Makalah BHP
Makalah BHP
: dr. Citra
Sabrina Andhini
121.0211.199
Gesti Chairunisa
121.0211.039
Najibah Zulfa
121.0211.099
Dea Novianda
121.0211.079
Chevi Hidayat
121.0211.176
121.0211.003
Wisesa Nandiwardhana
121.0211.070
121.0211.074
121.0211.035
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
DAFTAR ISI
Cover ........................................................................................................................................ 1
Daftar Isi .................................................................................................................................. 2
BAB I ....................................................................................................................................... 3
BAB II ...................................................................................................................................... 5
BAB III .................................................................................................................................... 11
BAB IV .................................................................................................................................... 21
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 25
BAB I
Henti jantung ( cardiac death) adalah kematian yang terjadi sebagai akibat dari hilangnya
fungsi jantung secara mendadak. Keadaan ini termasuk permasalahan kesehatan yang besar dan
mengenaskan karena dapat menyerang secara tiba-tiba serta terjadi pada usia tua maupun muda.
Keadaan henti jantung mendadak bisa saja terjadi pada seseorang dengan ataupun tanpa penyakit
jantung sebelumnya dan dapat menyebabkan kurangnya pasokan oksigen keseluruh tubuh dan
yang paling vital adalah ke otak. Kurangnya pasokan oksigen ke otak dapat menyebabkan
kesadaran menurun ke posisi koma (vegetative state).
Berdasarkan surat kematian kematian jantung mendadak rekening sekitar 15% dari semua
kematian di negara-negara Barat(330.000 per tahun di Amerika Serikat). Risiko seumur hidup
adalah tiga kali lebih besar pada laki-laki (12,3%) dibandingkan perempuan (4,2%) berdasarkan
analisis Framingham Heart Study.
Secara sederhana vegetative state diartikan keadaan sadar sebagian. Sadar sebagian
dalam artian tubuh penderita bisa berfungsi tanpa bantuan mesin, ada siklus tidur-bangun, ada
refleks tubuh, tetapi tidak ada tanda-tanda "kesadaran". Sama dengan istilahnya, vegetative,
seperti tanaman. Hidup tapi hanya sebatas napas, makan, minum, tapi tidak ada fungsi luhur.
Seperti "tubuh kosong".
Kondisi ini menjadi masalah yang serius khususnya dalam segi etik. Apakah pasien tetap
dipertahankan dalam keadaan ini atau dianggap sudah meninggal. Vegetative state sendiri bisa
dikatakan persisten atau permanen. Biasanya dianggap persisten jika dalam waktu 4 minggu
tidak pulih dalam keadaan ini dan persisten jika lewat dalam waktu 1 tahun.
Bagi keluarga, vegetative state adalah isu besar. Jika dirawat, pasien bisa bertahan sampai
tahunan, bisa lebih dari sepuluh tahun namun tanpa kesadaran. Tentu ini sangat melelahkan dari
segi fisik maupun emosional. Ada yg menyarankan untuk di euthanasia pasif karena kondisi ini
sama saja dengan kematian. Untuk apa mempertahankan orang yang sudah meninggal? Disisi
lain, ada yang menyarankan untuk tetap dipertahankan. Seberapa kecil pun kemungkinan untuk
pulih layak untuk dikejar.
Disinilah akan timbul pergolakan sisi psikologis dari keluarga pasien. Merawat seseorang
seumur hidup bukanlah sesuatu yang mudah akan tetapi memilih jalan yang lain juga merupakan
sesuatu yang melawan moral. Atas dasar itulah makalah ini dibuat. Untuk dapat mengkaji dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait aspek psikologis keluarga pasien vegetative state.
Rumusan Masalah
Hal yang menjadi rumusan masalah dalam makalah yang bertema aspek psikologis
keluarga dan pasien vegetative state ada dua hal. Pertama adalah bagaimana kondisi aspek
psikologis keluarga pasien vegetative state dan yang kedua adalah langkah apa saja yang dapat
dilakukan untuk mengurangi dampak psikologis negatif keluarga pasien vegetative state.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah yang bertema aspek psikologis keluarga dan pasien
vegetative state adalah untuk mengetahui kondisi aspek psikologis keluarga pasien penderita
vegetative state dan untuk mengetahui langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi
dampak psikologis negatif keluarga pasien vegetative state.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
menggambarkan kondisi kronik yang biasanya terjadi mengikuti trauma kepala yang parah. Jika
kondisinya lebih dari satu bulan disebut persissten vegetatife state (PVS) atau biasa juga
disebut dengan koma vigil atau koma irreversible.
