Anda di halaman 1dari 26

BAB III

FUNGSI SOSIAL EKONOMI BAITUL MAAL WAT TAMWIL


Oleh: Putri Irma Yuniarti
3.1. Pengantar
Baitul maal wat tamwil (BMT) secara konseptual merupakan lembaga ekonomi
yang memiliki fungsi ekonomi dan sekaligus fungsi sosial. Dilihat sebagai fungsi sosial,
perannya dapat diketahui dari fungsi baitul maal yaitu lembaga keuangan yang berfungsi
sebagai pengelola dana yang tidak mengutamakan keuntungan (lembaga nir laba).
Sumber dana lembaga ini diperoleh dari adanya zakat, infaq, shadaqah, wakaf ataupun
sumber lain yang halal untuk disalurkan kepada yang berhak menerima menurut syariah
Islam. Adapun sebagai fungsi ekonomi dapat dilihat dari peran baitut tamwil,
merupakan lembaga keuangan yang aktivitasnya menghimpun dana dan menyalurkan
dana masyarakat dengan motif mendapatkan keuntungan (profit motive). Penghimpunan
dana diperoleh dari adanya simpanan pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk
pembiayaan atau investasi dengan dasar syariah. (Aziz, 2004).
Baitul maal wat tamwil (BMT), sebagaimana lembaga keuangan lainnya
mempunyai fungsi intermediasi untuk menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan
kepada pihak yang kekurangan dana. Segmen pasar BMT di daerah penelitian
kebanyakan terdiri dari para pengusaha kecil mikro. Mereka ini adalah pengusaha yang
relatif teralienasi dari hubungannya dengan perbankan formal, sehingga untuk memenuhi
kebutuhannya akan modal usaha biasanya mereka meminjamnya dari para rentenir.
Ruang gerak rentenir yang sangat luas dan hampir tidak ada formalitas hubungan dengan
nasabah, menyebabkan rentenir memiliki kecepatan transaksi yang sulit ditandingi oleh
perbankan formal. Meskipun rentenir ini mengenakan bunga pinjaman yang sangat
tinggi, biasanya pengusaha kecil yang membutuhkan masih saja bersedia meminjam.
BMT merupakan institusi keuangan yang memiliki ruang gerak, kemudahan dan
kecepatan transaksi yang dapat menyaingi rentenir tetapi dengan biaya pinjaman yang
lebih murah. Dengan demikian keberadaan BMT diantara pengusaha mikro tersebut juga
telah dapat membebaskan sebagian besar pengusaha mikro dari jeratan rentenir.

46

Berbeda dengan bank konvensional, BMT memiliki kedekatan yang cukup baik
dengan para nasabahnya. Kedekatan ini dapat disamakan dengan ruang gerak koperasi.
Koperasi merupakan lembaga keuangan yang juga memiliki fungsi sosial dan ekonomi.
Dalam koperasi, anggota koperasi juga pemilik koperasi itu sendiri. Koperasi bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya melalui usaha bersama. Sedangkan BMT
berusaha meningkatkan kesejahteraan nasabahnya dengan melakukan pembiayaan dan
pendampingan kepada nasabahnya. Dengan prinsip bagi hasil, BMT diharapkan bisa
memberikan pembiayaan dengan lebih adil terhadap nasabahnya.
Sampai saat ini belum ada badan hukum yang khusus untuk lembaga keuangan
mikro syariah seperti BMT. Karena karakteristik BMT yang lebih dekat kepada bentuk
koperasi, maka sebagian besar BMT saat ini berbadan hukum koperasi, meskipun
sebenarnya ada beberapa perbedaan antara BMT dan koperasi pada umumnya. Beberapa
Koperasi Pesantren (Kopontren) di Indonesia mulai memakai sistem syariah, sehingga
menjadi koperasi syariah.
Sebagai lembaga yang memiliki fungsi sosial dan ekonomi, aktivitas kerja BMT
selaras dengan fungsinya. Dalam ekonomi Islam dikenal dua macam akad, yaitu akad
tabarru dan akad muawadah/tijaroh. Akad tabarru merupakan jenis akad yang
berkaitan dengan transaksi yang tidak bertujuan untuk mencari laba/keuntungan (non
profit). Akad tabarru lebih berorientasi pada kegiatan saling tolong menolong (taawun).
Dalam akad ini pihak yang memberi pinjaman tidak boleh mensyaratkan adanya imbalan
tertentu, kecuali pahala dari Allah SWT. Pihak yang memberi pinjaman dapat
memintakan sejumlah dana sekedar untuk menutupi biaya yang timbul akibat kontrak
tersebut kepada mitranya. Sedangkan akad muawadah bertujuan untuk mendapatkan
imbalan keuntungan tertentu. Akad ini menyangkut transaksi bisnis dengan motif
mendapatkan keuntungan (laba). Contoh akad muawadah ini meliputi jual beli, sewa
menyewa, mudharabah, musyarakah, dll. (Ridwan, 2004).
Berdasarkan bentukbentuk akad di atas, terlihat bahwa transaksi ekonomi dalam
Islam tidak hanya bertujuan semata untuk mendapatkan keuntungan (profit oriented),
namun terdapat juga transaksi yang sifatnya untuk kebajikan (non profit). Dengan
demikian

kegiatan

perekonomian

dalam

Islam

tidak

hanya

mengembangkan bidang ekonomi semata namun juga bidang sosial.

47

berfungsi

untuk

Berdasarkan adanya kedua fungsi tersebut, maka BMT sebagai lembaga keuangan
yang menjadi tempat terjadinya transaksi dalam kegiatan ekonomi, memiliki dua fungsi
yaitu fungsi ekonomi dan fungsi sosial. Tulisan ini akan membahas kedua fungsi BMT
tersebut berdasarkan teori yang ada dan fakta yang terjadi di lapangan.
3.2. Fungsi Sosial Baitul Maal
3.2.1. Pada Masa Rasulullah
Semasa pemerintahan Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya (Khulafaur
Rasyidin), lembaga baitul maal (rumah dana), merupakan lembaga bisnis dan sosial yang
pertama dibangun oleh nabi. Lembaga ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan dana.
Lembaga baitul maal yang didirikan oleh Rasul di masa itu berfungsi sebagai
lembaga penerima pendapatan (revenue collection) dan pembelanjaan (expenditure) yang
dilakukan secara transparan dan bertujuan seperti apa yang sekarang disebut sebagai
welfare oriented. Hal ini merupakan suatu ide baru, mengingat waktu itu pajakpajak dan
pungutan dari masyarakat yang lain selalu dikumpulkan oleh pengusaha dan hanya
diberikan untuk raja. Para penguasa di sekitar jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia
waktu itu menarik upeti dari rakyat dan diberikan untuk raja demi kepentingan kerajaan.
Sedangkan mekanisme baitul maal, tidak saja untuk kepentingan ummat Islam, tetapi
juga untuk melindungi kepentingan kafir dhimmi (warga negara non muslim). (Ridwan,
2004).
Dalam menafsirkan baitul maal, para sarjana dan ahli ekonomi Islam memiliki
sedikit perbedaan. Sebagian berpendapat, bahwa baitul maal itu semacam bank sentral,
seperti yang ada saat ini. Tentunya dengan berbagai kesederhanaannya karena
keterbatasan-keterbatasan yang ada waktu itu. Sebagian lagi berpendapat, bahwa baitul
maal itu semacam menteri keuangan atau bendahara negara. Hal itu mengingat fungsinya
untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan belanja negara. Meskipun demikian
kehadiran lembaga ini telah membawa pembaharuan yang besar. Danadana ummat, baik
yang bersumber dari dana sosial seperti infaq, sodaqoh, denda (dam), dan juga danadana
yang wajib dikeluarkan ummat Islam seperti zakat dan jizyah dikumpulkan melalui
lembaga baitul maal serta disalurkan untuk kepentingan ummat. Arahanarahan dari
Nabi Muhammad SAW mengenai pemungutan dan pendistribusian kekayaan negara

