Anda di halaman 1dari 19

A.

Kondisi Demografis Masyarakat Pegunungan Wonosari dan Wisata Ritual Gunung Kawi
Wonosari adalah nama desa sekaligus nama kecamatan yang berada di pegunungan sebelah
Barat Daya Malang. Di desa itu pulalah Wisata Ritual Gunung Kawi berada. Wonosari
dikelilingi oleh beberapa daerah perbatasan, di sebelah Utara berbatasan dengan daerah
Perhutani, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kebobang, di sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten. Blitar, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Balesari. Lebih
mudahnya, kira-kira empat puluh kilometer di sebelah Barat Daya Kota Malang Jawa Timur,
di situlah Desa Wonosari berada. Wonosari adalah desa yang subur, sejuk, hening dan indah.
Kaindahannya terutama karena Wonosari adalah desa yang berada di pegunungan dengan
cuaca yang dingin, sunyi, yang hampir kesehariannya selalu diliputi dengan kabut tebal dan
kadang diiringi dengan hujan gerimis, membuat cara hidup masyarakat sekitar lebih tenang,
damai, rukun dan suka bergotong royong. Jiwa ikhlas dan menerima, menjadi karakter
mayoritas
masyarakat
sekitar.
Desa Wonosari mayoritas didominasi oleh lahan pegunungan, sementara sebagian lahan
lainnya adalah terdiri dari jenis hutan lindung 532 ha, bangunan perkantoran 1,25 ha, jalan
4,5 ha, dan makam seluas 4,930 ha. Adapun kondisi kesuburan tanah, jika dilihat dari
pemetaan potensi tanahnya ada kelompok tanah yang subur terdapat 25 ha, tanah yang sedang
seluas 16 ha, sedangkan tanah yang kritis/ tidak subur tidak ada.
Jika dilihat dari kondisi curah hujannya, Wonosari relatif dianggap sebagai wilayah yang
cukup tinggi curah hujannya, yaitu 3000 Mm/ th. Hal ini mengingat Wonosari adalah daerah
bukit/ pegunungan dengan ketinggian posisi pegunungan dari permukaan air laut adalah 800
m. Wonosari adalah daerah pegunungan yang luas bukitnya jika dibandingkan dengan luas
datarannya adalah 6 : 1 atau kalau dinominalkan luas bukitnya 24,8 ha sedangkan luas
datarannya
4,9
ha.
Kecamatan Wonosari bisa dikatakan sebagai daerah pegunungan yang relatif tidak ada
hambatan untuk mengakses informasi dan teknologi. Selain jalannya yang sudah baik dan
beraspal, juga jaraknya yang tidak terlalu jauh dari ibu kota kecamatan terdekat yang kirakira dengan jarak tempuh I/ km. Sementara untuk menuju ke ibu kota terdekat kira-kira 40
km dengan lama tempuh 1,5 jam. Tidak ada hambatan bagi mereka yang memiliki alat
transportasi sendiri. Oleh karena itu hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kendaraan
memadai yang mampu mengakses hingga ke ibu kota Kabupaten. Bagi mereka yang tidak
memiliki sarana tranportasi, mereka sedikit ada hambatan-hambatan teknis. Namun demikian
sarana
transportasi
angkutan
kota
sudah
tidak
ada
hambatan
lagi.
Jika dilihat dari sumber potensi alamnya, masyarakat setempat memandang sangat pesimis,
karena dari berbagai kemungkinan sumber alamnya relatif kecil yang bisa diandalkan untuk
memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Mulai dari sumber potensi
perikanannya maupun potensi pertaniannya sangatlah tidak bisa diandalkan. Sementara hanya
dari jalur sumber alam tanaman palawija saja yang relatif bisa diharapkan, sekalipun sangat
terbatas sekali, antara lain dari jenis tanaman ubi jagung seluas 30 ha menghasilkan 2 ton
senilai Rp. 4.000.000, ubi jalar seluas 20 ha menghasilkan 12 ton senilai Rp 9.000.000,
sedangkan dari ubi kayu seluas 7 ha menghasilkan 20 ton senilai Rp. 3.400.000. Sedangkan
jenis palawija yang lain, seperti kedelai, kacang tanah, kacang panjang, dan kacang hijau
sama sekali tidak berpotensi menghasilkan apa-apa, lebih-lebih dari hasil tanaman padinya.
Kemungkinan sumber alam yang lain, misalnya buah-buahan juga sangat terbatas, hanya

buah salak dan pisanglah yang bisa diharapkan hasilnya oleh petani buah. Sedangkan jenis
buah yang lainnya tidak berpotensi hidup sekaligus berbuah untuk ditanam di tempat itu.
Penghasilan buah salak menghasilkan 35 ton senilai Rp12.250.000 sedangkan buah pisang
dengan luas tanah 10 ha menghasilkan 5 ton senilai Rp 7.500.000.
Dengan demikian jika masyarakat setempat tidak memiliki usaha apa-apa, hidup mereka
menjadi sangat tergantung pada orang lain (miskin). Belum lagi hak kepemilikan atas ladang/
tanah itu pun terdapat kesenjangan yang luar biasa antara yang punya, penyewa dan buruh/
pekerja. Gambaran kesenjangan itu secara kuantitatif bisa dinominalkan sebagai berikut : 1).
Jumlah pemilik tanah sebanyak 418 orang, jumlah penyewa tanah sebanyak 1223 orang, dan
selanjutnya setelah dikroscek bagaimana untung ruginya menyewa ladang, mereka menjawab
pas-pasan. Bisa untung sedikit untuk menyambung kebutuhan makan, itupun kalau dalam
proses mengerjakannya banyak dikerjakan sendiri. Kalau dalam proses mengerjakannya,
banyak menyuruh para buruh tani, tentu saja kadang juga mengalami kerugian. Sedangkan
buruh/ pekerja kasar jenis perladangan atau perkebunan sebanyak 498 orang. Inilah
komunitas yang hidupnya selalu tergantung pada pemilik ladang atau penyewa ladang.
Hasil sumber alam lain yang bisa menambah masukan ekonomi masyarakat adalah hasil
perkebunan, baik perkebunan kopi maupun cengkah. Dua jenis tumbuhan ini yang relatif bisa
membantu ekonomi masyarakat, mengingat untuk tanaman kopi seluas 25 ha rata-rata
menghasilkan 10 ton, senilai Rp. 12.500.000, sementara tanaman cengkah dengan keluasan
wilayah 5 ha saja bisa menghasilkan 7 ton dengan harga Rp 24.500.000. Sayangnya,
mayoritas perkebunan itu dimiliki oleh swasta atau negara, sehingga hasil perkebunan bukan
semata-mata kembali ke masyarakat. Dengan demikian kondisi ekonomi masyarakat dari
berbagai
aspeknya
tetap
saja
mengalami
kesulitan
ekonomi.
Berbeda dengan sumber-sumber alam sebelumnya, sumber daya alam berupa pariwisata
Wisata Ritual Gunung Kawi yang ada di Desa Wonosari ini merupakan sumber daya alam
yang cukup unik dan menarik. Unik dan menarik dalam artian banyaknya keutamaankeutamaan, kelebihan-kelebihan yang muncul dari wisata ritual tersebut yang tidak mampu
dijangkau oleh nalar logis. Daya tarik wisata ritual itu bukan semata-mata karena keindahan
dan keasrian lokasi Gunung Kawi semata, melainkan karena daya tarik religius yang bersifat
mistis
,
mitis,
dan
magis
itu.
Daya tarik itulah yang pada gilirannya mampu menggerakkan niat para peziarah untuk
berkunjung ke lokasi wisata ritual tersebut. Dengan demikian kehadiran mereka sedikit atau
banyak telah membawa dampak dan efek ekonomi bagi masyarakat sekitar. Tanpa berbekal
apa-apa, masyarakat sekitar telah mampu menyelesaikan problema kehidupan ekonominya.
Banyak di kalangan masyarakat sekitar yang mandiri dan kreatif berusaha untuk memperoleh
tambahan
ekonominya.
Tidak hanya kalangan masyarakat sekitar saja yang merasa diuntungkan oleh wisata ritual
Gunung Kawi tersebut. Sebab melalui keberadaan wisata ritual ini pula, jalan-jalan telah
diperbaiki, konon oleh peziarah wisata ritual yang merasakan kesuksesannya. Dengan
diperbaikinya jalan-jalan transportasi, sudah barang tentu memudahkan para peziarah
berkunjung ke tempat tersebut. Dengan demikian sirkulasi masuk dan keluarnya para
pengunjung dari dalam negeri maupun dari manca negara tanpa terasa telah menambah aset
ekonomi masyarakat Wonosari pada umumnya dan masyarakat lingkungan wisata ritual
Gunung
Kawi
pada
khususnya.