Menurut Gupta (2005), Vegetative State adalah hilangnya respond dan kesadaran akibat
disfungsi hemisfer serebral, pada diensephalon dan batang otak yang mengatur reflex motoric
dan autonomy, siklus bangun tidur. Pasien mungkin memiliki reflex yang kompleks, termasuk
membuka mata, menguap, gerakan involunter pada pemberian stimuli nyeri, tetapi tidak
menunjukkan kesadaran pada diri ataupun lingkunganya
Menurut Maiese (2008), Vegetative State adalah kondisi kronik dan kritis yang
mempengaruhi kemampuan untuk mempertahankan tekanan darah, respirasi, dan fungsi jantung,
tetapi tidak fungsi kognitif. Meskipun batang otak tetap mensupport fungsi kardiorespirasi,
adanya reflex pada midbrain atau pontine mungkin bervariasi
II.
Pola Topografi
III.
Menurut Young (1998), ada 3 dasar pola topografi dalam neuropatologi pasien vegetative
state :
5
IV.
Kriteria Klinis
V.
Peranan Keluarga
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal ,sifat ,kegiatan,
yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam
keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Keluarga adalah sebuah unit srtuktur dan organisasi yang berinteraksi dengan lingkungan,
sebuah system interpersonal yang terdiri dari berbagai subsistem. Keluarga meliputi semua
individu yang menanggung fungsi keluarga dan satu sama lain terhubung secara emosional,
6
untuk
beradaptasi
terhadap
perubahan
sangat
esensial
untuk
mempertahankan fungsi optimal dari system keluarga. Perubahan tidak dapat dipisahkan dengan
penyakit terminal yang sangat besar pengaruhnya pada keluarga. Dalam kondisi sulit kehadiran
keluarga akan membantu memberikan dukungan emosional dan spiritual yang dibutuhkan
pasien, member kekuatan bagi anggota keluarga yang sakit (davinson, 2009)
Anggota keluarga khususnya ibu memegang peranan vital sebagai pemberi layanan
utama untuk anggota keluarganya yang mengalami penyakit fisik kronik ataupun penyakit
mental. Fungsi kesehatan keluarga adalah bertanggungjawab untuk memonitor atau mengawasi
dan mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi pada anggota keluarga yang sakit. Konsekuensi
keluarga sebagai pemberi layanan pada anggotanya yang sakit dapat berpotensi positif ataupun
negative, bila keluarga merasakan peningkatan kebutuhan dan aktivitas yang tidak seimbang
sehingga menimbulkan stress.
Dalam situasi krisis yang diakibatkan adanya anggota keluarga yang sakit, keseimbangan
perubahan peran merupakan faktor penting dalam proses adaptasi keluarga. Struktur keluarga
dimodifikasi untuk menyeimbangkan peran dari masing0masing anggota keluarga atau yang
lainnya ( friedmann, 1999)
Jika unit keluarga mengalami disfungsi/ anggota keluarga sakit akan berdampak pada
anggota keluarga, oleh karena itu dokter dan perawat harus memberikan pelayanan yang holistic
tidak hanya pada individu yang sakit tapi juga keluarganya.
7
Peranan vital dikendalikan oleh anggota keluarga khususnya ibu sebagai pemberi layanan
utama untuk anggota keluarganya yang menagalami penyakit fisik ataupun penyakit mental.
Fungsi kesehatan keluarga adalah bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengantisipasi
setiap perubahan yang terjadi pada anggota keluarga yang sakit. Konsekuensi keluarga sebagai
pemberi pelayanan pada anggotanya yang sakit dapat berpotensi positif atau negatif. Potensi
positifnya adalah keluarga merasa bertanggung jawab dan lebih dekat dengan anggota
keluarganya, dan berdampak negatif, bila keluarga merasakan peningkatan kebutuhan dan
aktivitas yang tidak seimbang sehingga menimbulkan stress.
