Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN TEORITIS

DIFTERI
A. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik
(racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
Jadi kesimpulannya difteri adalah penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae
B. Etiologi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui
percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan
yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada
atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan
peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan dengan biru metilen
atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak,
sifat bakteri Corynebacterium diphteriae :
1.

Gram positif

2.

Aerob

3.

Polimorf

4.

Tidak bergerak

5.

Tidak berspora

Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60 C selama 10 menit, tahan
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga
jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk
koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria
mempunyai sifat:

1.
Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan
berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin,
leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
2.
Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan
setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang
khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit
ini menjadi 3 tingkat yaitu :
a)
Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
b)
Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding
belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c)
Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Menurut bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan
menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
1.

Difteri hidung

Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian
secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran.
Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
2.

Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).

Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan
tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan
imunitas pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang
tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi,
pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat
meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional
leher tampak seperti leher sapi (bulls neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara
serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.
3.

Difteri laring dan trakea

Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer.
Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih

berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta
epigastrium. Ada bulls neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret,
dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah
sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.

4.

Difteri kutaneus dan vaginal

Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan
pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat
nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula
timbul pada daerah konjungtiva dan umbilikus.

5. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga


Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra.
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

C.
a.

Manifestasi Klinis
Gejala umum.

Demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga
pasien tampak lemah.
b. Gejala lokal
Nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada area regional,
sesa nafas, serak sampai dengan stridor jika penyakit sudah stadium lanjut. Gejala
akibat eksotoksin tergantung bagian yang terkena missal mengenaiotot jantung
terjadi miokarditis, dan bila mengenai syaraf mnyebabkan kelumpuhan.
D. Patofisiologi
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama
bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat
juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut
basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.Pseudomembran
timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas.
Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin.
Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau

jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot
pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal,
yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada
umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat
pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau
gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.

Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi


dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman
difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita.
Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya
basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan
dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya
tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam
keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea.
Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi
komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut
Iwansain,2008 dalam http://www.iwansain.wordpress.com secara sederhana
pathofisiologi difteri yaitu :
1.
Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan
dapat juga pada vulva, kulit, mata.
2.
Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas
atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
3.
Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya
miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4.
Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada
laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
E.

Penatalaksanaan

Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya
sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
1.
ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.

a.

TEST ADS

ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.


Diberikan 0,05 CC intracutan Tunggu 15 menit indurasi dengan garis tengah 1
cm (+)
b.

CARA PEMBERIAN

Test Positif BESREDKA


Test Negatif secara DRIP/IV
c.

Drip/IV

200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan selama
4 sampai 6 jam observasi gejala cardinal.
2.
Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
3.
Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.
Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan
trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot,
dapat diberikan strikin mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.

F.

Pemeriksaan penunjang

a)
Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman
Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
b)
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada
urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
c)
Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di
bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan,
1993 ).
d)
Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis
sel darah merah (Rampengan, 1993 )
e)
Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan
protein (Rampengan, 1993 ).

f)
Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu
pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin.

G.

Komplikasi

Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal
ataupun organ lainnya:
a.

Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung

b.
Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak
terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
c.
d.

Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan


Kerusakan ginjal (nefritis).

H. Pencegahan
1.

Isolasi penderita

Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman
difteri dua kali berturut-turut negatif.
2.

Pencegahan terhadap kontak

Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam
pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila
tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
3.

Imunisasi

Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi


DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1
tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia
2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 2 tahun dan menjelang 5 tahun.
Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan
berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak
mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml
tiap kali pemberian.
4. Pencarian orang carier difteria dengan uji shick
Pencarian orang carier difteria dengan uji shick dan kemudian diobati.


Dengan tujuan : Untuk mengetahui apakah tubuh mengandung anti toksin
terhadap kuman difteri.

Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak


0,02 ml, jika positif akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A.

Pengkajian

1.

Biodata

a.

Umur

Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi
berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
b.

Suku bangsa

Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin


c.

Tempat tinggal

Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat,


higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang.
2.

Keluhan Utama
Sesak napas disertai dengan nyeri menelan.

3.

Riwayat Kesehatan Sekarang

Klien mengalami sesak napas disertai dengan nyeri menelan demam ,lesu, pucat,
sakit kepala, anoreksia.

4.

Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran
nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5.

Riwayat Penyakit Keluarga

Adanya keluarga yang mengalami difteri


6.

Pola Fungsi Kesehatan

a.

