Oleh
T. Yan W. M. Iskandarsyah
NIP. 132310582
Setelah membaca karya tulis ini dengan seksama, maka kami menyetujui bahwa
karya tulis ini dapat dipergunakan sebagai bahan untuk pengajuan kenaikan
Pangkat/Jabatan Fungsional staf pengajar pada Fakultas Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran
Menyetujui,
Kepala Laboratorium
Geologi Lingkungan dan Hidrogeologi
Mengetahui,
Dekan Fakultas Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran
SARI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
SARI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Halaman
iii
iv
v
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Definisi
1.2. Geologi Lingkungan: Sebuah Model
1.3. Sejarah Geologi Lingkungan
1.4. Geologi Lingkungan dan Operasi Pertambangan
1
1
3
6
7
8
8
10
16
BAB 4. PENUTUP
30
DAFTAR PUSTAKA
32
16
25
LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Definisi
Geologi Lingkungan adalah interaksi antara manusia dengan lingkungan
geologis. Lingkungan geologis terdiri dari unsur-unsur fisik bumi (batuan,
sedimen, tanah dan fluida) dan unsur permukaan bumi, bentang alam dan prosesproses yang mempengaruhinya. Bagi kehidupan manusia, lingkungan geologis
tidak hanya memberikan unsur-unsur yang menguntungkan/bermanfaat seperti
ketersediaan air bersih, mineral ekonomis, bahan bangunan, bahan bakar dan lainlain, tetapi juga memiliki potensi bagi terjadinya bencana seperti gempa bumi,
letusan gunung api dan banjir.
Geologi Lingkungan bisa dikategorikan sebagai bagian dari ilmu
lingkungan, karena ilmu lingkungan adalah dasar pemahaman kita mengenai bumi
dan membahas interaksi manusia dengan seluruh aspek yang ada disekelilingnya,
termasuk aspek geologis serta dampaknya bagi kehidupan manusia. Karena itu
filosofi utama dari geologi lingkungan adalah konsep manajemen lingkungan
yang didasarkan pada sistem geologi untuk pembangunan berkelanjutan dan
bukan pada beban lingkungan yang tidak bisa diterima. Berdasarkan hal tersebut,
Geologi Lingkungan memiliki empat komponen kajian utama sebagai berikut:
1. Mengelola sumber daya geologis, yaitu pengawasan dan mitigasi kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas eksplorasi dan eksploitasi
2. Memahami dan menyesuaikan batasan-batasan pada rekayasa dan konstruksi
yang dipengaruhi oleh lingkungan geologis suatu daerah.
3. Penerapan lingkungan geologis yang tepat untuk pembuangan limbah sehingga
bisa mengurangi masalah kontaminasi dan polusi.
4. Pemahaman tentang bencana alam dan mengurangi dampaknya pada manusia.
Gambar 1.1. Proses yang terjadi pada lingkungan permukiman di perkotaan (Bennett, Matthew R.
dan Peter Doyle, 1997)
Gambar 1.2. Model skematis hubungan antara lingkungan perkotaan dengan daerah di sekitarnya
(Bennett, Matthew R. dan Peter Doyle, 1997)
bencana alam yaitu mencegah (proaktif) adalah lebih baik dari pada
memperbaiki (reaktif). Akan tetapi untuk dapat proaktif dibutuhkan data dan
informasi yang akurat tentang penyebaran sumber daya, bencana alam dan
kondisi tanah maka berarti dibutuhkan integrasi yang efektif antara tiga cabang
ilmu kebumian yaitu Geomorfologi Terapan, Geologi Teknik dan Geologi
Ekonomi.