Secara bertahap ekonomi masyarakat lingkungan Wonosari relatif mengalami perkembangan


yang signifikan, sekalipun mereka hanya bergantung kepada satu-satunya objek wisata ritual
itu. Bagi masyarakat lingkungan setempat, nilai ketergantungannya kepada wisata ritual
Gunung Kawi tersebut sangatlah besar. Mereka mayoritas tidak memiliki sumber penghasilan
selain dari sumber yang merupakan pengaruh secara langsung dari wisata ritual tersebut.
Pengaruh langsung dari wisata ritual itu antara lain adalah pengaruh psikis dan pengaruh fisik
(materi).
Pengaruh secara psikis, bisa dilihat dari kesadaran mereka terhadap ketaatan mematuhi religi
sangat tinggi. Mayoritas corak religi mereka cenderung pada religi animisme dan dinamisme.
Sekalipun demikian, ketergantungan nilai-nilai keyakinan mereka itu, tanpa terasa telah
membuat sistem penalarannya selalu mengkaitkan antara medan budaya, ritual dan
keyakinan. Dengan kata lain, dalam hal-hal kesadaran religi, mereka telah memiliki basis
yang
kuat.
Sementara itu pengaruh fisik terlihat pula pada dinamika perkembangan ekonomi masyarakat
setempat, mulai dari jenis usaha rumah makan, hotel, penginapan, pesanan-pesanan untuk
acara syukuran, salon, dan usaha-usaha sampingan lain, baik yang berbentuk membantu
ramalan nasib bagi peziarah yang merasa belum puas terhadap pemahaman mitisnya maupun
usaha jualan hasil ladang dan perkebunannya. Dari sana pulalah mereka semua
menggantungkan
penghasilan
ekonominya.
Dengan demikian, faktor sosio-ekonomilah yang dianggap paling kuat pengaruhnya bagi
kesadaran religi masyarakat setempat. Sebab perkembangan ekonomi masyarakat setempat
juga sangat tergantung secara magis dengan adanya wisata religi itu. Dengan demikian
kegiatan-kegiatan keagamaan, baik kegiatan keagamaan dari fersi ajaran lokal maupun
formal mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan mereka, termasuk dalam hal ini
adalah kegiatan upacara-upacara ritual yang bersinggungan secara langsung terhadap sumber
power mitis, yaitu Mbah Djoego dan Mbah Iman Soedjono. Mengingat upacara-upacara
ritual itu bagi mereka adalah ungkapan rasa syukurnya atas berkah yang telah dikaruniakan
kepada masyarakatnya. Lebih dari itu Bapak Prihatinaji dalam dialognya mengatakan sebagai
berikut:
Sangat keterlaluan jika masyarakat tidak mengikuti kegiatan ritual yang telah ditetapkan
pelaksanaannya oleh para tokoh di sini. Karena melalui media itulah masyarakat memiliki
kesempatan yang strategis untuk melakukan dialog kepada dua tokoh suci tersebut.
Sementara itu kegiatan upacara-upacara ritual, baik dalam bentuk kegiatan bersih desa,
tepatnya pada hari Senin Pahing, ritualan khusus masyarakat setempat dengan seragam
khusus, adalah berarti sebagai momentum untuk bersyukur atas pemberian berkah dari kedua
tokoh
tersebut.
Persoalan menarik yang bisa diambil pelajaran dari kegiatan ekonomi maupun religi di atas
adalah adanya hubungan sinergis serta sistemik antara ekonomi masyarakat dengan religi
masyarakat. Religi diyakini sebagai sumber power munculnya ekonomi, sementara
kemapanan ekonomi dianggap sebagai sumber spirit untuk melakukan ketatan-ketaatan religi.
Hal ini disebabkan karena dua instrumen di atas merupakan dua elemen yang saling
melengkapi dan saling ada keterkaitan. Yang satu merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari yang lain. Jika yang satu sebagai sebab, maka yang lain berposisi sebagai akibat.
Dalam waktu yang sama, ketika akibat berubah menjadi sebab, maka yang sebab pun berubah

menjadi akibat. Dua hal yang sama-sama dianggap penting dan tidak ada yang merasa
dikalahkan dan direndahkan. Dengan kata lain ketaatan religi menimbulkan mitos, sementara
mitos akan memunculkan spirit baru, spirit baru akan mendatangkan etos kerja dan ekonomi.
Termasuk dalam hal ini spirit baru akan memunculkan beragam kreasi etos, hingga
munculnya sumber alam lain berupa industri-industri, baik industri kecil maupun industri
sedang, yang diperjual belikan di samping kanan dan kiri jalan memasuki wisata ritual
Gunung Kawi tersebut. Pengalaman serupa juga dirasakan oleh para peziarah yang datang
dari beragam latar budaya dan agama. Mereka juga merasakan akan pengalaman seperti itu.
B.Wonosari:
Dari
Perubahan
Ekonomi
ke
Perubahan
Religi
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa struktur atau tingkatan ekonomi suatu masyarakat
akan sangat berpengaruh bagi dinamika perkembangan peradaban suatu masyarakat tersebut.
Jika tingkat ekonomi masyarakat tersebut berada pada level menengah ke atas, maka
peradaban masyarakat tersebut akan mengalami perubahan menyesuaikan keadaan ekonomi
masyarakatnya, yaitu ke arah yang lebih positif-konstruktif, antara lain tingkat peradaban
pendidikannya. Demikian juga jika tingkat pendidikan suatu masyarakat baik, maka akan
berpengaruh kepada cara pemahaman dan penghayatannya, terutama dalam hal pemahaman
dan
penghayatan
terhadap
religi.
Tidak berbeda jauh dengan potret masyarakat yang ada di Wonosari. Dilihat dari aspek
ekonominya, masyarakat sekitar wisata ritual Gunung Kawi pada tahun 2006-an jauh lebih
berkembang di bandingkan dengan kondisi ekonomi mereka seputar tahun 90-an. Dari
perkembangan ekonomi ini, tidak sedikit diantara putra-putra mereka yang telah mampu
meneruskan studinya. Data statistik dasar tentang profil tingkat pendidikan penduduk desa
Wonosari tahun 2006 menunjukkan bukti riil terjadinya kesadaran pendidikan penduduk yang
laur
biasa.
Kesadaran pada pendidikan itu ditengarahi karena tingkat ekonomi masyarakat Wonosari
telah mengalami perkembangan yang signifikan. Data terakhir tahun 2006 masyarakat telah
berhasil mensensus tingkat pendidikan penduduknya dari beragam tingkatan yang telah
dicapainya. Hingga kini terdapat 17 putra-putri penduduk yang telah berhasil menyandang
gelar sarjana (S1) dari berbagai perguruan tinggi yang berbeda, sederajat D-3 terdapat 39
orang, setingkat D-2 ada 56 orang, setingkat D-1 terdapat 135 orang, SMA terdapat 1326,
SLTP terdapat 1323, dan tamat SD terdapat 3106. Sementara yang tidak tamat SD hingga kini
hanya
terhitung
10
orang.
Dengan demikian SDM pendidikan masyarakat Wonosari, jika dikaitkan dengan keadaan
sosio-ekonomi masyarakatnya ada korelasi yang cukup signifikan. Kondisi inilah yang dinilai
akan mampu merubah cara pandang, pemahaman dan penghayatan mereka dalam berbagai
hal,
termasuk
dalam
masalah
religi.
Dalam masyarakat pegunungan , berbagai aspek kehidupan saling terjalin dan
mempengaruhi, sebagaimana pandangan di atas, religi mempengaruhi ekonomi atau
sebaliknya ekonomi mempengaruhi religi. Hanya saja dalam faktanya ada salah satu aspek
saling mempengaruhi itu yang paling dominan. Dalam masyarakat bukit/ pegunungan
biasanya yang paling dominan adalah pengaruh dari religi. Atas dasar itulah hampir-hampir
tidak bisa dibedakan secara tegas apakah sesuatu itu sebagai tindakan sakral-religius atau
tindakan duniawi yang bersifat materi. Karena tindakan materi dan duniawi pun tidak jarang

terkesan
sangat
sakral-religius.
Dengan begitu, religi bagaimanapun berperan sangat dominan bagi masyarakat bukit. Sistem
sosial, kehidupan ekonomi pada masyarakat bukit tersebut sangat menentukan pola paham
dan perbuatan religiusitasnya, baik dalam tataran medan budaya, ritual, maupun
keyakinannya. Karena religi sebagai suatu sistem, ia terbentuk melalui beberapa unsur,
antara lain unsur keyakinan, upacara, kelompok penghayat, medan budaya, dan emosi
keagamaan. Dengan demikian, religi bisa dipahami sebagai konsepsi manusia tentang semua
hal yang terkandung dalam kosmologi, kosmogini, dan eskatologi serta berbagai aktifitas
yang
berkaitan
dengan
pemantapan
kehidupan
pribadi
dan
sosial.
Hampir seluruh aktifitas yang ada dalam kehidupan masyarakat Wonosari, selalu saja
dikaitkan dengan nilai-nilai religi. Hal yang sama sistem ekonomi yang relatif telah
berkembang di masyarakat tersebut, kini juga selalu dikaitkan dengan relegi. Indikasi adanya
hubungan relasionalitas antara ekonomi dan religi dalam masyarakat itu seringkali
diwujudkan dalam bentuk sikap syukur mereka terhadap kekuatan adikodrati yang mampu
memberikan berkah pada masyarakat sekitar. Untuk sementara waktu, pemahaman
masyarakat terhadap siapa yang disebut sebagai kekuatan adikodrati itu masih silang
pendapat. Bagi mereka yang masih kental karakter abangannya dan belum banyak
mengenyam pendidikan formal, acapkali adikodrati dipahami sebagai kekuatan magis yang
muncul dari arwah para leluhurnya. Dalam Salah satu jawabannya, Sulistiono representasi
masyarakat
abangan
mengatakan
sebagai
berikut
:
Kalau kita sudah diberi kecukupan ekonomi seperti ini, lantas kita tidak mau bersyukur
kepada leluhur kita yang telah mendahului kita, yang selalu melindungi dan menjawab
seluruh persoalan-persoalan hidup ini, berarti kita bukan digolongkan orang yang pandai
bersyukur,

Demikian jawaban Sulistiono tersebut dengan percaya diri dan panatismenya pada nilai-nilai
religi. Seakan-akan apa yang dia katakana sudah menunjukkan pemahaman yang benar.
Fenomena keyakinan dan pemahaman seperti ini dalam faktanya tidak mudah untuk
dipengaruhi, diwarnai lebih-lebih dirubah, kecuali dengan cara yang cerdik dan arif.
Sementara mereka yang akrab dengan karakter kehidupan masyarakat putihan dan telah
banyak mengenyam pendidikan formal, adikodrati dipahami sebagai yang menciptakan
kehidupan ini, yaitu Allah. Cara pemahaman seperti ini mayoritas diperoleh dari cara
pemahaman para mubaligh yang secara intensif berkhotbah secara bergiliran setiap hari
Jumat
di
masjid-masjid
lingkungan
sekitar.
Selain itu cara pandang ini juga muncul dari guru-guru agama di sekolah yang secara intensif
pula melakukan diskusi-diskusi dengan para siswa. Dan yang tidak kalah pentingnya dari itu
semua adalah para peziarah yang terdiri dari komunitas putihan, baik kalangan ustadz, kiai,
santri, mubaligh maupun para akademisi muslim yang senantiasa mengembangkan ajaran dan
misinya, selain juga mengamati dan meneliti seting lokus budaya yang ada.
Cara pemahaman masyarakat model yang kedua ini terlihat sekali ketika salah satu tokoh
agama bernama Bapak Ridwan menjelaskan secara detil tentang logika berziarah ke makam
wisata ritual Gunung Kawi. Dalam salah satu acara kegiatan khotmul quran yang
diselenggarakan pada hari Jumat pagi di salah satu mushalla lingkungan masyarakat sekitar,
Bapak
Ridwan
menjelaskan
sebagai
berikut:
Kalau pemahaman dan penghayatan saya pak Roibin, tentang sisten berziarah yang

berkembang di sini, sama halnya dengan sistem berziarah yang berkembang di beberapa
makam wali sanga, termasuk di makam-makam ulama tertentu yang ada di Jawa ini. Dilihat
dari sumber powernya, makam wisata ritual Gunung Kawi ini secara historis juga sama, yaitu
sama-sama sebagai tokoh spiritual Islam yang memiliki komitmen berjuang mengembangkan
dakwah
Islam.
Sifat-sifat ketokohan dan perjuangnya terlihat sekali ketika beliau berdua ini adalah tokoh
yang tetap konsisten mengembangkan dakwah Islam dimanapun dan kapan pun mereka
berada. Oleh karena itu sakralitas wisata ritual Gunung Kawi ini bukan karena Gunung
Kawinya, melainkan karena dua tokoh spiritual Islam itu, yaitu Eyang Djoego (Kiai Zakaria
II) dan Eyang Raden Mas Iman Soedjono. Beliau adalah ulama yang digerakkan hatinya oleh
Allah untuk tetap lurus dan konsisten mengembangkan ajaran dan misi Allah. Oleh
karenanya, dua tokoh itu adalah kekasih Allah, karena kekasih Allah seluruh permohonannya
dikabulkan oleh Allah, baik ketika di alam dunia maupun di alam barzah ini. Atas dasar
inilah, kekuatan adikodrati yang banyak disalahpahami orang, sebenarnya muncul dari Allah
dengan perantara kekasihnya, yaitu para wali, ulama maupun siapa saja yang berjuang di
jalan Allah. Hal yang sama terjadi juga pada pemahaman tentang berkah. Sebenarnya berkah
itu berasal dari kekuatan adikodrati melalui perantara kekasihnya. Jika ada sekelompok orang
yang berziarah ke makam para wali, ulama, kekasih Allah tertentu, tentu niatnya justru harus
mendoakan para wali itu agar kelak posisinya ditempatkan oleh Allah pada posisi yang mulia.
Dari etika peziarah yang mulia inilah tanpa terasa cita-cita suci yang ada dalam benak dan
niat peziarah akan dibantu oleh para wali yang menjadi kekasihnya itu. Inilah pemahaman
saya
tentang
siapa
sebenarnya
adikodrati
itu?
Perbedaan dua pandangan teologis di atas, bisa dikatakan cukup mendasar sekali, sebab
sekalipun kedua-duanya sama-sama telah mengungkapkan rasa syukurnya kepada kekuatan
adikodrati, ternyata implementasi teologisnya berbeda, yang satu tertuju kepada yang Maha
Esa, sementara yang kedua tertuju kepada arwah leluhur. Hanya saja efek sosiologisnya
perbedaan di atas tidak terlalu tampak, karena kedua-duanya acapkali menampakkan sikap
ketaatan dan moralitas yang tinggi kepada religi. Masyarakat yang seperti ini relatif lebih
mudah diarahkan dibanding masyarakat yang belum sadar akan religi, yaitu masyarakat yang
belum
tahu
kemana
mereka
harus
bersyukur.
Masyarakat Wonosari adalah masyarakat yang telah memiliki kesadaran religi yang luar
biasa. Oleh karena itu ketundukan masyarakat lebih terfokus kepada para pemimpin maupun
tokoh-tok religi, baik dari kalangan tokoh agama, juru kunci, tokoh adat, termasuk juga dari
kalangan tokoh pemerintah. Masing-masing tokoh di atas hubungannya dengan bagaimana
masa depan religi yang ada, telah melakukan tindakan-tindakan antisipatif-subjektif bagi
keberadaan religi itu. Dengan kata lain hubungannya dengan langkah antisipasi itu, mereka
memiliki kepentingan dan tujuan sendiri-sendiri. Perilaku, tujuan maupun motiv praktis
mereka
yang
selalu
bersinergi
dengan
religi
di
atas.
Dari penjelasan di atas, ada kesan bahwa posisi tokoh pemerintah di Desa Wonosari adalah
posisi yang selalu terikat, dan tidak memilki kemandirian otoritatif untuk menerapkan
kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Hal demikian karena secara politis tokoh pemerintah
ini acapkali dimunculkan dari tiga kepentingan di atas yaitu kepentingan tokoh agama, tokoh
adat maupun elite yayasan wisata ritual Gunung Kawi. Adakalanya pejabat pemerintah itu
atas dukungan dari tokoh adat bekerjasama dengan tokoh agama, namun adakalanya juga atas

dukungan
dari
yayasan
bekerjasama
dengan
tokoh
agama.
Jika Pejabat pemerintah itu terpilih karena atas dukungan tokoh adat, maka diharapkan
pejabat pemerintah yang telah terpilih tersebut mampu mendukung kepentingan-kepentingan
para tokoh adat, antara lain kepentingan mengembalikan dan menata ulang medan budaya
sebagai sarana ritual, yang selama ini telah bergeser dari fungsinya. Selain mewujudkan
medan budaya sebagai sarana ritual tertentu yang selama ini telah ditiadakan oleh para
pengelola yayasan, tokoh pemerintah terpilih diharapkan juga memberikan legitimasi upayaupaya tokoh adat untuk mengembalikan konstruksi pemahaman mitos yang dahulu pernah
kokoh. Karena ditengarahi oleh komunitas tokoh adat bahwa potret mitos dan ritus wisata
ritual Gunung Kawi telah mengalami perubahan yang dahsyat. Berbagai instrumen medan
budaya baru yang sarat dengan konstruk mitos barunya-- yang telah diupayakan oleh para
pengelolatelah merubah keyakinan mitos yang asli (genuine). Sudah barang tentu tindakan
ini secara politis telah menggeser peran dan eksistensi para tokoh adat yang ada.
Kekhawatiran tokoh adat bukan semata-mata karena tergesernya posisi, status sosial dari
keterlibatannya pada wisata ritual-sakral itu. Kekhawatiran lain yang lebih prinsip adalah
tergesernya nilai-nilai substansial sistem religi wisata ritual dari kecenderungan kreatif
konstruksi mitos baru yang tidak tahu latar belakang religi dan kosmogininya. Sementara itu
kelompok agamawan dari kalangan tokoh agama Islam relatif netral, kadang mendukung
tokoh adat jika orientasi tokoh adat sinergi dengan ajaran Islam, kadang mendukung yayasan
jika hasil konstruksi mitos barunya memberi peluang pengembangan misi yang senada
dengan pemahaman Islam. Sedangkan secara politis keterlibatan serta persinggungan tokoh
agama Islam kepada wisata religi itu adalah netral dan tidak punya kepentingan apa-apa,
selain
kepentingan
untuk
mengembangkan
misi
ajaran
islam.
Di mata tokoh agama Islam, hal-hal yang menyangkut pada ranah esensialitas (esoterik)
religi, komunitas para tokoh adat dianggap lebih mudah diajak syering, sementara
menyangkut hal-hal simbolitas (eksoterik) para elite yayasan dianggap lebih terbuka diajak
dialog. Oleh karena itu konstruksi mitos baru yang diupayakan oleh kalangan elite yayasan
tidak sedikit yang melibatkan cara pandang para tokoh agama Islam. Kontribusi yang sangat
signifikan dari keterlibatan para tokoh agama Islam dalam hal bangunan mitis baru itu adalah
munculnya tata aturan baru berziarah yang mendekati aturan berziarah dalam Islam. Karena
satu-satunya persoalan religi yang dianggap penting di wisata ritual Gunung Kawi ini adalah
persoalan berziarah, maka tata aturan berziarah yang baru yang telah dikonstruksi pun,
memiliki kontribusi yang cukup mendasar bagi pergeseran teologis para peziarah.
Dalam hal-hal tertentu yang terkait dengan masalah-masalah formalitas, tata aturan berziarah
para tokoh agama Islam banyak bersinergi dengan pengelola yayasan wisata ritual tersebut.
Sementara dalam hal moralitas yang lebih bersifat esoteris dan esensialis, tokoh agama
banyak melakukan diskusi-diskusi dengan para tokoh adat. Proses diskusi ini sekaligus
menjadi power dan kontrol moral, baik bagi kalangan elite yayasan maupun elite pemerintah
setempat. Sinergitas dua cara pemahaman dari kalangan tokoh adat dan tokoh agama Islam
tentang moralitas, akan menjadi power tersendiri bagi para pejabat, baik dari kalangan
pemerintah maupun yayasan. Lebih dari itu untuk mengefektifkan misinya dalam beberapa
hal tertentu tokoh agama Islam juga berinteraksi dengan tokoh pemerintah. Dengan demikian
kehadiran kelompok putihan di desa Wonosari itu secara perlahan menjadi subjek yang
banyak melakukan perubahan-perubahan moralitas dari objek yang sangat plural, baik