48

memberikan bentuk kesucian kepada baitul maal sehingga lembaga ini diidentifikasi
sebagai lembaga trust (kepercayaan) umat Islam dengan khalifahnya sebagai trustee.
Khalifah bertanggung jawab atas setiap sen uang yang terkumpul dan pendistribusiannya.
Akan tetapi dengan terjadinya degenerasi di kalangan ummat Islam, konsep baitul maal
menjadi kabur dikarenakan oleh adanya penyimpangan-penyimpangan oleh pejabat
negara. Akhirnya baitul maal dipergunakan untuk kepentingan pribadi. (Ridwan, 2004).
Menurut Mannan dalam Ridwan (2004), baitul maal dibagi menjadi tiga, yaitu
pertama, Baitul Maal Khas merupakan perbendaharaan kerajaan atau dana rahasia. Dana
ini khusus untuk pengeluaran pribadi raja dan keluarganya, dana pengawal raja serta
hadiah bagi tamutamu kerajaan. Kedua, Baitul Maal merupakan sejenis bank sentral
untuk kerajaan. Namun pola operasionalnya sebatas kepentingan kerajaan seperti
mengatur keuangan kerajaan. Sistem pengelolaan model baitul maal ini sangat
sentralistik, karena pengelola tertinggi berada di tangan raja. Ketiga, Baitul Maal Al
Islamin merupakan baitul maal yang berfungsi secara luas untuk kepentingan
masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Fungsifungsinya mencakup untuk
kesejahteraan seluruh warga tanpa memandang jenis kelamin, ras, dan bahkan agama.
Baitul maal jenis ini berlokasi di masjid-masjid utama kerajaan. Di pusat kerajaan
dikelola oleh Qodi sedangkan di Propinsi dikelola oleh Rakan Qodi. Tugas khalifah
adalah mengawasi jalannya masingmasing baitul maal, agar supaya setiap penerimaan
dapat dipisahkan sesuai dengan sumbernya dengan penggunaan yang tepat.
Pada masa Rasulullah terdapat lembaga pengontrol pemerintahan dalam urusan
muamalat, baik ekonomi, politik, maupun sosial. Lembaga ini bernama Wilayatul
Hazbah. Rasulullah sering menegur bahkan melarang langsung praktik bisnis yang
merusak harga dan mendzalimi seperti riba, monopoli dan penimbunan barang. Setelah
Rasulullah wafat, tradisi yang telah dibangun pada masa hidup Rasulullah diteruskan oleh
para khalifah. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar, kebiasaan pengumpulan zakat terus
dilaksanakan sebagai bagian dari ajaran Islam dan menjadi sumber pendapatan keuangan
negara. Keberadaan lembaga baitul maal semakin mapan pada masa khalifah Umar bin
Khattab. Bagi warga negara yang muslim, diwajibkan untuk membayar zakat, sedangkan
warga non muslim yang damai (dhimmi) diwajibkan membayar kharaj dan jizyah. Pada
masa ini, khalifah mendirikan baitul maal untuk mengelola keuangan negara, pada masa

49

ini pula, mata uang dinar dan dirham mulai dibuat. Semua kebijakan khalifah Umar ini
ditindaklanjuti oleh khalifah Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Di masa itu, baitul
maal telah dikelola dengan baik dan serius, sehingga berfungsi dengan baik dan mampu
mengentaskan kemiskinan ummat.
3.2.2. Fungsi Sosial BMT di Masa Sekarang
Berdasarkan UU No. 38 Tahun 1999, organisasi di Indonesia yang berhak
mengelola zakat terbagi menjadi dua yakni organisasi yang tumbuh atas prakarsa
masyarakat dan disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ) serta organisasi yang dibentuk oleh
pemerintah yang disebut dengan Badan Amil Zakat (BAZ). Kedua bentuk organisasi ini
memiliki kesamaan tujuan yaitu mengelola dana zakat dan sumbersumber dana sosial
secara maksimal untuk kepentingan ummat. (Ridwan, 2004). Fungsi dari kedua organisasi
tersebut hampir sama dengan fungsi baitul maal, yaitu menyalurkan dana dari muzakki
kepada mustahik untuk memperbaiki kesejahteraan ummat melalui perbaikan distribusi
pendapatan.
Salah satu fungsi kegiatan BMT adalah sebagai baitul maal yaitu mengelola dana
zakat, infak, dan shadaqah. Dari sisi pendayagunaan, banyak program yang dapat
dibiayai dari sumber dana ini, seperti pengembangan sumber daya manusia (SDM),
pengembangan ekonomi, terutama pendanaan bagi usaha kecil-mikro, perbaikan mutu
kesehatan, dan juga santunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selaku mustahik.
Semakin besar dana yang dapat dikumpulkan oleh baitul maal, maka akan semakin
banyak masyarakat yang menerima bantuan dan keluar dari belenggu kemiskinan. Dalam
kondisi ini, BMT dapat mendirikan Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk mengelola dana
ZIS ini secara lebih profesional. Fungsi sosial baitul maal dapat terwujud melalui
penyaluran zakat, infak dan shadaqah maupun dalam bentuk pembiayaan. Di setiap BMT
pembiayaan yang dilakukan mempergunakan sumber dana tersebut disebut dengan
qardhul hasan, yaitu dana charity yang diperuntukkan bagi nasabah yang benarbenar
tidak mampu. Ada pola-pola yang berbeda dalam pengelolaan qordhul hasan pada
beberapa BMT yang diteliti. Pertama, adalah pembiayaan qordhul hasan dari dana baitul
maal kepada mitra kerja yang telah memiliki usaha. Modal yang disalurkan tersebut
dimaksudkan untuk memperkuat modal yang telah ada. Sekalipun dengan dana qordhul

50

hasan, tetapi

karena

mitra

pengelola

dana

tersebut

memang

telah

mampu

mengembangkan usaha yang mendatangkan keuntungan, perhitungan yang diterapkan


sebagaimana pembiayaan-pembiayaan lainnya, yakni diterapkan sistem bagi hasil. Kedua
adalah pembiayaan qordhul hasan yang dicadangkan. BMT melakukan akad pembiayaan
kepada mitra berdasarkan sistem bagi hasil. Selain harus mengembalikan modal yang
dipinjam, seorang mitra kerja juga harus memberikan keuntungan kepada lembaga
pemberi modal sesuai dengan kesepakatan. Namun, apabila terjadi kegagalan usaha, dan
modal hilang atau tidak dapat ditarik kembali, maka kerugian BMT akibat penyaluran
dana tersebut ditutup dengan dana baitul maal yang ditangguhkan tadi. Jadi, seolah-olah
dana baitul maal disalurkan tanpa pembebanan pembayaran kembali. Praktek-praktek
seperti ini biasanya dilakukan untuk mitra pengusaha atau mitra yang baru ingin
berusaha. Ketiga, adalah pembiayaan qordhul hasan kepada orang-orang yang memang
belum mempunyai usaha, berpotensi untuk mengembangkan usaha tetapi mereka tidak
mempunyai modal. Mereka ini kemudian diberi modal dari dana baitul maal, dan
penerima modal tidak terikat perjanjian mengembalikan modal yang diterimanya.
Biasanya pembiayaan seperti ini dilakukan untuk pedagang-pedagang pemula dengan
modal tidak lebih dari Rp 1 juta. Mereka kemudian dibina oleh BMT melalui sistem
pendampingan.
Di seluruh BMT yang diteliti, baitul maal tidak berkembang sebagaimana baitul
tamwil. Rata-rata besarnya dana maal masih kurang dari 5% dibandingkan keseluruhan
dana BMT. Biasanya dana maal ini diperoleh dari zakat setiap karyawan yang dipotong
dari gaji mereka sebesar 2,5%, zakat dari anggota, dan kotak infak. Sebagian
dialokasikan untuk pembinaan usaha nasabah dan sebagian digunakan untuk cadangan
kegagalan usaha nasabah.
Dari segi manajemen, antara dana sosial dan dana bisnis, dikelola dengan sistem
terpisah dalam teknis pembukuan dan pelaporan tersendiri. Meskipun demikian,
keterpaduannya tetap diperlukan karena misi pemberdayaan BMT sangat terkait dengan
danadana sosial. Bidang sosial dari BMT, sesungguhnya adalah lembaga amil zakat,
yang berkonsentrasi pada pendayagunaan zakat untuk pengembangan usaha produktif
mustahiq. Kurangnya porsi dana maal jika dibandingkan dengan dana tamwil,

