Anda di halaman 1dari 40

APLIKASI GEOLOGI TATA LINGKUNGAN

UNTUK DAERAH PERTAMBANGAN

Oleh
T. Yan W. M. Iskandarsyah
NIP. 132310582

FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
2008

Lembar Pengesahan Karya Tulis

APLIKASI GEOLOGI TATA LINGKUNGAN


UNTUK DAERAH PERTAMBANGAN

Setelah membaca karya tulis ini dengan seksama, maka kami menyetujui bahwa
karya tulis ini dapat dipergunakan sebagai bahan untuk pengajuan kenaikan
Pangkat/Jabatan Fungsional staf pengajar pada Fakultas Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran

Menyetujui,
Kepala Laboratorium
Geologi Lingkungan dan Hidrogeologi

Ir. Lucky Lukmantara P.


NIP. 131 472 399

Mengetahui,
Dekan Fakultas Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran

Dr. Ir. Hendarmawan, M.Sc.


NIP. 132 146 258

APLIKASI GEOLOGI TATA LINGKUNGAN


UNTUK DAERAH PERTAMBANGAN

SARI

Geologi Lingkungan sebagai ilmu yang mempelajari bumi, mempunyai peranan


penting di dalam penataan lingkungan daerah pertambangan, yang kajian
utamanya adalah membahas karakteristik fisik dan kimiawi lingkungan
pertambangan yang meliputi aspek-aspek Klimatologi, Geomorfologi, Geologi,
dan Hidrogeologi. Secara geografis wilayah Indonesia yang terletak pada garis
equator termasuk ke dalam daerah beriklim tropis basah, yang umumnya memiliki
temperatur hangat, kelembaban udara tinggi, dan curah hujan tinggi. Iklim
demikian menyebabkan wilayah Indonesia memiliki tanah yang subur, cocok
untuk lahan pertanian dan memiliki hutan yang cukup lebat, tetapi kondisi curah
hujan dalam iklim ini yang cukup tinggi berpotensi besar bagi terjadinya bencana
banjir. Bentuk roman muka bumi (bentang alam) yang sesuai untuk suatu kawasan
pertambangan ditentukan berdasarkan hasil pengamatan terhadap lansekap
lapangan yang meliputi relief, kemiringan lereng, ketinggian daerah (elevasi),
pola pengaliran sungai, litologi, dan struktur geologi yang berkembang.
Pembukaan kawasan pertambangan pada daerah dengan morfologi curam/terjal
perlu ditunjang oleh beberapa kegiatan geologi teknik/hidrogeologi seperti
pemeliharaan stabilitas lereng (slope stability) dan penirisan (dewatering), untuk
menghindari terjadinya longsor/runtuhan akibat dibukanya jalan (road cuts) dan
sistem penambangan yang diterapkan. Dalam suatu operasi pertambangan, perlu
dipertimbangkan faktor dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh pengambilan
tanah penutup, batuan dan mineral-mineral ekonomis. Sebaiknya fasilitas
penunjang pertambangan ditempatkan pada daerah-daerah yang cukup jauh dari
bahaya longsor, amblesan dan kerusakan lainnya. Suatu operasi pertambangan
juga perlu dilengkapi dengan unit pengelolaan sisa bahan tambang (air asam
tambang dan tailing) yang cukup berbahaya bagi lingkungan di sekitar
pertambangan. Selain itu, fasilitas penunjang pertambangan semaksimal mungkin
dijauhkan dari jalur-jalur yang dilalui sesar. Penataan lingkungan pertambangan
dengan memanfaatkan air permukaan (sungai, danau, laut) harus direncanakan
sebaik mungkin dan tidak mengganggu air permukaan yang sering dipergunakan
oleh penduduk setempat untuk mandi, mencuci, minum, dan lain sebagainya.
Selain itu, skala penambangan yang cukup besar menyebabkan airtanah terpotong,
sehingga penirisan tambang perlu dilakukan secermat mungkin melalui
perhitungan yang matang dan akurat. Penirisan pada tambang terbuka dapat
dilakukan dengan cara pemompaan, sedangkan pada tambang bawah permukaan
dengan cara membuat saluran air (water intersection) pada rekahan-rekahan,
kontak sesar, zona RQD yang buruk, kontak litologi dan perlapisan batuan, baik
dengan pemboran horisontal maupun vertikal untuk kemudian dialirkan melalui
saluran-saluran bawah tanah (drift).

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT dengan tiada putus-putusnya, karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul Aplikasi Geologi Tata
Lingkungan untuk Daerah Pertambangan. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya
hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Yth. Dr. Ir. Hendarmawan, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran.
2. Yth. Ir. Lucky Lukmantara Partakusuma, selaku Kepala Laboratorium Geologi
Lingkungan dan Hidrogeologi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas
Padjadjaran.
3. Rekan-rekan staf pengajar di Laboratorium Geologi Lingkungan dan
Hidrogeologi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran.
4. Seluruh staf dosen pengajar, tata usaha, dan perpustakaan Fakultas Teknik
Geologi, Universitas Padjadjaran.
Semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal.

Bandung, Januari 2008


T. Yan W. M. Iskandarsyah
NIP. 132 310 582

DAFTAR ISI

SARI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

Halaman
iii
iv
v

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Definisi
1.2. Geologi Lingkungan: Sebuah Model
1.3. Sejarah Geologi Lingkungan
1.4. Geologi Lingkungan dan Operasi Pertambangan

1
1
3
6
7

BAB 2. TINJAUAN KLIMATOLOGI DAN GEOMORFOLOGI


UNTUK OPERASI PERTAMBANGAN
2.1. Klimatologi
2.2.Geomorfologi

8
8
10

BAB 3. TINJAUAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI UNTUK


OPERASI PERTAMBANGAN
3.1.Geologi
3.2.Hidrogeologi

16

BAB 4. PENUTUP

30

DAFTAR PUSTAKA

32

16
25

LAMPIRAN

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Definisi
Geologi Lingkungan adalah interaksi antara manusia dengan lingkungan
geologis. Lingkungan geologis terdiri dari unsur-unsur fisik bumi (batuan,
sedimen, tanah dan fluida) dan unsur permukaan bumi, bentang alam dan prosesproses yang mempengaruhinya. Bagi kehidupan manusia, lingkungan geologis
tidak hanya memberikan unsur-unsur yang menguntungkan/bermanfaat seperti
ketersediaan air bersih, mineral ekonomis, bahan bangunan, bahan bakar dan lainlain, tetapi juga memiliki potensi bagi terjadinya bencana seperti gempa bumi,
letusan gunung api dan banjir.
Geologi Lingkungan bisa dikategorikan sebagai bagian dari ilmu
lingkungan, karena ilmu lingkungan adalah dasar pemahaman kita mengenai bumi
dan membahas interaksi manusia dengan seluruh aspek yang ada disekelilingnya,
termasuk aspek geologis serta dampaknya bagi kehidupan manusia. Karena itu
filosofi utama dari geologi lingkungan adalah konsep manajemen lingkungan
yang didasarkan pada sistem geologi untuk pembangunan berkelanjutan dan
bukan pada beban lingkungan yang tidak bisa diterima. Berdasarkan hal tersebut,
Geologi Lingkungan memiliki empat komponen kajian utama sebagai berikut:
1. Mengelola sumber daya geologis, yaitu pengawasan dan mitigasi kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas eksplorasi dan eksploitasi
2. Memahami dan menyesuaikan batasan-batasan pada rekayasa dan konstruksi
yang dipengaruhi oleh lingkungan geologis suatu daerah.
3. Penerapan lingkungan geologis yang tepat untuk pembuangan limbah sehingga
bisa mengurangi masalah kontaminasi dan polusi.
4. Pemahaman tentang bencana alam dan mengurangi dampaknya pada manusia.

1.2. Geologi Lingkungan : Sebuah Model


Dari sudut pandang yang lain, Geologi Lingkungan bisa juga disebut
sebagai manajemen dari sistem alam yaitu konsep yang sekarang dikenal sebagai
Sustainable Development, yaitu manajemen sumber daya alam untuk mendukung

pembangunan ekonomi dan sosial berkelanjutan yang berkaitan dengan sumber


daya alam terbarukan dan upaya minimalisasi dampak dari pengambilan dan
penggunaan sumberdaya alam tak terbarukan. Kata kuncinya adalah manajemen
lingkungan yang efektif . Dalam hal ini kita tidak hanya melihat sisi konsekuensi
lingkungan yang timbul akibat interaksi manusia dengan lingkungan geologis,
tetapi juga sisi manajemen yang efektif untuk menjamin ketersediaan sumber daya
alam di masa depan, strategi pembentukan lingkungan yang aman, dan
pembuangan limbah yang tepat, serta mitigasi dampak dari bencana alam
Kondisi yang paling ideal untuk membahas Geologi Lingkungan dan
hubungannya dengan pembangunan adalah pada lingkungan permukiman di
perkotaan karena intensitas interaksi antara manusia dengan lingkungan geologis
sangat tinggi dan juga menimbulkan banyak permasalahan yang memerlukan
solusi tepat dalam pengelolaannya.

