yang
berjumlah 97,0 juta dan tahun 1971 berjumlah 119,2 juta jiwa ,dengan pertumbuhan
rata-rata selama sepuluh tahun sebesar 2,10% per tahun. Bisa dilihat dari tingkat
kelahiran dengan ukuran TFR sekitar 5,6 anak dan tingkat kematian bayi 145 per
1.000 kelahiran hidup.Bisa disimpulkan bahwa usia harapan hidup di era periode
tahun tersebut masih di bawah angka 50 tahun.
Pada periode selanjutnya, 1971-1980 pertumbuhan penduduk Indonesia naik
menjadi 2,34% pertahun berarti angka kematian turun dengan cepat yang disebabkan
oleh perbaikan program kesehatan di Indonesia . tiap orang sepakat bahwa angka
kematian perlu diturunkan.Namun ada juga orang yang belum tentu sepakat bahwa
angka kelahiran harus diturunkan.
Akhirnya,usaha meyakinkan masyarakat untuk menurunkan angka kelahiran
di Indonesia berhasil yang turun dengan sangat cepat melebihi kecepatan penurunan
di negara maju yang angka pertumbuhan penduduk Indonesia turun kembali menjadi
1,97% pada periode 1980-1990.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan pembangunan,Indonesia pasti
dengan sendirinya mengalami penurunan fertilitas dan mortalitas meskipun lebih
lambat.Penurunan yang lambat ini berjalan secara alamiah sama juga dengan negaranegara maju yang memakan
baru
terbatas
pada
Rekayasa
vital
saja
bukan
rekayasa
Arriaga (1975)
pertumbuhan penduduk perkotaan. Ukuran lain yang juga biasa digunakan adalah
indeks primasi(primacy index) dan rank-size rule.
perkotaan. Tiap-tiap negara memiliki kriteria tersendiri dalam menentukan wilayahwilayah yang tergolong dalam kriteria perkotaan.
Di Indonesia, untuk melihat persentase penduduk yang tinggal di wilayah
perkotaan ,BPS(1988)
Ada tiga propinsi di Sumatera yang tingkat urbanisasi nya mencapai 30% atau
lebih. Diantaranya adalah Sumatera Utara,sebesar 41,09%,Riau 34,36%,dan Sumatra
Selatan sebesar 30,31%. Di Sumatera Utara terdapat wilayah metropolitan Mebidang
yang terdiri dari
metropolitan area ini memiliki persentase penduduk perkotaan sebesar 76,6 untuk
Jabotabek
dan
60,3
untuk
Gerbangkertosusila(Gresik,
Bandung
Bangkalan,
Raya.
Di
Jawa
Mojokerto, surabaya,
Timur
terdapat
Sidoarjo dan
urbanisasi sebesar 34,31 %. Sementara tiga propinsi lainnya(NTB, NTT, dan Timor
Timur) masih di bawah 20 %. Tingginya tingkat urbanisasi di Bali ini dibandingkan
dengan propinsi lain di sekitarnya memperlihatkan jurang yang cukup besar di
kawasan ini.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini penduduk
perkotaan di Indonesia masih terkonsentrasi di di Kawasan Barat Indonesia yaitu
Pulau Jawa. Di Jawa selain terdapat tiga wilayah aglomerasi perkotaan(Jabotabek,
Bandung Raya, dan Gerbang kertosusila), juga terdapat pola perkembangan koridor
perkotaan yang menghubungkan kota-kota besar.
Migrasi Masuk ke Perkotaan: Data SUPAS 1995
Para demografer yakin bahwa 50 % tingkat urbanisasi di suatu wilayah
dikontribusikan oleh pertumbuhan alamiah penduduknya.