51

mengindikasikan bahwa fungsi baitul maal di seluruh BMT belum berjalan selaras dan
seimbang dengan fungsi baitul tamwil.
3.3. Fungsi Ekonomi Baitut Tamwil
3.3.1. Manajemen BMT
Dalam menjaga keberlangsungan dan menjalankan fungsi BMT sebagai lembaga
keuangan, diperlukan suatu pengelolaan manajemen yang baik. Diperlukan pula
pengelolaan BMT yang dapat memadukan kegiatan sosial dan kegiatan ekonomi. Agar
kedua kegiatan tersebut dapat berjalan selaras dalam usaha untuk memberdayakan
potensi ummat.
Sebagai lembaga yang umumnya didirikan oleh suatu kelompok masyarakat
dengan pendekatan bottom up, rata-rata BMT didirikan dengan modal seadanya.
Meskipun demikian lembaga ini amat berguna dan betul-betul bermanfaat untuk
membantu keuangan masyarakat kalangan bawah dalam mengembangkan usaha mikro
dan kecil. Sebelum adanya BMT, kebutuhan dana untuk modal usaha pengusaha mikro
kebanyakan dipenuhi dari pinjaman rentenir. Hal ini dikarenakan kurangnya akses para
pengusaha mikro terhadap layanan perbankan konvensional, sehingga membuat mereka
harus mencari modal usaha dari lembaga keuangan non formal seperti rentenir.
Sebagaimana telah diulas dalam bab sebelumnya pinjaman dari rentenir ini meskipun
mudah dan cepat, akan tetapi bunga yang dipungut kepada peminjam ini sangat tinggi.
Keadaan yang cukup memprihatinkan ini menimbulkan semangat sebagian kalangan
masyarakat di daerah penelitian untuk mendirikan suatu lembaga keuangan berdasar
prinsip syariah yang dapat berlaku lebih adil bagi kedua belah pihak. Sebagai institusi
keuangan yang baru berdiri, belum diperoleh legalitas dari pemerintah sehingga
keberadaannya cukup riskan. Hal ini terjadi pada BMT Al Amin di Makasar. BMT ini
telah berdiri pada tahun 1995 dan selama dua tahun setelah berdiri, BMT ini hanya
mampu sekedar bertahan saja, BMT ini belum memiliki pengetahuan tentang manajemen
keuangan dan manajemen organisasi. Selain itu kualitas sumber daya manusia yang
dimilikinya masih rendah, sehingga BMT ini pernah dianggap sebagai bank gelap yang
menggandakan uang dengan kedok bank syariah. Tuduhan ini cukup beralasan karena
BMT ini belum memiliki legalitas yang sah dan belum memiliki payung hukum yang

52

menaungi. Berdirinya Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) di Makasar telah
membuka wawasan bagi lembaga keuangan syariah yang telah ada, karena lembaga
inilah yang banyak bergerak sebagai inisiator berdirinya BMT di banyak tempat di
Indonesia. Institusi Pinbuk ini banyak memberi pelatihan tentang manajemen BMT dan
berbagai pelatihan yang dapat memberi perbaikan terhadap organisasi BMT.
3.3.1.1. Manajemen Keuangan
Sebagai lembaga keuangan, BMT memiliki dua fungsi utama yaitu penghimpunan
dana (funding) dan pembiayaan (financing). Kedua fungsi penghimpunan dan penyaluran
dana ini memerlukan suatu manajemen pengelolaan yang baik. Hal ini dikarenakan
prinsip utama dalam manajemen BMT adalah kepercayaan (trust) maka pengelolaan
manajemen keuangan secara baik akan dapat menarik minat masyarakat untuk menjadi
nasabah BMT dan mereka setia di dalamnya.
Ada berbagai cara BMT menghimpun dana dari masyarakat, yang paling utama
adalah menarik dana masyarakat untuk ditabungkan di dalam lembaga keuangan ini.
Meskipun demikian dewasa ini bagi BMT yang dianggap baik dapat juga meminjam
modal dari berbagai bank syariah diantaranya adalah Bank Muamalat dan Bank Syariah
Mandiri (BSM). Adapun kegiatan pembiayaan BMT lebih banyak dimanfaatkan oleh
pengusaha kecil dan pengusaha mikro. Hal ini dikarenakan sulitnya perbankan
konvensional menjangkau layanan bagi para pedagang dan pengusaha kecilmikro
sehingga keberadaan BMT merupakan salah satu solusi terhadap kesulitan keuangan
usaha mereka. Dalam memberikan pembiayaan kepada pengusaha kecil mikro, BMT
menggunakan prinsip syariah, yaitu sistem bagi hasil berdasarkan kesepakatan di awal.
Biasanya skim pembiayaan yang sering digunakan BMT antara lain adalah sistem
murabahah (jual beli), mudharabah (bagi hasil), musyarakah (penyertaan modal), ijarah
(sewa). Selain itu dimungkinkan adanya pembiayaan berdasarkan qordhul hasan yaitu
pembiayaan yang bersifat charity yang diberikan bagi orang-orang tertentu yang benarbenar membutuhkan biaya. Dana pembiayaan ini diambilkan dari baitul maal yang
dikumpulkan dari shodaqoh, infaq ataupun zakat maal masyarakat. Jumlah pinjaman juga
bervariasi tergantung dari kebutuhan dan kemampuan peminjam dalam mengelola
pinjamannya, dimulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Di BMT Al Amin

53

misalnya, terdapat banyak nasabah yang meminjam untuk kebutuhan konsumtif,


diantaranya untuk membeli barang kebutuhan rumah tangga yang berupa barang-barang
elektronik, mesin jahit dan sebagainya. Pinjaman konsumtif ini relatif seimbang dengan
pinjaman produktif.
Selain pembiayaan individu yang ditanggung oleh masing-masing individu, maka
terdapat pula skim pembiayaan tanggung renteng. Tujuan pembiayaan ini diberikan
kepada masyarakat miskin dan usaha mikro. Prinsip tanggung renteng diberikan karena
pembiayaan dilakukan dengan prosedur yang sangat mudah dan sederhana dengan tanpa
jaminan dari peminjam, dalam hal ini filosofi jaminan adalah kelompok itu sendiri.
Jikalau

salah

satu

anggota

kelompok

tidak

membayar

maka

yang

paling

bertanggungjawab adalah kelompoknya. Salah satu BMT yang diteliti menerapkan


prinsip tanggung renteng, yaitu BMT KUBE (Kelompok Usaha Bersama) Sejahtera di
Makasar. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) ini merupakan program aksi Departemen
Sosial dalam pemberdayaan fakir miskin, dalam perkembangannya program ini
diintegrasikan dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) untuk pengembangan usaha
produktif kelompok pengusaha mikro dan kecil. Institusi ini baru diinisiasikan pada
sekitar tahun 2003 dan secara resmi didirikan pada tahun 2004. Lingkup kerja kelompok
usaha bersama ini adalah melakukan pendataan warga miskin, kemudian dikelompokkan
berdasarkan kedekatan usaha di suatu kawasan. Umumnya mereka berkelompok antara
510 orang dan secara berkala melakukan pertemuan kelompok, umumnya seminggu
sekali. Dalam pertemuan tersebut dilakukan pendampingan oleh BMT, biasanya diisi
dengan ceramah agama yang isinya berkenaan dengan cara berdagang secara jujur untuk
mendapatkan berkah usaha. Biasanya sistem pinjaman dilakukan secara tabarru, bila
pengembalian kredit macet akan ditanggung renteng oleh anggota yang lain. Akan tetapi
bilamana peminjam itu meninggal dunia, maka sisa pinjamannya dihapuskan (Azis dan
Ibnu Supanta, 2004). Kegiatan usaha para anggota kelompok ini tidaklah sama, akan
tetapi yang penting adalah setara dan berdekatan tempat usahanya. Kasus di Makasar
pekerjaan nasabah diantaranya adalah penjual beras, bakulan ataupun juga penjual
pakaian bekas. Menurut pengakuan mereka biasanya pinjaman secara kelompok ini lebih
disukai karena lebih ringan, kalau ada yang belum mampu membayar maka biasanya
mereka mengangsur dengan dibantu kelompoknya. Akan tetapi bilamana ada yang benar-