Gambar 1.1. Proses yang terjadi pada lingkungan permukiman di perkotaan (Bennett, Matthew R.
dan Peter Doyle, 1997)

Gambar 1.1. memperlihatkan tentang lingkungan perkotaan (urban


environment), dapat dianalogikan dengan sebuah mesin yang membutuhkan input
dan mengeluarkan output pada proses kerjanya.
Input terdiri dari:
Air, berasal dari reservoir dan sungai disekitarnya.
Bahan Mentah/Baku, berbentuk sumber daya mineral untuk industri dan
konstruksi.
Makanan.
Energi, sebagai produk akhir dari sumber daya alam seperti batubara, gas dan
uranium.

Sedangkan output yang dihasilkan adalah


Produk-produk dari industri dan perdagangan.
Limbah/Sampah, berbagai bentuk/jenis bahan-bahan sisa/buangan dan limbah
rumah tangga dan industri.
Polusi, disebabkan oleh strategi manajemen pembuangan limbah yang buruk
sehingga sistem air, tanah dan atmosfir alam tidak lagi mampu untuk mendaur
ulang limbah cair, padat maupun gas yang dihasilkan oleh aktifitas lingkungan
perkotaan.
Sistem mesin ini membutuhkan perawatan yang konstan dalam rangka
peningkatan dan pembangunan infrastruktur yang fondasinya bergantung pada
stabilitas kondisi geologi, dimana keamanan sistemnya terancam oleh adanya
bencana alam baik dari dalam bumi maupun dari proses yang terjadi dipermukaan.

Gambar 1.2. Model skematis hubungan antara lingkungan perkotaan dengan daerah di sekitarnya
(Bennett, Matthew R. dan Peter Doyle, 1997)

Gambar 1.2 memperlihatkan tentang model skematis tentang hubungan


antara pusat permukiman di perkotaan dengan kebutuhan akan sumber daya alam
dari daerah di sekitarnya. Agar hubungan ini tidak membawa dampak negatif

maka dalam pengelolaannya dibutuhkan manajemen lingkungan yang tepat,


dimana Geologi Lingkungan memegang peranan sangat penting begitu pula
dengan geologi teknik, manajemen limbah dan mitigasi bencana alam. Pada
gambar tersebut dijelaskan tentang tingkat kebutuhan akan Geologi Lingkungan
untuk daerah perkotaan dan daerah sekitar perkotaan yang menjadi sumber dari
sumber daya alam yang dibutuhkan oleh daerah perkotaan tersebut.

1.3. Sejarah Geologi Lingkungan


Geologi lingkungan lahir dari kebutuhan akan interaksi antara tiga ilmu
bumi terapan yaitu Geomorfologi Terapan, Geologi Ekonomi dan Geologi Teknik.
Perkembangan dari interaksi ketiga ilmu terapan ini dan fokusnya pada penataan
lingkungan menghasilkan tiga kecenderungan utama, yaitu:
1. Sustainable Development
Konsep untuk mempertemukan antara kepentingan pembangunan/eksploitasi
dan konservasi lingkungan dan sistem pengawasannya. Yaitu menciptakan
sebuah konsep manajemen yang mampu mengurangi dampak negatif dari
eksplotasi sumber daya alam dan pembuangan limbah.
2. Pertentangan dalam pengelolaan proses-proses yang terjadi di alam
Dalam mitigasi bencana alam muncul dua tipe konsep pengelolaan, yaitu:
The Structural Response
Menekankan pada aspek-aspek teknik sipil untuk mengatasi masalah yang
timbul dari bencana alam, misalnya dibuatnya konstruksi sea wall untuk
mengatasi erosi pantai.
The Process-based Response
Menekankan pada sistem yang telah terbentuk di alam dimanfaatkan dan
dipelihara oleh kita agar tidak menimbulkan bencana bagi manusia.
Misalnya dalam pengelolaan kondisi pantai, kita berusaha memahami
proses dasar yang terjadi secara alamiah di alam dan berusaha agar kondisi
pantai tetap terjaga dan terpelihara seperti aslinya.
3. Adanya pergeseran dari keterlibatan reaktif menjadi proaktif
Perkembangan ilnu pengetahuan dan pemahaman tentang proses-proses alam
telah menimbulkan konsep yang baik dalam pengelolaan lingkungan terhadap

bencana alam yaitu mencegah (proaktif) adalah lebih baik dari pada
memperbaiki (reaktif). Akan tetapi untuk dapat proaktif dibutuhkan data dan
informasi yang akurat tentang penyebaran sumber daya, bencana alam dan
kondisi tanah maka berarti dibutuhkan integrasi yang efektif antara tiga cabang
ilmu kebumian yaitu Geomorfologi Terapan, Geologi Teknik dan Geologi
Ekonomi.

1.4. Geologi Lingkungan dan Operasi Pertambangan


Komponen-komponen dalam lingkungan secara langsung maupun tidak
langsung akan terpengaruh dan atau mempengaruhi aktivitas pertambangan.
Komponen-komponen tersebut diantaranya adalah karakteristik fisik dan kimiawi,
karakteristik biologi, dan respon manusia terhadap lingkungan pertambangan
(karakteristik sosial).
Geologi Lingkungan sebagai ilmu yang mempelajari bumi, mempunyai
peranan penting di dalam penataan lingkungan daerah pertambangan, yang kajian
utamanya adalah membahas karakteristik fisik dan kimiawi lingkungan
pertambangan tersebut. Beberapa aspek dalam geologi tatalingkungan akan selalu
terkait dan berhubungan timbal balik dengan komponen-komponen lingkungan
lainnya. Aspek-aspek yang dimaksud adalah:
1. Klimatologi (iklim/cuaca).
2. Geomorfologi (fisiografi, topografi, dan pola pengaliran sungai).
3. Geologi (tanah/batuan/kandungan mineral dan struktur geologi).
4. Hidrogeologi.
Beberapa aspek tersebut di atas selain memiliki potensi pengembangan yang dapat
dipertimbangkan untuk membuka suatu kawasan pertambangan, juga memiliki
potensi bencana geologi yang harus diantisipasi oleh suatu operasi pertambangan.

10

BAB 2
TINJAUAN KLIMATOLOGI DAN GEOMORFOLOGI
UNTUK OPERASI PERTAMBANGAN

2.1. Klimatologi
Klimatologi adalah kajian mengenai iklim suatu daerah termasuk di
dalamnya cuaca, temperatur, kelembaban udara, curah hujan, arah dan kecepatan
angin. Iklim dibedakan menjadi iklim tropis (tropis basah dan kering), sub tropis
(iklim gurun, semi gurun, iklim sedang, dan mediteranian), iklim dingin (sub
arktik) dan kutub. Secara geografis wilayah Indonesia yang terletak pada garis
equator termasuk ke dalam daerah beriklim tropis basah, yang umumnya memiliki
temperatur hangat, kelembaban udara tinggi, dan curah hujan tinggi. Iklim
demikian menyebabkan wilayah Indonesia memiliki tanah yang subur, cocok
untuk lahan pertanian dan memiliki hutan yang cukup lebat, tetapi kondisi curah
hujan dalam iklim ini yang cukup tinggi berpotensi besar bagi terjadinya bencana
banjir.

Gambar 2.1. Pembagian zona iklim di dunia

11

Temperatur tergantung dari radiasi sinar matahari dan sumber panas yang
berasal dari dalam bumi yang diterima di suatu daerah, dalam hal ini letak
geografis, elevasi dan peranan vegetasi menjadi sangat penting di dalam proses
perubahan temperatur. Vegetasi akan mengurangi radiasi sinar matahari dan
menjaga laju radiasi dari dalam bumi, sehingga temperatur rata-rata di dalam
kawasan hutan lebih rendah daripada di daerah terbuka, sebaliknya temperatur
minimum di dalam hutan akan lebih tinggi daripada di tempat terbuka.
Temperatur rata-rata di dalam kawasan hutan yang sedikit lebih rendah ini
menyebabkan kelembaban nisbinya akan menjadi lebih tinggi daripada di daerah
terbuka. Keadaan ini dapat menjadi pertimbangan untuk menempatkan fasilitas
pertambangan di daerah terbuka.
Curah hujan pada suatu daerah dicirikan oleh intensitas hujan, yaitu
jumlah presipitasi yang jatuh pada saat tertentu (mm/menit, cm/jam, mm/tahun,
cm/tahun, dsb). Data curah hujan dapat diperoleh dari Badan Meteorologi dan
Geofisika atau diukur sendiri melalui alat penakar hujan. Data curah hujan ini
sangat bermanfaat untuk mengurangi resiko yang terlibat dalam konstruksi
rekayasa pertambangan, seperti pemeliharaan stabilitas lereng pit dan teknik
penirisan tambang. Curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan potensi bencana
geologi di dalam tambang bawah permukaan seperti banjir lumpur basah, yaitu air
yang masuk ke dalam block cave bercampur dengan bijih berukuran halus yang
meluncur secara tiba-tiba dan cepat dengan volume yang besar (seperti yang
terjadi di PT Freeport Indonesia, Wirawan dkk, 2001). Sementara itu, curah hujan
yang rendah akan menyulitkan penyediaan air yang dibutuhkan oleh suatu operasi
pertambangan maupun fasilitas penunjangnya.
Data arah dan kecepatan angin cukup penting bagi penanggulangan
pencemaran udara yang ditimbulkan oleh suatu operasi pertambangan.
Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh asap yang dikeluarkan oleh instalasi
pengolah bahan tambang atau frekuensi lalu lintas kendaraan pengangkut bahan
tambang. Bentuk roman muka bumi dan kerapatan vegetasi dapat dimanfaatkan
untuk merubah arah dan kecepatan angin. Hutan dan perbukitan dapat menjadi
penghalang mekanis terhadap angin dan membelokkan angin ke atas serta
mengurangi kecepatannya, hal ini menjadi penting untuk memindahkan kawasan

12

permukiman di sekitar operasi pertambangan ke area di balik perbukitan atau area


yang terhalang hutan.