Adanya anggota keluarga yang sakit menyebabkan perubahan keseimbangan peran yang
merupakan faktor penting dalam proses adaptasi keluarga. Struktur keluarga dimodifikasi untuk
menyeimbangkan peran dari masing-masing anggota keluarga.
Proses Adaptasi Keluarga
Pada kondisi krisis dalam keluarga, terjadi perubahan gaya hidup yang negatif. Pada
penelitiannya, Lui, et al. (2005 cit. Arafat, R., 2010) menyatakan bahwa terjadi perubahan pada
aspek fisik, emosional, ataupun sosial pada keluarga yang mengalami krisis
1. Aspek fisik
Keluarga merasa kelelahan, kurang istirahat, tidur tidak teratur, serta peningkatan tekanan
darah dan denyut nadi akibat tuntutan perawatan
2. Aspek emosional
Keluarga merasa depresi, stress, takut, cemas, dan merasa bersalah akibat ketidakpastian
kondisi pasien
3. Aspek sosial
Keluarga merasa terisolasi dari kehidupan sosial
4. Aspek keuangan
Keluarga menghabiskan banyak uang untuk pengobatan sehingga beban ekonomi
bertambah berat
Menurut McAdam & Puntillo (2009 cit. Arafat, R., 2010) pada kondisi pasien tidak sadar,
hal yang mempengaruhi kondisi psikologis adalah keluarga mengalami beban yang sulit untuk
membuat keputusan dan pilihan terapi. Namun, ada hal positif yang didapatkan keluarga dalam
merawat pasien vegetative state, yaitu meningkatkan hubungan dan memperkuat ikatan antara
keluarga dan pasien.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada tanggal 25 Februari 1990 Terri Schiavo mengalami henti jantung yang dipicu oleh kadar
kalium dalam darah sangat rendah sebagai akibat gangguan makan (bulimia). Akibatnya, timbul
keadaan kekurangan oksigen hebat di otak. Beberapa bulan kemudian, hasil pemeriksaan
Computed Tomography Scans memperlihatkan ada proses atrofi di otak (otak besar menyusut
dan tempatnya telah digantikan oleh cairan otak) dan hasil electroencephalogram telah datar
menunjukkan fungsi otak besar telah tiada. Ia masih bernapas spontan, respons tubuh terhadap
cahaya dan bunyi masih ada, masih bisa menelan, namun tidak ada tanda-tanda kesadaran, fungsi
otak besar, dan emosi.
Berdasarkan data-data ini dokter menyimpulkan Terri Schiavo berada dalam keadaan vegetasi
(persistent vegetative state).
Selama bertahun-tahun hidup Terri ditunjang pemberian makanan buatan lewat selang makanan
(artificial nutrition and hydration). Setelah berbagai usaha pertolongan dilakukan akhirnya suami
Terri, Michael Schiavo, berkesimpulan bahwa yang terbaik bagi Terri adalah menghentikan
upaya perawatan dan pemberian makanan buatan.
Namun, orangtua Terri berpendapat sebaliknya. Silang pendapat ini dibawa ke pengadilan. Pada
tahun 2002 pengadilan Florida memeriksa kasus ini dan memanggil saksi ahli dari kedua pihak
dan pihak netral. Meskipun para ahli tidak satu pendapat, pengadilan memutuskan bahwa Terri
Schiavo benar berada dalam keadaan persistent vegetative state dan keputusan meneruskan atau
menghentikan pemberian makanan buatan bergantung pada keputusan pasien (jika pasien sadar
dan kompeten) atau apa yangg terbaik bagi pasien (jika pasien tidak sadar sehingga tidak
kompeten).
10
Setelah melalui berbagai proses pengadilan yang panjang dan melelahkan akhirnya pada 18
Maret 2005 untuk ketiga kalinya pengadilan memutuskan agar selang makanan Terri Schiavo
dicabut dan 13 hari kemudian ia meninggal dunia.
