Anda di halaman 1dari 25

1.

Rekayasa Urbanisasi di Perdesaan


Salah Satu Upaya Rekayasa Demografi
Rekayasa Demografi = Rekayasa Vital+ Rekayasa Mobilitas
Menteri di Indonesia yang telah berhasil melakukan rekayasa di bidang
kependudukan adalah Menteri Negara Kependudukan /Kepala BKKBN yang
dibuktikan dengan angka fertilitas dan mortalitas di Indonesia dalam waktu yang
relatif singkat.
Menurut Suyono-1996, pada awal tahun 1961 penduduk Indonesia

yang

berjumlah 97,0 juta dan tahun 1971 berjumlah 119,2 juta jiwa ,dengan pertumbuhan
rata-rata selama sepuluh tahun sebesar 2,10% per tahun. Bisa dilihat dari tingkat
kelahiran dengan ukuran TFR sekitar 5,6 anak dan tingkat kematian bayi 145 per
1.000 kelahiran hidup.Bisa disimpulkan bahwa usia harapan hidup di era periode
tahun tersebut masih di bawah angka 50 tahun.
Pada periode selanjutnya, 1971-1980 pertumbuhan penduduk Indonesia naik
menjadi 2,34% pertahun berarti angka kematian turun dengan cepat yang disebabkan
oleh perbaikan program kesehatan di Indonesia . tiap orang sepakat bahwa angka
kematian perlu diturunkan.Namun ada juga orang yang belum tentu sepakat bahwa
angka kelahiran harus diturunkan.
Akhirnya,usaha meyakinkan masyarakat untuk menurunkan angka kelahiran
di Indonesia berhasil yang turun dengan sangat cepat melebihi kecepatan penurunan
di negara maju yang angka pertumbuhan penduduk Indonesia turun kembali menjadi
1,97% pada periode 1980-1990.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan pembangunan,Indonesia pasti
dengan sendirinya mengalami penurunan fertilitas dan mortalitas meskipun lebih
lambat.Penurunan yang lambat ini berjalan secara alamiah sama juga dengan negaranegara maju yang memakan

waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Maka

dengan adanya rekayasa Vital (rekayasa fertilitas mortalitas),Indonesia telah


memasuki era pasca transisi pada tahun 2005.
Keberhasilan rekayasa di bidang demografi belum lengkap jika komponen
ketiga dalam Demografi yaitu mobilitas, tidak dapat dilakukan. Rekayasa yang
dilakukan

baru

terbatas

pada

Rekayasa

vital

saja

bukan

rekayasa

Demografi.Seandainya rekayasa mobilitas juga mengalami keberhasilan, maka dapat


dikatakan bahwa sejarah perjalanan Demografi di Indonesia penuh dengan rekayasa.
Urbanisasi: Konsep dan Ukuran"
Urbanisasi sering disebut dengan perpindahan penduduk dari desa ke
kota.Pengertian inilah yang sebenarnya membuat persepsi seolah-olah urbanisasi di
pedesaan" mengandung makna yang kontradiktif.
Menurut firman (1996), Urbanisasi adalah tingkat keurbanan (kekotaan)
dalam suatu negara ataupun suatu wilayah(region). Pada sisi lain, urbanisasi
mengandung makna proses perubahan. Proses perubahan dari bersifat perdesaan
(rural)menjadi perkotaan (urban). Perubahan ini dapat terjadi pada fisik wilayah,
misalnya pola penggunaan tanah dari bersifat pertanian,atau ciri perdesaan
lain,menjadi daerah industri,atau ciri penggunaan tanah perkotaan lainnya.Perubahan
dapat juga terjadi pada gaya hidup penduduk nya,dari perilaku hidup perdesaan
menjadi perkotaan.
Davis (1969) mengemukakan bahwa urbanisasi dapat diukur dengan melihat
persentase penduduknya yang tinggal di daerah perkotaan.

Arriaga (1975)

mengemukakan beberapa ukuran urbanisasi, seperti tingkat urbanisasi, perubahan


tingkat urbanisasi ,distribusi penduduk,

konsentrasi penduduk ,dan komponen

pertumbuhan penduduk perkotaan. Ukuran lain yang juga biasa digunakan adalah
indeks primasi(primacy index) dan rank-size rule.

Secara demografis, urbanisasi diukur dengan persentase penduduknya yang


tinggal di daerah perkotaan.Ukuran ini

menjadi sensitif terhadap kriteria wilayah

perkotaan. Tiap-tiap negara memiliki kriteria tersendiri dalam menentukan wilayahwilayah yang tergolong dalam kriteria perkotaan.
Di Indonesia, untuk melihat persentase penduduk yang tinggal di wilayah
perkotaan ,BPS(1988)

melakukan scoring system dalam penentuan wilayah

perkotaan. 3 kriteria suatu daerah (lokalitas) dijadikan sebagai daerah perkotaan


yaitu:
1. Kepadatan penduduk 5000 orang atau lebih per km.
2.jumlah rumah tangga pertanian 25% atau lebih kecil.
3. Memiliki delapan atau lebih jenis fasilitas perkotaan.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi suatu wilayah mengalami
perubahan dari perdesaan menjadi perkotaan,yaitu (1) pertumbuhan alamiah
penduduk di wilayah itu sendiri, (2) migrasi dari perdesaan ke perkotaan ( wilayah
itu), dan (3) reklasifikasi wilayah dari perdesaan menjadi perkotaan.
Pola urbanisasi di Indonesia : Data SUPAS 1995
Urbanisasi di Indonesia menunjukkan peningkatan dari periode ke periode.
Pada tahun 1990 tingkat urbanisasi diketahui sebesar 30,9%. Sedangkan menurut data
SUPAS 1995 angka ini meningkat menjadi 35,91%. Hampir semua propinsi juga
menunjukkan peningkatan Urbanisasi, kecuali propinsi DKI Jakarta. Propinsi ini
memang sejak tahun 1990 telah mencapai tingkat urbanisasi 100%. Dan dari data
SUPAS 1995 angka 100% di DKI Jakarta ini tidak berubah. Berarti seluruh wilayah
DKI Jakarta merupakan daerah perkotaan. Sampai saat ini belum ada perluasan
wilayah yang masuk ke dalam DKI Jakarta sebagai daerah perdesaan.

Ada tiga propinsi di Sumatera yang tingkat urbanisasi nya mencapai 30% atau
lebih. Diantaranya adalah Sumatera Utara,sebesar 41,09%,Riau 34,36%,dan Sumatra
Selatan sebesar 30,31%. Di Sumatera Utara terdapat wilayah metropolitan Mebidang
yang terdiri dari

Medan, Binjai, Deli Serdang.Menurut sensus penduduk

1990,persentase penduduk yang tinggal di wilayah metropolitan ini telah mencapai


68,5. Tingginya tingkat urbanisasi di Riau, juga dapat dimaklumi. Di propinsi ini
terdapat Pulau Batam dan Segitiga Pertumbuhan SIJORI ( Singapura, Johor,dan
Riau). Dengan tingkat urbanisasi yang cukup tinggi ini Sumatera Selatan tampaknya
tengah mengubah statusnya untuk menambah jajaran aglomerasi perkotaan di
Sumatera.
Semua propinsi di Jawa sudah memiliki tingkat urbanisasi melebihi 30 %.
Propinsi kedua setelah DKI Jakarta yang tingkat urbanisasinya cukup tinggi adalah
DI Yogyakarta, yakni 58,05 %. Perlu diingat, bahwa tingginya angka ini bisa jadi
karena relatif kecilnya wilayah DI Yogyakarta dibandingkan propinsi lain di Jawa. Di
samping itu, lebih dari separuhnya merupakan wilayah perkotaan. Secara nasional,
propinsi ini juga memiliki tingkat urbanisasi tertinggi kedua setelah DKI Jakarta.
Meskipun wilayahnya luas, Jawa Barat hanya memiliki persentase penduduk
perkotaan sebesar 42,69.

Data Sensus Penduduk 1990 memperlihatkan kedua

metropolitan area ini memiliki persentase penduduk perkotaan sebesar 76,6 untuk
Jabotabek

dan

60,3

untuk

Gerbangkertosusila(Gresik,

Bandung

Bangkalan,

Raya.

Di

Jawa

Mojokerto, surabaya,

Timur

terdapat

Sidoarjo dan

Lamongan), yang persentase penduduk perkotaannya mencapai 50,7 %.


Di Kawasan Timur Indonesia selain kepulauan Nusa Tenggara-- umumnya
memiliki tingkat urbanisasi antara 20 hingga di bawah 30 %. Kekecualian dalam hal
ini adalah Kalimantan Timur, yang memiliki angka 50,22%. Angka ini sekaligus juga
menunjukkan bahwa Kalimantan Timur merupakan wilayah tertinggi ketiga dalam
hal tingkat urbanisasinya di Indonesia.

Di jajaran kepuluan Nusa Tenggara,

hanya Bali yang memiliki tingkat

urbanisasi sebesar 34,31 %. Sementara tiga propinsi lainnya(NTB, NTT, dan Timor
Timur) masih di bawah 20 %. Tingginya tingkat urbanisasi di Bali ini dibandingkan
dengan propinsi lain di sekitarnya memperlihatkan jurang yang cukup besar di
kawasan ini.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini penduduk
perkotaan di Indonesia masih terkonsentrasi di di Kawasan Barat Indonesia yaitu
Pulau Jawa. Di Jawa selain terdapat tiga wilayah aglomerasi perkotaan(Jabotabek,
Bandung Raya, dan Gerbang kertosusila), juga terdapat pola perkembangan koridor
perkotaan yang menghubungkan kota-kota besar.
Migrasi Masuk ke Perkotaan: Data SUPAS 1995
Para demografer yakin bahwa 50 % tingkat urbanisasi di suatu wilayah
dikontribusikan oleh pertumbuhan alamiah penduduknya.

Migrasi perdesaan ke

perkotaan memberikan kontribusi sebesar 40% dan reklasifikasi wilayah sebesar 10%
(Tjiptoherijanto,
berencana,

1996a).

Namun mengingat keberhasilan program keluarga

maka dapat dipastikan di masa depan tingkat urbanisasi akan lebih

banyak disebabkan oleh migrasi perdesaan ke perkotaan.


Publikasi mengenai besaran penduduk perdesaan yang bermigrasi ke
perkotaan memang tidak ada. Namun besarnya migrasi yang masuk ke wilayah
perkotaan di suatu propinsi paling tidak dapat menggambarkan perkembangan
wilayah yang bersangkutan. Apalagi setelah era 80 dan 90an ini migrasi yang teriadi
di Indonesia lebih banyak sebagai reaksi atas kesempatan ekonomi di suatu wilayah.
Artinya, migrasi yang terjadi merupakan migrasi spontan, migrasi karena keputusan
si migran sendiri.
Hasil

Sensus Penduduk 1990 dan SUPAS 1995 memperlihatkan bahwa

migrasi risen antarpropinsi yang terjadi di Indonesia

berorientasi ke wilayah

perkotaan. Secara keseluruhan, lebih dari 50 % para migran masuk ke wilayah


perkotaan di berbagai propinsi di Indonesia. Dari perbandingan kedua data tersebut
terlihat bahwa persentase ini mengalami peningkatan, yaitu dari 60,7 % pada tahun
1990 menjadi 64,97 % pada tahun 1995. Hal ini juga merupakan indikasi bahwa
migrasi risen di Indonesia semakin berorientasi ke wilayah perkotaan.
Di Sumatera migran yang menuju ke wilayah perkotaan hampir berimbang,
yaitu antara 40 hingga 68 %. Tiga propinsi memperlihatkan persentase lebih dari 50
yaitu Sumatra Utara sebesar 68,26, Riau 57,39, dan Jambi 69,44.
Di Jawa umumnya persentase migran yang menuju ke daerah perkotaan ini sudah di
atas

70

terutama

DKI

Jakarta(100%),

Jawa

Barat(77,17%

dan

DI

Yogyakarta(73,29%). Di Jawa Timur kondisi ini cukup berimbang (50,73%),dan di


Jawa Tengah hampir setengahnya, yakni 44,14 % migran risennya pergi menuju ke
wilayah perkotaan.
Di Kawasan Timur Indonesia, angka per sentase di atas lebih bervariasi. Propinsipropinsi di kepulauan Nusa Tenggara masih memperlihatkan angka di bawah 50%,
kecuali Bali yang telah mencapai 82,26%. Di Kalimantan umumnya sudah berkisar
antara 60-70%, kecuali Kalimantan Selatan(44,75%). Di Sulawesi bahkan variasinya
cukup besar. Ketika Sulawesi Utara sudah mecapai 70,88%, Sulawesi Tengah baru
mencapai 37,42%. Ketika Sulawesi Selatan mencapai 53,76%, di Sulawesi Tenggara
masih 36,21%.

Sedangkan di Maluku dan Irian Jaya kedua propinsi ini

memperlihatkan angka di atas 60% masing-masing 61,49 dan 68,17.