2.2. Geomorfologi
Bentuk-bentuk umum roman muka bumi, perubahan-perubahan yang
terjadi sepanjang evolusinya dan hubungannya dengan keadaan struktur di
bawahnya serta sejarah perubahan geologi yang diperlihatkan atau tergambar pada
bentuk permukaan dipelajari dalam geomorfologi (American Geological Institute,
1973, dalam Adjat Sudradjat, 1975). Thornbury (1969), menganggap bahwa
faktor-faktor penyebab terjadinya bentuk permukaan bumi antara lain adanya
pengaruh proses fisika dan kimia yang kemudian dikenal sebagai proses
geomorfologi. Adanya pengaruh struktur, proses serta tingkat perkembangan erosi
akan berpengaruh dalam pembentukan roman muka bumi (Davis, 1901, dalam
Thornbury, 1969).

a. Bentang Alam dan Pola Pengaliran Sungai


U

Bentuk roman muka bumi (bentang alam) yang sesuai untuk suatu
kawasan pertambangan ditentukan berdasarkan hasil pengamatan terhadap
lansekap lapangan yang meliputi relief, kemiringan lereng, ketinggian daerah
(elevasi), pola pengaliran sungai, litologi, dan struktur geologi yang berkembang.
Data tersebut ditunjang oleh analisis terhadap peta topografi, foto udara, data
satelit dan GIS (yang dapat diperoleh dari instansi pemerintah maupun pihak
swasta), serta penelitian terdahulu (lihat lampiran 1). Relief suatu daerah akan
mencirikan beda tinggi satu tempat dengan tempat lainnya dan juga
menampakkan curam landainya lereng, pola bentuk dan ukuran bukit, lembah,
gunung, dataran, gawir, dan sebagainya. Van Zuidam (1988) telah membuat suatu
klasifikasi dari penamaan relief berdasarkan kemiringan lereng, sebagai berikut :
0-2 (0%-2%)

: datar (almost flat)

2-4 (2%-7%)

: landai (gently sloping)

4-8 (7%-15%)

: miring (sloping)

8-16 (15%-30%)

: agak curam (moderately steep)

16-35 (30%-70%)

: curam (steep)

13

35-55 (70%-140%)

: sangat curam (very steep)

>55 (>140%)

: terjal (extremely steep)

Bentang alam yang landai umumnya berkembang pada daerah aluvial atau
daerah yang batuannya lunak (seperti lempung, napal, dsb), daerah ini cocok
untuk dijadikan sebagai kawasan penunjang pertambangan seperti kawasan
pemukiman, pertanian dan perkebunan tanaman-tanaman yang diperuntukkan
bagi reklamasi lahan pasca penambangan. Bentang alam bergelombang biasanya
ditempati oleh batuan sedimen/metamorf yang keras (seperti breksi, konglomerat,
batupasir, dsb), sedangkan intrusi batuan beku akan membentuk bukit-bukit yang
berdiri sendiri (soliter) seperti halnya batugamping dengan perbukitan karstnya
yang disertai dengan sungai terputus-putus, depresi dan dolina-dolina. Daerah
dengan bentang alam seperti ini sebenarnya merupakan daerah yang perlu
dikonservasi (dilindungi) mengingat umumnya daerah ini adalah daerah resapan
bagi kebutuhan air di daerah hilir. Apabila potensi sumberdaya mineralnya cukup
bagus, daerah ini dapat dijadikan kawasan pertambangan dengan memperhatikan
aspek-aspek dampak lingkungan dan penanggulangan potensi bencana geologi
yang dapat ditimbulkannya.
Pola pengaliran sungai pada suatu daerah memberikan gambaran umum
jenis batuan dan struktur geologi yang berkembang. Beberapa pola pengaliran
sungai yang penting antara lain :
Dendritik
Mempunyai pola seperti ranting daun, anak sungai bergabung pada sungai
utama dengan sudut yang tajam, menunjukkan batuan yang homogen yang dapat
berupa batuan sedimen atau volkanik. Daerah yang memiliki pola pengaliran
seperti ini cukup aman untuk dijadikan kawasan pertambangan, karena kondisi
geologinya relatif stabil.
Paralel
Terbentuk pada permukaan yang memiliki kemiringan yang seragam, sudut
anak sungai dengan sungai utama dikontrol oleh adanya sesar atau rekahan.
Daerah yang memiliki pola pengaliran seperti ini apabila akan dijadikan
kawasan pertambangan harus memperhatikan sesar yang berkembang dan
mengontrol sungai utama.

14

Rektangular
Arah anak sungai dan hubungannya dengan sungai utama dikontrol oleh kekar
(joint), rekahan (fracture) dan bidang foliasi yang membentuk sudut tegak lurus
dengan sungai utama, umumnya terdapat pada batuan metamorf. Sebelum
daerah yang memiliki pola pengaliran seperti ini dijadikan kawasan
pertambangan harus diperhitungkan dahulu pola kekar dan rekahan yang
berkembang, untuk menghindari zona-zona lemah yang cukup berpotensi bagi
terjadinya bencana geologi.
Trelis
Mempunyai anak sungai yang pendek-pendek sejajar, pola ini lebih
menunjukkan struktur geologi daripada jenis litologi, umumnya terdapat pada
daerah batuan sedimen dengan kemiringan tertentu dan adanya perselingan
antara batuan yang lunak dengan batuan yang keras, sungai utama akan
mengikuti arah jurus daripada perlapisan. Daerah ini tidak cukup aman bagi
kawasan pertambangan karena memiliki struktur sesar dan kemiringan lereng
curam, apabila akan dijadikan kawasan pertambangan harus menggunakan
teknologi yang cukup mahal biayanya.
Radial
Aliran sungai menyebar dari daerah puncak yang lebih tinggi, umumnya
berasosiasi dengan gunung atau bukit. Seperti halnya pada pola pengaliran trelis,
daerah ini membutuhkan teknologi yang cukup mahal biayanya karena memiliki
kemiringan lereng curam hingga terjal, sebaiknya daerah ini dijadikan kawasan
lindung apabila sumberdaya mineralnya tidak cukup bagus.
Sentripetal
Sungai menunjuk ke satu arah, umumnya menunjukkan adanya depresi atau
akhir daripada antiklin/sinklin yang tererosi. Daerah ini cukup baik untuk
dijadikan kawasan penunjang pertambangan, dengan memanfaatkan daerah
depresi (pedataran) sebagai kawasan pemukiman, pertanian dan instalasi
pertambangan lainnya.

15

b. Potensi Bencana Geologi


U

Daerah dengan bentang alam curam hingga terjal (kemiringan lereng 15%
hingga >140 %) memiliki potensi bencana geologi longsoran atau runtuhan yang
cukup besar, yang frekuensinya tergantung dari iklim, kekerasan batuan,
kemiringan lereng dan ketinggian permukaan. Kemiringan lereng yang curam ini
dapat terbentuk secara alamiah akibat pengikisan oleh sungai secara vertikal
(denudasi), proses pelarutan kimiawi (di daerah batugamping) atau akibat adanya
proses pembentukan sesar yang menghasilkan gawir sesar. Bentang alam curam
hingga terjal biasanya dijumpai pada daerah perbukitan bergelombang, perbukitan
intrusi, perbukitan karst atau pada daerah yang memiliki pola pengaliran sungai
trelis, rektangular, paralel, dan radial. Pada daerah perbukitan karst perlu juga
diwaspadai kemungkinan terjadinya amblesan, karena bentang alam ini memiliki
dolina-dolina dan sungai-sungai bawah tanah yang sukar untuk ditentukan
arahnya. Kemiringan lereng yang curam juga dapat dibentuk secara buatan oleh
manusia sebagai hasil penggalian dalam skala besar, umumnya dijumpai pada
kawasan pertambangan.
Sementara itu daerah dengan bentang alam pedataran (kemiringan lereng
0% hingga <15%) memiliki potensi bencana geologi yang relatif lebih kecil.
Bencana geologi yang paling memungkinkan adalah banjir, baik berupa banjir
akibat meluapnya sungai-sungai di pedataran aluvium ataupun banjir lumpur hasil
erosi dari daerah perbukitan.

c. Topografi Kawasan Pertambangan


U

Pembukaan kawasan pertambangan pada daerah dengan morfologi


curam/terjal perlu ditunjang oleh beberapa kegiatan geologi teknik/hidrogeologi
seperti pemeliharaan stabilitas lereng (slope stability) dan penirisan (dewatering),
untuk menghindari terjadinya longsor/runtuhan akibat dibukanya jalan (road cuts)
dan sistem penambangan yang diterapkan. Sistem penambangan terbuka (open pit
mining), seperti di Grasberg-Papua (PT Freeport Indonesia), umumnya memiliki
rata-rata kemiringan lereng pit + 70 (>140%) dengan kedalaman mencapai
U

puluhan/ratusan meter, yang sangat rentan terhadap bencana longsor/runtuhan


dinding pit. Sementara itu, amblesan sangat mungkin terjadi pada daerah yang

16

didominasi oleh satuan batugamping atau batubara, terutama pada sistem


penambangan bawah permukaan (underground mine), seperti tambang bawah
tanah Kucing Liar (PT Freeport Indonesia) dan Ombilin (PT Bukit Asam).