10
BAB 2
TINJAUAN KLIMATOLOGI DAN GEOMORFOLOGI
UNTUK OPERASI PERTAMBANGAN
2.1. Klimatologi
Klimatologi adalah kajian mengenai iklim suatu daerah termasuk di
dalamnya cuaca, temperatur, kelembaban udara, curah hujan, arah dan kecepatan
angin. Iklim dibedakan menjadi iklim tropis (tropis basah dan kering), sub tropis
(iklim gurun, semi gurun, iklim sedang, dan mediteranian), iklim dingin (sub
arktik) dan kutub. Secara geografis wilayah Indonesia yang terletak pada garis
equator termasuk ke dalam daerah beriklim tropis basah, yang umumnya memiliki
temperatur hangat, kelembaban udara tinggi, dan curah hujan tinggi. Iklim
demikian menyebabkan wilayah Indonesia memiliki tanah yang subur, cocok
untuk lahan pertanian dan memiliki hutan yang cukup lebat, tetapi kondisi curah
hujan dalam iklim ini yang cukup tinggi berpotensi besar bagi terjadinya bencana
banjir.
11
Temperatur tergantung dari radiasi sinar matahari dan sumber panas yang
berasal dari dalam bumi yang diterima di suatu daerah, dalam hal ini letak
geografis, elevasi dan peranan vegetasi menjadi sangat penting di dalam proses
perubahan temperatur. Vegetasi akan mengurangi radiasi sinar matahari dan
menjaga laju radiasi dari dalam bumi, sehingga temperatur rata-rata di dalam
kawasan hutan lebih rendah daripada di daerah terbuka, sebaliknya temperatur
minimum di dalam hutan akan lebih tinggi daripada di tempat terbuka.
Temperatur rata-rata di dalam kawasan hutan yang sedikit lebih rendah ini
menyebabkan kelembaban nisbinya akan menjadi lebih tinggi daripada di daerah
terbuka. Keadaan ini dapat menjadi pertimbangan untuk menempatkan fasilitas
pertambangan di daerah terbuka.
Curah hujan pada suatu daerah dicirikan oleh intensitas hujan, yaitu
jumlah presipitasi yang jatuh pada saat tertentu (mm/menit, cm/jam, mm/tahun,
cm/tahun, dsb). Data curah hujan dapat diperoleh dari Badan Meteorologi dan
Geofisika atau diukur sendiri melalui alat penakar hujan. Data curah hujan ini
sangat bermanfaat untuk mengurangi resiko yang terlibat dalam konstruksi
rekayasa pertambangan, seperti pemeliharaan stabilitas lereng pit dan teknik
penirisan tambang. Curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan potensi bencana
geologi di dalam tambang bawah permukaan seperti banjir lumpur basah, yaitu air
yang masuk ke dalam block cave bercampur dengan bijih berukuran halus yang
meluncur secara tiba-tiba dan cepat dengan volume yang besar (seperti yang
terjadi di PT Freeport Indonesia, Wirawan dkk, 2001). Sementara itu, curah hujan
yang rendah akan menyulitkan penyediaan air yang dibutuhkan oleh suatu operasi
pertambangan maupun fasilitas penunjangnya.
Data arah dan kecepatan angin cukup penting bagi penanggulangan
pencemaran udara yang ditimbulkan oleh suatu operasi pertambangan.
Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh asap yang dikeluarkan oleh instalasi
pengolah bahan tambang atau frekuensi lalu lintas kendaraan pengangkut bahan
tambang. Bentuk roman muka bumi dan kerapatan vegetasi dapat dimanfaatkan
untuk merubah arah dan kecepatan angin. Hutan dan perbukitan dapat menjadi
penghalang mekanis terhadap angin dan membelokkan angin ke atas serta
mengurangi kecepatannya, hal ini menjadi penting untuk memindahkan kawasan
12
2.2. Geomorfologi
Bentuk-bentuk umum roman muka bumi, perubahan-perubahan yang
terjadi sepanjang evolusinya dan hubungannya dengan keadaan struktur di
bawahnya serta sejarah perubahan geologi yang diperlihatkan atau tergambar pada
bentuk permukaan dipelajari dalam geomorfologi (American Geological Institute,
1973, dalam Adjat Sudradjat, 1975). Thornbury (1969), menganggap bahwa
faktor-faktor penyebab terjadinya bentuk permukaan bumi antara lain adanya
pengaruh proses fisika dan kimia yang kemudian dikenal sebagai proses
geomorfologi. Adanya pengaruh struktur, proses serta tingkat perkembangan erosi
akan berpengaruh dalam pembentukan roman muka bumi (Davis, 1901, dalam
Thornbury, 1969).