Pembahasan
Pada saat awal biasanya pasien dengan persistent vegetative stat (PVS) dirawat di Unit
Perawatan Intensif (UPI). Setelah jangka waktu tertentu keadaan pasien PVS mulanya stabil dan
tidak memerlukan alat perawatan canggih. Saat itu ia dapat dipindahkan dari unit perawatan
intensif ke ruang perawatan biasa.
Perawatan pasien ditujukan untuk mempertahankan kondisi tubuh pasien melalui
pemberian makanan buatan (artificial nutrition and hydration) dan berbagai perawatan untuk
pasien tidak sadar. Di negara maju pasien seperti ini banyak yang dirawat di rumah perawatan
(nursing homes), hospice, atau di rumah. Jika keadaannya memburuk atau memerlukan tindakan
medis barulah dirujuk ke rumah sakit.
Jika keadaan vegetasi telah ditentukan, dokter berkewajiban mendiskusikan keadaan
pasien dengan keluarga atau pihak yang mewakili pasien. Diskusi ini meliputi keadaan pasien
saat ini, prognosis, dan rencana perawatan termasuk pemakaian alat bantu penunjang kehidupan.
Dokter perlu memerhatikan pendapat keluarga pasien. Persetujuan rencana pengobatan
dari pihak keluarga sangat diperlukan mengingat tingkat ketidakpastian relatif tinggi. Apakah
pasien akan diobati secara agresif (artinya penekanan pada upaya kuratif, menyetujui pemakaian
seluruh sarana dan prasarana pengobatan yang ada dalam ilmu kedokteran) atau dilakukan
pengobatan paliatif (artinya penekanan pada aspek perawatan).
Sampai kapankah pengobatan atau perawatan ini dilakukan? Siapa yang mengambil
keputusan mengenai perawatan pasien PVS? Kumpulan pertanyaan ini harus dijawab oleh tim
dokter dan keluarga pasien.
11
Oleh karena itu, keluarga pasien perlu mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pasien
PVS, apa itu PVS, bagaimana cara merawat pasien PVS, bahkan sampai pada hal-hal mendasar
yang berkaitan dengan kehidupan.
Suasana yang penuh dengan ketidakpastian, perbedaan antara yang tampak/ fakta hasil
observasi dengan interpretasi fakta, dan berbagai keterbatasan yang ada baik di sisi dokter
maupun di sisi keluarga pasien dikomunikasikan dengan baik dan sabar sehingga tidak timbul
salah pengertian. Di Indonesia, faktor-faktor inilah yang paling sering membawa masalah
sehingga merusak hubungan keluarga pasien-dokter dan memunculkan masalah yang bersifat
sangat kompleks.
Pada salah satu kaidah bioetik seorang dokter wajib berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Perlakuan
terbaik kepada pasien merupakan poin utama dalam kaidah beneficence. Dengan kata lain, kita
harus memberikan yang terbaik dan mengupayakan semaksimal mungkin untuk
kesembuhan pasien dengan bertanggung jawab dan berkasih sayang, sebagaimana tingkat
ekonomi,
pandangan
politik,
agama,
perbedaan
kedudukan
sosial,
kebangsaan
dan
kewarganegaraan tidak boleh mengubah sikap dan pelayanan dokter terhadap pasiennya. Di sisi
lain seorang pasien dengan vegetative state tidak mampu berfikir secara logis dan membuat
keputusan sendiri, dikarenakan hilangnya fungsi kognitif, sehingga keluargalah yang lebih
banyak memutuskan apa yang akan di lakukan selanjutnya karena di sini keluargalah kompeten
menentukan keputusan.
Karena pada dasarnya seseorang dikatakan kompeten secara hukum untuk melakukan
informed concent jika ia telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang baik.
Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan
keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental
sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
Jika dalam anggota keluarga ada yang mengalami keadaan vegetative state, sudah pasti
mereka akan berjuang sedemikian hebat untuk kesembuhan anggota keluarganya. Mungkin pada
awal terdiagnosanya vegetative state, ada perasaan menolak kenyataan dan perasaan tidak
percaya atas apa yang diutarakan oleh dokter, disini peran dokter untuk memahami dan memberi
informasi dengan baik sangat diperlukan sehingga tidak tercipta suatu kesalahpahaman.
