Anda di halaman 1dari 11

C.

Resume Buku Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian


Ilmu filsafat merupakan induk dari ilmu. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu
tersebut berkembang dari 2 cabang utamaa, yakni filsafat alam yang kemudian menjadi
rumpun ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang
kedalam cabang ilmu-ilmu sosial (social sciences). Selanjutnya ilmu-ilmu alam membagi diri
menjadi 2 kelompok lagi, yakni ilmu alam (physical sciences) dan ilmu hayat (biological
sciences).
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya
terjadi proses yang bertingkat dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan
filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab
pertanyaan "what", misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab "what" melainkan akan
menjawab pertanyaan "why" dan "how", misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan,
mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya
dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan
bagaimana sesuatu tersebut terjadi.
Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau
pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun
secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.
Dengan perkataan lain, pengetahuan itu dapat berkembang menjadi ilmu apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Mempunyai objek kajian.
b. Mempunyai metode pendekatan.
c. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum).
Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada
fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia.
Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia.
Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian
filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan "why" dan "how"
sedangkan filsafat menjawab pertanyaan "why, why, dan why" dan seterusnya sampai
jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf
peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh
melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan
melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.

Namun demikian dengan taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri
pada norma-norma filsafat. Misalnya ekonomi masih merupakan penerapan etika (appliet
ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah
normatif dan deduktif (berpikir dari hal-hal yang umum kepada yang bersifat khusus)
berdasarkan asas-asas moral yang filsafat.
Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep
filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap
peralihan, ilmu masih mendasari diri pada norma yang seharusnya sedangkan dalam tahap
terakhir ilmu didasarkan atas penemuan-penemuan.
Sehingga dalam menyusun teori-teori ilmu pengetahuan tentang alam dan isinya ini
maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif
melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif (berpikir dari hal-hal yang bersifat khusus
kepada hal-hal yang bersifat umum) dengan jembatan yang berupa pengujian hipotesis.
Selanjutnya proses ini dikenal sebagai metoda deducto hipotetico-verivikatif dan
metode ini dipakai sebagai dasar pengembangan metode ilmiah yang lebih dikenal dengan
metode penelitian. Selanjutnya melalui atau menggunakan metode ilmiah ini akan
menghasilkan ilmu.
August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan
tersebut diatas kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam
tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga ilmu
merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto).
Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesishipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang terbatas
dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisika
tersebut (hipotetico). Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asasasas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verivikasi yang objektif
(verivikatif).
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakekat
ilmu. Oleh sebab itu, filsafat ilmu ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakekat
ilmu tersebut, seperti :
a. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud hakiki objek tersebut ? Bagaimana
hubungan objek dengan daya tangkap manusia (misalnya berpikir, merasa, mengindera) ?
b. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apa kriterianya ? Cara,

teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu ?
c. Untuk apa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan
kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral ? Bagaimana hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dan norma-norma moral / profesional ?
Ketiga kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-landasan ilmu, yakni kelompok
pertama merupakan landasan ontologi, kelompok kedua merupakan landasan epistemologi,
dan kelompok yang terakhir merupakan landasan aksiologis. Secara singkat uraian landasan
ilmu itu adalah sebagai berikut :
a. Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus
mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar
spesifikasi objek telaahannya maka tiap disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang
berbeda.
b. Landasan epistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah sehingga
diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum, metode ilmiah pada dasarnya untuk semua disiplin
ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-verivikasi seperti telah diuraikan diatas.
c. Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu
terhadap pengembangan ilmu itu serta membagi peningkatan kualitas hidup manusia.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir.
Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur
dan cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat
imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak
dapat dilakukan.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah
dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan
sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itulah maka sebelum kita mempelajari sarana-sarana
berpikir ilmiah ini seyogyanya kita telah menguasai langkah-langkah dalam kegiatan langkah
tersebut.
Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada hakekat sarana yang sebenarnya
sebab sarana merupakan alat yang membantu dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan
kata lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah
secara menyeluruh.
Dalam proses pendidikan, sarana berpikir ilmiah ini merupakan bidang studi
tersendiri. Dalam hal ini kita harus memperhatikan 2 hal, yaitu :

a. Sarana ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu, dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu
merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti
diketahui, salah satu diantara ciri-ciri ilmu umpamanya adalah penggunaan induksi dan
deduksi dalam mendapatkan pengetahuan. Sarana berpikir ilmiah tidak mempergunakan cara
ini dalam mendapatkan pengetahuannya. Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu
mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuaannya yang berbeda dengan
sarana berpikir ilmiah.
b. Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan kita untuk menelaah
ilmu secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan
pengetahuan yang memungkinkan kita untuk dapat memecahkan masalah kita sehari-hari.
Dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang ilmu untuk
mengembangkan materi pengetahuaannya berdasarkan metode ilmiah.
Jelaslah bahwa mengapa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang
berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuaannya sebab fungsi sarana
berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah dan bahkan merupakan ilmu
tersendiri.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan
sarana yang berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat
komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dan untuk
menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain.
Dilihat dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir
deduktif dan induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyandarkan diri pada proses logika
deduktif dan induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif
ini sedangkan statistik mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.
Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan kita menguasai metode
penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk menolak atau
menerima hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung
oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula.

FILSAFAT ILMU DAN METODOLOGI PENELITIAN ILMU PEMERINTAHAN


FILSAFAT DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA
Kata Filsafat berasal dari kata bahasa Yunani, philosophia. Kata ini berasal dari dua
kata, philo yang berarti cinta, dan Sophia yang berarti kebijaksanaan, kebenaran.
Jadi, filsafat berarti mencintai kebijaksanaan. Atau seorang filosof adalah seorang
yang berusaha mencintai kebijaksanaan. Bukan dalam arti sudah memiliki,
melainkan terus mencari. Maka filsafat bukan sebuah keadaan, melainkan sebuah
gerakan.

Dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan:


Hasil pemikiran kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematik
Hasil pemikiran manusia yang paling dalam
Refleksi dan pendalaman lebih lanjut daripada ilmu pengetahuan
Hasil analisis dan abstraksi berpikir manusia
Sejarah perkembangan Filsafat
Zaman Yunani Kuno (600 SM-400 SM)
Pra Sokrates: sering disebut filsafat alam karena masih sibuk mengamati dan
meneliti hakekat alam. Lebih berpusat pada pencarian hakikat alam semesta.
Tokohnya: Thales (air sebagai dasar dari segala sesuatu), Anaximandros (dasar dari
alam semesta adalah yang tak terbatas), Anaximenes (udara sebagai dasar alam
semesta).
Zaman keemasan Yunani, dengan tokoh_tokoh terkenal seperti: Sokrates, Plato,
Aristoteles. Mereka tidak lagi mempersoalkan hakekat alam, melainkan sibuk
dengan pemikiran seputar manusia, juga politik di polis-polis.
Zaman Helenis: mengembangkan kebudayaan Yunani di daratan Eropa.
Tokohnya yang terkenal adalah Aleksander Agung (356-323SM).
Abad Pertengahan
Abad pertengahan dimulai setelah runtuhnya kekaisaran Romawi (5 M). disebut
adab pertengahan karena berada di antara dua zaman (kuno dan modern). Filsafat
pada masa ini lebih bersifat Teosentris (Tuhan sebagai pusat). Dominasi filsafat
dipegang oleh para rohaniwan. Tokohnya yang terkenal: St.Thomas Aquinas, St.
Anselmus dari Canterbury, St. Agustinus Hippo, Duns Scotus.
Zaman Modern
Zaman ini ditandai oleh pemberontakan terhadap dominasi kebenaran yang
dipegang oleh rohaniwan. Filsafat pada masa ini lebih bersifat antroposentris
(manusia sebagai pusat). Dimulai oleh tokoh seperti Copernikus dengan teori
heliosentris-nya. Zaman ini terkenal dengan beberapa istilah: Renaisans
(Machiavelli, Giordano Bruno, Francis Bacon), Zaman Barok/Rasionalisme
(Descartes, Spinoza, Leibniz, Pascal), Aufklarung/pencerahan (Voltaire,
Montesquieu, Rousseau), zaman Romantik/Idealisme (Kant, Fichte, Schelling,
Hegel, Schopenhauer).
Zaman Sekarang (setelah abad 18)
Filsafat zaman sekarang merupakan pematangan lebih lanjut dari filsafat zaman
modern. Ada beberapa gerakan pemikiran seperti: Positivisme (Auguste Comte),
Marxisme (Karl Marx), Pragmatisme (William James, Jhon Dewey)
Filsafat Abad ke-20
Filsafat ini bersifat logosentrisme (berpusat pada pikiran atau ide-ide). Beberapa
aliran dalam filsafat ini antara lain: Neokantian, Fenomenologi (Edmund Husserl),
Eksistensialisme (Kierkegaard, Nietzsche) dan Strukturalisme (Ferdinand Mogin de
Saussure)
FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu diartikan sebagai segenap pemikiran reflektif terhadap berbagai
persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan
ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Filsafat ilmu merupakan telaah kritis yang ingin menjawab pertanyaan mengenai
hakikat ilmu ditinjau dari segi ontologis, epistemologis, maupun aksiologisnya.