Bentuk roman muka bumi (bentang alam) yang sesuai untuk suatu
kawasan pertambangan ditentukan berdasarkan hasil pengamatan terhadap
lansekap lapangan yang meliputi relief, kemiringan lereng, ketinggian daerah
(elevasi), pola pengaliran sungai, litologi, dan struktur geologi yang berkembang.
Data tersebut ditunjang oleh analisis terhadap peta topografi, foto udara, data
satelit dan GIS (yang dapat diperoleh dari instansi pemerintah maupun pihak
swasta), serta penelitian terdahulu (lihat lampiran 1). Relief suatu daerah akan
mencirikan beda tinggi satu tempat dengan tempat lainnya dan juga
menampakkan curam landainya lereng, pola bentuk dan ukuran bukit, lembah,
gunung, dataran, gawir, dan sebagainya. Van Zuidam (1988) telah membuat suatu
klasifikasi dari penamaan relief berdasarkan kemiringan lereng, sebagai berikut :
0-2 (0%-2%)
2-4 (2%-7%)
4-8 (7%-15%)
: miring (sloping)
8-16 (15%-30%)
16-35 (30%-70%)
: curam (steep)
13
35-55 (70%-140%)
>55 (>140%)
Bentang alam yang landai umumnya berkembang pada daerah aluvial atau
daerah yang batuannya lunak (seperti lempung, napal, dsb), daerah ini cocok
untuk dijadikan sebagai kawasan penunjang pertambangan seperti kawasan
pemukiman, pertanian dan perkebunan tanaman-tanaman yang diperuntukkan
bagi reklamasi lahan pasca penambangan. Bentang alam bergelombang biasanya
ditempati oleh batuan sedimen/metamorf yang keras (seperti breksi, konglomerat,
batupasir, dsb), sedangkan intrusi batuan beku akan membentuk bukit-bukit yang
berdiri sendiri (soliter) seperti halnya batugamping dengan perbukitan karstnya
yang disertai dengan sungai terputus-putus, depresi dan dolina-dolina. Daerah
dengan bentang alam seperti ini sebenarnya merupakan daerah yang perlu
dikonservasi (dilindungi) mengingat umumnya daerah ini adalah daerah resapan
bagi kebutuhan air di daerah hilir. Apabila potensi sumberdaya mineralnya cukup
bagus, daerah ini dapat dijadikan kawasan pertambangan dengan memperhatikan
aspek-aspek dampak lingkungan dan penanggulangan potensi bencana geologi
yang dapat ditimbulkannya.
Pola pengaliran sungai pada suatu daerah memberikan gambaran umum
jenis batuan dan struktur geologi yang berkembang. Beberapa pola pengaliran
sungai yang penting antara lain :
Dendritik
Mempunyai pola seperti ranting daun, anak sungai bergabung pada sungai
utama dengan sudut yang tajam, menunjukkan batuan yang homogen yang dapat
berupa batuan sedimen atau volkanik. Daerah yang memiliki pola pengaliran
seperti ini cukup aman untuk dijadikan kawasan pertambangan, karena kondisi
geologinya relatif stabil.
Paralel
Terbentuk pada permukaan yang memiliki kemiringan yang seragam, sudut
anak sungai dengan sungai utama dikontrol oleh adanya sesar atau rekahan.
Daerah yang memiliki pola pengaliran seperti ini apabila akan dijadikan
kawasan pertambangan harus memperhatikan sesar yang berkembang dan
mengontrol sungai utama.
14
Rektangular
Arah anak sungai dan hubungannya dengan sungai utama dikontrol oleh kekar
(joint), rekahan (fracture) dan bidang foliasi yang membentuk sudut tegak lurus
dengan sungai utama, umumnya terdapat pada batuan metamorf. Sebelum
daerah yang memiliki pola pengaliran seperti ini dijadikan kawasan
pertambangan harus diperhitungkan dahulu pola kekar dan rekahan yang
berkembang, untuk menghindari zona-zona lemah yang cukup berpotensi bagi
terjadinya bencana geologi.