12
Ketidakpercayaan pada awalnya merupakan sesuatu yang wajar, dimana jika disadari sangatlah
tidak mudah menerima kenyataan bahwa salah satu orang terdekat mereka didiagnosa seperti itu.
Namun dengan pendekatan yang baik, diharapkan keluarga pasien bisa menerima
kenyataan dan mulai membantu dalam upaya perbaikan keadaan pasien. Melihat dari sisi
keluarga, selain mereka mempunyai kewajiban yang sama untuk berjuang mempertahankan dan
melakukan yang terbaik, mereka juga merupakan kelompok yang rentan, dimana keluarga pasien
pasti mengalami stress berkepanjangan akibat tuntutan ekonomi, tenaga dan waktu yang harus
tercurahkan untuk pasien.
Disini dalam mengambil keputusan kita juga harus memperhatikan keadaan keluarga,
tentunya dengan tidak membeda-bedakan namun tetap melihat sisi terbaik dengan meninjau
semua aspek yang berkaitan. Jangan sampai ada kelompok yang dirugikan atas keputusan yang
diambil. Jika keluarga memutuskan untuk menjalani euthanasia maka hal tersebut harus disetujui
oleh pengadilan.
Dunia memang tidak seluruhnya sependapat dengan euthanasia, dan setidaknya sikap
moral yang menang pada kasus tersebut telah menantang sikap moral membela kehidupan
yang selama ini dianut dunia kedokteran. Sebagian para ahli etik yang pro-putusan pengadilan
mencari alasan pembenaran dari segi moral, sedangkan mereka yang kontra mengemukakan
bahwa tindakan tersebut adalah pembunuhan. Yang membela pemberian nutrisi dan hidrasi
kepada pasien dalam keadaan vegetatif tetap mempunyai alasan yaitu kehidupan manusia
bagaimanapun harus dihormati.
Yang dipersoalkan adalah apakah pemberian nutrisi dan hidrasi seperti itu merupakan
suatu tindak medis atau cara asuhan yang biasa. Kalau dianggap sebagai tindak medis, tidak perlu
dilanjutkan bila ternyata tidak efektif lagi. Karena tindak medis dilakukan untuk menyembuhkan
atau memperbaiki kesehatan. Kalau tujuan itu tidak mungkin tercapai lagi, tindakan itu
kehilangan maknanya dan lebih baik dihentikan saja. Dalam konteks pasien vegetatif state,
diberikan makanan artifisial supaya pasien menjadi sadar lagi. Dan untuk menjalankan prosedur
itu diperlukan profesionalisme keperawatan yang cukup tinggi. Sehingga pendapat bahwa
13
prosedur itu tergolong tindak medis, maka boleh dihentikan bila tidak ada makna medis lagi.
Sebaliknya, pendapat bahwa prosedur itu merupakan cara asuhan biasa, maka asuhan selalu harus
diberikan. Jika seorang manusia tidak bisa makan sendiri, ia harus dibantu oleh sesamanya.
Misalnya, anak kecil. Demikian juga pasien yang tidak sadar harus diasuh terus. Bahkan dapat
dinilai sebagai kelalaian, jika menghentikan asuhan itu.
Jalan keluar untuk permasalahan ini dicari dengan menafsirkan kemauan pasien sendiri.
Jika pasien pernah menyatakan bahwa ia tidak mau kehidupannya diperpanjang dengan makanan
artifisial seperti itu, hal itu merupakan alasan yang cukup untuk menghentikan prosedur itu, asal
keluarga mendukung.
Cara lain untuk mengetahui kehendak pasien yaitu bila pasien meninggalkan surat wasiat
dimana ia menyatakan tidak ingin kehidupannya diperpanjang terus bila suatu saat mengalami
keadaan vegetatif tetap atau ia telah menunjuk seseorang untuk mengambil keputusan terbaik
atas namanya bila suatu saat ia mengalami keadaan vegetatif tetap.
Namun, bila tidak diketahui kemauan pasien, pertanyaan bisa timbul, apakah pemberian
makanan secara artifisial tidak lebih baik dihentikan saja, bila sudah berlangsung terlalu lama
dan tidak terlihat bermanfaat lagi untuk melanjutkannya? Dalam hal ini sering kali keinginan
keluarga dinilai sudah cukup untuk menjadi sebuah keputusan.
Situasi seperti itu yang membingungkan dari segi etika, maka penuntun yang aman
adalah kaidah emas (hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana saudara sendiri ingin
diperlakukan).
Ada sebuah prinsip bahwa tidak pernah wajib menggunakan sarana-sarana yang tidak
proporsional. Rupanya pemberian nutrisi dan hidrasi kepada pasien dalam keadaan vegetatif
tetap termasuk kategori itu, karena tidak ada manfaat lagi yang dapat diperoleh dengan prosedur
itu, sedangkan beban untuk keluarga dan tim medis sangat berat. Kalau perawatan itu harus
dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional, beban finansial juga akan terasa sangat berat,
khususnya dalam negara-negara berkembang.
14
Jadi, jalan keluar yang paling baik adalah keputusan terakhir diberikan oleh pengadilan,
seperti sekarang sudah dipraktekkan di beberapa negara.
Proses Adaptasi Keluarga
Stress adalah respon dari suatu ketegangan yang diproduksi oleh stressor baik secara
aktual ataupun kebutuhan yang lama tidak dikelola dengan baik. Stressor pada keluarga adalah
suatu akumulasi dari perkembangan dan situasi yang terjadi dalam hubungan antar anggota
keluarga. Beberapa kejadian yang dapat menjadi stressor bagi keluarga yaitu : kehilangan baik
karena kematian ataupun perceraian, ketegangan dalam pernikahan (perselingkuhan), kekerasan
dalam keluarga, sakit dan perawatan yang lama, ketegangan intrafamily, hamil dan kelahiran,
transisi pekerjaan, keuangan dan fase transisi setelah baru menikah.
Menurut Hickey (2003), penyakit neurologis yang serius, konsekuensinya tidak
hanya pada pasien tetapi juga pada keluarga. Struktur keluarga, hubungan, mekanisme koping
terhadap stress dan krisis menjadi pertimbangan yang sangat penting. Anggota keluarga akan
bereaksi terhadap penyakit keluarganya, respon yang ditimbulkan adalah kecemasan,
penolakan, depresi, marah, dan ketakutan. Pada kondisi vegetative state, terjadi ketidakmampuan
yang progresif dan permanen sehingga membuat pasien sangat tergantung dengan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya.
Stress pada kondisi penyakit neurologis yang diderita pasien sangat signifikan dan
membutuhkan perhatikan dan dukungan petugas kesehatan pada keluarga untuk membuat
pemikiran/pendapat yang realistis. Kemampuan keluarga untuk menerima situasi dan
beradaptasi secara langsung akan mempengaruhhi kondisi emosional yang baik bagi tiap anggota
dalam unit keluarga termasuk pasien.
Untuk menangani stress dalam keluarga dibutuhkan strategi koping yang positif.
Strategi koping adalah perilaku atau proses keluarga yang digunakan untuk beradaptasi terhadap
stress. Strategi keluarga dalam menghadapi stress, ada beberapa hal yaitu : strategi kognitif,
menggunakan pengetahuan dengan memahami kondisi antar anggota keluarga; strategi
komunikasi, terbuka dan jujur mendengarkan satu dengan yang lain; strategi emosional,
mengekspresikan perasaan dan berdamai dengan perasaan negatif; strategi hubungan,
15
strategi
perkembangan
individu,
meningkatkan
kemampuan
diri
dan
mengembangkan bakat.
Keluarga yang dapat mengembangkan strategi koping yang positif akan mampu
adaptif terhadap perubahan perubahan yang ada dalam keluarga. Namun jika maladaptive,
keluarga akan menolak masalahnya, tanpa solusi berkepanjangan sehingga pada akhirnya akan
terjadi kekerasan / penyalahgunaan dalam keluarga (Friedman, 1999)
Beberapa respon emosional yang muncul pada keluarga ketika terjadi perubahan
status kesehatan anggota keluarganya dan keluarga maladaptif terhadap perubahan tersebut, yaitu
:
A
Kecemasan, cemas adalah perasaan tidak nyaman, khawatir, ataupun takut yang
berhubungan dengan ketidakmampuan mengenali sumber bahaya. Hal ini biasanya
disebabkan karena adanya konflik atau frustasi dalam hidup. Terjadi perubahan
fisiologis seperti denyut nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat, diare, dan terasa
tegang pada abdomen.
b. Frustasi, adalah perasaan yang terjadi ketika tindakan yang dilakukan gagal mencapai tujuan
ataupun tidak ada kesimpulan yang pasti terhadap masalah yang ada.
c
Ketakutan, adalah perasaan khawatir yang ekstrim terhadap potensi pasien dapat
membaik. Ketakutan sangat berhubungan dengan ketidaktauan, ketidakmauan, dan
kehilangan kontrol. Manifestasi perilaku: melakukan tindakan irasional.
Depresi, adalah perasaan sedih dan rendah diri disertai kesulitan dalam berpikir,
16
melakukan aktivitas dan tanggung jawab sehari hari, energi lemah dan merenungi diri,
tidak mampu mengekspresikan perasaan. Karakteristik perilakunya yaitu : sedih, afek
datar, wajah tanpa ekspresi, menangis, putus harapan, dan tidak tertarik dengan lingkungan
sekitar. Seseorang yang depresi tidak lagi mampu melihat kemungkinan resolusi dan
masalahnya.
e
Berdasarkan penelitian Lui, et al, 2005, menyatakan bahwa kerja di perubahan pada aspek fisik,
emosional, ataupun sosial pada keluarga yang mengalami krisis.
Dari aspek fisik, keluarga merasa kelelahan, istirahat yang tidak cukup, tidur tidak
teratur, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi akibat tuntutan perawatan. Dari aspek
emosional, keluarga merasa depresi, stress, takut, cemas, dan merasa bersalah akibat
ketidakpastian kondisi pasien, perubahan peran dan fungsi, keluarga merasa memiliki waktu
yang sangat terbatas untuk mendapat skill yang dibutuhkan untuk peran barunya, dan kurang
penjelasan dari petugas medis.
Dari aspek sosial, keluarga merasa terisolasi dari kehidupan sosial, tidak mampu lagi
untuk liburan, kurang kontak dengan teman.
Dan dari aspek keuangan keluarga menghabiskan banyak uang untuk pengobatan
sehingga beban bertambah berat.
17
Pada kondisi pasien tidak sadar, hal yang memperanguhi kondisi psikologis adalah
keluarga mengalami beban yang sulit untuk membuat keputusan dan pilihan terapi. Hal tersebut
di ungkapkan oleh McAdam & Puntillo (2009).
Namun ada hal positif yang didapatkan keluarga dalam merawat pasien vegetative
state, meningkatkan hubungan dan memperkuat ikatan antara keluarga dan pasien. Faktor
faktor yang mempengaruhi pengalaman keluarga dalam merawat pasien vegetative state yaitu :
umur, gender, pendidikan, status pekerjaan, hubungannya dengan pasien, lamanya perawatan,
jumlah keluarga yang merawat. (Tang & Chen, 2002)
Dalam dimensi sistem keluarga ada empat proses yang terjadi sesuai dengan target
yang akan dicapai yaitu : system maintenance, system change, coherence, dan individuation.
Tujuan dari keempat proses tersebut adalah memberikan dukungan antar anggota keluarga jika
terjadi perubahan system, menemukan solusi bersama untuk mempertahankan stabilitas system
keluarga, dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dalam system keluarga.
System maintenance meliputi perilaku yang berakar dan menjadi tradisi pada
struktur dan proses keluarga, dan berhubungan dengan pengelolaan masalah keluarga.
Pertahanan system meliputi peran, pola aturan dalam system, ritual, pengambilan keputusan,
struktur kekuasaan, pembagian kerja, stabilitas dan target kontrol. Target kontrol berfokus pada
fungsi regulasi keluarga, bagaimana mengatur efek perubahan yang ada, sedangkan target
stabilitas berfokus pada tradisi, nilai, dan budaya yang diyakini keluarga.
System change adalah adanya perubahan besar yang terjadi pada keluarga
khususnya pada system nilai keluarga, kerjasama, dan persetujuan semua anggota keluarga,
target pada proses ini adalah target perkembangan yang bertujuan untuk memahami dan
mencoba nilai / tradisi yang baru. Coherence berfokus pada ikatan emosional dan kepedulian
antar anggota keluarga, targetnya adalah stabilitas dan spiritual dalam keluarga, adanya
hubungan yang saling menerima dan saling memiliki mengikuti ritme yang terjadi dalam sistem.