ONTOLOGI
Ontologi dipopulerkan oleh Cristian Wolf (1697-1714). Ontologi berasal dari kata
bahasa Yunani, ta onta (berada atau mengada) dan logi (ilmu pengetahuan). Jadi
ontologi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan atau acaran tentang sesuatu
yang berada. Ontologi adalah ilmu yang mencari esensi dari eksistensi terakhir dan
terdalam. Esensi dari ilmu tidak lain adalah pengetahuan itu sendiri.
EPISTEMOLOGI
Epistemologi dari kata bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu).
Epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik terkait dengan metode
dan prosedur yan dilakukan untuk menjelaskan dan memperjelas suatu fenomena.
Epistemologi termasuk kajian penting dalam filsafat ilmu karena epistemologi
membahas prosedur dan cara bagaimana suatu ilmu pengetahuan diperoleh atau
ditemukan.
AKSIOLOGI
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum.
Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan berupa
ilmu itu dipergunakan, bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah moral.
KAJIAN FILSAFAT TERKAIT HAKIKAT NEGARA
Beberapa teori terbentuknya suatu Negara:
Teori Ketuhanan: berdasarkan kepercayaan bahwa segala kejadian di alam raya
ini terjadi karena kehendak Tuhan. Kalimat yang sering dipakai, Dengan berkat
rahmat Tuhan
Teori hukum alam: manusia-manusia bebas yang hidup di alam bebas
bersepakat untuk membentuk Negara berdasarkan keinginan untuk bekerjasama.
Teori kekuasaan: Negara terbentuk atas kekuasaan. Orang kuatlah yang
mendirikan Negara dan dengan kekuatannya itu ia dapat memaksakan kehendaknya
pada orang lain.
Teori garis keluarga: Negara dapat terbentuk dari perkembangan suatu keluarga
yang menjadi besar kemudian bersatu membentuk Negara.
METODOLOGI PENELITIAN ILMU PEMERINTAHAN
Penelitian merupakan suatu upaya untuk mengetahui sesuatu secara objektif,
empirik, logis dan rasional. Penelitian dalam ilmu pemerintahan dapat dikatakan
sebagai upaya mencari, menganalisis, membuktikan dan memahami serta menguji
teori dan prosedur kerja pemerintahan yang berdasarkan logika dan teori penelitian
yang proseduris dan metodologis.
Tahapan-tahapan penting dalam penelitian ilmu pemerintahan
Menentukan masalah yang akan diteliti, maksud dan tujuan penelitian serta
membuat hipotesis.
Merumuskan cara bagaimana penelitian itu dilakukan.
Mengumpulkan data dan menganalisa.
Mengambil kesimpulan dan member saran terhadap hasil penelitian.

Teokrasi adalah teori politik yang mengedepankan aturan ilahiah (ketuhanan) dalam sistem
pemerintahannya, sebab Tuhanlah sumber dari legislasi politik. Karenanya teokrasi bisa
disebut sebagai Negara Ketuhanan, dimana manusia-manusia suci seperti Nabi, Rasul,
Khalifah, Imam, Amir, Wali, dan Ulama yang merupakan perpanjangan tangan Tuhan yang
berhak menjadi pengelola negara memimpin umat manusia. Jadi teokrasi (Negara Ketuhanan)
adalah negara yang di kelola oleh manusia-manusia ilahi.