Migrasi perdesaan ke
perkotaan memberikan kontribusi sebesar 40% dan reklasifikasi wilayah sebesar 10%
(Tjiptoherijanto,
berencana,
1996a).
berorientasi ke wilayah
70
terutama
DKI
Jakarta(100%),
Jawa
Barat(77,17%
dan
DI
terutama
yang
Upaya yang dapat dilakukan dalam hubungan ini adalah dapat meningkatkan
"fasilitas perkotaan" di daerah perdesaan, sekaligus meningkatkan kemampuan
ekonomi keluarga dan masyarakat perdesaan tersebut. Usaha industrialisasi
perdesaan, yang mengarah pada agro-industri akan meningkatkan kesejahteraan
penduduk daerah perdesaan. Dengan diikuti oleh tambahan fasilitas "yang berciri"
perkotaan seperti gedung bioskop,
pasar swalayan,
tempat hiburan,
pusat
kebijaksanaannya. Menutup kota Jakarta bukanlah cara yang tepat untuk mencegah
mobilitas perdesaan ke perkotaan. Selama masih ada ketimpangan pembangunan
antara perkotaan dan perdesaan, maka mobilitas penduduk ke perkotaan tidak akan
ada habis nya.
Rekayasa urbanisasi = Rekayasa Gaya Hidup
Tingkat urbansiasi sebesar 35%
Pada tabel dalam jurnal tersebut memperlihatkan bahwa pada tahun 2025
Indonesia baru akan mencapai 57,4% tingkat urbanisasi. Padahal dengan adanya
rekayasa urbanisasi Menteri Negara Kependudukan mentargetkan 70 % di Tahun
2020.Hal ini merupakan suatu pemercepatan yang luar biasa dalam Sejarah urbanisasi
di Indonesia.
Keberhasilan pemerintah dalam merekayasa vital(fertilitas dan mortalitas )
ternyata tidak diikuti oleh perkembangan ekonomi yang sejalan dengan perubahan
vital tersebut. Dari sisi fertilitas dan mortalitas Indonesi amampu menyamai negaranegara maju, namun pada saat yang bersamaan kondisi ekonomi kita tidak lebih dari
negara-negara berkembang lainnya. Bahkan indeks pembangunan manusia Indonesia
pun tidak lebih tinggi daripada indeks pembangunan manusia negara-negara ASEAN
lainnya.
Secara statistik, Indonesia sudah berada pada jajaran negara industri (dengan
angka urbanisasi lebih dari 70%),tetapi mental dan perilaku masyarakat nya masih
menunjukkan negara agraris. Secara fisik masyarakat Indonesia sudah berada di,
dunia modern, sementara ikatan kultural dan tradisional nya masih melekat.
Agenda selanjutnya
Perilaku masyarakat selalu mengalami perubahan sepanjang jaman.
Perubahan itu dapat teriadi karena perjalanan waktu, lingkungan, ataupun karena
modernisasi itu sendiri.
tentu
menyertai perubahan perilaku masyarakat yang akan sangat tergantung kepada daya
absorpsi masyarakatnya.
Untuk itu diperlukan pula suatu
"rekayasa"
Menjadi hal yang penting jika masyarakat diberikan informasi tentang gaya
hidup perkotaan,
disiplin waktu,
kehidupan berwawasan
ajaran agama ,
profesionalisme,
mikro,kecil
dan
menengah
yang
sering
disebut
ekonomi
Dalam dunia modern,formalitas dan legalitas adalah hal yang sangat penting.
Sementara itu,masyarakat kita (ekonomi rakyat) mayoritas masih belum familiar
dengan hal tersebut. Padahal ekonomi rakyat membutuhkan dukungan dan
perlindungan dari pihak yang bersifat formal (perbankan,aparat keamanan,dan lainlain),namun mereka masih bersifat informal. Jadi akibat dari dualism itu,keduanya
tidak nyambung. Dan dari fakta yang ada,ekonomi informal (non formal)inilah
yang justru mempunyai kontribusi signifikan menyelamatkan Indonesia dari jurang
krisis. Pemerintah harus benar-benar memikirkan pengelolaan sektor informal lebih
lanjut sebagai upaya pengentasan kemiskinan,dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Perhatian yang sama dengan sektor formal harus diberikan,bahkan
mungkin lebih,karena sektor inilah yang menjadi tombak penghidupan bagi
masyarakat kelas bawah.
pemberdayaan kaum
wanita perdesaan
(b)
mendorong gerakan
tahun 1996
melalui
keluarga di
kesejahteraan keluarga di bagi dalam 5 tahapan yaitu: tahap pra sejahtera, tahap
sejahtera I, tahap sejahtera II, tahap sejahtera III, dan tahap sejahtera III+ (Menteri
Negara Kependudukan/Kepala EKKBN, 1996)
Keluarga-keluarga yang dergolong dalam pra sejahtera dan sejahtera l ditandai
dengan masih lemahnya kemampuan perekonomian keluarga.