54

benar tidak mampu membayar, maka hutangnya akan ditanggung bersama oleh satu
kelompok (tanggung renteng). Meskipun demikian selama ini belum ada yang tidak
membayar hutang ke BMT. Karena setiap kelompok memiliki tabungan kelompok, bila
ada yang tidak dapat membayar hutang, maka seringkali diambilkan dari tabungan itu.
BMT yang dijadikan sebagai contoh penelitian rata-rata telah berkembang karena
dikelola secara profesional. Hal ini terbukti dari peningkatan asset yang cukup
spektakuler sejak terbentuknya sampai penelitian diadakan, yang rata-rata hanya berjarak
5-7 tahun. Meskipun demikian sebagian besar BMT lainnya belum dikelola secara
profesional. Kurangnya profesionalisme pengelola menjadi salah satu sebab BMT
menjadi sakit. Menurut Amin Aziz (2006) selaku ketua PINBUK dari tiga ribuan BMT
yang ada, yang dikelola secara profesional sehingga mampu beroperasi dengan baik
jumlahnya hanya sekitar 20%. (Media Indonesia, 17 November 2006). Kurangnya
pengetahuan pengurus BMT bukan hanya di bidang manajemen saja namun juga dalam
bidang syariah. Salah satu BMT yang ditemui tim peneliti ternyata menyimpan idle
assetnya di bank konvensional. Padahal itu merupakan bank riba yang bertentangan
dengan prinsip syariah yang seharusnya dipegang oleh BMT. Hal ini menandakan bahwa
penerapan prinsip syariah oleh BMT masih belum sepenuhnya dijalankan. Diperlukan
suatu rumusan mekanisme menghimpun dana masyarakat, menyimpan assetasset serta
menyalurkannya sesuai dengan prinsip syariah. Sebagai lembaga keuangan syariah,
diharapkan BMT tidak mengkhianati kepercayaan masyarakat yang menjadi nasabah
dan tidak menyimpan dananya dengan cara riba. BMT diharapkan dapat menjadi
alternatif dalam keraguan masyarakat akan halal-haramnya bunga bank konvensional,
apakah itu dapat dikategorikan sebagai darurat atau bahkan kategori subhat.
3.3.1.2. Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu persoalan strategis yang
dapat memacu perkembangan atau bahkan sebaliknya memerosotkan institusi. Termasuk
dalam hal ini adalah bagaimana BMT merekrut sumber daya manusia.
Sebagian besar BMT yang menjadi kasus penelitian didirikan oleh beberapa orang
mulai dari nol. Dalam perkembangannya dibutuhkan karyawan yang mampu
melaksanakan kegiatan BMT. Ada berbagai cara yang ditempuh BMT untuk menjaring

55

tenaga kerja manusia, berbagai cara yang ditempuh tetapi tujuannya adalah sama yaitu
berusaha mendapatkan sumber daya yang berkualitas. Sebagian BMT telah melakukan
pola rekrutmen secara terbuka tetapi sebagian diantaranya menerapkan prinsip rekrutmen
terbatas. BMT Darut Tauhid (DT) Bandung, sebelum tahun 2000 melakukan rekrutmen
sendiri, namun setelah tahun 2000 menggunakan jasa psikolog dari beberapa universitas
di Bandung untuk membantu mendapatkan tenaga kerja yang dibutuhkan. Meskipun
demikian inti yang tidak dapat ditinggal dalam seleksi adalah kemampuannya memahami
permasalahan-permasalahan keislaman. Oleh karena itu materi seleksi bidang ini cukup
menonjol, diantaranya meliputi agama dan ekonomi Islam, Alquran, Hadits, selain tes
fisik, psikotes dan wawancara. Dan yang utama dalam setiap rekrutmen, institusi ini
memberi jatah sekitar 10% untuk yang memiliki cacat fisik agar dapat bekerja di
lingkungan Daarut Tauhid. Pola yang diterapkan institusi ini ternyata menarik minat
banyak pencari kerja, terbukti dari 12 lowongan yang dibuka tahun 2006 ternyata
sebanyak seribu orang yang mendaftar. Namun ada prioritas untuk pendaftar dari
pesantren DT sendiri, karena pertimbangan letak tempat tinggal supaya tidak terlalu jauh
dengan lokasi kerja dan juga dari tata nilai, sehingga para karyawan yang bekerjasama
dalam satu kopontren memiliki tata nilai yang tidak terlalu jauh berbeda.
Di BMT Al Amin Makasar, rekrutmen karyawan dilakukan terbuka secara umum,
namun pengelola BMT ini tidak bersedia menampung pegawai perempuan karena tidak
menghendaki ada percampuran (ikhtilat) antara lakilaki dan perempuan. Pola rekrutmen
di BMT Al Amin secara teknis adalah membuka lowongan (pengumuman), melakukan
seleksi dan menguji coba untuk melihat komitmen dan kinerja mereka. Kinerja mereka
dilihat selama 3 bulan sambil melakukan tarbiyah dan pembinaan akhlak. Demikian pula
dengan BMT Mardlotillah di Sumedang, BMT Bina Ummat Sejahtera di Lasem,
melaksakan sistem rekrutmen secara terbuka. Sebaliknya BMT Ibadurrahman di Ciawi,
Bogor menerapkan pola rekrutmen terbatas. Mereka tidak pernah membuka lowongan
pekerjaan secara terbuka, tetapi kebutuhan karyawan dipenuhi dari pola pelatihan
manejemen yang sering dilakukan oleh BMT tersebut. Dari aktivitas tersebut dapat
dinilai orang-orang yang memiliki kualitas pengetahuan dan utamanya adalah
pengamalan keagamaan dan dalam menjaga amanah. Mereka yang termasuk dalam
kriteria akan mendapat penawaran pekerjaan, kalau bersedia langsung direkrut menjadi

56

karyawan. Pola ini dilakukan dengan latar belakang kekecewaan pengelola BMT
terhadap hasil seleksi secara terbuka. Pada suatu kesempatan seleksi terbuka, berhasil
dipilih orang yang memenuhi kriteria kemampuan (skill). Memang kemampuan ini dalam
praktek kerja dapat dibuktikan, akan tetapi tenaga baru ini tidak dapat menjaga amanah
dalam menerima titipan uang nasabah. Semenjak itu dilakukan perubahan pola rekrutmen
yang dilakukan secara terbatas.
Hasil rekrutmen tenaga kerja ini diantara BMT yang diteliti tidak mendapatkan
imbalan yang sama. Beberapa BMT yang sudah besar dan mapan mampu memberikan
gaji yang mencukupi untuk para karyawannya, dan juga ditambah fasilitas yang lain
seperti kendaraan, dana pensiun, dan tunjangan lainnya seperti tunjangan kesehatan.
BMT ini juga mampu memberikan pembinaan terhadap karyawannya yang dilakukan
baik berupa pembinaan kemampuan skill maupun akhlak dan keimanannya. Itulah yang
disebut dengan pembinaan ruhiyah. Tidak ada ketentuan yang baku bagaimana cara
meningkatkan kekuatan ruhiyah bagi nasabah dan karyawan, masing-masing BMT yang
didatangi memiliki metode dan cara yang berbeda dan dianggap relevan untuk
dilaksanakan. Sebagai misal, jaringan BMT Daarut Tauhid mewajibkan pengurus dan
pengelolanya untuk setiap hari (minimal pagi sesudah sholat Subuh) mendengarkan
ceramah melalui radio Daarut Tauhid, baik ceramah yang dibawakan oleh KH. Abdullah
Gymnastiar selaku pengasuh pondok pesantren maupun ustadz-ustadz yang lainnya.
Motode semacam ini dianggap mudah, murah dan dapat mencapai sasaran terhadap
peningkatan ruhiyah yang diharapkan. Sebaliknya BMT Bina Ummat Sejahtera di Lasem,
hanya pada hari-hari besar Islam saja melaksanakan penguatan ruhiyah untuk pengurus,
pengelola, anggota nasabah dan tetangga sekitar dengan mengundang untuk
mendengarkan ceramah pengajian. Meskipun demikian BMT ini mewajibkan Sholat
berjamaah (Dhuhur dan Ashar) pada setiap hari kerja diantara pengurus dan karyawan
serta diselingi dengan ceramah singkat sebagai metoda penguatan ruhiyah sebelum
makan siang bersama. Di BMT Hikmah Makasar, dilakukan pembinaan ruhiyah dan
pembinaan teknis usaha kepada nasabah. Secara umum BMT ini memiliki visi dan misi
untuk memajukan usaha nasabah. Secara praktis pembinaan dilakukan dengan memberi
pinjaman dan pendampingan agar usaha nasabah berkembang. Pembinaan dari segi
rohani dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran nasabah akan pentingnya prinsip