Trelis
Mempunyai anak sungai yang pendek-pendek sejajar, pola ini lebih
menunjukkan struktur geologi daripada jenis litologi, umumnya terdapat pada
daerah batuan sedimen dengan kemiringan tertentu dan adanya perselingan
antara batuan yang lunak dengan batuan yang keras, sungai utama akan
mengikuti arah jurus daripada perlapisan. Daerah ini tidak cukup aman bagi
kawasan pertambangan karena memiliki struktur sesar dan kemiringan lereng
curam, apabila akan dijadikan kawasan pertambangan harus menggunakan
teknologi yang cukup mahal biayanya.
Radial
Aliran sungai menyebar dari daerah puncak yang lebih tinggi, umumnya
berasosiasi dengan gunung atau bukit. Seperti halnya pada pola pengaliran trelis,
daerah ini membutuhkan teknologi yang cukup mahal biayanya karena memiliki
kemiringan lereng curam hingga terjal, sebaiknya daerah ini dijadikan kawasan
lindung apabila sumberdaya mineralnya tidak cukup bagus.
Sentripetal
Sungai menunjuk ke satu arah, umumnya menunjukkan adanya depresi atau
akhir daripada antiklin/sinklin yang tererosi. Daerah ini cukup baik untuk
dijadikan kawasan penunjang pertambangan, dengan memanfaatkan daerah
depresi (pedataran) sebagai kawasan pemukiman, pertanian dan instalasi
pertambangan lainnya.
15
Daerah dengan bentang alam curam hingga terjal (kemiringan lereng 15%
hingga >140 %) memiliki potensi bencana geologi longsoran atau runtuhan yang
cukup besar, yang frekuensinya tergantung dari iklim, kekerasan batuan,
kemiringan lereng dan ketinggian permukaan. Kemiringan lereng yang curam ini
dapat terbentuk secara alamiah akibat pengikisan oleh sungai secara vertikal
(denudasi), proses pelarutan kimiawi (di daerah batugamping) atau akibat adanya
proses pembentukan sesar yang menghasilkan gawir sesar. Bentang alam curam
hingga terjal biasanya dijumpai pada daerah perbukitan bergelombang, perbukitan
intrusi, perbukitan karst atau pada daerah yang memiliki pola pengaliran sungai
trelis, rektangular, paralel, dan radial. Pada daerah perbukitan karst perlu juga
diwaspadai kemungkinan terjadinya amblesan, karena bentang alam ini memiliki
dolina-dolina dan sungai-sungai bawah tanah yang sukar untuk ditentukan
arahnya. Kemiringan lereng yang curam juga dapat dibentuk secara buatan oleh
manusia sebagai hasil penggalian dalam skala besar, umumnya dijumpai pada
kawasan pertambangan.
Sementara itu daerah dengan bentang alam pedataran (kemiringan lereng
0% hingga <15%) memiliki potensi bencana geologi yang relatif lebih kecil.
Bencana geologi yang paling memungkinkan adalah banjir, baik berupa banjir
akibat meluapnya sungai-sungai di pedataran aluvium ataupun banjir lumpur hasil
erosi dari daerah perbukitan.
16
Gambar 2.2. Salah satu contoh dinding pit yang cukup terjal pada sistem tambang terbuka di
Grasberg, P.T. Freeport Indonesia
yang
baik, terutama
pada
area
17
18
BAB 3
TINJAUAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI
UNTUK OPERASI PERTAMBANGAN
3.1. Geologi
Geologi adalah ilmu yang mempelajari batuan penyusun kerak bumi dan
proses-proses yang berlangsung di dalamnya. Oleh karena itu, mengenal macam
dan sifat batuan serta struktur geologi yang berkembang menjadi sangat penting di
dalam geologi tatalingkungan. Macam dan sifat batuan serta struktur geologi
dituangkan dalam suatu peta yang disebut peta geologi (lihat lampiran 2).