memiliki tahapan yang lebih tinggi. Berdasarkan pendataan keluarga sejahtera yang
dilakukan pada tahun 1995, maka saat ini diketahui masih ada sekitar 22,9 juta atau
55,79 persen dari seluruh keluarga di Indonesia berada pada tahap pra sejahtera dan
sejahtera I atau keluarga yang tergolong miskin. Dari sebesar 22,9 juta keluarga
miskin itu 11,5 juta keluarga atau sekitar 30 diantaranya miskin karena alasan
ekonomi. SIsanya karena sebab-sebab lain (Kantor Menteri Negara Kependudukan
/BKKBN,1997).
modal
investasi
tersebut
diselaraskan
dengan
upaya
mengembangkan ekonomi perdesaan yang mandiri dan swasembada. Oleh karena itu
modal investasi yang dikembangkan harus berasal dari dana tabungan masyarakat itu
sendiri melalui penciptaan sistem modal bergulir(revolving funds).Takesra(Tabungan
Keluarga Sejahtera)dan Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Sejahtera)
merupakan
bentuk penjabaran dari prinsip modal bergulir dengan memanfaatkan berbagai jasa
pelayatan yang telah ada, seperti jasa pelayanan perbankan dan jasa pelayanan pos,
jasa pelayanan perbankan,serta jasa-jasa pelayanan lainnya.
Dibandingkan dengan bentuk tabungan lain Takesra memiliki berbagai
manfaat khusus sebagai berikut : (I) sebagai alat menyimpan uang (ii) sebagai
agunan knedit(iii) sebagai sarana pengiriman dan penerimaan uang (iv) sebagai
wahana program kemitraan, dan(v) sebagai alat bantu transaksi pembelian barang
dan jasa . Sebagai modal untuk menjalankan Takesra dan Kukesra, pemerintah
kemudian mengajak pihak swasta untuk bersama-sama
mengumpulkan dana .
Pertemuan antara pemerintah dengan para pengusaha yang dikenal sebagai kelompok
Jimbaran pada tanggal 2 oktober 1995 melahirkan kesepakatan bahwa perusahaan
dan pengusaha yang memiliki keuntungan atau penghasilan diatas 100 juta rupiah
dipotong pajak,
Presiden
No.90
tahun 1995 pada tanggal 30 Desember 1995, yang kemudian dikenal dengan Kepres
90.Sifat dari Kepres 90 adalah himbauan bukan kewajiban .
Namun
dalam
pelaksanaanya,
pemerintah
melihat
bahwa
untuk
mengumpulkan dana tersebut tidak dapat sekedar dengan himbauan namun harus
dengan kewajiban. Oleh karena itu kemudian dikeluarkan Kepres 92 tahun 1996
yang merupakan penyempurnaan dari Kepres 90 tersebut. Dalam Kepres yang baru
bersifat himbauan diubah menjadi kewajiban.
program tersebut. Pihak yang menjalankan program tersebut terdiri dari (1) Kantor
Menteri Negara Kependudukan /BKKBN,(2) PT. Bank Negara Indonesia 46(PT BNI
46), (3) PT. Pos ndonesia, dan (4) PT.Jasa Asuransi Indonesia. Untuk menjamin
keterbukaan pengelolaan keuangan yang ada di YSDM,maka yayasan ini diaudit oleh
akuntan publikyang netral dan memiliki integritas profesi.
Mengapa Kelompok dan Kaum Wanita ?
Kecenderungan pemberian kredit kecil(micro-credit) yang mendunia pada
saat ini ditandai dengan kenyataan bahwa kredit kecil tersebut lebih banyak ditujukan
kepada kaum wanita dalam kelompok -kelompok usaha.
Di Indonesia,
selain
dan Proyek
juga lebih
diarahkan pada kelompok wanita. Jika PPUK ditujukan untuk memperluas akses
usaha kecil kepada perbankan,maka PHBK lebih diarahkan untuk memperluas akses
usaha mikro kepada perbankan melalui pendekatan kelompok.