57

prinsip syariah dalam hidup dan berusaha. Selain itu diperkenalkan pula prinsip
kejujuran, keadilan dan semangat pantang menyerah dalam mencari rejeki. Pembinaan
dari segi teknis usaha akan memberikan kemampuan kepada nasabah untuk berusaha
dengan manajemen yang terarah, sehingga mengurangi resiko kebangkrutan. Dengan
berkurangnya resiko ini, akan menguntungkan pihak BMT juga, karena dapat
mengurangi tingkat non performing loan (NPL).
Struktur organisasi merupakan hal yang penting dalam manajemen BMT. Struktur
organisasi menunjukkan adanya garis wewenang dan tanggung jawab, garis komando
serta cakupan pekerjaan masingmasing. Struktur ini menjadi sangat penting agar tidak
terjadi benturan pekerjaan serta memperjelas fungsi dan peran masingmasing bagian
dalam organisasi.
Tidak semua BMT yang dikunjungi memiliki struktur kepengurusan yang sama,
struktur kepengurusan biasanya terkait dengan latar belakang berdirinya BMT yang tidak
sama pula di setiap tempat. Meskipun demikian terdapat struktur organisasi standar BMT
yang telah disusun (Shalahuddin, 2006), yaitu :
1. Musyawarah anggota pemegang simpanan pokok, adalah yang memegang
kekuasaan tertinggi di dalam memutuskan kebijakankebijakan makro Baitul
Maal wat Tamwil.
2. Dewan Syariah, adalah yang mengawasi dan menilai operasionalisasi Baitul Maal
wat Tamwil.
3. Pembina Manajemen, yang bertugas untuk membina jalannya Baitul Maal Wat
Tamwil dalam merealisasikan programnya.
4. Manajer, yang bertugas menjalankan amanat musyawarah anggota dan memimpin
Baitul Maal wat Tamwil.
5. Pemasaran, yang bertugas untuk mensosialisasikan dan mengelola produkproduk
Baitul Maal wat Tamwil kepada masyarakat.
6. Kasir, yang bertugas melayani nasabah.
7. Pembukuan, yang bertugas untuk melakukan pembukuan atas asset dan omset
Baitul Maal wa Tamwil.

58

Berikut ini adalah diagram struktur organisasi BMT yang disusun secara standar :
Musyawarah Anggota
Pemegang Simpanan Pokok

Pembina
Manajemen

Dewan Syariah

Manajer

Maal

Tamwil

Pemasaran

Kasir

Pembukua
n

Anggota dan Nasabah

Keterangan :

Garis koordinasi
Garis komando

Dalam struktur organisasi standar dari PINBUK tersebut, musyawarah anggota


pemegang simpanan pokok melakukan koordinasi dengan Dewan Syariah dan pembina
manajemen dalam mengambil kebijakan yang akan dilakukan oleh manajer. Manajer
memimpin keberlangsungan maal dan tamwil. Tamwil terdiri dari pemasaran, kasir, dan
pembukuan. Sedangkan anggota dan nasabah berhubungan koordinatif dengan maal,
pemasaran, kasir, dan pembukuan. Meskipun demikian dalam kenyataannya setiap Baitul
Maal wat Tamwil memiliki bentuk struktur organisasi yang berbedabeda, hal ini
dipengaruhi oleh ruang lingkup atau wilayah operasi BMT, efektivitas dalam pengelolaan
organisasi BMT, orientasi program kerja yang akan direalisasikan dalam jangka pendek
dan jangka panjang, dan jumlah sumber daya manusia yang diperlukan dalam
menjalankan operasi BMT (Sholahuddin, 2006).

59

Salah satu BMT yang diteliti di Jawa Barat, misalnya memiliki susunan organisasi
yang berbeda sama sekali dari standar, sebagaimana yang terlihat pada bagan di bawah.
Struktur Organisasi BMT Kasus

Musyawarah Anggota

Bank Mitra

LSM Mitra

Badan Pengurus:
Ketua
Sekretaris
Bendahara
Anggota

Dewan
Syariah

Manajer

Kabag. Marketing dan


Sektor Riil

Kabag. Operasional
Keuangan dan Baitul Mal

Customer
Service

Teller

Administrasi
Pembukuan

Account
Officer

Sumber : Nurdiana, 2006.

60

Kolektor

Funding
Officer dan
Remidial

Menurut Lukman Nurdiana, fungsi dan tugas masing masing bagian dalam struktur
organisasi adalah sebagai berikut :
a. Badan pengurus/komisaris, memiliki tugas dan wewenang untuk mewakili seluruh
anggota dalam musyawarah anggota, mewakili dan memantau pelaksanaan
operasional BMT, menerima dan memberikan kebijakan dalam laporan kelembagaan
BMT, sebagai pengelola dalam operasional BMT, mengangkat dan memberhentikan
pengelola BMT sesuai Anggaran Dasar atau Anggaran Rapat Tahunan, membuat
kebijakan lain yang dianggap perlu untuk mendukung perkembangan BMT.
b. Manajer, bertugas untuk membuat laporan keuangan dan kelembagaan BMT,
membuat laporan keuangan dan pertanggungjawaban kelembagaan BMT kepada
musyawarah anggota, membuat dan melaksanakan serta mengawasi kebijakan
operasional BMT, memeriksa laporan dari pegawai sesuai dengan pekerjaan masing
masing dan memberikan penghargaan yang dianggap perlu untuk perkembangan
BMT. Bertanggungjawab atas kegiatan operasional, membuat ketentuan operasional
dan kepegawaian, menerima pertanggungjawaban dari karyawan atas operasional,
mewakili BMT dalam hal hubungan ke luar maupun ke dalam, melakukan tindakan
tindakan yang dianggap perlu dalam menyelamatkan keuangan BMT dengan
koordinasi bersama pengurus lainnya, sebagai koordinator dan membina tahapan
kinerja karyawan dalam pengelolaan BMT, melaksanakan rekrutmen dan pengawasan
terhadap kinerja karyawan, bertanggungjawab atas kebutuhan dan pemeliharaan
kekayaan BMT.
c. Kepala Bagian Marketing dan Sektor Riil, bertugas untuk mengkoordinasikan
bagianbagian yang menjadi tanggungjawabnya dalam melaksanakan kegiatan.
Kepala Bagian ini juga bertanggungjawab kepada manajer BMT, melakukan
koordinasi dengan seluruh bagian dalam kegiatan operasional BMT, membina usaha
sektor riil antara lain dengan cara melakukan segala kebijakan usaha sektor riil atas
petunjuk manajer, menciptakan dan menggali peluang usaha dalam membantu
perkembangan BMT, membuat laporan usaha secara tertib dan sistematis, melakukan
koordinasi atas segala pelaksanaan usaha sektor lain, dan bertanggungjawab atas
pelaksanaan usaha sektor riil dan usaha operasional.