pluralitas
moral,
budaya,
maupun
teologi.
Perubahan ekonomi yang berdampak pada gerakan perubahan religi, yaitu dari religi lokal ke
religi islam lokal, kini benar-benar terbukti hampir secara menyeluruh, baik dari kalangan
adat (abangan), pengelola yayasan, pemandu, maupun dari pihak pejabat pemerintah.
Perubahan itu terutama sekali terlihat dari cara pemahaman terhadap makna ziarah. Dengan
demikian, masyarakat setempat akan marah sekali jika peziarah yang berkunjung ke makam
gunung kawi ini berniat mencari pesugihan. Reaksi keras masyarakat terhadap nilai negatif
makna pesugihan itu dikarenakan adanya landasan pemahaman bahwa daerah wisata ritual
Gunung Kawi bukanlah tempat mencari pesugihan. Ia adalah tempat suci, tempat ritual
masyarakat untuk dijadikan sebagai medan budaya memohon kepada Allah. Mereka
mengatakan bahwa tempat wisata ritual itu adalah tempat mustajabah untuk berdoa kepada
Allah lantaran dari dua tokoh spiritual yang suci itu. Karena itu kalau mencari pesugihan
janganlah
datang
ke
wisata
religi
Gunung
Kawi
ini.
Cara pemahaman seperti inilah yang banyak mempengaruhi pemahaman dan implementasi
teologis para pendatang baru maupun masyarakat intern tentang religi. Lebih jauh dari itu,
pengakuan Hari Prihatinaji tentang kekayaan/ pesugihan itu bisa diperoleh setelah kita
berdoa dan bekerja keras. Lebih lanjut ia mengatakan sebagai berikut:
Kalau memang kita diridlai oleh Allah, melalui doa kita di tempat wisata religi itu, insya
Allah
kita
akan
memperoleh
berkah
rizkinya.
C.Wonosari:
Lokus
Penyebaran
Religi
akulturatif
Secara kuantitatif jumlah mushalla dan masjid yang ada di desa Wonosari, utamanya di
sekitar wilayah wisata ritual Gunung Kawi, di mata umat Islam cukup menggembirakan. Di
sekitar wisata ritual saja ada tiga masjid yang berdekatan, yaitu masjid jami Iman Sudjana,
masjid Daru al-Salam dan masjid lama warisan Eyang Iman Soedjono, belum lagi jumlah
mushallanya. Masing-masing masjid dan mushalla ada petugas dan kegiatannya sendirisendiri
yang
dirancang
oleh
para
kader
pemudanya.
Hal lain yang lebih menarik dari itu semua adalah suara adhan yang sangat merdu dan
khidmad yang dikumandangkan oleh para kader muadhin dari lingkungan masyarakat
setempat. Tidak hanya itu, seusainya adhan dikumandangkan, seraya diikuti dengan pujianpujian menyebut nama Allah. Kegiatan itu ternyata menurut pengakuan para pendatang telah
menggetarkan hati para peziarah pada umumnya untuk semakin khidmad dan khusu dalam
berdoa memohon kepada Allah. Seakan-akan lingkungan tersebut diliputi oleh cahaya Allah
karena
ramainya
suara
panggilan
alat
yang
dikumandangkannya.
Belum lagi ketika waktu senja dengan pelan-pelan mendengar suara tarhim yang saling
bergantian dari masjid yang satu ke masjid yang lain. Suasana itulah, yang betul-betul
mengingatkan masyarakat pada kepentingan hati dan jiwanya. Oleh karena itu ketika waktu
alat subuh dan magrib tiba, masyarakat wisata ritual setempat menunjukkan kesadarannya
yang luar biasa kepada agama dengan tingkat kesadaran yang cukup tinggi. Tidak sedikit dari
kalangan komunitas muda yang bergegas ke masjid mendahului komunitas tuanya, dan yang
lebih unik lagi, sebagian anak kecil usia Sekolah Dasar pun juga mengikuti jejak
keluarganya
untuk
menunaikan
ibadah
shalat
dengan
berjamah.
Pada umumnya di masyarakat luar wisata ritual, tradisi alat berjamaah selalu dipenuhi oleh
kalangan masyarakat tua. Sedangkan di masyarakat wisata ritual Gunung Kawi tidak

demikian. Mulai dari tingkat remaja hingga usia anak-anak sekolah dasar telah banyak yang
sadar melakukan laku spiritual di masjid-masjid maupun mushalla masing-masing. Hal ini
mungkin ada benarnya, karena gerakan keagamaan di daerah ini menurut Irwan Sumadi
sudah berjalan relatif lama. Sehingga kader-kader yang sejak awal telah dibentuk dan dirintis
oleh para ustadh, kini sudah mulai tumbuh mewarnai suasana keagamaan yang signifikan.
Gerakan keagamaan yang telah berhasil dirintis tidak saja berupa kesadaran menunaikan
ibadah mahdahnya, melainkan juga berupa gerakan-gerakan keagamaan yang bernuansa
sosial, yaitu gerakan keagamaan yang mampu mempengaruhi aspek emosi masyarakatnya.
Gerakan keagamaan itu antara lain ada kalanya dari komunitas anak-anak muda yang
menampilkan kegiatannya berupa terbang jedor, dibaiyah, alawatan, yasinan, wakiiyahan.
Sementara kegiatan dari komunitas tua berupa kegiatan tahlil dan istighathahan.
Sekalipun demikian tidak menutup kemungkinan kegiatan dari komunitas tua pun juga
banyak diminati oleh komunitas muda. Belum lagi kegiatan pengajian rutin dan kegiatan
membaca al-Quran untuk anak-anak kecil. Kader-kader yang telah siap hidup di masyarakat
relatif banyak di kalangan para pemudanya. Keterlibatan mereka, yang terampil dalam
mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan acapkali dilibatkan sebagai petugas-petugas
muadhin di masjid-masjid, petugas protokol dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan
tertentu, termasuk juga tugas-tugas yang menyangkut kepedulian sosial yang lainnya.
Indikasi kesiapan mereka untuk diterjunkan di tengah masyarakat itu antara lain adalah telah
ditemukan beberapa kader pemuda yang suaranya dalam menjalankan tugas-tugas muadzin
seperti suara qori yang professional, tidak hanya keindahan suaranya, tetapi juga makharijul
hurufnya. Termasuk juga sebagai tugas pembagi acara (MC). Tidak sedikit diantara mereka
yang telah terbiasa untuk berbicara di depan forum masyarakat, mereka sudah tidak minder
lagi,
kemampuan
mereka
seperti
layaknya
MC
yang
professional.
Dengan demikian masyarakat tidak merasa kesulitan lagi ketika para tokoh yang tua
meninggalkan tempat ini. Oleh karena itu bagi mereka yang mempunyai hajat tertentu, mulai
dari kebutuhan qori, MC, imam tahlil, imam istighathah, cukup mengundang para kader
pemuda yang ada di masyarakat tersebut. Demikian juga dalam hal imam shalat, sambutan
sebagai wakil tuan rumah, bahkan hingga kader mubaligh pun menurut bapak Irwan Sumadi
tersedia. Hal ini disebabkan karena secara rutinitas tradisi pembagian tugas di atas selalu
dipraktikkan dalam kegiatan-kegiatan sosial-kemasyarakatan. Dengan begitu kecerdasan
mereka telah seimbang antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan menghadapi kehidupan
di
tengah-tengah
masyarakat.
Dengan demikian secara kuantitatif jumlah masyarakat yang memeluk agama Islam sekaligus
yang taat pada ajaran, lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah pemeluk agama lain
maupun masyarakat yang belum sadar pada ajaran agamanya. Fakta inilah yang membuat
para
tokoh
di
lingkungan
masyarakat
sekitar
tetap
optimis.
Optimisme itu diperkuat lagi ketika disaksikan berbagai aktivitas kegiatan keagaman, baik
acara ibadah ritual mahdlah, seperti shalat wajib, Jumatan termasuk juga kegiatan-kegiatan
shiar. Kegiatan shiar itu antara lain seperti pengajian Islam yang diselenggarakan setiap hari
besar Islam, lomba-lomba seni Islam, baik hadrah, dibaiyah, membaca ayat suci alquran
maupun seni mengumandangkan adhan. Dari sini bisa dikatakan bahwa masyarakat Wonosari
adalah desa yang selalu mendapatkan apresiasi tersendiri. Sebut saja misalnya, kegiatan
lomba dibaiyah semalang dimenangkan oleh Wonosari yang diketuai oleh Irwan Sumadi.

Dengan kata lain akar ajaran Islam di masyarakat ini masih kuat, sekalipun dalam praktiknya
ia
selalu
berdialektik
dengan
kondisi
kultur
sekitar.
Namun pada sisi lain, kuatnya arus budaya lokal, tidak bisa dipungkiri kenyataannya. Sebab
pada mulanya tempat ini adalah menjadi basis kultur kejawen, sudah barang tentu
karakteristik khasnya sebagai kejawen, yaitu sinkretisme sulit mengalami pergeseran secara
total. Baik pahamnya maupun pendukungnya hingga kini tetap kuat. Namun karena
karakteristiknya yang akulturatif, ajaran budaya lokal itu begitu terbukanya dengan ajaran
modern Islam ini. Sehingga perjumpaan agama lokal Jawa dan Islam telah menampakkan
adanya ajaran baru yang disebut dengan Islam kejawen itu. Suatu ajaran yang mampu
menampung aspirasi ajaran agama lain tanpa harus hijrah dari ajaran yang awal.
D.Islam di Wonosari: Di antara Komunitas Lokal dan Pluralitas Agama-agama.
Sebagai institusi agama yang membawa misi, Islam selalu hadir di tengah kemajemukan
agama-agama dengan karakternya yang sangat inklusif. Ia bisa merespon, menampung, dan
berdialektika dengan nilai-nlai ajaran universal yang dibawakan oleh ajaran budaya maupun
agama-agama lain. Nilai-nilai ajaran universal itu antara lain adalah nilai-nilai ajaran yang
mengimplementasikan perilaku kebenaran, kebaikan, kasih sayang, kejujuran dan toleran.
Nilai-nilai ajaran ini hampir ada pada semua budaya maupun agama, baik formal maupun non
formal,
kecil
atau
besar,
resmi
atau
non
resmi.
Sementara itu karakter yang sama, yaitu sikap inklusifitas juga dimiliki oleh watak agamaagama lain, terutama agama lokal lingkungan setempat yang akrab disebut sebagai ajaran
agama
kejawen.
Untuk merelevansikan kajian di atas, yaitu bagaimana sikap Islam diantara agama-agama
lain, baik agama misi maupun agama lokal kejawen, Simuh membagi dua model pendekatan.
Pertama, Islam dan Jawa dipahami sebagai dua kekuatan yang saling berhadapan. Kedua,
Islam dan Jawa dipahami secara sinkretis, yang menyatakan bahwa Islam dan Jawa
berkembang secara bersama-sama, saling mengisi dan saling memaknai. Antara ajaran dan
tradisi lokal saling menyapa. Model yang kedua inilah menurut pandangan Woodward
dianggap sebagai masa depan agama, karena dianggap sebagai agama yang kreatif dan
dinamis.
Dalam konteks Desa Wonosari, nampaknya model pendekatan simuh yang kedua menjadi
pendekatan alternatif yang secara intensif mudah dilakukan oleh masyarakat Islam yang ada
di Wonosari, utamanya pada lokus pengembangan keagamaan di daerah wisata ritual Gunung
Kawi. Sikap saling mengisi dan saling memaknai itu terlihat sekali, terutama ketika
masyarakat Wonosari memiliki hajat keluarga, yaitu perkawinan atau khitanan. Kebiasaan
yang tidak pernah ditinggalkan dalam acara tersebut adalah ritual selamatan, dimana shahibul
hajat selalu mengundang beragam tokoh, baik dari kalangan elite adat sebagai representasi
agama kejawen maupun elite agama Islam sebagai representasi agama Islam.
Kedua-duanya diberikan kesempatan oleh ahibul hajat untuk memimpin acara ini. Elite
Islam diberikan tugas untuk berdoa dengan bahasa Islamnya, sementara elite agama
kejawen juga diberikan tugas untuk membaca mantra-mantra ajaran kejawen. Dengan
dihadirinya kegiatan ritual slametan itu oleh dua kubu agama yang berbeda, ahibul hajat
merasa tenang dan puas karena telah menyatunya dua sumber power kekuatan nilai ajaran
agama. Menurut keyakinan ahibul hajat, acara yang diselenggarakan akan berjalan lancar

tidak ada hambatan apapun. Seluruh mara bahaya yang akan menimpa pasti akan menjauh
lantaran kekuatan doa dari dua sumber power nilai ajaran agama tersebut. Hal ini
menggambarkan betapa sesungguhnya hati masyarakat Wonosari telah sanggup menerima
masukan beragam agama, sepanjang hal ini berorientasi pada nilai-nilai kebaikan.
Menurut Mulder, kepercayaan Jawa sebelum banyak bersentuhan dengan agama-agama besar
dimaksud telah memiliki pandangan hidup yang disebut dengan kejawen atau jawanisme.
Pandangan Jawa ini bersifat sinkretis dan toleran. Bermula dari sikap ini kejawen
merupakan dasar yang baik untuk menerima masukan-masukan baru dari agama-agama besar
tersebut. Bahkan dalam bukunya yang lain Mulder mengatakan bahwa untuk masuk menjadi
salah satu agama resmi seseorang tidak harus mencegah praktek mistik dalam batinnya.
Mentalitas kejawen condong kepada sinkretisme dan sanggup menampung berbagai
argumentasi
agama
formal.
Teori di atas sangat relevan sekali dengan perilaku masyarakat Wonosari, terutama sikap yang
dilakukan oleh para elite adat setempat. Perjumpaan di antara mereka, antara komunitas adat
dan komunitas elit agama-agama formal tidak pernah menyisakan problem, bahkan yang
terjadi justru sebaliknya, yaitu saling menyapa dan toleran. Bahkan menurut pengakuan salah
satu elit adat Bapak Warsii dalam salah satu dialognya mengatakan sebagai berikut :
Ajaran agama menurut orang tua saya itu yang penting rukun, saling menyayangi, saling
terbuka, saling memberikan masukan dan saling melengkapi. Apa saja yang baik yang
muncul dari agama lain menurut orang tua saya tidak apa-apauntuk dijadikan pedoman. Jadi
ketika ajaran Islam itu baik bagi tradisi yang berkembang wonten agama kulo, maka Islam
termasuk sebagai agama yang saya terima ajarannya. Selama saya hidup di lingkungan ini
saya tidak pernah mendengar dan dan mengetahui bahwa ajaran Islam itu bertentangan
dengan ajaran agama orang tua saya. Artinya, semua ajarannya itu benar dan baik jika
diterapkan
dalam
kehidupan
ini.
Sepintas dari cara pandang tokoh adat tersebut ajaran lokal betul-betul terbuka, bahkan secara
lisan menerimanya atas kehadiran ajaran Islam. Namun demikian tidak sepenuhnya kejawen
memiliki sikap seperti ini. Perlu dimaklumi bersama bahwa yang dimaksud dengan kejawen
di sini terdiri dari dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan budaya istana yang relatif telah
menyerap unsur-unsur Hinduisme dan lingkungan budaya wong cilik (pedesaan) yang masih
hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme. Oleh karena itu kaitannya dengan Desa
Wonosari, kejawen yang dimaksud adalah kejawen yang dianalogikan sebagai gambaran
masyarakat kecil, yaitu ajaran yang lahir dari proses natural melalui keyakinan animesme dan
dinamisme.
Dalam praktiknya, perjalanan sejarah Islamisasi di Jawa pernah menghadapi kesulitan,
utamanya di kalangan budaya istana. Kesulitan itu dikarenakan raja Majapahit ketika itu
menolak Islamisasi di kalangan istana tersebut. Jika raja menolak maka Islam kesulitan untuk
masuk di kalangan istana. Hal ini disebabkan karena kejawen dalam hal ini adalah kejawen
istana yang relatif telah menyerap unsur-unsur agama besar, yaitu Hinduisme. Karena itu
wajah kejawen jenis ini akan sangat berbeda dengan kejawen yang lahir dari rahim animsme
dan dinamisme. Kejawen model Istana adalah kejawen yang memiliki tingkat panatisme
ajaran dan misinya, oleh karenanya ia tidak mudah melebur, mengalami proses akulturasi dan
sinkretisasi sebagaimana layaknya kejawen dari kaum pedesaan. Sementara kejawen yang
ada di Wonosari adalah kejawen pedesaan yang terbangun dari tradisi animisme dan

dinamisme. Karena itu agama ini tidak terlalu mempertahankan karakteristiknya. Lama
kelamaan agama ini cenderung mengalami konversi ke model agama yang dianggap banyak
menampung ajarannya. Perubahan dari agama lokal menuju pada agama islam inilah yang
pada giliranya akan mewujud menjadi agama baru yang disebut agama islam lokal (Islam
Kejawen), yaitu agama yang masih menampung dua kepedulian ajaran sekaligus.
Sehubungan dengan fakta dan realita inilah para elite agama Islam yang bertugas
menyebarkan Islam lebih menekankan Islamisasi di kalangan pedesaan, khususnya di daerah
pedalaman maupun pegunungan pulau Jawa. Di sanalah Islam akan mengalami
perkembangannya yang dinamis dan signifikan. Tidak menutup kemungkinan perkembangan
dinamis ajaran Islam yang berkolaborasi dengan ajaran lingkungan pedesaan itu menjadi
fenomena yang mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan bagi kemungkinan bergesernya
komunitas intelektual kalangan istana. Inilah kemudian terjadi proses inkulturisasi dan
akulturisasi budaya Jawa dan budaya Islam yang memanifestasi menjadi Islam Jawa.
Sebagaimana teori di atas, karakteristik Islam Jawa yang ada di Desa Wonosari ini ternyata
telah mampu menampung dua model institusi keagamaan, yaitu antara agama resmi dan yang
tidak resmi. Sekalipun secara formal masing-masing institusi keagamaan tersebut terkesan
memiliki konstruksi keyakinan yang berbeda. Institusi keagamaan formal misalnya, memiliki
keyakinan kepada Tuhan YME. Sedangkan institusi non formal memiliki keyakinan terhadap
nenek moyang, yang kadang sebagian yang lain percaya terhadap sangkan paraning dumadi,
yaitu konsep yang searti dengan menuju ke Tuhan. Namun demikian dua kesan perbedaan itu
telah ternetralisir dengan satu keyakinan bahwa keduanya akan kembali kepada asal
kejadian , yaitu pencipta. Cara pandang inilah yang membuat kalangan agama lokal tidak
keberatan untuk menyebut Allah, sebagai nama tuhannya. Sebab menurut keyakinan mereka,
hakikatnya sama, hanya dahulu belum ada ajaran doktriner sebagai pedoman, kecuali secara
alamiyah melakukan pelacakan-pelacakan secara mandiri. Tentu saja dari subjektifitas itulah
yang
membuat
adanya
perbedaan
sebutan
identitas
nama
Tuhannya.
Indikasi ini nampak sekali terutama pada spirit orang tua dari kalangan elite adat yang
senantiasa mendorong cucu-cucunya mengaji al-Quran dan menunaikan ibadah shalat,
sekalipun diri mereka sudah terlanjur tidak bisa menjalankan ibadah shalat versi Islam,
karena usia. Kata-kata ini muncul spontanitas dari Bapak Warsii sebagai tokoh adat ketika
menganjurkan
cucu-cucunya
mengaji
di
masjid
sekitar
rumahnya
:
Anakku segera berangkat mencari ilmu agama untuk menjadi bekalmu di akhirat,
senyampang sekarang masih kecil. Jangan meniru kakekmu yang tidak mampu apa-apa, baca
quran tidak bisa, shalat tidak bisa, mampunya hanya berpuasa (tirakat).
Atas dasar fakta di atas, apa yang diungkapkan oleh Woodward dalam penelitiannya yang
menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua aliran kebatinan di Jawa percaya kepada konsep
ke maha Esaan Tuhan/ konsep tauhid. Hasil penelitian ini ada benarnya ketika dilihat dari
perspektif keyakinannya. Selanjutnya ia memperkuat statemennya itu dengan mengatakan
tidak ada satupun kepercayaan Jawa, termasuk pemeluk agama Budha yang nyata-nyata
memiliki doktrin anatta (ketiadaan jiwa) yang menolak konsep ketuhanan yang maha Esa.
Untuk menyebut simpul antarberbagai kepercayaan Jawa inilah Woodward memunculkan
gagasan dengan istilah Islam Jawa, di mana gagasan ini didasarkan pada kerangka teori
mistisisme yang menurutnya mampu mempertemukan simpul-simpul berbagai aliran
kepercayaan yang ada di Jawa. Dari pandangan Woodward itu melahirkan pertanyaan baru,

yaitu
benarkah
antara
sufisme
dan
sinkretisme
memiliki
relasi?
Menurut Woodward sufisme memegang peranan prinsip dalam mengkonstruksi budaya Jawa.
Dalam hal ini adalah mistik esoteris yang menurut Martin Lings --Mistikus Inggrisdiakui
sebagai salah satu bagian dari tradisi mistik Islam. Dalam kenyataannya tradisi agama jawa
telah banyak bersentuhan dengan cara pemahaman sufisme Islam. Konsep manunggaling
kawulo gusti misalnya, sebagai tradisi mistik Jawa yang telah berkembang di kalangan kraton
lebih identik dengan tradisi esoterisme ini. Jika dikaji lebih detil konsep manunggaling
kawulo lan gusti itu terdapat relasi yang dekat dengan mistik esoteris Ibn Arabi tentang
wahdatu al-wujud. Oleh sebab itu dalam perspektif ini tidak ada salahnya jika agama Jawa
dan
Islam
memiliki
seperangkat
kesamaan
esoteriknya.
Sementara itu sikap dari perilaku sinkretis bisa jadi sebagai salah satu fenomena yang terjadi
dalam sejarah agama. Kemungkinan sinkretisme itu bisa dikaji dari titik singgung antara satu
agama dengan agama lainnya dan antara agama dengan kebudayaan tertentu. Dalam waktu
yang sama, adanya titik singgung antara berbagai agama itu juga dirasakan oleh tradisi
sufisme Islam. Sufisme dalam Islam sebagaimana dikutip oleh Annemarie Schimmel adalah
usaha untuk mendapatkan keselamatan individu melalui pencapaian hakikat tauhid. Lebih
dari itu ia mengatakan bahwa realitas sepertinya tidak saja terdapat dalam Islam melainkan
berada dalam sepanjang sejarah mistisisme, namun dengan redaksi yang berbeda, ada yang
mengatakan bahwa tidak ada dewa kecuali Allah, dan Tuhan merupakan objek mistisisme.
Pendapat tersebut memberi pemahaman bahwa sufisme dalam kenyataannya milik semua
agama dengan objek yang sama, sekalipun dengan redaksi yang berbeda. Paham kesatuan
agama (sinkretisme) agama nampaknya juga terdapat dalam sejarah sufisme Islam. Ibn Arabi
mengajarkan bahwa kesatuan agama-agama merupakan prinsip yang diterima oleh para sufi.
Ibn Arabi mengatakan bahwa semua agama baik yang tergolong samawi maupun ardi tidak
ada perbedaan mengingat semua agama menyembah Tuhan yang satu, menampak dalam
rupa-rupa mereka dan rupa-rupa sesembahan mereka. Pandangan ini memungkinkan tradisi
sufi terbuka terhadap adanya sinkretis agama-agama. Terjadinya sinkretisme unsur-unsur
agama
dan
kebudayaan
itu
menjadi
sebuah
keniscayaan.
Bagi kebanyakan antropolog, baik Barat maupun Indonesia mengatakan bahwa Islam
Jawa identik dengan Islam Sinkretis. Dalam hal ini berbeda dengan Woodward, ia tidak
mau menyebut islam jawa ini identik dengan islam sinkretis. Karena dalam pandangannya,
doktrin Islam telah menggantikan Hinduisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan
Jawa. Perbedaan pandangan Woodward dengan mayoritas antropolog Barat ini antara lain
dilatar belakangi oleh sikap skeptisismenya dalam menilai antropologi Barat yang telah
gagal memahami islam Jawa. Tidak hanya itu kalangan islam puritan pun juga mengatakan
persoalan yang hampir senada, yaitu bahwa islam jawa telah dianggap banyak mengalami
praktek-praktek penyimpangan, sehingga islam jawa tidak lagi dinilai sebagai agama yang
murni.
Islam singkretis sebagaimana dimaksudkan di atas secara umum dipahami sebagai suatu
fenomena bercampurnya praktek-praktek dan kepercayaan-kepercayaan dari suatu agama
dengan agama yang lainnya sehingga menciptakan tradisi baru yang berbeda. Berangkat dari
definisi ini, seluruh agama--tanpa terkecuali--telah dimaknai sebagai sinkretis dalam
keasliannya, karena msing-masing agama dibentuk melalui proses dialog dengan keyakinankeyakinan lain. Sementara itu dalam pengetahuan modern konsep sinkretisme dibatasi pada

sintesis keagamaan yang terbentuk setelah konsolidasi awal dari suatu agama. Menurut
definisi ini berarti sinkretisme dipahami sebagai suatu praktek keagamaan yang telah
menyimpang
dari
agama
induknya
atau
ungkapan
idealnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Bassam Tibi dalam Islam and The Cultural Accomodation
of Social change, ia mengatakan bahwa seluruh agama di dunia ini, tanpa terkecuali agama
islam, selalu bersifat kultural, simbolik, sistemik dan sebagai bentuk dari sebuah realitas.
Masih menurutnya, Islam sebagai suatu agama merupakan potret dari realitas sosial,
mencakup sistem simbol budaya yang sangat beragam, dan mengalami perubahan secara
historis. Lebih spesifik Milten Yinger mengatakan bahwa sekedar memahami agama tidak
bisa dilepaskan dengan pemahaman kita terhadap budaya yang mempengaruhinya, karakter
yang
ada
di
dalamnya
serta
struktur
sosial
yang
membawanya.
Lebih dari itu Hans Kng dengan menyitir pandangan para teolog modern mengatakan bahwa
agama menurut mereka bukan lagi berada di langit plato yang sempurna dan suci murni, dan
dari sana mengantarai manusia dan Tuhannya, melainkan ia adalah agama manusia biasa
dengan daging dan darahnya. Bahkan menurut Ignas kleden bahwa pergolaan manusia pada
saatnya akan menjadi pergolaan agama. Unsur keputusan tiap penganut agama dan
tindakannya dari waktu ke waktu hendak mewarnai wujud agama itu dalam pentas sejarah.
Dengan demikian hampir bisa dikatakan bahwa agama dalam realitasnya merupakan agama
dengan dan karena keputusan dan pilihan manusia yang menghayatinya. Dengan kata lain
agama akan sangat dipengaruhi oleh pergolaan dan peradaban manusia pada kurun tertentu,
situasi dan kondisi tertentu. Agama merupakan representasi psikis moral yang tidak hampa
sejarah.
Dari hasil pembacaan kita mengenai pandangan para agamawan tentang pentingnya simbolsimbol budaya bagi agama, tanpa terasa telah mengilhami pemikiran dan pemandangan kita
tentang agama secara luas. Dari pemikiran keagamaan di atas, bisa ditarik benang merahnya
bahwa agama dalam konteks apapun tidak bisa lepas dari semangat kosmos tertentu. Upayaupaya pemurnian ajaran keagamaan yang dilakukan oleh kalangan puritan dogmatis adalah
merupakan istilah lain dari praktek penggusuran paksa dari kosmologi islam (Arab) atas
kosmologi
tertentu
(Jawa).
Padahal kosmologi Arab untuk bisanya dinilai lebih relevan oleh masyarakat muslim di Jawa
membutuhkan proses adaptasi yang tidak sederhana. Tidak cukup hanya dengan jalan
melakukan doktrin-doktrin tertentu. Hal ini dikarenakan situasi dan kondisi moral budaya
telah mengalami proses dialog dengan masyarakat tersebut secara intens.
Padahal menurut Andrew Beatty bahwa perpindahan dari situasi Islam tradisionalis menuju
ke mistisisme Jawa barangkali bagaikan kita memasuki dunia yang berbeda dengan
bahasanya sendiri dan pola pemikirannya sendiri. Meski demikian, walaupun kadang ada
mistifikasi dan cenderung paradoks, dunia ini akan lebih jelas diartikulasikan dan
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, dibanding dengan keseharian Islam praktis.
Masih menurutnya bahwa orang-orang jawa secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
orang yang cenderung menekankan bagian Jawa dari warisan kultural mereka dan
menganggap afiliasi muslim mereka sebagai hal sekunder. Jika Islam menjanjikan surga
melalui kerelaan ritual dan pengabdian terhadap Quran, maka kejawen mengambil dunia
sehari-hari sebagai teks kuncinya dan sosok manusia sebagai kitab sucinya.