Persoalan politik atau Negara, kadangkala dianggap merupakan wilayah luar Islam dan kotor
yang tidak pantas diurusi oleh agama yang suci. Dengan gegabah sebagian orang memandang
Islam terpisah dengan politik, dan ulama jangan mendekati arena politik.Cukuplah ia menjadi
ahli zikir, ahli ibadah, ahli baca al-Quran, yang mengekspresikan agama cengeng yang
cenderung memperhatikan dosa-dosa individual namun melupakan dosa sosial dan politik.
Dalam situasi seperti inilah, buku Teokrasi Kontemporer : Integrasi Teologi dan Politik
dalam Negara Islam karya Dr. Salamuddin dan Candiki Repantu ini hadir mengajak semua
orang untuk mengimplementasikan teokrasi sebagai politik suci, melalui tiga tahapan.
Pertama, tahap filosofis, yaitu menganalisa dengan akurat persoalan kemanusiaan serta
berbagai tawaran alternatif solusinya. Kedua, tahap ideologis, yaitu menjadikan analisisanalisis filosofis yang akurat sebagai pandangan dunia yang menyatukan visi kaum muslimin.
Ketiga, tahap praktis, yaitu mengimplementasikan secara nyata konsepsi Islam yang kukuh
dan utuh dalam kehidupan bermasyarakat di bawah naungan pemerintahan Islam.
Dengan tiga tahapan tersebut, akan terlihatlah Islam sebagai agama yang memberikan pijakan
teoritis sekaligus tuntunan praktis. Jika hal ini dapat kita laksanakan secara intensif, maka di
masa depan kita akan memandang wajah cerah masyarakat Islam. Ini bukanlah angan-angan
kosong dan nostalgia kebelakang, melainkan sebuah rekayasa sosial yang direncanakan.
Buku ini juga dengan yakin menegaskan bahwa politik atau Negara Islam bukanlah suatu
yang utopis. Penegasan tersebut setidaknya didukung oleh dua alasan. Pertama, tidak ada
garis pemisah tanpa tembus antara urusan duniawi dan ukhrawi. al-Quran dan hadits banyak
membicarakan kedua urusan ini sebagai hal yang mesti diperjuangkan dan yang tak
terpisahkan. Kedua, akal dengan jelas menyatakan bahwa Negara adalah kebutuhan manusia,
dan agama merupakan aturan Tuhan yang mencakup kehidupan dunia dan akhirat.
Suatu hal yang menarik, penulis buku ini, Dr. Salamuddin dan Candiki Repantu dengan tegas
mengemukakan komitmennya pada politik Islam, tetapi keduanya tidak apriori pada teori
politik kontemporer, terutama demokrasi. Hal ini berbeda dengan banyak gerakan
fundamentalis, dimana komitmen mereka pada gagasan politik Islam, sembari memvonis
negatif : kafir, sesat, haram bagi gagasan politik demokrasi.
Gagasan politik demokrasi tidak diabaikan begitu saja dalam buku ini. Ia dipertimbangkan
dan dianalisis dengan sangat detil serta dibandingkan dengan nalar politik Islam. Sistematika
dan standarisasi yang jelas antara keduanya pun di susun. Pada tahap inilah, buku ini
menunjukkan kreativitas intelektualnya yangjauh dari semangat apologetis.
Demokrasi telah menjadi sakral dalam perpolitikan dunia saat ini. Atas nama demokrasi,
tindakan kezaliman di basmi, keadilan ditegakkan, kedamaian diciptakan, dan tentunya
kesejahteraan dibagikan. Pendeknya, demokrasi merupakan idaman semua bangsa.Akan
tetapi, praktik dan teori demokrasi yang dikembangkan di dunia kontemporer tidaklah