61

d. Kepala Bagian Operasional, Keuangan dan Baitul Maal, memiliki tugas dan
wewenang untuk mengkoordinasikan bagianbagian yang menjadi tanggungjawab
dalam melaksanakan kegiatan, bertanggungjawab kepada manajer BMT, melakukan
koordinasi dengan seluruh bagian dalam kegiatan operasional BMT, membuat
kebijakankebijakan dalam hal keuangan yang berkoordinasi dengan manajer,
bertanggungjawab atas administrasi pembukuan dan keuangan, merencanakan dan
melaksanakan strategi penghimpunan zakat, infak dan shadaqah serta dana sosial
lainnya dengan pengelolaan yang profesional kemudian didistribusikan kepada para
mustahiq (orang yang berhak menerima).
e. Account Officer (Bagian Pembiayaan), bertugas untuk membuat kebijaksanaan
tentang syarat pembiayaan atas petunjuk manajer, menerima permohonan dan
melakukan analisa baik administrasi maupun kelayakan usaha anggota, melakukan
survey lokasi atas bantuan bagian jasa nasabah dan tokoh setempat, memproses
diterima atau tidaknya terhadap permohonan pembiayaan atas petunjuk manajer,
melakukan pencairan pembiayaan setelah mendapat persetujuan manajer dan
koordinasi dengan kasir, melakukan pembinaan terhadap debitur dan melakukan
tindakan yang dianggap perlu dalam penanggulangan pembiayaan bermasalah,
melakukan koordinasi dengan seluruh bagian dalam rangka operasional BMT.
f.

Teller (kasir), bertanggungjawab untuk melaksanakan tugas dalam menerima dan


mengeluarkan dana, membuat laporan keuangan dan kondisi kas BMT, menjaga
keamanan kas selama didalam dan diluar jam kerja, membuat laporan sirkulasi BMT,
membantu melayani bagian jasa nasabah dalam hal penerimaan tabungan, angsuran
pembiayaan dan konsultasi dan produkproduk BMT, dan melakukan koordinasi
dengan seluruh bagian yang menyangkut keuangan yang ada, melakukan tindakan
atas segala kemungkinan penyelamatan keuangan, membantu bagian jasa nasabah
dalam menghitung bagi hasil tabungan.

g. Customer Service (Jasa Nasabah), tugas umum dari customer service antara lain
melaksanakan tugas pemasaran produkproduk BMT pada masyarakat, melakukan
publikasi yang berkaitan dengan operasional BMT, melayani kebutuhan nasabah dan
debitur atau calon anggota, menghitung bagi hasil tabungan setiap tahun, sedangkan
tugas khusus dari customer service antara lain membuat laporan tentang tabungan dan

62

pembiayaan, melakukan data arsip tabungan, mengoperasikan komputer dan mesin


tik dalam pengisian tabungan deposito dan pembiayaan.
h. Collector (Kolektor) memiliki beberapa tugas yaitu menjemput dana tabungan dan
angsuran pembiayaan dari anggota, membantu bagian pembiayaan dalam membina
anggota atau debitur, dan membantu perkembangan kolektabilitas anggota.
i. Bagian Administrasi dan Pembukuan memiliki tugas untuk membuat laporan
keuangan bulanan dan harian, bertanggungjawab atas segala bukti transaksi hingga
neraca akhir, melakukan pengarsipan dengan tertib atas segala operasional BMT,
melakukan koordinasi dengan seluruh bagian dalam operasional BMT, dan membantu
bagian jasa nasabah dalam perhitungan bagi hasil.
j. Funding Officer dan Remedial memiliki tugas untuk merencanakan dan
melaksanakan strategi penghimpunan dana baik simpanan maupun dana pihak ketiga
lainnya, bertanggung jawab melakukan tugas penanganan terhadap pembiayaan yang
bermasalah, dan melakukan koordinasi dengan seluruh bagian.
Setiap BMT memang memiliki struktur kepengurusan yang tidak sama tergantung
bentuk badan hukum dan kondisi yang dihadapi oleh BMT. Namun pada umumnya BMT
berbadan hukum koperasi sehingga seluruh anggota BMT dapat berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan yang menyangkut penentuan kebijakan dalam BMT.
Selain itu tingkat pendidikan karyawan BMT juga bervariasi, tergantung situasi
BMT dan posisi pekerjaan mereka. Sebagai misal di Kopontren Daarut Tauhid, dari
sebanyak 139 karyawan sebagian besar memiliki tingkat pendidikan SLTA yaitu 90
orang. Diantara 15 orang Sarjana dan 14 orang Diploma yang dimiliki jarang yang
mempunyai latar belakang pendidikan di bidang ekonomi. Dari seluruh karyawan
Kopontren, yang menjadi karyawan BMT hanya berjumlah 13 orang, dan 3 diantaranya
berpendidikan sarjana (S1). Jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan masyarakat di
daerah Geger Kalong Bandung, tempat dimana pesantren Daarut Tauhid berada, tingkat
pendidikan karyawan BMT ratarata sama dengan masyarakat sekitar. Dengan tingkat
pendidikan seperti itu, sudah cukup efektif untuk melayani masyarakat sekitar. Karena
kalau tingkat pendidikan karyawan di bawah ratarata tingkat pendidikan masyarakat
sekitar maka akan mengurangi kemampuan mereka dalam melayani nasabah. Selain itu
tingkat pendidikan karyawan yang terlalu tinggi akan menuntut gaji yang tinggi pula.

63

Banyaknya karyawan dengan latar belakang pendidikan bukan dari ekonomi, ternyata
tidak mengurangi efektivitas bekerja mereka, dapat dilihat disini bahwa pelatihan dan
pembinaan oleh pengurus BMT pasca rekrutmen sudah cukup baik untuk mendapatkan
karyawan dengan kompetensi yang dibutuhkan BMT.
3.3.1.3. Manajemen Sarana Prasarana
Sebagian besar (85%) BMT yang berkembang di Indonesia rata-rata memiliki
asset di bawah Rp 1 miliar. Antara Rp 1 miliar sampai Rp 5 miliar sebanyak 300 BMT,
antara Rp 5 miliar sampai Rp 15 miliar sebanyak 150 BMT, sedangkan yang memiliki
asset di atas Rp 15 miliar hanya 10 unit. (Azis, 2006).
Berdasarkan kepemilikan asset tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar BMT
hanya mampu membiayai usaha mikro, kecil dan menengah. Untuk menanggulangi
kebutuhan likuiditas dalam memenuhi pinjaman atau penarikan dana dari nasabah, sering
dilakukan pinjam meminjam dana antar BMT. Hal ini terjadi pada sebagian BMT yang
diteliti yang memiliki kategori kepemilikan asset rata-rata. Kebutuhan likuiditas ini
sangat penting untuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap BMT tersebut. Di beberapa
daerah penelitian faktor menjaga brand sebagai institusi keuangan terpercaya cukup
diperhatikan. Hal ini dapat diketahui dari tampak luar sarana dan prasarana yang dimiliki
oleh institusi BMT. Ada BMT yang dari segi asset termasuk rata-rata, akan tetapi gedung
yang ditempati adalah gedung sendiri dengan arsitektur seperti lembaga keuangan
konvensional di perkotaan. Meskipun demikian di lain pihak ada pula BMT yang tetap
mempertahankan kesederhanaan, meskipun memiliki asset di atas rata-rata. Informasi
yang diperoleh menunjukkan bahwa peranan kultur masyarakat tempat berdirinya BMT
tersebut cukup memberi corak, bagaimana BMT tersebut dibentuk. Kultur masyarakat
yang lebih melihat kekuatan berdasarkan corak lahir yang dimiliki, maka biasanya
BMT dan lembaga keuangan lainnya akan membangun gedung secara megah untuk lebih
banyak menarik nasabah. Hal yang sebaliknya bilamana masyarakat melihat kekuatan
dari segi kualitasnya maka tidak ada keterburu-buruan pengurus dalam membangun
sesuatu yang tampak megah dari luar. Sebagai misal BMT Usaha Artha Sejahtera di
Pamotan, Rembang memiliki sebuah gedung pusat yang megah di tengah persawahan
dengan 4 kantor cabang. Bahkan karena megahnya ada cerita bahwa seringkali ditemui