E.Sistem Religi Orang Bukit di Wisata Ritual Gunung Kawi


Wonosari.
Sebagaimana layaknya tradisi umum yang berkembang di kalangan masyarakat bukit/
pegunungan, masyarakat bukit Wonosari, utamanya di wilayah wisata ritual Gunung Kawi,
mayoritas banyak diwarnai oleh tata cara dan pola pandang para tokoh adatnya. Di antara
merekalah yang merasakan bahwa diri mereka adalah masyarakat pemula yang memiliki ciri
khas bergantung sangat kuat kepada adat. Dalam salah satu wawancaranya, Lasiman adik dari
Warsii
tokoh
adat,
mengatakan
sebagai
berikut
:
Jika manusia itu mampu menjadikan adat sebagai pedomannya, sekaligus menerapkannya
dengan baik, maka manusia itu akan memperoleh kebahagiaan dunia hingga akhiratnya.
Karena
bagi
manusia
adat
adalah
menjadi
pedoman
hidupnya.
Bagi mereka, adat adalah norma yang mengatur seluruh gerak-gerik dalam seluruh dimensi
kehidupannya, mulai yang berhubungan dengan etika, moral, keyakinan dan tata aturan ritual
lainnya. Oleh karena itu adat adalah segala-galanya. Karena itu, menurut kalangan tokoh
adat, adat tidak boleh dilanggar, dan bagi siapa yang melanggarnya mereka akan berhadapan
dengan alam. Padahal alam bagi mereka adalah personifikasi ilahnya yang memiliki kekuatan
adikodrati. Berhadapan dengan alam berarti berhadapan dengan kekuatan adikodrati.
Kaitannya dengan apa kira-kira ancaman yang diberikan kepada mereka yang melanggar tata
nilai
adat?
Lebih
lanjut
Lasiman
menjelaskan
sebagai
berikut
:
jika manusia secara sengaja melanggar aturan adat yang berlaku , lebih dari itu meniadakan
keadaan dan situasi adat tersebut, maka manusia tersebut akan mendapatkan ancaman
musibah
dan
penyakit
yang
bertubi-tubi.
Dari sini telah kita ketahui bersama bahwa mayoritas keyakinan mereka mengatakan bahwa
siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap hukum adat, mereka akan memperoleh
kutukan dari leluhur atau nenek moyang mereka berupa musibah yang beruntun dan penyakit
yang berkepanjangan. Dalam kaitannya dengan musibah dan penyakit yang berkepanjangan
itu apakah benar-benar terbukti di masyarakat tersebut Lasiman? Beliau dalam sebuah diskusi
menjawab
sebagai
berikut:
Sungguh hal itu benar sekali, dahulu ada salah satu masyarakat yang berlagak modern, tidak
mau menjalankan tradisi adapt yang berkembang di masyarakat ini. Jaman sekarang ini
banyak masyarakat yang tidak mengikuti tata aturan adapt perkawinan yang berjalan, mulai
dari kesalahan hari, peniadaan sesajen, termasuk ritualnya yang sudah meninggalkan adapt
yang berlaku. Akhirnya tidak lama kemudian mereka yang meninggalkan aturan adapt
setempat itu meninggal tanpa ada sebab sakitnya, setelah satu minggu kemudian.
Dari dua kekuatan supernatural di atas, yaitu kekuatan adikodrati dari ilahnya maupun
kekuatan dari ancaman nenek moyangnya yang membuat mereka tidak bergeming melawan
adat. Lebih dari itu, musibah dan penyakit yang menimpa mereka diyakini tidak saja
mengarah kepada personal tertentu, melainkan bisa menimpa kepada semua orang dan
keluarganya. Atas dasar itu, orang bukit/ pegunungan menyebutnya bahwa adat adalah akar
dari sebuah kehidupan. Siapa saja yang tidak mematuhi akan dikucilkan dari kehidupan
mereka, yaitu dari keluarga dan kerabatnya. Cara pandang inilah yang melarbelakangi kenapa
mereka tunduk dan taat kepada adat. Dua akibat pelanggaran yang sama-sama menakutkan,
yang satu bersifat hukuman dari kekuatan supernatural yang tidak langsung sifatnya.
Sementara yang satunya bersifat hukuman manusiawi yang langsung sifatnya. Setelah
dikonfirmasi lebih detil tentang bagaimana tanggapan Suliyanto keluarga pendukung adat

tentang ketundukannya pada adat. Suliyanto dalam wawancaranya menjelaskan sebagai


berikut: Saya menjalankan kepatuhan pada adat ini bukan semata-mata karena kekhawatiran
saya pada ancaman, baik ancaman yang datang dari ilah alam maupun dari para arwah nenek
moyang itu, kepatuhan saya pada adat ini, semata-mata karena ungkapan rasa terima kasih
saya pada ilah alam ini. Tanpa diperintahkan untuk patuh pun saya sebagai manusia yang taat
pada aturan religi juga akan melaksanakan dengan baik. Dan semoga dari sikap saya seperti
ini ilah alam akan meridlai saya dan akan memposisikan saya sebagai makhluknya yang
mulia.
Pola pemahaman adat seperti ini, yang membuatnya memiliki ikatan emosional kebersamaan
yang sangat kuat. Ini pula yang membuat cara pandang masyarakat bukit bahwa masyarakat
luas lebih utama di bandingkan dengan keluarga batih. Bermula dari cara pandang ini pula
sistem pola kekerabatan orang bukit terbangun, pola kekerabatan yang memandang
kepentingan umum lebih utama dari kepentingan pribadi atau keluarga. Kesadaran yang kuat
akan kebersamaan ditambah lagi dengan kuatnya keterikatan pada adat membuat masyarakat
bukit memiliki cara pandang tentang diri sendiri, yaitu bahwa keutamaan masyarakat sendiri
tentu lebih utama dari masyarakat lain. Dalam salah satu wawancaranya, Suliyanto
mengatakan
sebagai
berikut:
Selama ada yang mengganggu sistem adat yang ada, saya akan bela mati-matian mas,
semuanya akan saya pertaruhkan untuk adat. Karena adat adalah aturan yang telah lama
dijadikan pedoman, mulai dari orang tua hingga nenek moyang saya.
Mengingat sedemikian pentingnya masyarakat bukit memandang adat, maka mereka
merumuskan setidaknya ada 4 pemahaman mendasar bagi masyarakat bukit/ pegunungan
terhadap adat. 1) adat cenderung dipahami sebagai sistem nilai atau evaluatif (Model for
reality) yang mendasari dan melandasi tindakan mereka, baik yang berkenaan dengan diri
sendiri maupun yang berhubungan dengan orang lain. 2). Adat dipandang sebagai aturan
normatif dari berbagai kesepakatan-kesepakatan lama yang final yang tidak mudah
mengalami perubahan dan pergeseran. 3). Sebagai acuan dan pedoman untuk merespon
berbagai persoalan baru yang muncul dalam tata aturan kehidupan mereka. 4). Sebagai sistem
tata nilai yang melanggengkan dan melestarikan nilai-nilai keaslian lama. 5) Sebagai sistem
nilai yang memiliki daya ikat yang melahirkan kebersaman dan militanisme golongan.
Oleh karena itu Raymond Firth mengatakan bahwa adat dipandang sebagai sesuatu yang
mencakup empat unsur organisasi sosial, yaitu kesatuan pengaturan sosial (social elignment),
pengendalian sosial ( social control), media sosial (social media), dan patokan sosial (social
standart). Lebih riil lagi masyarakat Wonosari memandang bahwa keberadaan adat dalam
masyarakat memang sebagaimana dalam teori dan kebiasan di atas. Bahkan cara berladang,
mencari lahan baru hingga memanen pun, sampai cara menimbunnya masyarakat selalu
menjadikan adat sebagai satu-satunya kekuatan nilai yang selalu dipedomaninya. Termasuk
juga bagaimana merawat ibu yang sedang melahirkan, merawat orang sakit dan orang yang
meninggal dunia juga selalu berpatokan kepada cara dan prosedur adat.
Cara hidup dan pola pemahaman hidup seperti ini nampaknya berjalan secara regeneratif,
dari tahun ke tahun semakin menguatkan legalitas konstruksi nilai-nilai adat sebelumnya.
Sementara masyarakat bukit pun kini mereka juga telah disuguhi dengan berbagai informasi
dan pengalaman yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Bagaimana dengan tantangan

