akibat intra ocular presure meningkat dan keadaan sudut masih terbuka.Suatu saat
membrane fibrovaskular ini konstraksi menarik iris perifer sehingga terjadi sinekia
anterior perifer (PAS) sehingga sudut bilik mata depan tertutup dan tekanan intra okuler
meningkat sangat tinggi sehingga timbul reaksi radang intra okuler.Sepertiga pasien
dengan rubeosis iridis terdapat pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya
rubeosis pada pasien retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden
terjadinya rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42 % setelah tindakan vitrektomi,
sedangkan timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan pertama
setelah dilakukan operasi.
2

Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang terjadi akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan anyaman trabekula
yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat meningkatkan tekanan intra okuler.
Nama lain dari glaukoma neovaskular ini adalah glaukoma hemoragik, glaukoma
kongestif, glaukoma trombotik dan glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan
dengan neovaskular pada iris (rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis)
merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai
penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati
diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan
kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler pada permukaan iris
secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera spur
mencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan akuos dengan akibat Intra
Ocular Presure meningkat dan keadaan sudut masih terbuka.

Perdarahan vitreus rekuren


Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik proliferatif.Perdarahan vitreus
terjadi karena terbentuknya neovaskularisasi pada retina hingga ke rongga
vitreus.Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai struktur yang kuat dan mudah rapuh
sehingga mudah mengakibatkan perdarahan.Perdarahan vitreus memberi gambaran
perdarahan pre-retina (sub-hyaloid) atau intragel.Perdarahan intragel termasuk didalamnya
adalah anterior, middle, posterior, atau keseluruhan badan vitreous.
Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi saat
perdarahan vitreous masih sedikit.Pada perdarahan badan kaca yang massif, pasien
biassanya mengeluh kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.Oftalmoskopi direk secara
jauh akanmenampakkan bayangan hitam yang berlawanan dengan sinar merah pada
perdahan vitreous yang masih sedikit dan tidak ada sinar merah jika perdarahan vitreous
sudah banyak. Oftalmoskopi direk dan indirek menunjukkan adanya darah pada ruang
vitreous.Ultrasonografi Bscan membantu untuk mendiagnosa perdarahan badan kaca.

Ablasio retina
Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari lapisan pigmen
epithelium.Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa menyebabkan gambaran
bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau kilatan cahaya, serta menyebabkan
penglihatan menjadi kabur.

LO 4.10 Memahami dan Menjelaskan Prognosis Retinopati Diabetik


Kontrol optimum glukosa darah (HbA1c < 7%) dapat mempertahankan atau menunda
retinopati.Hipertensi arterial tambahan juga harus diobati (dengan tekanan darah disesuaikan
46

<140/85 mmHg).Tanpa pengobatan, Detachment retinal tractional dan edema macula dapat
menyebabkan kegagalan visual yang berat atau kebutaan. Bagaimanapun juga, retinopati
diabetik dapat terjadi walaupun diberi terapi optimum.
LO 4.11 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Retinopati Diabetik
Pada tahun 2010, The American Diabetes Association menetapkan beberapa rekomendasi
pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati DM. Pertama, orang dewasa dan anak berusia lebih
dari 10 tahun yang menderita DM tipe I harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh
dokter spesialis mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis DM di- tegakkan. Kedua,
penderita DM tipe II harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata
segera setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan II harus
dilakukan secara rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata. Keempat, frekuensi
pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil pemeriksaan menunjukkan
hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila ditemukan tanda retinopati progresif. Kelima,
perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak trimester
pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan karena risiko terjadinya dan/atau
perburukan retinopati DM meningkat, dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh tentang
risiko tersebut.

LI. 5 Memahami dan Menjelaskan Pandangan Agama Islam Terhadap Makanan


Halalan Thayyiban

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu (QS. 2:168)

47

Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat
kamu sembelih dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah suatu kefasikan. (Q.S Al
Ma'idah: 3)
Karena itu selain dari yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan
wasilah itu tidak tersebut di dalam ayat itu. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa
di samping yang tersebut dalam ayat itu, adalagi yang diharamkan memakannya berdasarkan
hadis Rasulullah SAW. Seperti memakan binatang yang bertaring tajam atau bercakar kuat,
tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa memakan binatang-binatang tersebut hanya
makruh saja hukumnya.
Allah menyuruh manusia memakan yang baik sedang makanan yang diharamkan oleh
beberapa kabilah yang ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri
halal dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan
beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surat Al-Maidah dan
dalam ayat 173 surat kedua ini.

Daftar Pustaka
Gan S, Setiabudi R, Suyatna FD, dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi, ed 4, Jakarta. Bagian
farmakologi FK UI.
Ganong, W. F., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed 22. Jakarta: EGC
Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Guyton dan Hall.2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.Jakarta: EGC.
Murray, Robert K., dkk. 2003. Biokimia Harper. Jakarta: EGC.
Sherwood. L.2012. Fisiologi Manusia: Dari sel ke Sistem. Jakarta: EGC

48

Sitompul, Ratna. Retinopati Diabetik. Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. IDI
Sudoyo, Aru W. 2010. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing
PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Type 2 Di Indonesia.
Price, Sylvia Anderson.2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6, ab.
Huriawati Hartanto, Jakarta, EGC.
http://indodiabetes.com/piramida-makanan-diabetes.html
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/808-tafsir-depag-ri--qs-002-albaqarah-168.html

49

Anda mungkin juga menyukai