64

nasabah yang melepas sandalnya saat akan memasuki gedung BMT. Hal ini
menimbulkan pertanyaan, apakah pembuatan gedung yang megah akan menambah
kepercayaan masyarakat atau justru mengurangi kedekatan BMT dengan nasabah.
3.3.1.4. Manajemen Pendampingan Usaha
Baitul Maal Wat Tamwil adalah lembaga keuangan mikro yang memakai prinsipprinsip syariah. Prinsip ini diharapkan akan dapat mengurangi ketidakadilan yang
acapkali terjadi dalam hubungan antara peminjam dana dan pemberi dana. Dalam
kiprahnya membantu pengusaha mikro, BMT tidak hanya mampu menyalurkan dana
namun juga mendampingi usaha nasabah untuk mengurangi besarnya non performing
loan akibat kegagalan usaha nasabah.
Di beberapa BMT yang diteliti, pendampingan usaha dilakukan oleh karyawan
BMT. Ada petugas khusus yang disebut Account Officer (AO) yang memantau jalannya
usaha nasabah dan ikut mendampingi nasabah dalam menjalankan usahanya. Adanya
pendampingan dan pembiayaan dari BMT ini, menjadikan sebagian nasabah mengakui
peran BMT dapat meningkatkan usahanya dan berikutnya adalah meningkatkan
kesejahteraan. Di Rembang, Jawa Tengah terlihat keberhasilan dan kemampuan BMT
dalam membantu pengusaha mikro-kecil melepaskan diri dari jeratan rentenir. Karena di
daerah tersebut rentenir perorangan maupun institusi pembiayaan yang berkedok koperasi
tetapi memungut bunga sangat tinggi adalah para kompetitor BMT. Meskipun demikian
di kalangan pengusaha kecil-mikro, peranan BMT dianggap mampu memberi alternatif
lain yang lebih murah dibandingkan rentenir. Oleh karena itu banyak Koperasi Simpan
Pinjam (KOSIPA) sekarang ini semakin banyak berkurang. Untuk mempertahankan
eksistensi sebagian besar KOSIPA itu pindah ke tempat-tempat yang belum didirikan
BMT atau kalaupun ada, tetapi BMT tersebut belum kuat.
Keberhasilan BMT di daerah penelitian dalam memberi fasilitas kemudahan dan
akad yang saling menguntungkan menyebabkan beberapa bank konvensional juga
menerapkan sistem jemput bola. Meskipun demikian diantara bank-bank konvensional
ini dengan BMT ada perbedaan segmen pasar yang menjadi nasabah. Kebanyakan
nasabah BMT adalah para pedagang kecil, dalam hal menabung atau membayar angsuran
pinjaman seringkali hanya sebatas menitipkan sekitar Rp 1000 atau Rp 500 per hari,

65

paling tidak hanya Rp 5000. Di sisi lain keberpihakan nasabah pada BMT ternyata tidak
selalu karena konsep syariah yang diterapkan, sebagian besar karena menganggap bahwa
pelayanan dan pengelolaan BMT cukup baik diantaranya adalah pelayanan jemput bola
dan kemudahan prosedur pembiayaan atau simpanan. Selain itu karena BMT rata-rata
didirikan dan dikelola oleh masyarakat lingkungan sendiri, maka terjadi keakraban yang
cukup baik antara nasabah dengan pengelola dan pengurus BMT. Kekuatan ini sulit
ditemukan pada institusi perbankan lainnya yang menjadi pesaing, karena petugas dan
pengelolanya kebanyakan bukan penduduk setempat. Sehingga mereka memerlukan
adaptasi yang tidak sealami petugas BMT. Nasabah BMT Hikmah yang ditemui di
lapangan menceritakan bahwa kelebihan BMT antara lain adalah adanya kemudahan
akses, pendekatan ke nasabah bagus, cara menagih cukup sopan, kalau hari ini belum
mampu membayar, dapat dibayar besok atau lusa. Kalau nasabah sedang memerlukan
uang dapat langsung datang ke BMT, tidak diperlukan jaminan atau agunan yang
memberatkan. Selain itu nasabah lain mengatakan kelebihan BMT adalah adanya
musyawarah kalau ada masalah yang timbul dalam pembiayaan. Sekiranya hari ini belum
memiliki uang, dapat diberi tenggang waktu besok atau lusa untuk membayar tanpa
dikenakan denda sama sekali.

3.3.2. Pelaksanaan Fungsi Intermediasi


Sebagai lembaga keuangan, BMT mempunyai fungsi untuk menghimpun dana
dan menyalurkannya kepada nasabah yang membutuhkan dana pembiayaan usahanya.
Selain itu BMT juga sebagai mediator yang mempertemukan antara pihak penyandang
dana dengan pihak yang membutuhkan dana.
Fungsi BMT dalam kedua sistem tersebut adalah melakukan pendampingan
usaha, memantau usaha nasabah dan melakukan pembinaan secara rutin. Pola
pemantauan secara langsung ini, terbukti dapat menekan besarnya kredit macet (Non
Performing Loan). Sebagai kasus yang terjadi pada BMT Al Amin Makasar, tingkat Non
Performing Loannya pada saat penelitian adalah 0% dan hampir 100% dana yang dimiliki
dapat tersalurkan untuk pembiayaan nasabah. Sebaliknya pada BMT Usaha Artha
Sejahtera di Rembang besarnya kredit macet mencapai sekitar 2%. Kredit disebut macet
karena usaha nasabah yang dibiayai benar-benar telah bangkrut, sehingga tidak mungkin

66

dapat ditarik lagi. Untuk menekan besarnya angka Non Performing Loan (NPL), maka
BMT Barrah memiliki kiatkiat khusus, antara lain adalah memungut angsuran secara
harian, pemungutan dijemput oleh Account Officer dengan mendatangi satu per satu
nasabah tanpa harus datang ke kantor, pembiayaan di atas Rp 1,5 juta menggunakan
agunan. Selain itu dilakukan pembinaan rutin berupa pengajian setiap 2 minggu sekali,
dilakukan penerapan sistem cadangan penghapusan piutang seperti cadangan resiko, dana
taawun dan dana qordhul hasan dari zakat, infaq dan shodaqoh. Dana-dana ini sering
dialokasikan untuk nasabah yang bermasalah dalam usahanya. Meskipun demikian kalau
masalah yang ditimbulkan adalah akibat kenakalan nasabah, maka dana tersebut diganti
dari cadangan resiko.
Kedekatan BMT dengan nasabah ini merupakan suatu nilai lebih yang jarang
dapat ditemui pada lembaga keuangan lain. Pengusaha kecil lebih memilih BMT karena
pada umumnya mereka kesulitan untuk memperoleh dana dari bank. Kesulitan
memperoleh pembiayaan dari bank oleh pengusaha kecil biasanya karena skala usahanya
yang kecil dan mereka tidak memiliki jaminan/agunan untuk pinjaman. Mereka juga
tidak memiliki laporan keuangan yang biasanya dievaluasi bank sebelum memberikan
pinjaman. Kedekatan BMT dengan pengusaha kecil menjadikannya sebagai salah satu
pihak yang ikut berperan dalam mengembangkan usaha kecil, terutama dari segi
permodalan. Keberadaan BMT juga mampu mengurangi praktek rentenir yang banyak
terdapat di desadesa. Prosedur pembiayaan pada rentenir mungkin sama mudahnya
dengan BMT dan tidak serumit prosedur pembiayaan pada bank umum namun pada
akhirnya pinjaman dari rentenir justru menyengsarakan nasabah karena tingkat bunganya
yang terlalu tinggi.
Dari beberapa kasus nasabah yang diwawancara secara mendalam, mereka
memilih pembiayaan dari BMT bukan karena prinsip syariahnya namun karena
kemudahan akses dan pelayanannya. Padahal fungsi BMT yang tidak terdapat pada
lembaga keuangan konvensional adalah perannya sebagai lembaga keuangan yang bebas
riba. BMT sebagai lembaga keuangan dengan prinsip syariah tidak mengenakan bunga
sebagai insentif dari pembiayaan yang dilakukan, melainkan memakai sistem bagi hasil.
Dengan prinsip bagi hasil (revenue sharing) BMT akan dapat menjadi alternatif lembaga
keuangan, terutama bagi pengusaha kecil dan menengah untuk memperoleh pembiayaan