19
Batuan yang merupakan asal terbentuknya tanah terdiri dari batuan beku,
batuan sedimen, dan batuan metamorf. Batuan beku adalah batuan yang berasal
dari pembekuan magma (cairan silika pijar yang berasal dari dalam bumi),
contohnya adalah granit, andesit, dan basalt yang dapat ditambang dan
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Berdasarkan komposisi mineralogi dan
kimiawinya batuan beku dapat dibedakan menjadi batuan beku asam (seperti
granit, riolit,dsb), batuan beku menengah (andesit, diorit, dsb), batuan beku basa
(basalt, gabro, dsb), dan batuan beku ultra basa (peridotit, dunit, dsb). Batuan
beku akan muncul dipermukaan melalui proses penerobosan magma (intrusi) atau
20
letusan gunungapi (ekstrusi). Batuan beku ini umumnya keras dan memiliki
tekstur (kasar, halus atau porfiritik), hablur kristalin (bentuk kristal sempurna,
tidak sempurna atau tidak berbentuk), tak berfoliasi (masif), terkadang memiliki
struktur kekar meniang akibat pendinginan (columnar joint) atau kekar berlembar
(sheeting joint). Tekstur batuan beku menunjukkan proses pembekuannya; tekstur
halus
menunjukkan
pendinginan
yang
cepat,
sedangkan
tekstur
kasar
21
karbonat), bahan bakar (golongan batubara), dan bahan baku industri (golongan
karbonat dan golongan evaporit). Penambangan batuan sedimen ini relatif lebih
mudah dan aman daripada penambangan batuan beku, tetapi akan menimbulkan
kerusakan lingkungan yang cukup signifikan, seperti pemapasan bukit di daerah
Padalarang. Potensi bencana yang cukup besar dapat terjadi di daerah yang
disusun
oleh
satuan
batugamping,
batulempung
dan
batubara.
Daerah
karena komposisi unsur Si adalah 27,72 % dan Oksigen 46,6 % dari seluruh kerak
bumi. Unsur-unsur lainnya adalah Al (8,3 %), Fe (5 %), Ca (3,63 %), Na (2,83
22
%), K (2,59 %), Mg (2 %), dan unsur lainnya yang kurang dari 1,5 %. Mineral
pembentuk batuan dibagi dalam:
Mineral-mineral pembentuk batuan beku
Terdiri dari mineral primer seperti kuarsa, ortoklas, plagioklas, biotit,
muskovit, piroksen, amfibol, dan olivin. Terdapat juga mineral sekunder yang
berasal dari ubahan mineral primer seperti kalsit, kaolinit, serpentinit, serisit,
dan klorit. Mineral tambahan seperti apatit, korundum, hematit, dan limonit
kadang-kadang muncul dalam batuan.
Mineral-mineral pembentuk batuan sedimen
Kalsit (CaCO 3 ) dan dolomit (CaMgCO 3 ) sebagai mineral utama batugamping.
B
23
24
Gambar 3.2. Stratigrafi daerah Grasberg dan sekitarnya (sumber: P.T. Freeport Indonesia, 2001)
ekonomis.
Sebaiknya
fasilitas
penunjang
pertambangan
ditempatkan pada daerah-daerah yang cukup jauh dari bahaya longsor, amblesan
dan kerusakan lainnya. Suatu operasi pertambangan juga perlu dilengkapi dengan
unit pengelolaan sisa bahan tambang (air asam tambang dan tailing) yang cukup
berbahaya bagi lingkungan di sekitar pertambangan. Air asam tambang adalah air
yang berasal dari campuran sisa bahan galian (overburden) dengan air hujan atau
airtanah, dengan kandungan pH antara 4 hingga 5,8 dan mineral bijih bervariasi
antara 5 hingga 90 ppm (Wirawan, dkk, 2001). Pengelolaan air asam tambang
perlu dilakukan untuk menghindari terkontaminasinya air permukaan atau
25
airtanah, dapat dilakukan dengan cara mencampurkan unsur basa ke dalam air
asam tersebut (misalnya dengan memasukkan batugamping). Sementara itu,
tailing adalah sisa batuan yang digerus halus setelah diambil mineral ekonomisnya
melalui proses pengapungan di pabrik pengolahan bijih. Berdasarkan penelitian
tailing ini tidak beracun dan mengandung pH sekitar 8-9 (basa), namun
kandungan logam berat masih tinggi, seperti tailing di Timika (PT Freeport
Indonesia) yang mengandung Cu, Fe (5%), Pb (5 ppm), dan K (3-4%) dapat
mengakibatkan punahnya flora dan fauna di daerah hilir yang biasa dimanfaatkan
penduduk di sekitar lingkungan pertambangan. Untuk mencegah kerusakan akibat
pembuangan tailing, perlu dibuat tanggul-tanggul untuk tailing yang dibuang
langsung ke sungai atau disalurkan melalui pipa ke tempat pengendapan tailing.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, endapan tailing ini dapat
dipergunakan sebagai bahan bangunan, terutama untuk membangun kawasan
pemukiman di daerah sekitarnya (menghemat biaya transportasi). Bahkan
mungkin pada suatu saat daerah pengendapan tailing tersebut dapat menjadi
quarry yang potensial bagi pembangunan prasarana pemukiman di daerah lain.
c. Struktur Geologi
U
26
rekahan, patahan normal, terban (graben), dan penipisan setempat. Gejala geologi
yang terjadi akibat gaya-gaya tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis dan elastisitas
batuan dan mekanisme gaya yang bekerja.
Batuan yang mengalami tekanan, yang masih berada di bawah batas
elastisitasnya (elastic limit), akan mengalami perlipatan (antiklin dan sinklin) dan
pada tempat tertentu sumbu lipatan akan menunjam. Apabila tekanan ini terus
bekerja akan mengakibatkan terbentuknya kekar-kekar atau rekahan-rekahan
dalam batuan. Selanjutnya kekar atau rekahan ini akan tergeserkan dan
membentuk sesar/patahan, sehingga terjadi perpindahan antar bagian-bagian yang
saling berhadapan dengan arah yang sejajar bidang patahan. Jika bagian yang
berada di atas bidang patahan (hanging wall) relatif bergeser naik terhadap bagian
di bawah bidang patahan (foot wall) disebut sesar naik (thrust fault), sebaliknya
jika hanging wall relatif bergeser turun terhadap foot wall disebut sesar normal
(normal fault). Jika pergeseran terjadi secara horisontal, dimana gaya kompresi
dan gaya tensi bekerja hampir sama kuatnya, maka akan terbentuk sesar mendatar
(strike-slip fault).
Zona-zona di sekitar pergeseran (zona sesar) merupakan zona lemah,
dalam skala besar akan bertindak sebagai jalur penerobosan magma (intrusi) yang
akan membawa serta mineral-mineral ekonomis menuju permukaan. Di sisi lain
zona lemah ini merupakan kawasan rawan bencana geologi, seperti amblesan dan
longsoran, apalagi jika sesar yang terbentuk masih merupakan sesar aktif atau
berada pada zona tektonik aktif (misal zona subduksi) seperti Zona Sesar
Sumatera dan sesar-sesar di daerah Papua (Zona Sesar Hannekam, Sesar
Zaagkam, Zona Sesar Wanagon, Sesar Meren Valley) yang dapat menimbulkan
bencana
gempa
bumi.
Kawasan
pertambangan
(terutama
pertambangan
sumberdaya energi dengan bahan-bahan mudah terbakar) yang berada pada zona
ini sebaiknya dilengkapi dengan teknik-teknik pencegahan longsor/amblesan dan
pemantauan stabilitas lereng secara intensif. Selain itu, fasilitas penunjang
pertambangan semaksimal mungkin dijauhkan dari jalur-jalur yang dilalui sesar.
27
3.2. Hidrogeologi
Hidrogeologi adalah suatu studi interaksi antara kerja kerangka batuan dan
airtanah yang dalam prosesnya menyangkut aspek-aspek kimia dan fisika yang
terjadi di dekat atau di bawah permukaan bumi (Kodoatie, 1996). Berbicara
hidrogeologi tidak akan lepas dari daur hidrologi sebagai berikut; evaporasi dari
tanah atau air laut dan transpirasi dari tumbuh-tumbuhan kondensasi dalam
awan presipitasi dalam bentuk hujan infiltrasi dan perkolasi ke dalam tanah
atau menjadi air limpasan (sungai dan danau) kembali evapotranspirasi (Davies
dan DeWiest, 1966, dalam Rahn, 1996).
Gambar 3.3. Daur Hidrologi (Davies dan DeWiest, 1966, dalam Rahn, 1996)
Data curah hujan di suatu daerah pada kurun waktu tertentu merupakan
unsur penting dalam penentuan neraca keseimbangan air (water balance). Di
daerah pedataran dan kaki pegunungan yang memiliki vegetasi sangat lebat hujan
akan meresap (infiltrasi) dengan baik ke dalam tanah, sedangkan di daerah lereng
pegunungan yang cukup terjal hujan akan lebih cepat melimpas ke dalam saluransaluran sungai daripada berinfiltrasi ke dalam tanah (kecepatan run off >
28
infiltrasi). Air yang melimpas ini akan membentuk suatu sistem daerah aliran
sungai (DAS), yang dibatasi oleh batas-batas aliran air (watershed). Sungai-sungai
dalam DAS di sekitar kawasan pertambangan sering dipergunakan sebagai sungai
pembuangan tailing (seperti DAS Wanagon-Aghawagon-Otomona di Papua),
dengan harapan kepekatan lumpur tailing akan cepat berkurang seiring dengan
perjalanannya menuju daerah hilir atau laut. Penataan lingkungan pertambangan
dengan memanfaatkan air permukaan (sungai, danau, laut) harus direncanakan
sebaik mungkin dan tidak mengganggu air permukaan yang sering dipergunakan
oleh penduduk setempat untuk mandi, mencuci, minum, dan lain sebagainya.
Air yang meresap ke dalam tanah akan membentuk suatu sistem aliran air
bawah permukaan (airtanah), yang akan berbeda pada masing-masing daerah,
tergantung dari litologi dan bentang alamnya. Litologi atau lapisan batuan yang
mengandung airtanah disebut lapisan akifer. Berdasarkan sifat fisik dan
kedudukannya dalam kerak bumi, akifer dapat dibedakan menjadi empat jenis,
yaitu :
Akifer bebas, yaitu akifer tak tertekan (unconfined aquifer) dan merupakan
airtanah dangkal (umumnya <20 m), umum dijumpai pada daerah endapan
aluvial. Airtanah dangkal adalah airtanah yang paling umum dipergunakan
sebagai sumber airbersih oleh penduduk di sekitarnya.
Akifer setengah tertekan, disebut juga akifer bocor (leaky aquifer), merupakan
akifer yang ditutupi oleh lapisan akitard (lapisan setengah kedap) di bagian
atasnya, dapat dijumpai pada daerah volkanik (daerah batuan tuf).
Akifer tertekan (confined aquifer), yaitu akifer yang terletak di antara lapisan
kedap air (akiklud), umumnya merupakan airtanah dalam (umumnya > 40 m)
dan terletak di bawah akifer bebas. Airtanah dalam adalah airtanah yang
kualitas dan kuantitasnya lebih baik daripada airtanah dangkal, oleh karenanya
umum dipergunakan oleh kalangan industri termasuk di dalamnya kawasan
pertambangan.
29
Gambar 3.4. Ilustrasi dari tiga jenis akifer menurut Kruseman dan deRieder, 1994
30
31
minimal berada pada jarak 365 m dari sumur yang dimanfaatkan oleh
penduduk di sekitarnya.
32
BAB 4
PENUTUP
33
harus dijaga kelestariannya secara absolut. Zona Penyangga adalah daerah bekas
penambangan yang harus segera direhabilitasi dan dijaga kelangsungan suksesi
(reklamasi) yang sedang berlangsung. Zona Produksi Intensif adalah daerah
penambangan yang masih aktif, termasuk kawasan pengolahan dan pemukiman.