Pengalaman dengan
berhasil dari kelompok pria. Hal ini bukan saja karena kelompok wanita relatif lebih
distplin,
anggota kelompok yang dapat dipercaya dan merupakan pengusaha skala mikro yang
aktif.Sehingga segala bentuk program yang mengikutsertakan kegiatan mobilisasi
tabungan di dalamnya, sangat tepat untuk dilakukan oleh kelompok wanita.
Banyak pihak
dilakukan melalui
kelompok karena ada proses belajar dan mengajar dari sesame anggota kelompok.
Penyaluran dana kepada keluarga dalam program Kukesra harus dilakukan
melalui kelompok bukan langsung dalam keluarga. Walaupun dalam pemakaian
nantinya tentu ada juga keluarga-keluarga yang mengembangkan usahanya sendiri di
luar kelompoknya.
kelancaran
kredit
Dengan demikian,
yang
diambil
mekanisme"tanggung renteng"
mengembalikan kreditnya,
oleh
anggotanya.
Disini
berlaku
berhasil .
Pemanfaatan kelompok sebagai mediator untuk mengembangkan suatu
program ekonomi terutama di daerah perdesaan sudah lama diketahui kehandalannya.
Ekonomi kelembagaan sudah lama diketahui berperan dalam mempercepat
pertumbuhan ekonomi terutama di daerah perdesaan. Berbeda dengan karakteristik
kemiskinan melalui Prokesra bukan saja merupakan program politis, namun juga
memiliki perhitungan ekonomi yang kuat. Bahkan Indonesia telah berada di depan
dari suatu"main stream"
Oleh karena itu, sudah menjadi tugas seluruh pihak baik pemerintah, swasta,
LSM, maupun masyarakat sendiri, untuk secara bersama-sama tetap memegang
teguh komitmen yang tinggi untuk mengentaskan penduduk dari kemiskinan, baik
melalui Prokesra, IDT, maupun berbagai bentuk edit kecil lainnya.
4. Sektor
Informal
Sebagai
Bumper
Pada
Masyarakat
Kapitalis
Sektor informal adalah satu bentuk produksi yang dilakukan oleh sebagian
besar masyarakat lapisan bawah. Sektor ini sebagai bentuk produksi yang berskala
modal dan kegiatan usaha yang relatif kecil. Menurut kalangan teoritis non-Marxist,
sector PCP ini yang karena posisinya berasa diluar kelas majikan dan kelas pekerja,
untuk mudahnya disebut sebagai lapisan menengah. Di negara dunia ketiga, dalam
masyarakat paska-kolonial dan kapitalisme pinggiran, termasuk Indonesia, sektor
informal atau PCP (petty commodity production) bukan lagi merupakan suatu
kekecualian ataupun suatu fenomena yang brsifat sementara, namun sektor informal
ini sudaah menjadi hukum yang berlaku, perkembangan sector informal sudah
merupakan ciri yang dominan di dalam keadaan ekonomi masyarakat lapisan bawah
di dunia ketiga.
Perkembangan sektor informal di negara dunia ketiga secara naif sering
dianggap sebagai sektor ekonomi yang sedang berada dalam proses transisi.
Kegagalan tenaga kerja untuk memasuki pasar kerja disektor formal pada umumnya
disebabkan oleh berbagai hal yaitu karena rendahnya kualitas mereka. Ini dapat
dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, serta jenis keahlian dan keterampilan yang
tidak memadai atau tidak sesuai dengan permintaan pasaran tenaga kerja.
Untuk melakukan kegiatan usaha di sector informal tidak dibutuhkan
persyaratan yang ketat. Pada dasarnya, apabila mereka mempunyai kemauan,
memiliki sedikit pengetahuan dan keterampilan praktis serta peralatan yang sederhana
dan keuletan berusaha, maka mereka dapat melakukan usaha dalam sector informal.
Dengan demikin siapapun dengan kriteria tersebut dapat melakukan kegiatan usaha
disektor informal. Yang menarik adalah mereka yang berasal dari daerah pedesaan
dengan pola hidup subsistemnya membentuk suatu lapisan sosial yang baru didaerah
perkotaan. Tidak heran kalau dikota-kota besar dengan pola kehidupan konsumsiproduksi modern yang kapitalistis disekitarnya, terdapat lapisan sosial yang relatif
lebih miskin yang memiliki pola hidup.