18
19
BAB IV
KESIMPULAN
Ginjal berfungsi untuk :
1. FungsiEkskresi
- Mengeluarkanzattoksis/racun
- Mengaturkeseimbanganair,garam/elektrolit,asam/basa
- Mempertahankankadarcairantubuhdanelektrolit(ionionlain)
- Mengekskresikanprodukakhirnitrogendarimetabolismeprotein(terutamaurea,
asamuratdankreatinin)
- Bekerjasebagaijalurekskretoriuntuksebagianbesarobat
2. FungsiNonEkskresi
MensintesisdanmengaktifkanHormon:
- Renin,pentingdalampengaturantekanandarah
- Eritropoetin,merangsangproduksiseldarahmeraholehsumsumtulang
- 1,25dihidroksivitaminD3:hidroksilasiakhirvitaminD3menjadibentukyang
-
palingkuat
Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan
melindungidarikerusakaniskemikginjal
Degradasihormonpolipeptida
Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH dan
hormongastrointestinal(gastrin,polipeptidaintestinalvasoaktif)
Ginjal baru, dapat diperoleh dari donor yang baru saja meninggal dunia, atau dari donor hidup.
-
Donor meninggal atau donasi cadaver : pada beberapa kasus yang terjadi, orang tersebut
mungkin membutuhkan transplantasi dua ginjal yang berasal dari donor yang telah
meninggal.
Donor hidup
21
Tidak boleh membuat mudarat pada dirinya dan tidak boleh pula membikin mudarat pada
orang lain
3. Donor dalam keadaan mati
Alangkah baik dan terpuji, bila organ tubuh itu dapat dimanfaatkan oleh orang lain yang
sangat memerlukannya , daripada rusak begitu saja sesudah mayat itu dikuburkan
Tindakan kemanusiaan sangat dihargai oleh agama islam, sebagaimana firman Allah:
Dalil-dalil syarI yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan pencangkokan organ
tubuh antara lain sebagai berikut
1.
Islam tidak membenarkan orang yang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya maut
atau tidak berfungsinya organ tubuhnya yang sangat vital baginya, tanpa usaha-usaha
penyembuhannya secara medis dan non-medis, termasuk pencangkakokan organ tubuh,
yang secara medis memberi harapan kepada yang bersanngkutan untuk bisa bertahan
2.
dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.
Ayat ini menunjukkan bahwa islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat
menyelamatkan jiwa manusia.
3.
Hadist Nabi:
bertobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesunggguhnya Allah tidak meletakkan
suatu penyakit, kecuali Dia juga meletakkan obat penyembuhnya, selain satu penyakit yaitu
penyakit tua
Hadist ini menunjukkan bahwa umat islam wajib berobat jika menderita sakit, apapun macam
penyakitnya, sebab setiap penyakit merupakan berkah kasih saying Allah.
4.
Dan jika usaha pengobatan secara medis biasa tidak bisa menolong, maka demi menyelamatkan
jiwanya, pencangkokan ginjal diperbolehkan karena keadaan darurat.
5.
Menurut hukum wasiat , keluarga orang yang meninggal wajib melaksanakan wasiat
orang yang meninggal mengenai hartanya dan apa yang bisa bermanfaat, baik untuk
kepentingan mayat itu sendiri, kepentingan ahli waris dan non-ahli waris, maupun untuk
kepentingan agama dan umum.
Saran
-
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Juliana, I.M. & Loekman, J. (2007). Komplikasi Paska Transplantasi Ginjal. Denpasar:
Universitas Udayana
2. www.scribd.com
3. https://staff.blog.ui.ac.id/wiku-a/files/2013/04/Contoh-TM-NA-Tansplantasi-OrganManusia.pdf
4. Arafat, R. (2010). Pengalaman Pendampingan Keluarga dalam Merawat Anggota
Keluarganya pada Kondisi Vegetative dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUP
Fatmawati Jakarta. Depok: Universitas Indonesia.
24