homogen. Perkembangan ide demokrasi dipengaruhi, dibentuk dan diperkaya oleh


perkembangan zaman, budaya, agama, dan kondisi sosiologis-kemasyarakatan.
Tak pelak pula, perbincangan negara demokrasi juga merambah negara-negara berpenduduk
Muslim. Terutama pasca dibubarkannya Khilafah Turki Utsmani oleh Mustafa Kemal, ketika
negara-negara Muslim dikuasai penjajah. Demokrasi dipandang memberikan ilham
kemerdekaan. Lahirlah perlawanan-perlawanan fisik maupun diplomatik dari putra-putra
Muslim untuk mendapatkan kemandirian sesuai kehendak bangsanya masing-masing.
Terjadilah pergolakan di berbagai wilayahbahkan menghasilkan revolusi yang radikal. Salah
satu revolusi terbesar abad kontemporer adalah Revolusi Islam Iran yang dimotori oleh ulama
tradisional Iran, Imam Khomeini.
Imam Khomeini selain menggunakan spirit Islam dalam memobilisir revolusi, juga
mengusung demokrasi dalam bentuk negaranya, Republik Islam Iran. Label republik
melambangkan semangat demokrasi yang mengandung makna pengakuan atas hak-hak
rakyat. Hanya saja beliau menyandingkan term republik dengan Islam, sehingga kesan yang
muncul kemudian, demokrasi yang dimaksud oleh Khomeini berbeda dengan demokrasi yang
dipahami oleh Barat.
Keyakinan mutlak Sang Imam pada kesempurnaan konsepsi politik Islam tidak menyisakan
ruang bagi pemikiran lain untuk menggerogoti nalar politik Islam tersebut. Untuk itu, ia
merumuskan suatu konsepsi politik Islam yang khas yang disebutnya dengan wilayah alfaqih. Melalui konsepsi inilah, Imam Khumaini berhasil mengintegrasikan secara utuh teologi
dan politik. Negara yang awalnya berbentuk Monarki Islam diubah menjadi Teokrasi
Kontemporer.
Dengan model teokrasi ini, Iran berhasil menempatkan ulama sebagai pewaris nabi dalam
menjaga tatanan agama dan Negara.Sistem ini juga, telah terbukti mampu mencegah
tampilnya orang-orang idiot dan pendosa untuk menjadi pemimpin. Sekalipun demikian,
bukan berarti dalam sistem teokrasi suara rakyat sama sekali diabaikan. Dengan demikian,
Iran yang selama ini didengungkan Barat sebagai negara yang tidak demokratis, ternyata
memiliki model demokrasi tersendiri yang mereka sebut dengan demokrasi sejati atau
teokrasi kontemporer.
Saat ini, demokrasi dan teokrasi model Wilayah al-Faqih merupakan dua sistem politik yang
betul-betul eksis dalam politik dunia. Buku ini memotret kedua fenomena itu. Perspektif yang
digunakan dalam buku ini adalah dengan melacak akar pemikiran dan landasan masingmasing sehingga akan terlihat titik temu sekaligus titik beda antara keduanya. Caranya
adalah, dengan terlebih dahulu mempertajam karakteristik atau ciri-ciri pokok serta nilai-nilai
fundamental kedua konsep tersebut. Kemudian akan beranjak pada analisis praktek
pemerintahan teokrasi kontemporer wilayah al-faqihdi Iran.
Buku ini, selain pengantar, dibagi dalam tiga bagian. Pertama, membahas Negara, Demokrasi
danIslam yang terdiri dari pembicaraan tentang konsep Negara Islam dan Demokrasi Sebagai

Tatanan Politik Kontemporer, serta mengulas dengan panjang lebar lima tahapan
merumuskan demokrasi Islam.
Bagian kedua, membahas dasar Teologis Dan Ideologis Wilayah Al-Faqihsebagai gagasan
ulama syiah. Maka diulaslah konsep Imamah dan Wilayah dan bagaimana wilayah al-faqih
mampu mengintegrasikan antara teologi dan politik. Dikaji secara detil Makna dan sejarah
gagasan Wilayah al-Faqih,Dasar Wilayah al-Faqih,Negara dalam Perspektif Wilayah alFaqih;Tugas, Tanggung Jawab dan wewenang mutlak Wilayah al-Faqih; danKualifikasi
Menjadi Wali Faqih; sertapembahasan tentang Demokrasi dan Wilayah al-Faqihyang
mengulas tiga isu utama yaitu Sumber Legislasi Politik, Sumber Hukum, dan Pemisahan
Kekuasaan (separation of power).
Pada bagian ketiga, membahas tentang praktik Demokrasi dan Wilayah al-Faqih di Iran
sebagai Negara Teokrasi Kontemporer.Di sini diulas keadaan umum Iran dari kondisi
geografi, sosiologi, ideologi, politik, intelektual hingga keagamaannya. Dilanjutkan dengan
membahas implementasi sitsem pemerintahan Iran yang tertuang dalam konstitusi Iran.
Berikutnya di ulas tentang pelaksanaan pemilihan umum, penghargaan terhadap HAM, dan
pemberian kebebasan kepada rakyat dalam berserikat, berpendapat, kebebasan pers dan
budaya. Secara khusus membahas kondisi perempuan di Iran.
Adapun pada bagian penutup, dengan judul Apakah Iran Negara Demokratis? disimpulkan
bahwa Iran dari sisi demokrasi modern, maka Iran adalah negara demokrasi, dan dari sisi
Islam, Iran adalah Negara Islam. Karena itu, Iran adalah negara Teokrasi Kontemporer yang
mengintegrasikan teologi dan politik. Setuju atau tidak, anda harus membaca buku ini!

Anda mungkin juga menyukai