34
DAFTAR PUSTAKA
Bagchi, A. 1994. Design, construction and monitoring of landfills. John Wiley &
Sons Inc., Canada, 361p.
Bennett, Matthew R. dan Peter Doyle. 1997. Environmental Geology : Geology
and The Human Environment. Book News Inc., Portland, OR.
Dunn, I.S., Andreson, L.R., & Kiefer, F.W. 1980. Fundamentals of Geotechnical
Analysis. John Willey & Sons, New York, USA.
Fetter, C.W. 1988. Applied hidrogeology, second edition. Merrill Publishing
Company, Ohio, USA.
Kodoatie, Robert J. 1996. Pengantar Hidrogeologi. Percetakan Andi Offset,
Yogyakarta.
Kruseman, G. P. and N. A. de Ridder. 1994. Analysis and evaluation of pumping
test data. International Institute of Land Reclamation and
Improvement/ILRI, Wageningen, The Netherlands, p.13-235 & p.289352.
Lapedes, D. N., et. al. 1978. McGraw-Hill encyclopedia of the geological
sciences. McGraw Hill Inc., p.803.
Longman Group Ltd. 1982. Longman illustrated dictionary of geology. York
Press, Beirut.
Lundgren, Lawrence. 1986. Environmental geology. Prentice-Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey, USA.
Margotomo, W, and Soeldjana, A. 2001. Grasberg Pit Geology. Visitor Guide
Summary (compiled by W. Margotomo & A. Soeldjana), Grasberg
Mine Geology, Geologic Services Group, PT Minerserve International,
PT Freeport Indonesia, unpub.
PTFI. Briefing Information. Pub. by PT Freeport Indonesia Company, Kuala
Kencana, Irian Jaya, Indonesia.
____. Reklamasi Lahan Tailing di PT Freeport Indonesia, Suatu Pendekatan
Program Reklamasi Ramah Lingkungan. Pub. by PT Freeport
Indonesia Company, Kuala Kencana, Irian Jaya, Indonesia.
____. 2000. Sejarah Eksplorasi PT Freeport Indonesia 1989-2000. Pub. by PT
Freeport Indonesia Company, Kuala Kencana, Irian Jaya, Indonesia.
Rahn, Perry H. 1996. Engineering Geology, An Environmental Approach, second
edition. Prentice Hall Inc., A Simon & Schuster Company, Upper
Saddle River, New Jersey.
Sapiie, B. 2001. Stratigraphy and structural geology along The Gunung Bijih
(Ertsberg) Mining Access (GBMA) road, Irian Jaya, Indonesia.
Geology Field Guidebook Timika-Tembagapura, Irian Jaya.
Geodynamic Laboratory, Department of Geology, Faculty of Sciences
and Mineral Technology, Institut Teknologi Bandung, tidak
dipublikasikan.
Seyhan, E. 1977. Fundamentals of Hydrology, revised edition. Geografisch
Instituut der Rijksuniversiteit te Utrecht.
Sudradjat, Adjat. 1975. Pengantar Geomorfologi. Akademi Geologi dan
Pertambangan, Bandung, tidak dipublikasikan.
35
36
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Dasar Dalam Studi Topografi
a. Peta Topografi
U
37
Foto Udara yang diambil secara vertikal akan membantu penafsiran Peta
Topografi. Foto ini memperlihatkan secara jelas relief, perbedaan litologi dan
struktur geologi yang berkembang pada suatu daerah. Untuk menafsirkan
keadaan topografi atau geologi suatu daerah, perlu dilakukan beberapa kali
pemotretan berdasarkan teknik tertentu. Selanjutnya penafsiran Foto Udara
dilakukan dengan bantuan suatu alat yang disebut stereoskop, setelah terlebih
dahulu foto-foto tersebut ditumpang tindihkan menjadi suatu stereogram.
c. Citra Satelit
U
38
merencanakan,
mendesain,
dan
memelihara
infrastruktur
yang
dibutuhkan manusia.
2. Menentukan bagaimana cara memindahkan material batuan (misal untuk
batuan keras melalui teknik peledakan).
39
40