Gambar 2.2. Salah satu contoh dinding pit yang cukup terjal pada sistem tambang terbuka di
Grasberg, P.T. Freeport Indonesia

Stabilitas lereng, baik pada jalur jalan menuju kawasan pertambangan


maupun dinding pit di area pertambangan, dapat terganggu apabila transmisivitas
air pada dinding pit cukup tinggi dan kemiringan lerengnya terlalu curam. Untuk
mengantisipasinya perlu dilakukan langkah-langkah seperti penirisan, pembuatan
teras-teras pada lereng, dan pembuatan dinding penahan (memakai sistem
bronjong, injeksi, beton semprot atau pemasangan pilar-pilar beton pada tanah).
Dalam pemeliharaan stabilitas lereng

yang

baik, terutama

pada

area

penambangan, perlu dilakukan monitoring secara cermat dan teratur, melalui


pemasangan alat-alat pemantau tinggi permukaan airtanah (piezometer),
kecepatan gerakan tanah (extensometer) dan arah gerakan tanah (inclinometer).
Kemudian dilanjutkan dengan program penirisan pada dinding pit, termasuk
overburden atau biasa juga disebut sisa bahan galian (waste dump), yang
umumnya dilakukan dengan cara pemboran dan pemasangan pipa-pipa horisontal.
Program penirisan ini menjadi sangat penting, karena air mempunyai kontribusi
yang sangat besar dalam proses terjadinya longsor dan ketidakmungkinan
dibuatnya suatu dinding penahan yang permanen dalam area penambangan,
sementara dinding-dinding pit biasanya dibuat sedemikian curam untuk

17

mendapatkan cadangan mineral bijih yang sebesar-besarnya. Namun demikian,


program pemetaan geologi teknik secara detail untuk mengetahui sifat fisik dari
batuan di daerah tambang (seperti kuat geser, kuat tekan, permeabilitas, dan kadar
air) harus tetap dilakukan secara akurat.

18

BAB 3
TINJAUAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI
UNTUK OPERASI PERTAMBANGAN

3.1. Geologi
Geologi adalah ilmu yang mempelajari batuan penyusun kerak bumi dan
proses-proses yang berlangsung di dalamnya. Oleh karena itu, mengenal macam
dan sifat batuan serta struktur geologi yang berkembang menjadi sangat penting di
dalam geologi tatalingkungan. Macam dan sifat batuan serta struktur geologi
dituangkan dalam suatu peta yang disebut peta geologi (lihat lampiran 2).

a. Tanah, Batuan dan Mineral


U

Tanah adalah lapisan penutup permukaan bumi yang tidak terkonsolidasi,


terdiri dari mineral dan bahan organik yang terbentuk akibat pelapukan batuan
penyusun kerak bumi. Tanah tersebut dapat terbentuk dari batuan yang berada di
bawahnya (residual soil) atau berasal dari batuan yang tererosi dari tempat lain
(transported soil). Tanah residu dapat terdiri dari lapisan-lapisan yang disebut
horison, mulai dari horison O (top-soil, didominasi oleh bahan organik), horison
A (sub-soil, prosentase mineral lebih besar daripada bahan organik), horison B
(didominasi oleh mineral yang menyusun partikel-partikel batuan yang sangat
halus), dan horison C (bedrock, lapisan batuan yang belum teralterasi penuh).
Tanah merupakan unsur yang sangat penting di dalam pemanfaatan suatu lahan,
baik sebagai sumber daya alam maupun sumber bencana geologi. Sebagai sumber
daya alam, tanah bermanfaat bagi lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan,
selain itu tanah juga merupakan bahan galian golongan C yang dapat
dimanfaatkan untuk keperluan konstruksi bangunan (sebagai tanah urug).
Sementara itu sebagai sumber bencana geologi, tanah mempunyai potensi untuk
longsor atau ambles. Kondisi tanah yang tidak terkonsolidasi dan kandungan
mineral lempung yang cukup besar menyebabkan terbentuknya bidang gelincir
(batas antara lapisan tak terkonsolidasi di bagian atas dengan lapisan tanah
lempung di bagian bawahnya) dan tanah gemuk (expansive soils, mengandung
mineral lempung yang berpotensi untuk mengembang atau swelling). Oleh karena

19

itu, dalam pembangunan suatu konstruksi fasilitas penunjang pertambangan


(seperti jalan, jembatan, bangunan, menara listrik, dsb) harus diperhatikan
komposisi dan ketebalan tanah penutup daerah yang bersangkutan. Di sisi lain,
tanah dengan kandungan mineral lempungnya yang cukup besar dapat bertindak
sebagai filter bagi terjadinya pencemaran airtanah, yang dapat disebabkan oleh
pembuangan tailing (sisa bahan tambang).

Gambar 3.1. Lapisan-lapisan (horizon) pada tanah residu (Rahn, 1996)

Batuan yang merupakan asal terbentuknya tanah terdiri dari batuan beku,
batuan sedimen, dan batuan metamorf. Batuan beku adalah batuan yang berasal
dari pembekuan magma (cairan silika pijar yang berasal dari dalam bumi),
contohnya adalah granit, andesit, dan basalt yang dapat ditambang dan
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Berdasarkan komposisi mineralogi dan
kimiawinya batuan beku dapat dibedakan menjadi batuan beku asam (seperti
granit, riolit,dsb), batuan beku menengah (andesit, diorit, dsb), batuan beku basa
(basalt, gabro, dsb), dan batuan beku ultra basa (peridotit, dunit, dsb). Batuan
beku akan muncul dipermukaan melalui proses penerobosan magma (intrusi) atau

20

letusan gunungapi (ekstrusi). Batuan beku ini umumnya keras dan memiliki
tekstur (kasar, halus atau porfiritik), hablur kristalin (bentuk kristal sempurna,
tidak sempurna atau tidak berbentuk), tak berfoliasi (masif), terkadang memiliki
struktur kekar meniang akibat pendinginan (columnar joint) atau kekar berlembar
(sheeting joint). Tekstur batuan beku menunjukkan proses pembekuannya; tekstur
halus

menunjukkan

pendinginan

yang

cepat,

sedangkan

tekstur

kasar

menunjukkan pendinginan yang lambat, diantara keduanya disebut tekstur


porfiritik (fragmen-fragmen kasar di antara massadasar yang halus). Tekstur dan
sifatnya yang keras inilah yang menjadi daya tarik batuan beku untuk
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan yang lebih bernilai, seperti penggunaan
granit untuk lantai-lantai bangunan mewah. Sifat batuan beku yang keras ini
mengakibatkan lingkungan di sekitarnya akan tandus (tidak subur), sehingga
kurang baik bagi lahan pertanian, perkebunan, atau permukiman. Selain itu,
diperlukan alat-alat berat untuk menambang dan menghancurkan batuan tersebut
yang akan menimbulkan dampak kebisingan dan polusi udara bagi lingkungan di
sekitar pertambangan. Dampak lain adalah runtuhan batuan (rockfall), apabila
batuan beku yang ditambang berasal dari intrusi dengan kemiringan yang curam.
Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk akibat pengendapan batuanbatuan yang telah terbentuk sebelumnya. Pengendapan tersebut membentuk
beberapa sifat batuan sedimen yaitu perlapisan, butiran, dan struktur sedimen
(arah aliran air, cangkang/jejak binatang). Ada tiga proses pengendapan utama
yaitu pengendapan mekanik, pengendapan organik dan pengendapan kimiawi.
Proses-proses pengendapan (sedimentasi) tersebut menghasilkan beberapa jenis
golongan batuan sedimen yang secara praktis dikenal sebagai berikut:
Golongan detritus halus, seperti batulempung, batulanau, serpih, napal dan tuf.
Golongan detritus kasar, seperti batupasir, breksi, konglomerat dan aglomerat.
Golongan karbonat, seperti batugamping dan dolomit.
Golongan evaporit, seperti batugaram (halit).
Golongan silikat, seperti tanah diatomae dan radiolaria.
Golongan batubara, seperti antrasit, bitumen dan lignit.
Berbagai jenis batuan sedimen tersebut dapat ditambang dan dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan manusia, seperti bahan bangunan (golongan detritus dan

21

karbonat), bahan bakar (golongan batubara), dan bahan baku industri (golongan
karbonat dan golongan evaporit). Penambangan batuan sedimen ini relatif lebih
mudah dan aman daripada penambangan batuan beku, tetapi akan menimbulkan
kerusakan lingkungan yang cukup signifikan, seperti pemapasan bukit di daerah
Padalarang. Potensi bencana yang cukup besar dapat terjadi di daerah yang
disusun

oleh

satuan

batugamping,

batulempung

dan

batubara.

Daerah

batugamping sangat rentan terhadap amblesan karena sifat batugamping yang


mudah bereaksi (larut) dengan air yang bersifat asam akan membentuk dolina atau
rongga-rongga bawah permukaan yang sukar terdeteksi. Daerah berbatulempung
rawan terhadap bencana longsor dan amblesan, karena memiliki tekstur yang
sangat halus sebagai bidang gelincir dan kandungan mineral lempungnya dapat
memiliki daya kembang cukup tinggi (swelling). Sementara itu, daerah yang
memiliki lapisan batubara akan mudah terbakar dan sulit untuk dipadamkan.
Batuan metamorf adalah batuan yang terjadi akibat terubahnya batuan asal
oleh kenaikan temperatur, tekanan dan keduanya, serta adanya larutan aktif.
Proses metamorfisma terjadi dalam keadaan padat, meliputi proses-proses
rekristalisasi, reorientasi, dan pembentukan mineral baru dengan penyusunan
kembali unsur-unsur kimia yang sebelumnya telah ada. Berdasarkan proses
tersebut ada tiga jenis metamorfisma yaitu metamorfisma kontak (akibat kenaikan
temperatur), metamorfisma dinamo (akibat kenaikan tekanan), dan metamorfisma
regional (akibat pengaruh tekanan dan temperatur, biasanya berasoiasi dengan
pembentukan pegunungan atau intrusi magma). Contoh dari batuan metamorf
adalah marmer, grafit, batusabak, filit, sekis, dan lain-lain, yang juga
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Batuan metamorf sangat keras dan
memiliki tekstur yang lebih halus, oleh karenanya penambangannya akan lebih
sulit dibandingkan batuan yang lain.
Mineral sebagai bahan penyusun batuan merupakan senyawa anorganik
padat yang terdapat di alam, memiliki sistem kristal dan komposisi kimia tertentu.
Mineral-mineral pembentuk batuan umumnya adalah mineral silikat (SiO 2 ),
B

karena komposisi unsur Si adalah 27,72 % dan Oksigen 46,6 % dari seluruh kerak
bumi. Unsur-unsur lainnya adalah Al (8,3 %), Fe (5 %), Ca (3,63 %), Na (2,83

22

%), K (2,59 %), Mg (2 %), dan unsur lainnya yang kurang dari 1,5 %. Mineral
pembentuk batuan dibagi dalam:
Mineral-mineral pembentuk batuan beku
Terdiri dari mineral primer seperti kuarsa, ortoklas, plagioklas, biotit,
muskovit, piroksen, amfibol, dan olivin. Terdapat juga mineral sekunder yang
berasal dari ubahan mineral primer seperti kalsit, kaolinit, serpentinit, serisit,
dan klorit. Mineral tambahan seperti apatit, korundum, hematit, dan limonit
kadang-kadang muncul dalam batuan.
Mineral-mineral pembentuk batuan sedimen
Kalsit (CaCO 3 ) dan dolomit (CaMgCO 3 ) sebagai mineral utama batugamping.
B

Mineral-mineral lempung seperti kaolinit, monmorilonit, ilit, dan haloysit.


Anhidrit dan gipsum sering dijumpai sebagai batuan tersendiri.
Mineral-mineral pembentuk batuan metamorf
Mineral yang penting adalah aktinolit, klorit, talk, andalusit, garnet, dan asbes.
Mineral-mineral pembentuk batuan ini sebagian merupakan sumber daya yang
memiliki nilai ekonomis (mineral ekonomis) yang sangat bermanfaat bagi hajat
hidup manusia. Contohnya seperti emas (Au), perak (Ag), dan tembaga (Cu) yang
merupakan logam mulia; intan dan korundum yang dipergunakan sebagai batu
permata; talk, gipsum, kalsit, kaolinit, asbes, dan anhidrit sebagai bahan baku
industri. Sebagian lagi dapat menjadi sumber bencana bagi manusia dan
lingkungan di sekitarnya; seperti logam berat (merkuri, air raksa, dll) yang dapat
membahayakan kesehatan manusia dan unsur-unsur radioaktif (uranium,
plutonium, dll) yang dapat menyebabkan kematian. Mineral lempung dari
kelompok monmorilonit dapat menyebabkan longsoran dan kerusakan pada
bangunan atau jalan, mineral ini merupakan mineral gemuk yang mempunyai
kemampuan untuk mengembang (volume bertambah dengan masuknya air) 1,5
kali dari ukuran pada saat kering dengan tekanan dapat melebihi 60 kPa dan
prosentase pengembangan (free swell) lebih dari 30 % (Huergo dkk, 1987, dalam
Rahn, 1996).

23

b. Stratigrafi dan Eksploitasi Sumber Daya Mineral


U

Urutan dan kedudukan setiap perlapisan batuan (stratigrafi) penting artinya


untuk eksploitasi sumber daya mineral. Teknik penambangan dapat ditentukan
berdasarkan kedudukan sumber daya mineral yang akan dieksploitasi, apakah
akan dilakukan tambang terbuka atau tambang bawah permukaan. Kedudukan
sumber daya mineral akan berasosiasi dengan proses pembentukan batuan
penyusun kerak bumi. Batuan sedimen akan diendapkan secara horisontal (hukum
datar asal) selapis demi selapis dari yang berumur tua hingga yang termuda
(hukum superposisi), sedangkan batuan beku biasanya memotong lapisan batuan
sedimen yang telah terbentuk sebelumnya (asas potong memotong) dan
membentuk suatu ketidakselarasan.
Suatu daerah yang akan dijadikan kawasan pertambangan dapat tersusun
oleh batuan beku, batuan sedimen atau batuan metamorf, bahkan bisa ketigatiganya. Batuan-batuan tersebut diurut dan dikelompokkan berdasarkan suatu
formasi, yaitu satuan batuan resmi yang memiliki kesamaan ciri litologi dan umur
pengendapan. Umur pengendapan dalam skala geologi dimulai dari Paleozoikum
hingga Kenozoikum. Setiap formasi dapat terdiri dari selang-seling perlapisan
batuan, sisipan batuan, dan kandungan fosil, dengan ketebalan yang dapat
mencapai puluhan hingga ratusan meter. Terkadang pula ditemukan xenolith
(batuan lain) yang dibawa oleh intrusi batuan beku pada saat bergerak menerobos
formasi-formasi di atasnya. Kontak dengan intrusi batuan beku dicirikan oleh
batuan metamorf yang ditemukan di sekitar tubuh intrusi, seperti endapan skarn,
kalkopirit serta magnetit.
Penambangan intrusi batuan beku untuk mengeksploitasi endapan mineral
bijih yang dikandungnya biasanya memiliki skala kegiatan yang sama besarnya
dengan penambangan batubara dan batugamping, yang dapat menyebabkan
perubahan topografi setempat. Seperti misalnya penambangan Intrusi Grasberg
yang berada pada ketinggian hampir 4300 meter di atas permukaan laut, dalam
wilayah Kontrak Karya-A (Contract of Work, COW A) PT Freeport Indonesia,
menunjukkan cadangan yang diperkirakan sebesar 1,11 milyar ton tembaga 1,02%
dan 1,18 g/t emas (IMC, 2000, dalam Margotomo dan Soeldjana, 2001), dimana
saat ini penambangan terbuka (open pit mining) sedang dilakukan secara intensif

24

sampai dengan kedalaman kurang lebih 500 m. Sebelumnya Intrusi Grasberg


adalah suatu area mineralisasi dengan bentuk seperti es krim dalam cone.
Penambangan seperti ini jelas akan mengganggu formasi di sekitarnya yang harus
dikupas atau dipotong dan ditimbun di sekitar kawasan penambangan
(overburden).

Gambar 3.2. Stratigrafi daerah Grasberg dan sekitarnya (sumber: P.T. Freeport Indonesia, 2001)

Dalam suatu operasi pertambangan, perlu dipertimbangkan faktor dampak


negatif yang dapat ditimbulkan oleh pengambilan tanah penutup, batuan dan
mineral-mineral

ekonomis.

Sebaiknya

fasilitas

penunjang

pertambangan

ditempatkan pada daerah-daerah yang cukup jauh dari bahaya longsor, amblesan
dan kerusakan lainnya. Suatu operasi pertambangan juga perlu dilengkapi dengan
unit pengelolaan sisa bahan tambang (air asam tambang dan tailing) yang cukup
berbahaya bagi lingkungan di sekitar pertambangan. Air asam tambang adalah air
yang berasal dari campuran sisa bahan galian (overburden) dengan air hujan atau
airtanah, dengan kandungan pH antara 4 hingga 5,8 dan mineral bijih bervariasi
antara 5 hingga 90 ppm (Wirawan, dkk, 2001). Pengelolaan air asam tambang
perlu dilakukan untuk menghindari terkontaminasinya air permukaan atau

25

airtanah, dapat dilakukan dengan cara mencampurkan unsur basa ke dalam air
asam tersebut (misalnya dengan memasukkan batugamping). Sementara itu,
tailing adalah sisa batuan yang digerus halus setelah diambil mineral ekonomisnya
melalui proses pengapungan di pabrik pengolahan bijih. Berdasarkan penelitian
tailing ini tidak beracun dan mengandung pH sekitar 8-9 (basa), namun
kandungan logam berat masih tinggi, seperti tailing di Timika (PT Freeport
Indonesia) yang mengandung Cu, Fe (5%), Pb (5 ppm), dan K (3-4%) dapat
mengakibatkan punahnya flora dan fauna di daerah hilir yang biasa dimanfaatkan
penduduk di sekitar lingkungan pertambangan. Untuk mencegah kerusakan akibat
pembuangan tailing, perlu dibuat tanggul-tanggul untuk tailing yang dibuang
langsung ke sungai atau disalurkan melalui pipa ke tempat pengendapan tailing.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, endapan tailing ini dapat
dipergunakan sebagai bahan bangunan, terutama untuk membangun kawasan
pemukiman di daerah sekitarnya (menghemat biaya transportasi). Bahkan
mungkin pada suatu saat daerah pengendapan tailing tersebut dapat menjadi
quarry yang potensial bagi pembangunan prasarana pemukiman di daerah lain.

c. Struktur Geologi
U

Struktur geologi adalah bentuk-bentuk yang dimiliki batuan penyusun


kerak bumi. Struktur geologi dapat dibedakan menjadi struktur geologi primer
yang terjadi pada saat terbentuknya batuan (misalnya perlapisan, kekar pada
batuan beku dan foliasi) dan struktur geologi sekunder (misalnya rekahan, lipatan
dan sesar) yang terjadi setelah batuan terbentuk (McGraw-Hill Encyclopedia of
the Geological Sciences, 1978, hal.803). Struktur geologi primer hampir selalu
berkembang pada setiap batuan yang terbentuk, tergantung dari proses
pembentukan batuan tersebut. Struktur geologi sekunder mempunyai pengaruh
yang cukup besar di dalam membentuk roman muka bumi, sedikitnya mampu
mengendalikan gerak airtanah yang terkandung dalam batuan penyusun kerak
bumi. Struktur sekunder ini terjadi akibat bekerjanya gaya-gaya kompresi
(tekanan) dan tensi (tarikan) terhadap batuan. Gaya kompresi akan mengakibatkan
terbentuknya lipatan, kekar, patahan (sesar) naik/mendatar, penunjaman, dan
penebalan setempat. Sementara gaya tensi akan mengakibatkan terbentuknya

26

rekahan, patahan normal, terban (graben), dan penipisan setempat. Gejala geologi
yang terjadi akibat gaya-gaya tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis dan elastisitas
batuan dan mekanisme gaya yang bekerja.
Batuan yang mengalami tekanan, yang masih berada di bawah batas
elastisitasnya (elastic limit), akan mengalami perlipatan (antiklin dan sinklin) dan
pada tempat tertentu sumbu lipatan akan menunjam. Apabila tekanan ini terus
bekerja akan mengakibatkan terbentuknya kekar-kekar atau rekahan-rekahan
dalam batuan. Selanjutnya kekar atau rekahan ini akan tergeserkan dan
membentuk sesar/patahan, sehingga terjadi perpindahan antar bagian-bagian yang
saling berhadapan dengan arah yang sejajar bidang patahan. Jika bagian yang
berada di atas bidang patahan (hanging wall) relatif bergeser naik terhadap bagian
di bawah bidang patahan (foot wall) disebut sesar naik (thrust fault), sebaliknya
jika hanging wall relatif bergeser turun terhadap foot wall disebut sesar normal
(normal fault). Jika pergeseran terjadi secara horisontal, dimana gaya kompresi
dan gaya tensi bekerja hampir sama kuatnya, maka akan terbentuk sesar mendatar
(strike-slip fault).
Zona-zona di sekitar pergeseran (zona sesar) merupakan zona lemah,
dalam skala besar akan bertindak sebagai jalur penerobosan magma (intrusi) yang
akan membawa serta mineral-mineral ekonomis menuju permukaan. Di sisi lain
zona lemah ini merupakan kawasan rawan bencana geologi, seperti amblesan dan
longsoran, apalagi jika sesar yang terbentuk masih merupakan sesar aktif atau
berada pada zona tektonik aktif (misal zona subduksi) seperti Zona Sesar
Sumatera dan sesar-sesar di daerah Papua (Zona Sesar Hannekam, Sesar
Zaagkam, Zona Sesar Wanagon, Sesar Meren Valley) yang dapat menimbulkan
bencana

gempa

bumi.

Kawasan

pertambangan

(terutama

pertambangan

sumberdaya energi dengan bahan-bahan mudah terbakar) yang berada pada zona
ini sebaiknya dilengkapi dengan teknik-teknik pencegahan longsor/amblesan dan
pemantauan stabilitas lereng secara intensif. Selain itu, fasilitas penunjang
pertambangan semaksimal mungkin dijauhkan dari jalur-jalur yang dilalui sesar.

27

3.2. Hidrogeologi
Hidrogeologi adalah suatu studi interaksi antara kerja kerangka batuan dan
airtanah yang dalam prosesnya menyangkut aspek-aspek kimia dan fisika yang
terjadi di dekat atau di bawah permukaan bumi (Kodoatie, 1996). Berbicara
hidrogeologi tidak akan lepas dari daur hidrologi sebagai berikut; evaporasi dari
tanah atau air laut dan transpirasi dari tumbuh-tumbuhan kondensasi dalam
awan presipitasi dalam bentuk hujan infiltrasi dan perkolasi ke dalam tanah
atau menjadi air limpasan (sungai dan danau) kembali evapotranspirasi (Davies
dan DeWiest, 1966, dalam Rahn, 1996).

Gambar 3.3. Daur Hidrologi (Davies dan DeWiest, 1966, dalam Rahn, 1996)

a. Air Permukaan dan Air Bawah Permukaan (Airtanah)


U

Data curah hujan di suatu daerah pada kurun waktu tertentu merupakan
unsur penting dalam penentuan neraca keseimbangan air (water balance). Di
daerah pedataran dan kaki pegunungan yang memiliki vegetasi sangat lebat hujan
akan meresap (infiltrasi) dengan baik ke dalam tanah, sedangkan di daerah lereng
pegunungan yang cukup terjal hujan akan lebih cepat melimpas ke dalam saluransaluran sungai daripada berinfiltrasi ke dalam tanah (kecepatan run off >

28

infiltrasi). Air yang melimpas ini akan membentuk suatu sistem daerah aliran
sungai (DAS), yang dibatasi oleh batas-batas aliran air (watershed). Sungai-sungai
dalam DAS di sekitar kawasan pertambangan sering dipergunakan sebagai sungai
pembuangan tailing (seperti DAS Wanagon-Aghawagon-Otomona di Papua),
dengan harapan kepekatan lumpur tailing akan cepat berkurang seiring dengan
perjalanannya menuju daerah hilir atau laut. Penataan lingkungan pertambangan
dengan memanfaatkan air permukaan (sungai, danau, laut) harus direncanakan
sebaik mungkin dan tidak mengganggu air permukaan yang sering dipergunakan
oleh penduduk setempat untuk mandi, mencuci, minum, dan lain sebagainya.
Air yang meresap ke dalam tanah akan membentuk suatu sistem aliran air
bawah permukaan (airtanah), yang akan berbeda pada masing-masing daerah,
tergantung dari litologi dan bentang alamnya. Litologi atau lapisan batuan yang
mengandung airtanah disebut lapisan akifer. Berdasarkan sifat fisik dan
kedudukannya dalam kerak bumi, akifer dapat dibedakan menjadi empat jenis,
yaitu :
Akifer bebas, yaitu akifer tak tertekan (unconfined aquifer) dan merupakan
airtanah dangkal (umumnya <20 m), umum dijumpai pada daerah endapan
aluvial. Airtanah dangkal adalah airtanah yang paling umum dipergunakan
sebagai sumber airbersih oleh penduduk di sekitarnya.
Akifer setengah tertekan, disebut juga akifer bocor (leaky aquifer), merupakan
akifer yang ditutupi oleh lapisan akitard (lapisan setengah kedap) di bagian
atasnya, dapat dijumpai pada daerah volkanik (daerah batuan tuf).
Akifer tertekan (confined aquifer), yaitu akifer yang terletak di antara lapisan
kedap air (akiklud), umumnya merupakan airtanah dalam (umumnya > 40 m)
dan terletak di bawah akifer bebas. Airtanah dalam adalah airtanah yang
kualitas dan kuantitasnya lebih baik daripada airtanah dangkal, oleh karenanya
umum dipergunakan oleh kalangan industri termasuk di dalamnya kawasan
pertambangan.

29

Gambar 3.4. Ilustrasi dari tiga jenis akifer menurut Kruseman dan deRieder, 1994

Airtanah mengalir dari daerah yang lebih tinggi (daerah tangkapan) ke


daerah yang lebih rendah (daerah buangan) menuju laut. Daerah tangkapan
didefinisikan sebagai bagian dari suatu daerah aliran (catchment area) dimana
aliran airtanah jenuh menjauhi permukaan tanah, sedangkan daerah buangan
didefinisikan sebagai bagian dari catchment area dimana aliran airtanah menuju
permukaan tanah (Kodoatie, 1996). Kedudukan muka airtanah (pada akifer bebas)
maupun muka pisometrik (pada akifer tertekan) merupakan hal yang penting
untuk diketahui, karena mencerminkan kesetimbangan hidrodinamika airtanah di
suatu daerah. Pengukuran kedudukan airtanah dapat dilakukan pada sumur gali
penduduk atau pada sumur bor dalam waktu yang relatif sama dan dibedakan
antara muka airtanah bebas dengan muka airtanah tertekan, sehingga hasil
pengukuran hanya menggambarkan kondisi airtanah pada suatu waktu tertentu.
Hasil pengukuran ini dituangkan menjadi suatu peta yang menggambarkan bentuk
morfologi permukaan airtanah beserta arah alirannya (termasuk di dalamnya
aliran permukaan), berdasarkan peta tersebut dapat dihitung gradien hidrolika
(kemiringan muka airtanah) daerah bersangkutan. Peta ini, apabila digabungkan
dengan peta topografi permukaan dan peta geologi, berguna untuk membuat
perencanaan kawasan pertambangan yang aman dan tidak merusak lingkungan di
sekitarnya. Namun demikian, kadang-kadang arah aliran airtanah pada daerah
pertambangan agak sulit untuk ditentukan, seperti misalnya daerah satuan
batugamping yang memiliki sistem rekahan yang cukup kompleks.

30

b. Potensi Bencana Banjir dan Pencemaran


U

Curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan meluapnya air permukaan


dan menyebabkan bencana banjir bagi penduduk di daerah hilir. Oleh karena itu,
daerah aliran sungai di sekitar penambangan (bagian hulu) perlu dikonservasi
sebaik mungkin, jangan sampai daerah resapan/tangkapannya menjadi rusak.
Curah hujan yang tinggi ini pada daerah-daerah tertentu (daerah permeabel) dapat
menyebabkan infiltrasi air menjadi lebih cepat dan menyulitkan pekerjaan
penambangan, baik pada tambang terbuka (open pit mining) ataupun pada
tambang bawah permukaan (underground mining). Seperti telah disinggung
sebelumnya, pada tambang bawah permukaan dapat terjadi banjir lumpur yang
cukup membahayakan bagi para pekerja di bawah permukaan. Selain itu, skala
penambangan yang cukup besar menyebabkan airtanah terpotong, sehingga
penirisan tambang perlu dilakukan secermat mungkin melalui perhitungan yang
matang dan akurat. Penirisan pada tambang terbuka dapat dilakukan dengan cara
pemompaan, sedangkan pada tambang bawah permukaan dengan cara membuat
saluran air (water intersection) pada rekahan-rekahan, kontak sesar, zona RQD
yang buruk, kontak litologi dan perlapisan batuan, baik dengan pemboran
horisontal maupun vertikal untuk kemudian dialirkan melalui saluran-saluran
bawah tanah (drift).
Pencemaran air telah menjadi perhatian utama saat ini, khususnya untuk
daerah permukiman yang padat. Pencemaran ini dapat berasal dari industri,
pertambangan, maupun tempat pembuangan akhir (TPA). Pencemaran air yang
terjadi di bawah permukaan (pencemaran airtanah) lebih sulit dideteksi daripada
pencemaran air permukaan, bahkan lebih sulit untuk dikontrol dan dapat
berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Dengan demikian pencemaran
airtanah dapat merusak tata guna air dan dapat membahayakan kesehatan makhluk
hidup melalui zat yang bersifat racun atau menjadi media penyebaran wabah
penyakit.
Proses pencemaran airtanah di kawasan pertambangan dimulai dengan
menyerapnya air dari presipitasi yang jatuh di atas landfill (timbunan overburden),
bercampur dengan cairan yang telah terdapat dan terbentuk sebelumnya,
membentuk suatu larutan yang disebut air asam tambang. Air asam tambang ini

31

kemudian bergerak ke bawah menuju muka airtanah dan menyebabkan


pencemaran pada airtanah. Pemilihan lokasi landfill untuk pembuangan
overburden ini perlu didukung oleh beberapa pendekatan sebagai berikut
(dimodifikasi dari Bagchi, 1994):
- tidak terlalu dekat dengan danau/kolam (>300 m) dan sungai (>30 m),
-

tidak terletakdi daerah rawa (lahan basah),

minimal berada pada jarak 365 m dari sumur yang dimanfaatkan oleh
penduduk di sekitarnya.

32

BAB 4
PENUTUP

Reklamasi lahan pasca penambangan harus dilakukan baik pada area


fasilitas penunjang pertambangan (jalan, jembatan, bangunan-bangunan, daerah
pengendapan tailing, dsb) maupun area penggalian bahan tambang (daerah bekas
eksplorasi maupun eksploitasi). Reklamasi ini merupakan persyaratan paling
penting bagi daerah tambang, karena tingginya peran pertambangan dalam
degradasi lingkungan dan bencana geologi. Bencana geologi adalah suatu istilah
umum yang digunakan untuk menyebut potensi kerugian yang terjadi akibat
interaksi antara manusia dengan alam atau antara manusia dengan teknologinya
(Burton, dkk, 1978, dalam Lundgren, 1986). Umumnya bencana tersebut meliputi
peristiwa-peristiwa seperti gempabumi, longsor, banjir, angin topan, letusan
gunungapi, amblesan pada daerah tambang, timbunan sampah beracun, bobolnya
bendungan, atau kebocoran PLTN (nuklir).
Reklamasi pada daerah bekas pemboran eksplorasi, daerah bekas
penambangan maupun lahan tailing yang tidak produktif dapat dilakukan dengan
percobaan untuk menanam tanaman pertanian yang produktif dan berkelanjutan.
Namun demikian, perlu dicatat disini bahwa suksesi rehabilitasi lahan pasca
penambangan ini memerlukan waktu yang cukup lama, terutama daerah
pengendapan tailing yang harus menunggu hingga pengendapan tailing berakhir.
Oleh karena itu, pemilihan tanaman yang cepat tumbuh (seperti rumput-rumputan,
beringin, atau tanaman hutan lainnya) akan menjadi lebih berarti pada saat ini,
baru kemudian dilanjutkan dengan program agronomi lainnya secara bertahap.
Mengingat proses reklamasi ini memakan waktu yang cukup lama, maka perlu
diimbangi oleh kegiatan lain yang dapat mencegah meluasnya kerusakan
ekosistem di sekitar daerah tambang. Pemeliharaan ekosistem di sekitar daerah
tambang menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup spesies-spesies tertentu
yang belum terganggu ataupun bagi upaya pengurangan pengaruh pemanasan
global. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan membuat konsep tiga zona,
yaitu Zona Konservasi Inti, Zona Penyangga, dan Zona Produksi Intensif. Zona
Konservasi Inti adalah ekosistem sekitar penambangan yang belum terganggu dan

33

harus dijaga kelestariannya secara absolut. Zona Penyangga adalah daerah bekas
penambangan yang harus segera direhabilitasi dan dijaga kelangsungan suksesi
(reklamasi) yang sedang berlangsung. Zona Produksi Intensif adalah daerah
penambangan yang masih aktif, termasuk kawasan pengolahan dan pemukiman.

34

DAFTAR PUSTAKA
Bagchi, A. 1994. Design, construction and monitoring of landfills. John Wiley &
Sons Inc., Canada, 361p.
Bennett, Matthew R. dan Peter Doyle. 1997. Environmental Geology : Geology
and The Human Environment. Book News Inc., Portland, OR.
Dunn, I.S., Andreson, L.R., & Kiefer, F.W. 1980. Fundamentals of Geotechnical
Analysis. John Willey & Sons, New York, USA.
Fetter, C.W. 1988. Applied hidrogeology, second edition. Merrill Publishing
Company, Ohio, USA.
Kodoatie, Robert J. 1996. Pengantar Hidrogeologi. Percetakan Andi Offset,
Yogyakarta.
Kruseman, G. P. and N. A. de Ridder. 1994. Analysis and evaluation of pumping
test data. International Institute of Land Reclamation and
Improvement/ILRI, Wageningen, The Netherlands, p.13-235 & p.289352.
Lapedes, D. N., et. al. 1978. McGraw-Hill encyclopedia of the geological
sciences. McGraw Hill Inc., p.803.
Longman Group Ltd. 1982. Longman illustrated dictionary of geology. York
Press, Beirut.
Lundgren, Lawrence. 1986. Environmental geology. Prentice-Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey, USA.
Margotomo, W, and Soeldjana, A. 2001. Grasberg Pit Geology. Visitor Guide
Summary (compiled by W. Margotomo & A. Soeldjana), Grasberg
Mine Geology, Geologic Services Group, PT Minerserve International,
PT Freeport Indonesia, unpub.
PTFI. Briefing Information. Pub. by PT Freeport Indonesia Company, Kuala
Kencana, Irian Jaya, Indonesia.
____. Reklamasi Lahan Tailing di PT Freeport Indonesia, Suatu Pendekatan
Program Reklamasi Ramah Lingkungan. Pub. by PT Freeport
Indonesia Company, Kuala Kencana, Irian Jaya, Indonesia.
____. 2000. Sejarah Eksplorasi PT Freeport Indonesia 1989-2000. Pub. by PT
Freeport Indonesia Company, Kuala Kencana, Irian Jaya, Indonesia.
Rahn, Perry H. 1996. Engineering Geology, An Environmental Approach, second
edition. Prentice Hall Inc., A Simon & Schuster Company, Upper
Saddle River, New Jersey.
Sapiie, B. 2001. Stratigraphy and structural geology along The Gunung Bijih
(Ertsberg) Mining Access (GBMA) road, Irian Jaya, Indonesia.
Geology Field Guidebook Timika-Tembagapura, Irian Jaya.
Geodynamic Laboratory, Department of Geology, Faculty of Sciences
and Mineral Technology, Institut Teknologi Bandung, tidak
dipublikasikan.
Seyhan, E. 1977. Fundamentals of Hydrology, revised edition. Geografisch
Instituut der Rijksuniversiteit te Utrecht.
Sudradjat, Adjat. 1975. Pengantar Geomorfologi. Akademi Geologi dan
Pertambangan, Bandung, tidak dipublikasikan.

35

Thornbury, D. William. 1969. Principal of Geomorphology, Second Edition. John


Willey and Sons Inc., New York.
Todd, D. K. 1980. Groundwater hydrology. John Willey & Sons Inc., New York,
535p.
Van Zuidam, R.A. 1988. Anual Photo Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphic Mapping. International Institute for Aerospace Survey
and Earth Science, ITC, Smith Publisher The Hague.
Wirawan, R., Arianto, M., Nugroho, B., & Purawidjaja, B. 2001. Geologic control
of water intersection in mine dewatering at Erstberg Mining District,
Irian Jaya, Indonesia. Prepared for presentation of ITB Master
Graduate Students Field Trip to PT Freeport Indonesia, Geologic
Services Group, PTFI.

36

LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Dasar Dalam Studi Topografi
a. Peta Topografi
U

Peta Topografi menunjukkan gambaran geografi dan budi daya manusia


(pemukiman, sawah, kebun, dsb). Peta ini menunjukkan tinggi rendahnya suatu
daerah yang disimbolkan oleh garis-garis yang menghubungkan ketinggian
yang sama (garis kontur). Skala yang dipergunakan dalam Peta Topografi dapat
bervariasi (tergantung dari kebutuhan), yang umum adalah 1 : 250.000,
1 : 100.000,

1 : 50.000, dan 1 : 25.000. Di Indonesia Peta Topografi

dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional


(Bakosurtanal) dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (Puslitbang
Geologi).
Informasi-informasi yang digambarkan oleh simbol dalam Peta Topografi
diantaranya adalah:
- Hasil budi daya manusia; jalan, pemukiman, bendungan, kawasan
pertambangan, tempat ibadah, lapangan terbang, dan sebagainya.
- Keadaan alam; sungai, danau, rawa, hutan, puncak gunung, pantai, air
terjun, dan sebaginya.
- Batas administrasi; batas kecamatan, kabupaten, provinsi, dan batas negara.
- Garis-garis lintang dan bujur.
- Skala peta yang menunjukkan skala horisontal.
- Ketinggian permukaan tanah, ditunjukkan oleh garis kontur dan titik ikat.
- Penyimpangan magnetik (deklinasi).
- Data-data lain yang menyangkut keterangan peta.
Berdasarkan informasi-informasi tersebut, kita dapat menginterpretasi beberapa
hal sebagai berikut:
- Bentuk roman muka bumi (melalui rekonstruksi penampang vertikal dan
diagram blok).
- Jenis bentang alam (satuan geomorfologi berdasarkan relief atau pola
pengaliran sungai).

37

- Struktur geologi sekunder (berdasarkan pola pengaliran sungai atau


kelurusan sungai).
- Daerah aliran sungai (DAS).
b. Foto Udara
U

Foto Udara yang diambil secara vertikal akan membantu penafsiran Peta
Topografi. Foto ini memperlihatkan secara jelas relief, perbedaan litologi dan
struktur geologi yang berkembang pada suatu daerah. Untuk menafsirkan
keadaan topografi atau geologi suatu daerah, perlu dilakukan beberapa kali
pemotretan berdasarkan teknik tertentu. Selanjutnya penafsiran Foto Udara
dilakukan dengan bantuan suatu alat yang disebut stereoskop, setelah terlebih
dahulu foto-foto tersebut ditumpang tindihkan menjadi suatu stereogram.
c. Citra Satelit
U

Dihasilkan dari penginderaan jarak jauh melalui satelit, untuk dipergunakan


dalam pemetaan dan pemantauan keadaan suatu lingkungan. Data-data
perubahan yang terjadi pada saat ini akan terekam dengan jelas, sehingga data
Citra Satelit akan sangat membantu para ahli lingkungan dan ahli teknik dalam
perencanaan suatu lahan. Mekanisme kerja dari Citra Satelit adalah mendeteksi
radiasi yang dipancarkan bumi dalam bentuk spektrum yang mempunyai
kisaran dari gelombang panjang (radio, radar dan inframerah) hingga
gelombang pendek (ultraviolet, sinar X, sinar gamma, dan gelombang kosmik),
sebagai contoh beberapa gelombang pendek akan memberikan informasi
mengenai saluran sungai yang mengandung pasir. Dalam perekamannya Citra
Satelit menggunakan sistem scanning, bukan pemotretan seperti halnya Foto
Udara. Skala yang biasa dipergunakan dalam Citra Satelit adalah 1 : 1.000.000.
d. Radar
U

Radar biasanya dipergunakan untuk mendeteksi objek seperti mobil atau


pesawat terbang. Prinsip kerjanya adalah mendeteksi pantulan radiasi
elektromagnetik dari suatu objek dengan kisaran antara 0,5 - 10 mm.
Perbedaannya dengan Citra Satelit adalah Radar direkam dengan menggunakan
detektor yang dibawa oleh pesawat terbang seperti halnya pemotretan udara.
Keunggulan dari sistem ini adalah hasilnya yang cukup jernih (tidak berawan),
tetapi sistem ini tidak dapat mencakup objek yang lebih luas.

38

Lampiran 2. Peta Geologi


Peta Geologi adalah sebuah peta yang menggambarkan satuan batuan (dalam
istilah resmi disebut formasi) dan struktur geologi yang berkembang pada suatu
daerah. Satuan batuan dan struktur geologi tersebut biasanya disimbolkan oleh
suatu warna/patern/garis. Peta Geologi dapat memberikan beberapa gambaran
sebagai berikut:
1. Daerah perbukitan karst (sinkholes, sungai dan gua bawah tanah, dsb).
2. Daerah berpotensi banjir (pedataran aluvium).
3. Daerah dengan kemiringan lereng yang tidak stabil.
4. Daerah resapan dan cekungan airtanah.
5. Zona sesar aktif.
6. Daerah sumber panas bumi (geotermal).
7. Cekungan air permukaan (daerah aliran sungai).
8. Tipe-tipe batuan dan mineral.
Peta Geologi ini juga bermanfaat bagi penentuan karakter tanah yang merupakan
hasil dari pelapukan batuan. Kegunaan Peta Geologi dapat bermacam-macam,
seperti digambarkan berikut ini:
Untuk Ahli Geologi :

1. Mengetahui keadaan batuan termasuk di dalamnya umur, jenis litologi, dan


struktur geologinya.
2. Merekonstruksi penampang vertikal untuk mengetahui keadaan bawah
permukaan.
3. Merekonstruksi sejarah geologi.
4. Mengeksplorasi sumberdaya alam.
5. Mengetahui lokasi sumber air dan zona resapan airtanah.
Untuk Ahli Teknik Sipil, Teknik Lingkungan dan Geologi Teknik :

1. Mengidentifikasi bencana alam yang diperkirakan terjadi pada suatu daerah,


untuk

merencanakan,

mendesain,

dan

memelihara

infrastruktur

yang

dibutuhkan manusia.
2. Menentukan bagaimana cara memindahkan material batuan (misal untuk
batuan keras melalui teknik peledakan).

39

3. Untuk membantu mengevaluasi biaya dan permasalahan yang timbul dalam


pembangunan bendungan, fondasi bangunan, lokasi jalan raya, terowongan,
saluran-saluran pipa, dan lain-lain.
4. Merencanakan modifikasi dan struktur pantai untuk menahan pengikisan.
5. Memilih tempat yang cocok untuk penimbunan sampah.
6. Menentukan kekuatan batuan, kekerasan dan karakteristik permeabilitasnya.

40

Anda mungkin juga menyukai