Meskipun migrasi hanya merupakan salah komponen dalam perkembangan
wilayah, namu hal ini dapat memberikan tolak ukur pengembangan wilayah. Karena
pada dasarnya perkembangan wilayah sangat mempengaruhi pola migrasi, dan pada
gilirannya migrasi pun dapat mempengaruhi perkembangan wilayah. Komponen lain
dalam perkembangan wilayah,

adalah kegiatan-kegiatan ekonomi ,potensi

sumberdaya alam, kualitas sumberdaya manusia, potensi lokasi(aksesibilitas) serta

kemampuan untuk menarik potensi-potensi ekonomi secara global seperti investasi


asing misalnya.
Dengan pola migrasi risen antar propinsi tersebut , dapatlah disimpulkan
bahwa sampai saat ini perkembangan wilayah di Indonesia masih terkonsentrasi di
Jawa,sebagai pusat kegiatan ekonomi yang utama.
Rekayasa Mobilitas = Rekayasa urbanisasi
Dari kedua kajian data SUPAS 1995 di atas, jelaslah bahwa jika kondisi ini akan tetap
dibiarkan berlangsung maka kesenjangan yang terjadi antara Jawa dan luar Jawa, atau
antara KBI dan KTI akan semakin melebar. Di samping itu, pembangunan juga akan
terpusat di wilayah-wilayah perkotaan(urban bias), sehingga jurang antara perdesaan
dan perkotaan semakin melebar.
Karena itu diperlukan lagi satu"rekayasa" yang menangani masalah mobilitas,
sekaligus urbanisasi. Memang benar bahwa pemerintah telah melakukan campur
tangan dalam hal mobilitas, seperti dalam program transmigrasi misalnya. Namun
penanganan ini dianggap cukup kontroversial oleh berbagai kalangan,

terutama

mereka yang berkecimpung dalam hak asasi manusia. Tirtosudarmo(1996)


menunjukkan empat kekeliruan dasar dalam penanganan transmigrasi ini,

yang

ditinjau dari aspek ekonomi(economic fallacy), aspek geografi(geographic fallacy),


aspek demografi(demographic fallacy) dan aspek politik (politik al fallacy).
Pada saat ini rekayasa mobilitas dilakukan dengan pendekatan tidak langsung
(indirect policy) . Pendekatan ini didasari pada pemikiran bahwa gerak mobilitas dan
persebaran penduduk mengikuti alur kesempatan kerja dan Kesempatan berusaha
(Tjiptoherijanto, 1996b).untuk itu diperlukan pembangunan ekonomi di daerah yang
semakin semarak, disertai dengan kemajuan pembangunan sarana dan prasarana lain,
khususnya transportasi.

Upaya yang dapat dilakukan dalam hubungan ini adalah dapat meningkatkan
"fasilitas perkotaan" di daerah perdesaan, sekaligus meningkatkan kemampuan
ekonomi keluarga dan masyarakat perdesaan tersebut. Usaha industrialisasi
perdesaan, yang mengarah pada agro-industri akan meningkatkan kesejahteraan
penduduk daerah perdesaan. Dengan diikuti oleh tambahan fasilitas "yang berciri"
perkotaan seperti gedung bioskop,

pasar swalayan,

tempat hiburan,

pusat

perbelanjaan dan sejenisnya, akan menyebabkan penduduk perdesaan mengalami


peningkatan taraf hidup, dan tetap betah tinggal di desanya.
Dengan demikian arus mobilitas ke kota- kota besar dapat ditekan. Sebaliknya,
akan ada"arus urbanisasi" ke desa tersebut.Dengan kata lain, desa-desa itu akan
berubah menjadi kota-kota kecil yang makin modern dan akan menciptakan mobilitas
baru, baik pernanen maupun non- permanen. Alhasil, secara statistik, proporsi
penduduk yang tinggal di perkotaan segera neningkat dengan cepat. Konsep ini
merupakan inti dari program BANGGA SUKADESA (Pembangunan Keluarga
Modern di perkotaan dengan suasana desa).

Program ini telah dicanangkan

pelaksanaannya pada tanggal 29 Juli 1995 oleh Presiden Suharto.


Dibandingkan dengan kebijaksanaan menutup kota Jakarta misalnya untuk para
pendatang,

program BANGGASUKADESA menunjukkan kecerdasan pembuat

kebijaksanaannya. Menutup kota Jakarta bukanlah cara yang tepat untuk mencegah
mobilitas perdesaan ke perkotaan. Selama masih ada ketimpangan pembangunan
antara perkotaan dan perdesaan, maka mobilitas penduduk ke perkotaan tidak akan
ada habis nya.
Rekayasa urbanisasi = Rekayasa Gaya Hidup
Tingkat urbansiasi sebesar 35%

di Indonesia memang masih tergolong

rendah. Ananta dan Anwar(1994) membuat proyeksi penduduk perkotaan sampai


tahun 2025. Angka-angka tersebut meniperlihatkan kondisi angka urbanisasi di masa
depan jika tidak ada campur tangan dari pihak luar.

Pada tabel dalam jurnal tersebut memperlihatkan bahwa pada tahun 2025
Indonesia baru akan mencapai 57,4% tingkat urbanisasi. Padahal dengan adanya
rekayasa urbanisasi Menteri Negara Kependudukan mentargetkan 70 % di Tahun
2020.Hal ini merupakan suatu pemercepatan yang luar biasa dalam Sejarah urbanisasi
di Indonesia.
Keberhasilan pemerintah dalam merekayasa vital(fertilitas dan mortalitas )
ternyata tidak diikuti oleh perkembangan ekonomi yang sejalan dengan perubahan
vital tersebut. Dari sisi fertilitas dan mortalitas Indonesi amampu menyamai negaranegara maju, namun pada saat yang bersamaan kondisi ekonomi kita tidak lebih dari
negara-negara berkembang lainnya. Bahkan indeks pembangunan manusia Indonesia
pun tidak lebih tinggi daripada indeks pembangunan manusia negara-negara ASEAN
lainnya.
Secara statistik, Indonesia sudah berada pada jajaran negara industri (dengan
angka urbanisasi lebih dari 70%),tetapi mental dan perilaku masyarakat nya masih
menunjukkan negara agraris. Secara fisik masyarakat Indonesia sudah berada di,
dunia modern, sementara ikatan kultural dan tradisional nya masih melekat.
Agenda selanjutnya
Perilaku masyarakat selalu mengalami perubahan sepanjang jaman.
Perubahan itu dapat teriadi karena perjalanan waktu, lingkungan, ataupun karena
modernisasi itu sendiri.

Namun secara alamiah,

perubahan ini belum

tentu

menyertai perubahan perilaku masyarakat yang akan sangat tergantung kepada daya
absorpsi masyarakatnya.
Untuk itu diperlukan pula suatu

"rekayasa"

perilaku dan gaya hidup

masyarakat dalan rangka mendukung rekayasa urbanisasi.Di sinilah pentingnya


peranan kepemimpinan dalam masyarakat sebagai agent of modernization, perluasan
komunikasi massa, penyuluhan dan pendidikan masyarakat.