semacam ini? Apakah mereka tetap berpaku dan bergantung kepada adat?
Untuk bergantung secara total terhadap adat, nampaknya masyarakat Wonosari merasakan
kesulitan. Sebab banyak hal-hal dalam kehidupan ini, karena berseiringan dengan
perkembangan zaman, yang tidak lagi relevan dan membutuhkan adanya tafsir-tafsir baru
dalam kehidupan. Belum lagi karena pengaruh yang begitu kuat dari desakan keras masuk
keluarnya agama-agama ke tempat tersebut, lebih-lebih agama Islam. Tentang bagaimana
sikap masyarakat, yang dalam hal ini diwakili oleh Suliyanto mengenai komitmen dan
totalitasnya
terhadap
adat
adalah
sebagai
berikut:
Sulit mas, jika kita hitam putih seperti itu, mana yang adat dan mana yang Islam. Saya
sekarang ini agak pragmatis saja mas, asal ajaran-ajaran yang lain itu tidak saling
mengganggu. Lebih-lebih kalau ajaran yang lain itu justru mendukung, saya tentu setuju
sekali. Setahu saya ajaran yang muncul dari Islam itu tidak ada yang bertentangan dengan
adat, bahkan mendukung. Atas dasar itulah saya sudah terlanjur percaya terhadap ajaran
Islam itu. Dengan demikian keyakinan saya sekarang ini adalah menggabungkan dua
keyakinan
sekaligus,
yaitu
Kejawen
dan
Islam.
Islam memang terlihat secara dhahir tidak nampak terkesan frontal dan revolusioner dalam
melakukan peran-peran pengembangan misinya, namun Islam adalah sebagai ajaran yang
selalu komitmen untuk mengembangkan misinya, kapan dan di manapun. Tidak banyak
agama-agama yang mempengaruhi perubahan tata nilai adat yang berlaku di desa Wonosari
tersebut, kecuali Islam. Sebab dalam implementasinya gerakan Islam dalam mengembangkan
misinya
cenderung
akulturatif
dan
adaptif.
Sikap inilah yang tanpa terasa telah menjadikan agama lokal dengan seperangkat tata nilai
adatnya mengalami banyak pergeseran tanpa menimbulkan konflik apa-apa, bahkan
sebaliknya. Integrasi adat dan agama Islam hingga kini berjalan secara kontinuitas dan
intensif. Oleh karena itu hubungan harmonis antara elit adat maupun alite agama Islam di
tempat tersebut betul-betul terjaga. Mereka merasa dalam proses hidupnya saling melengkapi
dan
saling
memenuhi.
Pada sisi yang lain, untuk meningglkan secara total terhadap ajaran adat juga tidak mungkin,
karena sifatnya yang sangat mengikat itu. Atas dasar inilah perjumpaan kosmis jawa dan
kosmis Islam yang melahirkan tata nilai Islam Kejawen, nampaknya kini menjadi alternatif
yang paling utama, baik dari kalangan para tokoh adatnya, maupun dari tokoh agama Islam.
Dengan begitu sistem religi masyarakat bukit/ pegunungan, utamanya di daerah wisata ritual
Gunung Kawi dalam faktanya lebih direpresentasi oleh akumulasi sistem nilai lokal jawa dan
sistem
nilai
Islam.
Jika dilihat dari perkembangan cara pemahamannya terhadap adat dan sikapnya terhadap
agama Islam demikian, hal ini menunjukkan adanya pergeseran sistem religi lama ke sistem
religi baru di kalangan masyarakat bukit/ pegunungan wisata ritual Gunung Kawi. Dari
sistem religi budaya lokal Jawa asli ke sistem religi budaya Islam Jawa.
Pada umumnya, sistem religius masyarakat bukit/ pegunungan selalu mempertautkan pada
tiga hal mendasar, yaitu 1). Tentang asal-muasal kejadian alam semesta, 2). Tentang manusia
pertama dan keturunannya, dan 3). Tentang asal-muasal tanaman padi.
Ketiga sistem keyakinan religi itu telah dijadikan sebagai kerangka mendasar tentang
keyakinan suci atas kejadian. Dari masing-masing sistem nilai religiositas itu dikembangkan
sistem keyakinan lain yang berhubungan dengan keyakinan ilah atau roh yang memelihara

bagian-bagian alam semesta dan alam sekitar tertentu, hiyang pemelihara diri manusia serta
semua perlengkapan maupun peralatan hidupnya, dan keyakinan yang berkaitan dengan
tokoh
ilahiyah
pembawa
kebudayaan.
Pergeseran tentang keyakinan itu bukan semata-mata terletak pada objek keyakinannya, tetapi
pada pemahaman dan pemposisian atas masing-masing objek keyakinan itu sendiri. Dahulu
keyakinan mereka tentang ilah misalnya, lebih dipersonifikasikan kepada hal-hal yang lebih
konkrit, dalam hal ini berupa alam semesta, baik matahari, bulan, bumi, angin dan lain
sebagainya. Selanjutnya diturunkan lagi personifikasi mereka tentang ilah itu berupa para
dewa. Demikian seterusnya berubah menjadi arwah para nenek moyang atau leluhur.
Sekalipun dalam keyakinan mereka yang terdalam, juga masih meyakini terhadap apa yang
ada dibalik yang menguasai alam semuanya itu. hanya saja karena keterbatasan dan
perbedaan
redaksional.
Namun karena berbagai hal, kini keyakinan mereka terhadap ilah telah mengalami pergeseran
pemahaman dan redaksi. Tidak sedikit diantara para tokoh adat, demikian juga para
pemerhati dan pengikutnya yang tidak enggan lagi menerima redaksi Allah sebagai nama
ilahnya. Tidak hanya berhenti dalam tataran sebutan identitas saja, lebih dari itu personifikasi
mereka terhadap ilah juga telah berubah. Hal itu bisa dibuktikan ketika para tokoh adat
tersebut menjelaskan tentang tata aturan berziarah yang benar, sesuai dengan tuntunan yang
ada. Tidak sedikit diantara mereka yang begitu fasih menjelaskan logika berziarah makam itu.
Tingkat kefasihannya kadang melebihi para tokoh agama Islam yang ada di lingkungan
sekitar. Mereka betul-betul memahami mana batas-batas ilahiyah yang harus diyakininya dan
mana batas-batas kemanusiaan yang harus diikutinya. Inilah model baru dari sistem religi
masyarakat
bukit
Wonosari.
Dengan demikian, dalam setiap religi yang ada di masyarakat bukit Wonosari pasti terdapat
sistem religi yang terdiri dari unsur keyakinannya, medan budayanya ( tempat dan peralatan
ritual), ritualitasnya, kelompok penghayatnya, dan emosi keagamaannya. Setiap medan
budaya di lingkungan masyarakat tersebut berpotensi sekali sebagai media perjumpaan dua
komunitas sekaligus, yaitu kejawen dan islam. Medan budaya itu adalah makam suci Eyang
Djoego
dan
Eyang
Iman
Soedjono.
Perjumpaan sistem religi dari dua komunitas tersebut ada yang sampai pada batas-batas
kesamaan ritualnya maupun keyakinannya. Dengan demikian tidak jarang kedua komunitas
tersebut memiliki kesamaan sistem religinya. Inilah yang disebut sebagai Islam Kejawen,
dimana kedua-duanya tetap menampakkan jati dirinya sebagai sebuah institusi, kejawen di
satu
sisi
dan
institusi
Islam
pada
sisi
yang
lain.
Secara umum medan budaya khas yang dimiliki oleh masyarakat kejawen adalah makam,
candi-candi, batu-batu dan pepohonan maupun tempat lain yang dinilai sakral. Namun
demikian, khusus di masyarakat desa Wonosari, karena pergeseran pemahamannya, medan
budaya yang dianggap sakral hanyalah medan budaya makam. Bahkan di makam pun, logika
dan prosedur tata nilai religinya sudah mengalami perbedaan signifikan, tidak sebagai
layaknya masyarakat kejawen yang lain. Hal ini disebabkan karena pemimpin ritual yang ada
di medan budaya makam pun juga tidak dari kalangan tokoh adat, melainkan Juru kunci
sebagai pengelola makam yang telah banyak bersentuhan dengan budaya Islam. Diantara
mereka mayoritas sudah melaksanakan rukun islam yang ke lima, yaitu haji, selain memang
sebagai
sosok
yang
taat
dalam
beragama
Islam.

Selain kondisi struktural pengelola makam yang tergolong sebagai kelompok Islam taat, yang
telah membuat sistem religi Islam berpotensi berjalan dinamis, kondisi medan budayanya
pun, seperti masjid-masjid, mushalla, kegiatan-kegiatan keagamaan Islam lain yang marak di
mana-mana, tidaklah kecil kontribusinya untuk memberikan dukungan atas berkembangnya
sistem religi Islam di Desa Wonosari tersebut. Dengan demikian sistem religi masyarakat
Desa Wonosari yang berkembang sekarang ini, bisa dibayangkan betapa kuatnya dominasi
Islam di tempat itu. Bahkan doa-doa dan kegiatan-kegiatan wasilahan yang kerab dibacakan
oleh juru kunci pun juga dengan bahasa agama Islam. Inilah sebenarnya kondisi yang sangat
menguntungkan Islam, karena secara perlahan bisa menggeser dominasi budaya lokal
setempat, tanpa menyisakan problem sedikitpun.

Anda mungkin juga menyukai