67

usahanya dengan cara yang lebih adil dibandingkan dengan lembaga keuangan yang
memakai sistem bunga.
Bagi hasil, sebenarnya baru dapat dihitung dan dibagi setelah dana tamwil
tersebut digunakan nasabah untuk melakukan usaha produktif, hanya saja sebelumnya
harus ditentukan kesepakatan (akad) yang membagi porsi bagi hasil antara BMT dan
nasabah. Nasabah tetap dikenakan kewajiban mengembalikan pokok pinjamannya dalam
jangka waktu tertentu baik usaha itu untung atau rugi. Oleh karena itu peranan
pendampingan ini menjadi sangat penting, untuk memantau keberlanjutan usaha dan
untuk mengantisipasi terjadinya kenakalan-kenakalan nasabah. Untuk itu BMT dituntut
proaktif menjemput bola dan harus tahu persis jalannya usaha nasabah yang dibiayai.
Produk yang ditawarkan setiap BMT tidaklah sama, sebagai misal BMT Usaha
Artha Sejahtera (UAS) Pamotan, menawarkan dua jenis layanan yaitu simpanan dan
pembiayaan. Produk simpanan meliputi simpanan muamalah, simpanan muamalah
berjangka, simpanan pendidikan, simpanan qurban, simpanan haji, simpanan wadiah,
simpanan cadangan resiko. Sedangkan produk pembiayaan meliputi pembiayaan
mudharabah, musyarakah, murabahah, bai bitsaman ajil dan qardhul hasan. Adapun
produk yang ditawarkan di BMT Shahibul Ummat Rembang adalah produk pembiayaan
dan produk simpanan. Macam produk pembiayaan yaitu, mudharabah (untuk pembiayaan
produktif dengan sistem bagi hasil), murabahah (untuk pembiayaan produktif atau
konsumtif dibayar pada waktu jatuh tempo), bai bitsaman ajil (untuk pembiayaan
konsumtif dengan sistem mark up) dan qordhul hasan (untuk pembiayaan yang bersifat
sosial diambilkan dari dana baitul maal). Macam produk simpanan adalah si rela (dana
titipan yang dapat diambil sewaktuwaktu bila dibutuhkan), si suka (dana simpanan
berjangka), dan si didik (simpanan pendidikan).
BMT Hikmah Makasar mematok plafon pembiayaannya minimal Rp 2 juta. Jenis
pembiayaan antara lain murabahah, musyarakah dan rahn (gadai). Jenis pembiayaan yang
paling sering dilakukan adalah murabahah yang mencapai 85% dari total seluruh
pembiayaan. Produk rahn (gadai) mulai dilakukan sejak bulan Mei 2006. BMT Hikmah
memakai sistem bagi hasil (revenue sharing) dalam pembiayaannya. Besaran bagi hasil
antara 35% 40 % untuk BMT, selisihnya untuk nasabah.

68

Tipe Pembiayaan di BMT Al Amin sekitar 80% adalah berupa jual beli
murabahah. Biasanya BMT mengambil margin dari pembelian barang antara 2% 3%.
Barang yang dapat dibiayai dengan pola ini antara lain kendaraan, barang elektronik, alat
rumah tangga maupun sembako. Selain pembiayaan jual beli murabahah, sebagian kecil
adalah mudharabah (bagi hasil), ijarah (sewa), maupun rahn (gadai). Teknik
peminjaman diusahakan agar dapat menciptakan kenyamanan dan kemudahan bagi
nasabah, sehingga nasabah senantiasa loyal untuk menjadi nasabah BMT. Selain
kemudahan pelayanan, cara untuk menciptakan keloyalan nasabah adalah dengan
menciptakan hubungan yang penuh kekeluargaan tidak hanya sebatas hubungan antara
debitur dan kreditur, tetapi lebih pada hubungan sosial bahkan kadang sampai tentang
masalah rumah tangga. Hubungan-hubungan ini dipercaya dapat memberikan keuntungan
bagi BMT dalam rangka tujuannya membangun jaringan bisnis yang Islami serta
mengembangkan ekonomi Islam.
3.4. Kesimpulan
Baitul Maal Wat Tamwil merupakan istilah yang menggabungkan antara Baitul
Maal dan Baitut Tanwil. Fungsi ekonomi BMT terlihat dari peranan baitut tamwil,
dimana BMT melakukan usaha pembiayaan ekonomi yang produktif bagi nasabahnya.
Adapun fungsi sosial BMT terlihat dari peranan baitul maal, yaitu berfungsi sebagai
pengelola dana yang tidak mengutamakan keuntungan (lembaga nir laba).
BMT sebagai baitut tamwil mempunyai fungsi ekonomi untuk membantu
pengusaha kecil dalam permodalan. Keberhasilan para pengusaha kecil tersebut akan
dapat membantu dalam mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.
Adanya BMT juga dapat mereduksi praktek-praktek rentenir, selain menjadi alternatif
pembiayaan yang diharapkan dapat bebas dari unsur riba. Sebagai baitul maal, BMT
mempunyai fungsi sosial untuk menyalurkan dana zakat, infak, dan shodaqoh dari pihak
muzakki kepada mustahik. Melalui skim pembiayaan qardul hasan BMT juga dapat
membantu orang yang baru memulai usaha namun kesulitan dalam hal permodalan.
Fungsi maal juga dapat digunakan untuk memutihkan hutang nasabah yang benar-benar
dalam kondisi kesulitan, menggantinya dengan mengambil asnaf zakat untuk orang yang
berhutang (ghorimin) dari zakat, infaq dan shodaqoh yang dikumpulkan BMT. Meskipun

69

demikian fungsi sosial BMT saat ini belum berjalan seimbang dengan fungsi
ekonominya. Dana yang dapat dikumpulkan oleh baitul maal masih sangat kecil jika
dibandingkan dengan dana yang berkembang di baitut tamwil. Untuk itu hendaknya ada
pemikiran untuk merumuskan cara untuk lebih menyeimbangkan kedua peran BMT
tersebut.

Daftar Pustaka
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Koperasi Serba Usaha Shohibul
Ummat, Rembang
Anonymous (2006), Sekilas Tentang BMT Barrah, Bandung
Aziz, M. Amin, 1992. Mengembangkan Bank Islam di Indonesia. Jakarta, Bangkit.
____________, 2004. Pedoman Pendirian BMT (Baitul Maal wat Tamwil). Jakarta,
Pinbuk Press.
____________, 2004. Prinsip dan Metode Pengembangan Dai Fiah Qaliilah. Jakarta,
Pinbuk Press.
____________ dan Ibnu Supanta, 2004. Penanggulangan Kemiskinan Melalui
POKUSMA dan BMT. Jakarta, Pinbuk Press.
BMT Bina Ummat Sejahtera (2006), Profil BMT Bina Ummat Sejahtera, Rembang
Company Pofile, 2005. Koperasi Jasa Kauangan Syariah Baitul Maal Wat Tamwil Bina
Ummat Sejahtera Lasem, Lasem, BUS
Laporan Keuangan Mikro Syariah BMT Kopontren Daarut Tauhid, Bandung, Juni 2006

70

Laporan Perkembangan Usaha BMT Kopontren Daarut Tauhid, Bandung, Juni 2006
Media Indonesia, 2006. Jurnal KUKM, edisi November 2006
Mengembang Amanat Ummat KSP Syariah BMT Barrah Bandung, 2006
Nurdiantara, Lukman, 2006. Peranan Sistem Pembiayaan dalam Menunjang Efektivitas
Pengendalian Intern Pemberian Pembiayaan.Skripsi Program S1. Bandung,
STIE Yayasan Pendidikan Keuangan dan Perbankan.

Profil Lembaga Koperasi Syariah BMT Hikmah Makassar, 2005


Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil, tt. Company Profile Pusat Inkubasi Bisnis Usaha
Kecil, Jakarta, PINBUK.

Ridwan, Muhammad, 2004. Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Yogyakarta, UII
Press.
Sholahuddin, M, 2006. Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam. Surakarta, Universitas
Muhammadiyah Press.

71

Anda mungkin juga menyukai