Menjadi hal yang penting jika masyarakat diberikan informasi tentang gaya
hidup perkotaan,

terutama yang bernilai positif dalam mendukung proses

pembangunan dan modernisasi.


lingkungan,
"pemurnian"

disiplin waktu,

Gaya hidup sehat,

kehidupan berwawasan

tanggung jawab dan etos kerja,

ajaran agama ,

profesionalisme,

dan sebagainya merupakan sebagian dari agenda

selanjutnya dalam rangka BANGGASUKADESA.


Keberhasilan pendayagunaan peran KIE(Komunikasi, Informasi, Edukasi)
dalam rekayasa vital harus disosialisasikan kepada masyarakat desa.

2. Dimensi Ekonomi dan Politik Pada Sektor Informal


Ekonomi Formal dan Informal
Suatu realita ekonomi di mana selain ada sektor formal,terdapat pula sektor
informal di mana sebagian besar masyarakat hidup. Dalam realitas Indonesia,
terdapat dua sistem ekonomi yang berbeda yang berdampingan , antara yang formalmodern dan informal.Tumbuh kembangnya ekonomi informal merupakan hal yang
normal,sebagai reaksi pada semakin menciutnya kesempatan kerja serta peluang
usaha di kegiatan ekonomi formal.
Secara garis besar pembedaan kedua sektor ini bisa didasarkan atas pertama,
ciri pekerjaan yang dilakukan beserta pola pengerahan tenaga kerja dan kedua, ciriciri dari unit produksi yang melakukan pekerjaan tersebut serta hubungan kerja
eksternalnya. Bila menggunakan kriteria pertama,secara kasar sektor formal adalah
sektor di mana pekerjaan didasarkan atas kontrak kerja yang jelas,dan pengupahan
diberikan secara tetap atau kurang lebih permanen.Sementara itu,sektor informal
adalah sektor di mana pekerjaan tidak didasarkan kontrak kerja yang jelas bahkan
sering kali si pekerja bekerja untuk dirinya sendiri,penghasilan sifatnya tidak tetap
dan tidak permanen.Selanjutnya sering dikatakan bahwa sektor formal sulit dimasuki

(dalam arti menuntut beberapa persyaratan ketat),sedangkan sektor informal mudah


dimasuki karena tidak membutuhkan persyaratan ketat.
Masalah penduduk akan menimbulkan masalah-masalah yang berkaitan
dengan kesempatan kerja,kemiskinan,dan pendapatan yang bersumber pada persoalan
angkatan kerja.Meluasnya tingkat pengangguran serta meningkatnya kemiskinan
sebagai indikator dari tidak berimbangnya lapangan kerja dengan angkatan kerja yang
terus melonjak setiap tahun. Orang kemudian melakukan segala upaya dengan
menggali setiap kesempatan yang ada sebagai lahan mencari nafkah. Berlipat
gandanya pertumbuhan penduduk tanpa diimbangi tersedianya lapangan kerja
mengakibatkan menanjaknya jumlah pengangguran. Orang kemudia mencari
alternatif pekerjaan ke sektor informal.
Diskriminasi Terhadap Sektor Informal
Keberadaan sektor informal sering dilihat dari sisi negatif karena banyaknya
jumlah pekerja di sektor ini dinilai tidak atau kurang produktif. Namun di pihak lain
sektor informal mampu berperan sebagai katup pengaman,terutama dalam
mengatasi masalah ketenagakerjaan,yaitu menampung tenaga kerja yang tidak
terserap di sektor formal. Sektor informal memang mampu menampung tenaga
kerja,namun bertambahnya jumlah penduduk di kota semakin lama semakin
memperkecil peluang untuk melakukan usaha. Selain itu juga ada penertibanpenertiban dan larangan-larangan dari pemerintah yang ditujukan terhadap kegiatan
atau usaha sektor informal demi ketertiban dan keindahan kota.
Sektor informal perkotaan bagi perkembangan perkotaan tidak pernah bisa
diabaikan begitu saja. Warga marjinal yang jumlahnya jutaan ini mempunyai andil
besar bagi hidup dan tumbuhnya kota-kota besar.Ada beberapa fakta menarik yang
mengait keberadaan mereka. Pertama,kegiatan mereka ternyata menjadi jawaban
yang tepat dan murah atas problem ketenagakerjaan,baik mengenai soal kelebihan
tenaga kerja maupun soal keahlian dan tingkat pendidikannya.Sektor ini terbukti tidak
saja memiliki kemampuan penyerapan tenaga kerja yang tinggi, tetapi bahkan

kemampuan penyerapannya hampir tidak mempunyai titik jenuh,sehingga berapapun


tumpahan tenaga kerja dapat ditampungnya.
Kedua, sektor ini menjadi saluran migrasi massa desa ke kota yang paling
mudah dan murah serta bersifat massal. Kesempatan kerja sektor pertanian yang
semakin berkurang dari tahun ke tahun disebabkan salah satunya oleh pertumbuhan
jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan perluasan daerah pertanian atau
ekstensifikasi, serta kecilnya kemungkinan mencari alternatif pekerjaan di luar sektor
pertanian yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan utama. Satu-satunya
lapangan kerja yang masih terbuka bagi mereka yang beralih ke sektor non-pertanian
adalah sektor informal.Mereka kemudian melakukan migrasi ke kota.
Ketiga, terdapat bukti bahwa sektor ini berperan cukup besar dalam
menyangga sektor formal. Sektor formal tidak sepenuhnya bersifat disintegratif
dengan sektor informal. Pekerja sektor formal sangat bergantung pada keberadaan
mereka. Baik untuk konsumsi keseharian (melalui warteg dan sejenisnya),transportasi
(ojek dan sebagainya).Keempat,sangat banyak studi yang menunjukkan bahwa
keberadaa pedagang kaki loma (bagian yang dianggap paling utama dalam sektor
informal) ternayar memberikan peran cukup berarti bagi distribusi produk
pertanian,pabrik maupun rumahtangga.Kelima , harus diakui,sektor ini juga
merupakan potensi sumber dana bagi Pemda.
Meski demikian,sejumlah peraturan yang berkaitan dengan sektor informal
(khususnya pedagang kaki lima),terdapat kesan yang sangat kuat akan adanya
ambiguitas. Satu pihak ada peraturan yang memandang kegiatan pedagang kaki lima
sebagai cara massa miskin mempertahankan hidup,karena itu perlu dilindungi dan
dibina. SIsi lain,kegiatan mereka juga dianggap mengganggu kegiatan sektor
lain,seperti lalu lintas,keindahan kota dan fasilitas public lainnya dan karena itu harus
disingkirkan. Keberlangsungan kehidupan sektor itu cenderung tergantung pada
sektor formal.
Dimensi Politik Sektor Formal

Fakta dan dimensi politik merupakan esensi masalah yang sesungguhnya


,karena proses politik di dalamnya merupakan eksistensi pergumulan proses
informalisasi dan marjinalisasi ekonomi kaum miskin perkotaan. Ekonomi rakyat bisa
sangat kurang berkembang karena ekonomi besar dan konglomerasi yang mendapat
fasilitas dan privilese sehingga ekonomi rakyat terpinggirkan. Ekonomi rakyat yang
telah menyelamatkan Indonesia dari krisis adalah ekonomi yang berdikari dan ulet.
Mereka yang berjuang dari apa yang ada,atau modal sendiri. Mereka mampu bertahan
dari terpaan krisis,dimana usaha ekonomi dalam skala besar lainnya tumbang.
Sektor informal muncul karena pemerintah belum mampu menyediakan solusi
terbaik bagi penanggulangan pengangguran. Akibatnya,inisiatif komunitas dalam
pengembangan kegiatan informal semakin meningkat. Perkembangan kota sangat
diwarnai oleh informality, karena kegiatan masyarakat secara mandirilah yang
memotori pembangunan kota. Fenomena informality dalam perkembangan perkotaan
di masa yang akan datang perlu mendapat perhatian,artinya peran ekonomi informal
akan sangat penting sebagai motor pembangunan kota.
Maraknya sektor informal sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat
disebabkan ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja dengan lapangan
pekerjaan. Pengembangan kesempatan kerja merupakan suatu hal yang harus dicapai
dalam pembangunan. Pembangunan salah satu sasarannya ialah meningkatkan
kesempatan kerja bagi penduduknya. Dalam pengembangan kesempatan kerja
khususnya dari sektor pertanian ke sektor non pertanian merupakan satu komponen
yang akan dicapai dalam pembangunan (Cahyono,1983:iii).
Usaha

mikro,kecil

dan

menengah

yang

sering

disebut

ekonomi

rakyat,memberi kontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Ekonomi rakyat


memang terbukti tangguh dalam menyelamatkan Indonesia dari keterperosotan jurang
krisis dalam.Namun demikian,fakta struktur ekonomi yang sangat timpang perlu
ditelaah lebih lanjut. Sektor usaha besar dan modern telah melaju sangat kencang
(lalu jatuh),namun sektor usaha informal,kecil dan menengah juga berjalan lambat.

Dalam dunia modern,formalitas dan legalitas adalah hal yang sangat penting.
Sementara itu,masyarakat kita (ekonomi rakyat) mayoritas masih belum familiar
dengan hal tersebut. Padahal ekonomi rakyat membutuhkan dukungan dan
perlindungan dari pihak yang bersifat formal (perbankan,aparat keamanan,dan lainlain),namun mereka masih bersifat informal. Jadi akibat dari dualism itu,keduanya
tidak nyambung. Dan dari fakta yang ada,ekonomi informal (non formal)inilah
yang justru mempunyai kontribusi signifikan menyelamatkan Indonesia dari jurang
krisis. Pemerintah harus benar-benar memikirkan pengelolaan sektor informal lebih
lanjut sebagai upaya pengentasan kemiskinan,dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Perhatian yang sama dengan sektor formal harus diberikan,bahkan
mungkin lebih,karena sektor inilah yang menjadi tombak penghidupan bagi
masyarakat kelas bawah.

3. Kredit Untuk Wanita


Suatu rencana untuk menjangkau 100 juta keluarga miskin, khususnya kaum
wanita dalam keluarga-keluarga,pada tahun 2005 adalah dengan menyediakan kredit
bagi usaha-usaha mandiri telah dicanangkan di Washington, DC, AS, pada awal
Februari 1997, yang lalu.
Rencana kerja yang telah ditetap dalam Microcredit Summit 1997 yang
berlangsung pada tanggal 2 s/d 4 Februari 1997 di Amerika Serikat itu telah
menetapkan upaya mobilisasi dana sebesar 21,6 milyar dollar AS selama sembilan
tahun mendatang untuk memperkuat fasilitas kredit kecil yang telah ada saat ini,
guna ditujukan(a) untuk pemberian kredit kepada kelompok berpenghasilan rendah,
khususnya wanita. (b) untuk membentuk lembaga-lembaga keuangan yang baru
dalam hubungan dengan pendanaan skala kecil ini.
Dana sebesar 21,6 milyar dollar AS tersebut diharapkan berasal dari
hibah(sebesar 7,6 milyar dollar AS) dan pinjaman lunak(sebesar 4 milyar dollar AS)
sehingga berjumlah 11,6 milyar dollar AS. Sisanya yang 10 milyar dollar AS berupa
pinjaman biasa dengan tingkat bunga komersial biasa yang terjadi di pasar. Target
utama pemberian kredit ini adalah kelompok paling miskin dari penduduk di negaranegara berkembang yang berada di bawah garis kemiskinan serta keluarga-keluarga
miskin yang terdapat di negara-negara maju. Bagi Indonesia yang masih memiliki
sekitar 22 juta jiwa, atau sekitar 11 persen dari seluruh penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan, keluarga- keluarga yang akan dilayani melalui pola kredit
kecil ini adalah mereka yang termasuk dalam Keluarga Prasejahtera(Pra KS)
Keluarga Sejahtera Tahap I(Ks 1).
Pada tingkat regional ASEAN, baru-baru ini (20-23 Oktober 1997) di Kuala
Lumpur,Malaysia,telah diselenggarakan pertemuan Menteri-menteri ASEAN dengan

pokok bahasan utama mengenai pembangunan daerah perdesaan dan penghapusan


kemiskinan. pertemuan ini dimaksudkan untuk membahas kemungkinan kerjasama
ASEAN dalam pembangunan daerah perdesaan dan penghapusan kemiskinan dan
juga merokemendasikan suatu upaya untuk membentuk suatu forum permanen untuk
membahas persoalan yang berhubungan dengan pembangunan perdesaan dan
penghapusan kemiskinan ini serta akan diawali dengan pertemuan para ahli yang
akan diadakan untuk pertama kalinya di Indonesia pada tanggal 17-19 Desember
1997 .
Sebagai kelompok yang menjadi sasaran dalam upaya penghapusan
kemiskinan di daerah perdesaan ,

pemberdayaan kaum

wanita perdesaan

memperoleh prioritas utama. Dari gambaran di atas terlihat bahwa keikutsertaan


kaum wanita dalam pengambilan keputusan negara-negara ASEAN masih rendah.
Kecuali untuk Filipina yang meskipun peringkat GRDI agak rendah namun memiliki
urutan GEM yang tinggi . Mengingat masih banyaknya kaum wanita perdesaan yang
masih berada di bawah garis kemiskinan.
Pada tingkat nasional, saat ini dua bentuk program pendanaan mikro yang
berlangsung di Indonesia yang paling populer, yaitu Inpres Desa Tertinggal (IDT)
dan program Tabungan dan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera/TAKUKESRA.
Program IDT mulai diperkenalkan pada akhir tahun 1993 bertujuan untuk
mengkoordinasikan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan dengan titik pusat
kegiatannya pada desa-desa yang tertinggal dalam pembangunan nasional selama ini.
Tujuan utama dari program diformulasikan untuk; (a)
penanggulangan kemiskinann

(b)

mendorong gerakan

menurunkan kesenjangan ekonomi dalam

masyarakat, dan(c) memberdayakan kelompok miskin melalui peningkatan ekonomi


mereka. Program ini dijalankan melalui bantuan untuk desa-desa tertinggal sekitar 20
juta rupiah per desa pertahun untuk tiga tahun berturut-turut, pendanaan bagi
fasilitator untuk membentuk kelompok-kelompok masyarakat(POKMAS) di desadesa tertinggal tersebut dalam membangun usaha-usaha ekonomi mandiri dan

pembangunan fasilitas infrastruktur fisik di daerah perdesaan, seperti misalnya jalan


desa, jembatan, irigasi desa, dan semacamnya itu, dengan dana sekitar 100 sampa
130 juta perdesa , dimulai pada tahun 1994 sampai dengan tahun 2004.
Sementara program TAKUKESRA bertujuan untuk memberikan bantuan pendanaan
lewat kredit yang amat kecil (micro credit) dimulai dengan 20 ribu rupiah per
keluarga dengan bunga 6 % per tahun, Program TAKUKESRA berdasarkan INPRES
No.3

tahun 1996

sangat tepat menggambarkan apa yang diinginkan

melalui

program kredit mikro untuk keluarga miskin di daerah perdesaan.


Indikator yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan
Indonesia.

keluarga di

Indikator tersebut sangat bermanfaat untuk memantau kondisi

kesejahteraan keluarga di bagi dalam 5 tahapan yaitu: tahap pra sejahtera, tahap
sejahtera I, tahap sejahtera II, tahap sejahtera III, dan tahap sejahtera III+ (Menteri
Negara Kependudukan/Kepala EKKBN, 1996)
Keluarga-keluarga yang dergolong dalam pra sejahtera dan sejahtera l ditandai
dengan masih lemahnya kemampuan perekonomian keluarga.

Oleh karena itu

pembangunan ekonomi menjadi fokus utama a dalam upaya pengentasan keluarga


miskin atau keluarga

prasejahtera dan sejahtera

tersebut menjadi keluarga

memiliki tahapan yang lebih tinggi. Berdasarkan pendataan keluarga sejahtera yang
dilakukan pada tahun 1995, maka saat ini diketahui masih ada sekitar 22,9 juta atau
55,79 persen dari seluruh keluarga di Indonesia berada pada tahap pra sejahtera dan
sejahtera I atau keluarga yang tergolong miskin. Dari sebesar 22,9 juta keluarga
miskin itu 11,5 juta keluarga atau sekitar 30 diantaranya miskin karena alasan
ekonomi. SIsanya karena sebab-sebab lain (Kantor Menteri Negara Kependudukan
/BKKBN,1997).

Untuk mengentaskan keluarga-keluarga miskin tersebut Pemerintah telah


meluncurkan program yaitu Gerakan Bangga Suka Desa yang merupakan singkatan

dari Gerakan Pembangunan Keluarga Modern dalam Suasana Kota di Desa.Sasaran


dari gerakan ini adalah melalui kegiatan petik olah-jual dan untung (pelaju), proseskemal-jual dan untung (pelaju ) dan pengusaha jasa (penguja) .Sedangkan untuk
dapat merealisasikan kegiatan pelaju,pemaju,dan penguja,pemerintah menyediakan
bantuan moda berbunga lunak dalam bentuk KUKESRA.
Penyediaan

modal

investasi

tersebut

diselaraskan

dengan

upaya

mengembangkan ekonomi perdesaan yang mandiri dan swasembada. Oleh karena itu
modal investasi yang dikembangkan harus berasal dari dana tabungan masyarakat itu
sendiri melalui penciptaan sistem modal bergulir(revolving funds).Takesra(Tabungan
Keluarga Sejahtera)dan Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Sejahtera)

merupakan

bentuk penjabaran dari prinsip modal bergulir dengan memanfaatkan berbagai jasa
pelayatan yang telah ada, seperti jasa pelayanan perbankan dan jasa pelayanan pos,
jasa pelayanan perbankan,serta jasa-jasa pelayanan lainnya.
Dibandingkan dengan bentuk tabungan lain Takesra memiliki berbagai
manfaat khusus sebagai berikut : (I) sebagai alat menyimpan uang (ii) sebagai
agunan knedit(iii) sebagai sarana pengiriman dan penerimaan uang (iv) sebagai
wahana program kemitraan, dan(v) sebagai alat bantu transaksi pembelian barang
dan jasa . Sebagai modal untuk menjalankan Takesra dan Kukesra, pemerintah
kemudian mengajak pihak swasta untuk bersama-sama

mengumpulkan dana .

Pertemuan antara pemerintah dengan para pengusaha yang dikenal sebagai kelompok
Jimbaran pada tanggal 2 oktober 1995 melahirkan kesepakatan bahwa perusahaan
dan pengusaha yang memiliki keuntungan atau penghasilan diatas 100 juta rupiah
dipotong pajak,

dihimbau untuk menyumbangkan 2%

dari keuntungan atau

penghasilannya untuk mengentaskan keluarga dari pra sejahtera dan sejahlera I


.Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam Keputusan

Presiden

No.90

tahun 1995 pada tanggal 30 Desember 1995, yang kemudian dikenal dengan Kepres
90.Sifat dari Kepres 90 adalah himbauan bukan kewajiban .

Namun

dalam

pelaksanaanya,

pemerintah

melihat

bahwa

untuk

mengumpulkan dana tersebut tidak dapat sekedar dengan himbauan namun harus
dengan kewajiban. Oleh karena itu kemudian dikeluarkan Kepres 92 tahun 1996
yang merupakan penyempurnaan dari Kepres 90 tersebut. Dalam Kepres yang baru
bersifat himbauan diubah menjadi kewajiban.

Disini terlihat kuatnya komitmen

pemerintah untuk mencoba mengajak seluruh pihak dalam program pengentasan


penduduk dari kemiskinan.
Dana yang terkumpul kemudian dikelola oleh Yayasan Keluarga Sejahtera
Mandiri(YDSM) yang diketuai oleh H M. Soeharto.Dalam program Takesra dan
Kukesra,

YDSM hanya mengelola pengumpulan dana dan bukan menjalankan

program tersebut. Pihak yang menjalankan program tersebut terdiri dari (1) Kantor
Menteri Negara Kependudukan /BKKBN,(2) PT. Bank Negara Indonesia 46(PT BNI
46), (3) PT. Pos ndonesia, dan (4) PT.Jasa Asuransi Indonesia. Untuk menjamin
keterbukaan pengelolaan keuangan yang ada di YSDM,maka yayasan ini diaudit oleh
akuntan publikyang netral dan memiliki integritas profesi.
Mengapa Kelompok dan Kaum Wanita ?
Kecenderungan pemberian kredit kecil(micro-credit) yang mendunia pada
saat ini ditandai dengan kenyataan bahwa kredit kecil tersebut lebih banyak ditujukan
kepada kaum wanita dalam kelompok -kelompok usaha.

Di Indonesia,

selain

program TAKUKESRA maka program yang dikembangkan oleh Bank Indonesia,


yang dikenal dengan Proyek Pengembangan Usaha Kecil(PPUK)

dan Proyek

Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya masyarakat(PHBK)

juga lebih

diarahkan pada kelompok wanita. Jika PPUK ditujukan untuk memperluas akses
usaha kecil kepada perbankan,maka PHBK lebih diarahkan untuk memperluas akses
usaha mikro kepada perbankan melalui pendekatan kelompok.
Pengalaman dengan

PHBK selama ini,

kelompok wanita yang telah

mendapatkan kredit dari bank pelaksana tersebut, menunjukkan kecenderungan lebih

berhasil dari kelompok pria. Hal ini bukan saja karena kelompok wanita relatif lebih
distplin,

tetapi juga karena wanita di Indonesia tergolong penabung yang rajin,

anggota kelompok yang dapat dipercaya dan merupakan pengusaha skala mikro yang
aktif.Sehingga segala bentuk program yang mengikutsertakan kegiatan mobilisasi
tabungan di dalamnya, sangat tepat untuk dilakukan oleh kelompok wanita.
Banyak pihak

sering melupakan bahwa pengentasan penduduk dari

Kemiskinan melalui Prokesra (Program Keluarga Sejahtera)


pendekatan kelompok.Keluarga-keluarga

dilakukan melalui

atau individu yang ada didaerah yang

didorong untuk membentuk suatu kelompok yang beranggotakan lebih kurang 30


keluarga. Dalam program Prokesra, suatu kelompok terbentuk tidak saja berasal dari
strata tingkatan keluarga yang sama misalnya seluruhnya pra sejahtera atau sejahtera I
namun, merupakan gabungan dari berbagai tingkatan keluarga sejahtera. Dengan
demikian, di dalam suatu kelompok ada keluarga yang pra sejahtera, sejahtera I,
sejahtera II dan seterusnya.

Adanya kombinasi tingkatan keluarga di dalam

kelompok karena ada proses belajar dan mengajar dari sesame anggota kelompok.
Penyaluran dana kepada keluarga dalam program Kukesra harus dilakukan
melalui kelompok bukan langsung dalam keluarga. Walaupun dalam pemakaian
nantinya tentu ada juga keluarga-keluarga yang mengembangkan usahanya sendiri di
luar kelompoknya.
kelancaran

kredit

Dengan demikian,
yang

diambil

mekanisme"tanggung renteng"
mengembalikan kreditnya,

oleh

kelompok bertanggung jawab terhadap


para

anggotanya.

Disini

berlaku

yaitu bila ada keluarga yang belum berhasil

maka akan dibantu oleh anggota lain yang sudah

berhasil .
Pemanfaatan kelompok sebagai mediator untuk mengembangkan suatu
program ekonomi terutama di daerah perdesaan sudah lama diketahui kehandalannya.
Ekonomi kelembagaan sudah lama diketahui berperan dalam mempercepat
pertumbuhan ekonomi terutama di daerah perdesaan. Berbeda dengan karakteristik

pendudukdaerah perkotaan yang memiliki tingkat pendidikan,aksesibilitas yang


tinggi dan lain sebagainya,pendudukan daerah perdesaan pada umumnya masih
memiliki tingkat pendidikan,pengetahuan da pengalaman yang rendah dalam sistem
ekonomi modern.Oleh karena itu,dalam mengembangkan ekonomi perdesaan,sistem
ekonomi kelembagaan dipandang lebih cocok dibandingkan dengan sistem ekonomi
perseorangan (individu/privatisasi). Para ahli berpendapat bahwa lembaga dapat
diartikan sebagai suatu norma/kaidah peraturan atau organisasi yang memudahkan
kooridinasi membentuk harapan masing-masing yang mungkin dapat dicapai dengan
saling bekerjasama (Nurdin 1996,Sayogyo 1996).

Dengan melihat pada berbagai

program pengentasan penduduk dari

kemiskinan yang telah dikembangkan pemerintah selama ini dan kecenderungan


pendekatan dunia dalam pengentasan kemiskinan,

terlihat bahwa pengentasan

kemiskinan melalui Prokesra bukan saja merupakan program politis, namun juga
memiliki perhitungan ekonomi yang kuat. Bahkan Indonesia telah berada di depan
dari suatu"main stream"

yang sekarang sedang berkembang di dunia dalam

penyediaan kredit kecil bagi keluarga Sebagaimana diketahui bahwa program


Prokesra ini diluncurkan jauh sebelum diadakannya Microcredit Summit di
Washington, USA itu.
Setiap upaya untuk mengangkat masyarakat miskin di daerah perdesaan,
khususnya dalam hubungan dengan Kredit Kecil untuk Wanita, perlu dijaga agar
dana sampai pada peminjam tepat waktu(better delivery), digunakan sesuai tujuan
untuk menjamin distirbusi hasil pembangunan yang lebih seimbang(better targeting),
dikelola dengan baik sesuai maksud dan tujuannya(better receiving) dapat"berputar
di daerah tempat peminjam(better re volving) dan dijalankan melalui administrasi
yang baik untuk menjamin perbaikan pengelolaan dan a pengawasannya(better
monitoring .

Oleh karena itu, sudah menjadi tugas seluruh pihak baik pemerintah, swasta,
LSM, maupun masyarakat sendiri, untuk secara bersama-sama tetap memegang
teguh komitmen yang tinggi untuk mengentaskan penduduk dari kemiskinan, baik
melalui Prokesra, IDT, maupun berbagai bentuk edit kecil lainnya.
4. Sektor

Informal

Sebagai

Bumper

Pada

Masyarakat

Kapitalis
Sektor informal adalah satu bentuk produksi yang dilakukan oleh sebagian
besar masyarakat lapisan bawah. Sektor ini sebagai bentuk produksi yang berskala
modal dan kegiatan usaha yang relatif kecil. Menurut kalangan teoritis non-Marxist,
sector PCP ini yang karena posisinya berasa diluar kelas majikan dan kelas pekerja,
untuk mudahnya disebut sebagai lapisan menengah. Di negara dunia ketiga, dalam
masyarakat paska-kolonial dan kapitalisme pinggiran, termasuk Indonesia, sektor
informal atau PCP (petty commodity production) bukan lagi merupakan suatu
kekecualian ataupun suatu fenomena yang brsifat sementara, namun sektor informal
ini sudaah menjadi hukum yang berlaku, perkembangan sector informal sudah
merupakan ciri yang dominan di dalam keadaan ekonomi masyarakat lapisan bawah
di dunia ketiga.
Perkembangan sektor informal di negara dunia ketiga secara naif sering
dianggap sebagai sektor ekonomi yang sedang berada dalam proses transisi.
Kegagalan tenaga kerja untuk memasuki pasar kerja disektor formal pada umumnya
disebabkan oleh berbagai hal yaitu karena rendahnya kualitas mereka. Ini dapat
dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, serta jenis keahlian dan keterampilan yang
tidak memadai atau tidak sesuai dengan permintaan pasaran tenaga kerja.
Untuk melakukan kegiatan usaha di sector informal tidak dibutuhkan
persyaratan yang ketat. Pada dasarnya, apabila mereka mempunyai kemauan,
memiliki sedikit pengetahuan dan keterampilan praktis serta peralatan yang sederhana
dan keuletan berusaha, maka mereka dapat melakukan usaha dalam sector informal.

Dengan demikin siapapun dengan kriteria tersebut dapat melakukan kegiatan usaha
disektor informal. Yang menarik adalah mereka yang berasal dari daerah pedesaan
dengan pola hidup subsistemnya membentuk suatu lapisan sosial yang baru didaerah
perkotaan. Tidak heran kalau dikota-kota besar dengan pola kehidupan konsumsiproduksi modern yang kapitalistis disekitarnya, terdapat lapisan sosial yang relatif
lebih miskin yang memiliki pola hidup.
Yang menarik adalah mereka yang bersal dari daerah pedesaan dengan pola
hidup subsistennya membentuk suatu lapisan social yang baru di aerah perkotaan.
Bahkan secara turun-menurun mereka telah mendapat penghidupan dari sector PCP.
Tidak heran kalau di kota-kota besar dengan pola kehidupan konsumsi-produksi
modern yang kapitalistis disekitarnya.
Di dalam masyarakat dunia ketiga secara ekonomi-politik tampaknya sector
PCP dapat diandalkan untuk berperan sebagai bumper yang bisa menampung luapan
penawaran tenaga kerja murah. Sector PCP ini bisa dianggap substitusi atau
pengganti bagi fungsi produksi-konsumsisektor CMP. Barang dan jasa yang
dihasilkan oleh sector PCP mampu menggantikan barang dan jasa yang dihasilkan
oleh sektor CMP. Secara ekonomi,sektor PCP dianggap sebagai tidak efisien dan
terbelakang. Meskipun pada akhirnya harus diakui bahwa dengan fungsinya yang
bersifat ganda, yakni fungsi produksi-konsumsi, sektor PCP telah berperan sebagai
bumper atau katup pengaman yang dapat mengalihkan lokasi antagonistic antara
lapisan masyarakat atas yang kaya dengan lapisan masyarakat bawah yang miskin.
Lokasi antagonistic atau konflik yang langsung kaum kapitalis dengan kaum buruh
pada akhirnya dialihkan kedalam sektor informal dapat dijumpai dalam suatu
mekanisme kerja sama dan juga sekaligus suatu bentuk persaingan yang cukup tajam
serta strukur hubungan yang bersifat eksploitatif.
Dengan makin bertambah dan berkembngnya segala macam usaha yang
dilakukan oleh masyarakat lapisan bawah yang kita sebut sektor informal (PCP),

maka struktur pembagian kelas dan pembagian krja menjadi lebih kompleks lagi
dibandingkan dengan struktur pembagian kelasdan pembagian kerja. Dalam
kelompok borjuis kecil, kelompok ini bisa terdapat di kedua sektor, baik di segi
formal maupun informal , ada dua hubungaan asimetris-eksploitatif, yaitu secara
vertikal di dalam struktur pembagian kelas dan struktur pembagian kerja, dan secara
horizontal terdapat diantara ketiga bentuk corak produksi.
Konsep pembaggian kelas yang digambarkan oleh Karl Marx yang membagi
kelas menjadi dua (kapitalis dan proletar) terdapat kesulitan untuk dipakai sebagai
alat penjelas fenomena social-politik dan ekonomi kontemporer. Muncul dan
berkembangnya sektor informal juga telah membuat kendala baru yang memudarkan
dan menghambat proses pembentukan kesadaran kelas, pembentukan kelas yang
kontroversial antara yang kuat dan yang lemah, serta perjuangan kelas. Hal ini tidak
mungkin karena masing-masing lapisan yang khususnya berada pada lokasi
pertentangan disibukkan oleh pertentangan secara individual dan pragmatic.
Dalam kontrak social ini di temui tiga dimensi utama yang berperan dalam
mempengaruhi aktivitas dan kehidpan social di masyarakat. Dimensi pertama adalah
batasan terhadap kekuasaan atau otoritas social, yakni brhubungan dengan mereka
yang diberi otoritas untuk berkuasa dan sampai seberapa jauh kekuasaan tersebut
masih di dukung dan dipatuhi. Sementara itu, bagi kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang di kuasai, mereka dituntut untuk patuh dan mendukung terhadap
rumusan yang suah termaksud dalam kontrak social tersebut. Dimensi kedua adalah
pembagian kerja yakni dimana legitimasi moral berperan dalam merumuskan
pembagian kerja yang bisa menjaga keseimbangan social antara para anggota
masyarakat supaya mereka selalu tetap didalam posisi yang padu dan utuh. Dimensi
selanjutnya adalah distribusi sumber daya, masalah ini juga didasarkan pada rasa
keadilan dan perlindungan hak bagi anggota dalam masyarakat.

Dengan pendekatan non-struktual dan fungsional dapat mengetahui


masyarakat lapisan bawah sebagai aktor yang aktif memberikan arti dan makna atas
keberadaannya didalam proses social. Selaku agen social pada kenyatannya mereka
mampu ikut mempengaruhi dan membuat struktur sosial yang adil atau justru
sebaliknya, yakni melahirkan stuktur social yang timpang.

Anda mungkin juga menyukai