Yang menarik adalah mereka yang bersal dari daerah pedesaan dengan pola
hidup subsistennya membentuk suatu lapisan social yang baru di aerah perkotaan.
Bahkan secara turun-menurun mereka telah mendapat penghidupan dari sector PCP.
Tidak heran kalau di kota-kota besar dengan pola kehidupan konsumsi-produksi
modern yang kapitalistis disekitarnya.
Di dalam masyarakat dunia ketiga secara ekonomi-politik tampaknya sector
PCP dapat diandalkan untuk berperan sebagai bumper yang bisa menampung luapan
penawaran tenaga kerja murah. Sector PCP ini bisa dianggap substitusi atau
pengganti bagi fungsi produksi-konsumsisektor CMP. Barang dan jasa yang
dihasilkan oleh sector PCP mampu menggantikan barang dan jasa yang dihasilkan
oleh sektor CMP. Secara ekonomi,sektor PCP dianggap sebagai tidak efisien dan
terbelakang. Meskipun pada akhirnya harus diakui bahwa dengan fungsinya yang
bersifat ganda, yakni fungsi produksi-konsumsi, sektor PCP telah berperan sebagai
bumper atau katup pengaman yang dapat mengalihkan lokasi antagonistic antara
lapisan masyarakat atas yang kaya dengan lapisan masyarakat bawah yang miskin.
Lokasi antagonistic atau konflik yang langsung kaum kapitalis dengan kaum buruh
pada akhirnya dialihkan kedalam sektor informal dapat dijumpai dalam suatu
mekanisme kerja sama dan juga sekaligus suatu bentuk persaingan yang cukup tajam
serta strukur hubungan yang bersifat eksploitatif.
Dengan makin bertambah dan berkembngnya segala macam usaha yang
dilakukan oleh masyarakat lapisan bawah yang kita sebut sektor informal (PCP),
maka struktur pembagian kelas dan pembagian krja menjadi lebih kompleks lagi
dibandingkan dengan struktur pembagian kelasdan pembagian kerja. Dalam
kelompok borjuis kecil, kelompok ini bisa terdapat di kedua sektor, baik di segi
formal maupun informal , ada dua hubungaan asimetris-eksploitatif, yaitu secara
vertikal di dalam struktur pembagian kelas dan struktur pembagian kerja, dan secara
horizontal terdapat diantara ketiga bentuk corak produksi.
Konsep pembaggian kelas yang digambarkan oleh Karl Marx yang membagi
kelas menjadi dua (kapitalis dan proletar) terdapat kesulitan untuk dipakai sebagai
alat penjelas fenomena social-politik dan ekonomi kontemporer. Muncul dan
berkembangnya sektor informal juga telah membuat kendala baru yang memudarkan
dan menghambat proses pembentukan kesadaran kelas, pembentukan kelas yang
kontroversial antara yang kuat dan yang lemah, serta perjuangan kelas. Hal ini tidak
mungkin karena masing-masing lapisan yang khususnya berada pada lokasi
pertentangan disibukkan oleh pertentangan secara individual dan pragmatic.
Dalam kontrak social ini di temui tiga dimensi utama yang berperan dalam
mempengaruhi aktivitas dan kehidpan social di masyarakat. Dimensi pertama adalah
batasan terhadap kekuasaan atau otoritas social, yakni brhubungan dengan mereka
yang diberi otoritas untuk berkuasa dan sampai seberapa jauh kekuasaan tersebut
masih di dukung dan dipatuhi. Sementara itu, bagi kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang di kuasai, mereka dituntut untuk patuh dan mendukung terhadap
rumusan yang suah termaksud dalam kontrak social tersebut. Dimensi kedua adalah
pembagian kerja yakni dimana legitimasi moral berperan dalam merumuskan
pembagian kerja yang bisa menjaga keseimbangan social antara para anggota
masyarakat supaya mereka selalu tetap didalam posisi yang padu dan utuh. Dimensi
selanjutnya adalah distribusi sumber daya, masalah ini juga didasarkan pada rasa
keadilan dan perlindungan hak bagi anggota dalam masyarakat.