Pola nutrisi dan metabolisme

Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia


b.

Pola aktivitas

Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam


c.

Pola istirahat dan tidur

Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur.


d.

Pola eliminasi

Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi
kurang disebabkan oleh anoreksia .

7.

Pemeriksaan fisik

B1 : Breating
Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bulls neck), timbul peradangan pada
laring/trakea, suara serak, stridor, sesak napas.

B2 : Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan
miokarditis dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup,
kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.

B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.

B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.

B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung
menurun, pucat.

B6 : Bone
Bedrest.
B. Diagnosa keperawatan
1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia
3. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
C . Intervensi
Dx 1 : Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang Oxygen theraphy selama
1 X 24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali normal yang ditunjukan
dengan Respiratory status : Airway patency dengan skala 4.
NOC : Respiratory status : Airway patency
1. Frekuensi pernafasan dbn
2. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan
3. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.
4. Tidak ada suara nafas tambahan
5. Bernafas mudah
6. Tidak ada dyspnea
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan

Skala 3 = Kadang menunjukan


Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Oxygen theraphy
1. Bersihkan mulut hidung dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Monitor aliran oksigen
4. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
5. Monitor adanya suara nafas tambahan
Dx 2 : Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan
anoreksia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang terapi nutrisi
selama 1 X 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi yang ditunjukan
dengan status nutrisi berskala 4.
NOC : Status nutrisi
1. Laporkan nutrisi adekuat
2. Masukan makanan dan cairan adekuat
3. Energi adekuat
4. Massa tubuh normal
5. Ukuran biokimia normal
Skala
Skala 1 = Sangat berbahaya
Skala 2 = Berbahaya
Skala 3 = Sedang / tidak terlalu berbahaya
Skala 4 =Sedikit berbahaya
Skala 5 = Tidak berahaya
NIC : Terapi Nutrisi
1. Monitor makanan/cairan yang dicerna dan hitung masukan kalori tiap hari
2. Tentukan makanan kesukaan dengan mempertimbangkan budaya dan
keyakinannya
3. Tentukan kebutuhan pemberian makan melalui NGT

4. Dorong pasien untuk memilih makanan yang lunak


5. Dorong masukan makanan tinggi kalsium
Dx 3: Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manajemen nyeri dan manajemen
analgetik selama 1 x 24 jam didharapkan nyeri berkurang atau hilang yang
ditunjukkan dengan kontrol nyeri meningkat dan skala nyeri menurun, dengan skala
4.
NOC I : Kontrol nyeri
1. Ketahui faktor penyebab nyeri
2. Ketahui permulaan terjadinya nyeri
1. Gunakan tindakan pencegahan
2. Gunakan analgetik secara tepat
3. e. Laporkan gejala
1.

Laporkan kontrol nyeri

NOC II : Tingkat Nyeri


1.

Melaporkan nyeri berkurang atau hilang

2. Frekuensi nyeri berkurang


1.

Lama nyeri berlangsung

2. Ekspresi wajah saat nyeri


Skala
Skala 1= Tidak terasa nyeri
Skala 2 = Jarang terasa nyeri
Skala 3 =Kadang-kadang terasa nyeri
Skala 4 = Sering terasa nyeri
Skala 5 =Terus-menerus terasa nyeri
NIC I : Manajemen Nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri secara menyeluruh meliputi lokasi, durasi,
frekuensi, kualitas, keparahan nyari dan factor pencetus nyeri
2. Observasi ketidaknyamanan non verbal

3. Ajarkan untuk menggunakan teknik non farmakologi misal relaksasi, guided


imageri, terapi music dan distraksi
4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan misal suhu, lingkungan, cahaya, kegaduhan
5. Kolaborasi: pemberian analgetik sesuai indikasi
NIC II : Manajemen analgetik
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan tingkat nyeri sebelum mengobati
pasien
2. Cek obat meliputi jenis, dosis dan frekuensi pemberian analgetik
3. Cek mengenai riwayat alergi obat.
4. Tentukan jenis analgetsik (narkotik, non-narkotik, NSAID) di samping tipe dan
tingkat nyeri.
5. Tentukan analgetik yang tepat, cara pemberian dan dosisnya secara tepat.
6. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah pemberian analgetik.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Rusepno Hasan, dkk. 2005.Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Jakarta: Cetakan
kesebelas.
Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. 1 Mei 2010, 16.00 WIB.
Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Staf pengajar ilmu keperawatan anak. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai