Bab 5 Revisi
Bab 5 Revisi
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Responden
Tabel 1: Karakteristik responden (pasien) Diabetes Melitus
Respo
nden
Umur Jenis
(tahun Kelamin
)
Pekerj Tingkat
aan
Pendidi
kan
Lama
Alamat
mender
ita DM
(tahun)
R1
57
Laki-laki
Wiras
wasta
Tamat
SMA
10
Desa
Tiyingtali
Tempat
pertama
kali
terdiagnos
is DM
Rumah
sakit
Komplikasi
saat
terdiagnosis
DM
Asura
nsi
keseh
atan
Neuropati
BPJS
R2
58
Laki-laki
Wiras
wasta
Tamat
SD
Desa
Ababi
Puskesmas Retinopati
Abang
JKB
M
R3
60
Laki-laki
Tidak
kerja
Tidak
sekolah
15
Desa
Abang
Rumah
sakit
JKB
M
R4
70
Perempu
an
Pedag
ang
Tidak
sekolah
1,5
Desa Ngis
Puskesmas Ulkus
Abang
diabetikum
JKB
M
R5
62
Perempu
an
Tidak
sekolah
Desa
Nawakerti
Puskesmas Gangren
Abang
BPJS
R6
55
Laki-laki
Ibu
rumah
tangg
a
Pega
wai
swast
a
Tamat
SMA
10
Desa
Tribuana
Dokter
praktik
swasta
Tidak
punya
Gangren
Neuropati
Jabatan
R7
Dokter
R8
Perawat
R9
R10
5.2 Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Diagnosis Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Faktor berikut merupakan alasan mengapa pasien diabetes melitus tipe 2 (DM)
terdiagnosis tidak pada fase awal, melainkan saat telah adanya komplikasi. Adapun faktorfaktor yang mempengaruhi keterlambatan diagnosis DM berdasarkan teori Green (1980) dalam
Notoatmodjo (2003), yang dibedakan dalam tiga faktor yaitu : faktor predisposisi (Predisposing
factor), faktor pemungkin (Enabling factor) dan faktor penguat (Reinforcing factor).
A. Faktor predisposisi (Predisposing factor)
1. Keterbatasan Pengetahuan
Pengetahuan mengenai diabetes mellitus tipe 2 (DM) terdiri atas beberapa aspek penting untuk
dinilai yaitu pengetahuan pasien mengenai pengertian, gejala, dan faktor risiko DM, sebelum
pasien terdiagnosis DM (Gunay, 2006). Namun setelah dilakukan wawancara mendalam,
ditemukan hal lain yang berkaitan dengan pengetahuan mengenai DM, yaitu pengetahuan
mengenai pemeriksaan kadar glukosa darah.
1) Terbatasnya pengetahuan pasien mengenai pengertian diabetes mellitus tipe 2 (DM)
Sebagian besar pasien (5 orang) tidak tahu mengenai pengertian diabetes melitus ditunjukkan
dengan kutipan berikut.
Hmm, dumun ten keten ahhh puniki tiang ten uning nika tentang diabetes
[Hmm, dulu tidak begitu, saya tidak tahu tentang diabetes]
R.3, Tidak Bersekolah
Dereng[Belum tahu]
R.2, Tamat SD
Ten nika [Tidak tahu]
R.4,Tidak Bersekolah
Nggak, belum tahu
R.6, Tamat SMA
Belum tahu
R.5, Tidak Bersekolah
Pengetahuan pasien yang kurang tentang pengertian diabetes mellitus juga didukung oleh
pernyataan dari dokter dan perawat di Puskesmas Abang I yang mengamati secara umum pasien
yang terdiagnosis pertama kali sudah dengan komplikasi.
Masih kurang tahu mereka. Banyak yang mereka tidak tahu
R.8, Perawat
Iya sehat.Kalau udah makan itu sehat otomatis gituiya kalau di desa sih,
makan banyak itu bagus.lebih sehat gitu. Iya kalau badan kurus gitu jelekkan
ceritanya, jadi iya hmmmgemuk itu semakin sehat lah gitu
R.6, 55 tahun, gemuk
Kurangnya pengetahuan mengenai faktor risiko DM ditunjukkan pula dengan terbatasnya
pengetahuan mengenai faktor risiko DM pada adanya riwayat DM di keluarga
Gak keturunannya saya, biasanya kan keturunan itu. Saya gak ada keturunan
yang diabetes
R.1, Gemuk, 57 tahun
4) Pengetahuan pasien mengenai pemeriksaan gula darah
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) mengungkapkan bahwa pemeriksaan
glukosa/gula darah pada fase awal sangat penting untuk dilakukan dan menyarankan untuk
dilakukan pemeriksaan rutin pada usia diatas 45 tahun atau memiliki faktor risiko lain terhadap
DM. Beberapa responden tidak tahu tentang adanya pemeriksaan gula darah yang penting untuk
mendeteksi DM. Pengetahuan responden kurang mengenai tujuan pemeriksaan gula darah
sebagai skrining penyakit DM. Responden menganggap pemeriksaan gula darah hanya
dilakukan apabila telah terdiagnosis DM. Selain itu, ada juga responden yang memiliki
pengetahuan yang salah yang bersumber dari pengobatan alternatif mengenai metode
pemeriksaan glukosa/gula darah.
Ten uning tiang kalau wenten cek gula darah nika [Saya tidak tahu kalau ada
cek gula darah]
R.4, 70 tahun
Tenten uning [Tidak.saya tidak tahu]
R.2, 58 tahun
Nggak, kalau pengecekan ngga diambil darahnya, dipegang, di komputer itu
kelihatan gitu
R.6, 55 tahun
Ahmmmm gimana ya.kalau periksa gula darah itu kan kalau siapa yang
sudah kencing manis nih ceritanya. Terus kalau sakitnya biasa-biasa aja seperti
panas buat apa perlu periksa gula darah? Kan ga ada maknanya gitu?
R.6, 55 tahun
Menurut ADA (American Diabetes Association), pemeriksaan glukosa/gula darah
menggunakan darah sebagai sampel, baik pengambilan darah dilakukan sewaktu, setelah puasa,
atau setelah pemberian glukosa oral. Sampel dapat didapatkan melalui pengambilan darah vena
yang diperiksa di laboratorium dan dapat pula dengan metode konvensional
menggunakanfingerstick. (mcmillin JM).
2. Sikap
Menurut teori health belief model (HBM), sikap dan perilaku kesehatan dipengaruhi oleh
persepsi seseorang terhadap keseriusan suatu penyakit, kerentanan terhadap penyakit, dan
persepsi terhadap keuntungan (Depkes, 1996).
1) Persepsi terhadap keseriusan penyakit
Berkaitan dengan persepsi seseorang terhadap keseriusan penyakit, responden menganggap DM
bukanlah penyakit yang harus ditangani serius.
iya kalo kencing manis itu kan.menurut saya sih nggak terlalu bahaya
hanya karena makan gula aja nggak sampai bisa sebabkan mati gitu
R.5, 62 tahun
2) Persepsi terhadap kerentanan penyakit
Orang dengan riwayat keluarga DM cenderung memiliki tingkat kecurigaan lebih tinggi
terhadap gejala awal dan faktor risiko DM dibandingkan pada orang tanpa riwayat keluarga DM
sehingga kesadaran untuk memeriksakan diri lebih tinggi pula(Zuhaid dkk, 2012). Namun
persepsi mengenai keluarga inti dan keluarga jauh masih melekat di masyarakat sehingga
adanya riwayat DM pada keluarga jauh/extended family kurang menjadi perhatian pasien akan
berisiko terkena DM.
..bapak ibu ten wenten sane keni.ten kepikiran.tiang ten mrika perhatian
tiang, nak nika paman
R.2, memiliki paman menderita DM
Persepsi bahwa penyakit DM hanya karena keturunan masih melekat pada responden,
Disamping riwayat keluarga, terdapat faktor risiko lain seperti obesitas, usia lebih dari 45 tahun,
dan hipertensi. Namun beberapa pasien justru menganggap dirinya tidak berisiko terhadap
penyakit DM hanya karena tidak memiliki riwayat keluarga DM.
Gak keturunannya saya. Kebiasaanya kan keturunan itu. Saya gak ada
keturunan yang diabetes
R1, gemuk, 57 tahun
Orang saya dalam keluarga gak ada..makannya juga gula nggak terlalu
banyak hanya makan nasi itu aja.gak terpikir saya
R.5, gemuk, 62 tahun
Persepsi gemuk itu sehat juga masih melekat pada responden, sehingga kondisi responden yang
gemuk menyebabkan kurangnya kesadaran responden akan kerentanan terkena penyakit DM.
Iya banyak makan, gemuk itu sehat-sehat saja
R.1, 57 tahun, gemuk
Iya sehat.Kalau udah makan itu sehat otomatis gituiya kalau di desa sih,
makan banyak itu bagus.lebih sehat gitu. Iya kalau badan kurus gitu jelekkan
ceritanya, jadi iya hmmmgemuk itu semakin sehat lah gitu
R.6, 55 tahun, gemuk
3) Persepsi terhadap manfaat skrining
Beberapa orang tidak menaruh perhatian pada kesehatan mereka, salah satunya dengan tidak
melakukan deteksi dini. Terdapat beberapa alasan yang mendasari untuk tidak berpartisipasi
aktif dalam skrining kesehatan, yaitu keyakinan, prioritas, dan akses (Tripp, 2001). Seluruh
responden yang merupakan pasien (6 orang) memiliki pandangan bahwa skrining atau deteksi
dini sebelum munculnya gejala penyakit bukanlah hal yang penting untuk dilakukan disamping
itu, pemeriksaan kesehatan diprioritaskan pada gejala-gejala penyakit tertentu saja. Bahkan
responden menganggap pemeriksaan kesehatan diperlukan apabila suatu gejala penyakit sudah
dianggap parah.
yening sakit nika tiang periksa, yen sing sakit ngudiang ke dokteryen amun
tiang ten ngidang megae kenten [kalau sakit saya periksa, kalau tidak sakit
ngapain harus ke dokter]
R.1, 57 tahun
Tenten sakit ngudiang ke dokter.Kalau sakitnya ten sembuh-sembuh
mare ke dokter [Tidakkalau tidak sakit ngapain ke dokter, kalau penyakitnya
tidak sembuh-sembuh baru ke dokter]
R.2, 58 tahun
Kalau terasa sakit pas sakit baru periksa gitu, Kalau gak sakit buat apa kita
periksa kan begitu? Maklum di desa gitu. Kalau gak sakit gak ke dokter
R.3, 60 tahun
Yen tiang yen sakit gen nika.Ten sakit ngudiag mepriksa [Kalau saya sakit
saja. Kalau tidak sakit kepan harus diperiksa]
R.4, 70 tahun
Iya kalo saya sih.kalau sakit seperti ahmmm..panas, batuk, pilek saja yang
perlu periksa gitu. Iya kalau kencing manis itu kan.menurut saya sih nggak
terlalu bahaya.
R.5, 62 tahun
iya kalau ke dokter ya karena penyakit luka, semacam penyakit luka, segala
macam itu
R.6, 55 tahun
3. Perilaku
Keterlambatan diagnosis DM dipengaruhi oleh keyakinan atau persepsi pasien terhadap
sakitnya. Hal ini berkaitan dengan perilaku mencari pengobatan dan melakukan pemeriksaan
kesehatan. Dari wawancara didapatkan pasien melakukan perawatan sendiri dan menunda
untuk memeriksaan kesehatan ke dokter.
Waktu itu saya menunggu sampai dua hari gituitu dah waktu kondisi drop
R.1, SHH
Tenmaan ubadin tiang di jumah tapi mekelo segerne, ke puskesmas lantas
tiang [tidak.dapat saya obati di rumah, lama tidak sembuh sembuh, lalu
saya ke puskesmas
R.4, Ulkus diabetikum
Nggak. ada luka kan di kaki sebelah kiri sampai iya keluar darah dikitdikit.jadi iya saya bersihkan aja kaki saya dengan air gitu
R.5, Gangrene
4. Ketakutan mengetahui hasil pemeriksaan
Selain tiga faktor diatas, ditemukan juga hal lain yang muncul yaitu faktor yang berkaitan
dengan psikologi pasien. Responden tidak memeriksakan kesehatan lebih dini karena takut
mengetahui penyakit yang diderita dari hasil pemeriksaan, sehingga responden baru
memeriksakan kondisinya setelah muncul gejala yang parah, yaitu munculnya komplikasi.
ya akhirnya saya periksakan.udah pasrah saya.sekarang udah mau mati
ceritanya.Sepuluh tahun yang lalu gak gitu. Harapan saya sudah mati. Jadi habis
ke dokter, saya lari ke dukun..katanya penyakit ini tidak ada obatnya
R.6, 55 tahun
Dari hasil diskusi dengan dokter dan pemegang program di Puskesmas Abang I, juga
mendapatkan beberapa pasien memiliki keengganan terkait pemeriksaan kesehatan di awal,
disebabkan adanya rasa takut untuk mengetahui penyakitnya.
Niatnya itu untuk memeriksa itu sulit sekali, karena takut ketahuan
penyakitnya, padahal deteksi awalitu perlu. Mungkin mereka itu pernah dengar
penyakit DM tapi takut kalau mendapatkannya
R.7, Dokter Puskesmas
Ya itu kalau saya bilang masalah psikis yang memepengaruhinya
R.9, Pemegang program lansia
B. Faktor pemungkin (Enabling factor)
Faktor ini mencakup eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri pasien yang
mempengaruhi keterlambatan diagnosis pasien DM, yaitu terdiri atas tersedianya pelayanan
kesehatan, termasuk fasilitas puskesmas, program puskesmas, dan sumber daya. Setelah
dilakukan wawancara mendalam dan focus group discussion dengan beberapa responden,
didapatkan faktor eksternal lain yang berkaitan dengan keterlambatan diagnosis DM, yaitu
manajemen layanan kesehatan, sumber informasi DM, dan peran pemerintah.
1. Pelayanan Kesehatan
1) Anjuran pemeriksaa kadar glukosa darah pada pasien berisiko
Suatu review dari suatu observasi di Atlanta Medical Center menyatakan keterlambatan
diagnosis DM tidak sepenuhnya kesalahan pasien. Sebagian besar (60%) praktisi kesehatan di
penyedia pelayanan kesehatan primer tidak memberikan saran untuk pemeriksaan gula darah
pada pasien yang berisiko DM ketika mereka datang tanpa keluhan atau keluhannya tidak
spesifik untuk DM (Lawrence, 2014).
Baru beberapa sekarang, walaupun tidak memiliki gejala DM, misalnya ada
riwayat keluarga DM, mereka biasanya sukarela melakukan pengecekan. Tapi
selalu itu saya tanyakan silsilah keluarganya, biasanya kalau ada pasien berat
badan turun berlebih, langsung saya tanya gejala sering kencing, sering minum
saya cek gula darahnya, untuk obesitas dengan hipertensi juga saya anjurkan
R7, Dokter Puskesmas
Namun pernyataan dokter tersebut tidak didukung oleh beberapa responden yang sebelumnya
memiliki risiko terkena DM untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah.
..di puskesmas cepok, trus di dokter pang telu sing je tiang tundenina, ten
disuruh kenten periksa darah utawi periksa gula darah, ten tundenina ke
karangasem mriksa, ampun dokter nika, tiang jeg ten uning napi napi tiang
percaye trus pas sampun parah nika tiang ten ngidang bangun, tiang langsung
manten ke rumah sakit [di puskesmas sekali, lalu di dokter tiga kali tapi tidak
disuruh periksa gula darah, tidak disuruh ke RS karangasem, karena dokter,
saya jadinya percaya karena saya gatau apa-apa, sampai saya akhirnya tidak
bisa bangun, saya langsung ke rumah sakit]
R.3, hipertensi, 63 tahun
Ten nika tundenina meriksa gula, tiang baanga ubat dogen[Tidak disuruh
memeriksa gula, saya hanya diberikan obat saja]
R.4, ulkus diabetikum
Menurut US Preventive Services Task Force (USPSTF) pada tahun 2008 merekomendasikan
untuk dilakukan skrining kadar glukosa darah pada dewasa tua yang asimptomatik dengan
tekanan darah (pada yang mendapat perawatan atau tidak) lebih tinggi dari 135/80 mmHg.
Namun responden diatas yang memiliki riwayat hipertensi sejak sebelum terdiagnosis DM serta
berusia diatas 45 tahun, tidak pernah diberikan anjuran oleh dokter untuk melakukan
10
pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum akhirnya menderita gangrene sebagai komplikasi
lanjut DM.
2) Kemampuan dokter dalam mendiagnosis
Keterlambatan diagnosis DM juga dipengaruhi oleh kemampuan dokter dalam menentukan
diagnosis. Dokter kurang dapat menganalisis gejala yang dikeluhkan pasien yang sesungguhnya
dapat mengarahkan dokter untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, sehingga
diagnosis DM dapat cepat ditegakkan dan ditangani, serta mencegah munculnya komplikasi
lebih lanjut. Berkaitan dengan hal tersebut, pernyataan responden berikut menceritakan bahwa
sebelum terdiagnosis DM, responden beberapa kali memeriksakan diri dan mencari pengobatan
ke dokter praktek swasta dan Puskesmas Abang I sebagai penyedia layanan kesehata primer,
Keluhan awal pasien yaitu kesemutan, sesungguhnya dapat mengarahkan dokter untuk
melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah.
Kesemutan adalah salah satu gejala awal sebelum munculnya diabetik neuropati. Apabila tidak
ditangani dengan baik dan diberikan edukasi untuk mencegah terjadinya luka maka diabetik
neuropati dapat berkembang menjadi ulkus diabetika.Ulkus diabetika dapat menjadi fase yang
lebih serius yaitu gangrene (Baradero, 2009).
Awalne meubat ring dokter orahina jeg rematik, baange nika ubat rematik, trus
priksa bin orahina bin rematik, baange obat rematik manten, awalne baet trus
kesemutan, kanti je pesu nanah nika makeplus trus beseh selem nika maubat ke
rumah sakit karangasem baange salep kenten trus seminggu ten sembuh lantas
orahina ke badung meubat [awalnya berobat ke dokter dibilang rematik,
diberikan obat rematik, lalu periksa lagi dibilang rematik dikasi obat rematik
saja, awalnya terasa berat dan kesemutan sampai akhirnya keluar nanah,
bengkak, menghitam lalu baru dirujuk
R.3, gangrene
3) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) yang efektif perlu diberikan kepada pasien DM
untuk memberikan pemahaman mengenai faktor risiko DM, gejala DM, rencana pengobatan
dan follow-upp, diet, serta exercise dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan pasien,
kepatuhan pengobatan, serta mencegah munculnya komplikasi (Gunay, 2006).
Apabila pasien pada fase toleransi glukosa terganggu (TGT) diberikan KIE sebagai tatalaksana
nonfarmakologi serta rencana follow-up yang tepat, maka dapat dicegah perkembangannya
11
menjadi DM dan komplikasi lebih lanjut (Lisa Ann dkk, 2010). Namun responden tidak
mendapatkan KIE dari dokter di Puskesmas Abang I pada fase awal sebelum terdiagnosis DM
disertai komplikasi dan pada akhirnya terdiagnosis DM pertama kali telah disertai komplikasi di
RSUD Karangasem.
Nggih di puskesmas abang driki, ten wenten keterangan orina ampunang
ngajeng manis, ngajeng gula, kenten, jeg pragat ngebang obat dogenten
wenten napi. Baange catetan gen, tiang males nika [Tidak ada apa. Diberikan
catatan saja, saya jadi males, iya di puskesmas abang ini tidak ada keterangan
diberitahukan untuk tidak makan manis makan gula seperti itu, hah hanya
memberikan obat sajaten ngomong doktere]
R.3, terdiagnosis pertama kali disertai komplikai 10 tahun yang lalu
Dereng nika ada keputusan nika, sesampune periksa ahhhwau periksa lima
taun mare orina bedik bedikin makan gula, nika ten wenten keterangan saking
dokter [saat itu belum ada keputusan, setelah periksa lima tahun kemudian
baru diberitahu untuk mengurangi konsumsi gula]
R.3, terdiagnosis DM pertama kali disertai komplikasi di RSUD
2. Program puskesmas
Program puskesmas yang berkaitan dengan deteksi dini kasus diabetes melitus adalah
penyuluhan, Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu), pemberdayaan masyarakat, dan Perawatan
Kesehatan Masyarakat (Perkesmas). Berdasarkan pengamatan peneliti, wawancara dengan
responden, dan focus group discussion, didapatkan pelaksanaan program tersebut belum efektif
dan ada program yang belum terlaksana.
1) Program Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan yang efektif dapat dilakukan melalui metode ceramah, diskusi kelompok,
panel, role play, demonstrasi, symposium, dan seminar pada kelompok sasaran (Notoadmojo,
2002). Berdasarkan pengamatan langsung peneliti pada pelaksanaan posyandu lansia dan
wawancara dengan responden, metode pelaksanaan program penyuluhan masih tidak sesuai dan
tidak adanya peran serta kader setempat. Pelaksanaan penyuluhan dilaksanakan sekaligus dalam
bentuk KIE langsung oleh dokter kepada setiap pasien secara perorangan saat pelayanan
kesehatan, sehingga tidak menyasar kelompok sasaran yang jelas. Disamping itu materi
penyuluhan hanya terbatas pada gaya hidup sehat, belum dilakukannya penyuluhan yang
mengkhususkan pada deteksi dini DM dan pelaksanaan penyuluhan juga tidak terjadwal dengan
baik.
12
kalau mengenai sosialisasi, kan biasanya saya ajak dokter pada posyandu
lansia, kan pasti diceritakan sedikit oleh dokternya mengenai hipertensi, DM.
Tapi untuk menyebarluaskannya itu tergantung mereka.kadang itu sebulan
sekali.
..di posyandu itu sudah ada sosisalisasi, apalagi mereka yang datang itu
kan yang berisiko, lansia, sudah dengan penyuluhan langsung mengenai gaya
hidup sehat buat mencegah mereka terkena DM.. Kadang itu sebulan sekali,
tergantung desanya
R.10, pemegang program lansia
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar responden masih kurang dalam mengikuti
penyuluhan. Sehingga kedepannya diperlukan sosialisasi dan perencanaan mekanisme
penyuluhan yang lebih baik.
Gak pernah. Gak pernah ikut itu-itu
R.1,wiraswasta
Makanya kalau ada seminar-seminar itu saya gak pengen ikut. Terlalu lama
duduk dengar gitu.iya rasa malas gitu
R.6, pegawai swasta
Ten(tertawa)
R.2, wiraswasta
ten, ten wenten
R.3, tidak bekerja
2) Program skrining dalam posbindu dan program perkesmas
Skrining untuk diabetes melitus tipe 2 pada individu asimpomatik merupakan suatu strategi
untuk menurunkan resiko komplikasi (WHO, 2003). Namun pelaksanaan skrining belum
dilaksanakan oleh Puskesmas Abang I untuk deteksi dini DM. Program skrining seharusnya
dapat dilaksanakan pada posbindu dan perkesmas, namun terhambat pelaksanaannya karena
keterbatasan alat pemeriksa gula darah.
Tidak ada program khususnya.Ada pemegang program surveilens untuk
penyakit tidak menular dan lansia. Nanti ada yang namanya posbindu, pos
binaan terpadu yang mestinya skrining itu ada disana. Cuma di puskesmas kita
belum dibekali oleh alat skrining. Jadi masih pada tahapan pengukuran TB, BB,
IMT serta tekanan darah
R.9 pemegang program lansia
Posbindu itu ada posbindu utama dan dasar, selama ini yang kita lakukan
hanya posbindu dasar, yang utamanya harusya sudah dengan skrining
R.10 pemegang program
3. Fasilitas puskesmas
13
Ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai berkaitan dengan ketepatan diagnosis penyakit
dan kualitas pelayanan kesehatan (Fraser, et al., 2010). Salah satu fasilitas kesehatan yang
berkaitan dengan diagnosis DM adalah alat pemeriksa kadar gula darah. Alat pemeriksaan
kadar gula darah di Puskesmas Abang I jumlahnya sangat terbatas, yaitu hanya satu alat
pemeriksa gula darah digital, yang disediakan secara swadaya oleh staf di puskesmas.
Terus kami tawarkan apakah ingin periksa disini di Puskesmas, dengan
konsekuensi biaya sendiri, karena pemeriksaan gula darah digital kami urunan
di poli utnuk membantu mereka mencari stik dan alatnya, karena tidak
ditanggung oleh dinkes
R.7, Dokter Puskesmas
Keterbatasan jumah alat pemeriksa gula darah ini berpengaruh terhadap pemberian layanan
puskesmas dan pelaksanaan program puskesmas. Seharusnya puskesmas ini memiliki lebih dari
satu alat pemeriksa kadar gula darah, karena berdasarkan hasil pengamatan peneliti setelah
mengikuti beberapa program puskesmas Abang I, alat pemeriksa kadar gluosa darah sibutuhkan
untuk pelayanan di poli umum puskesmas, untuk program skrining di Pos Pembinaan Terpadu
(Posbindu), serta untuk program kunjungan rumah pasien yang disebut dengan Perawatan
Kesehatan Masyarakat (Perkesmas). Dikarenakan keterbatasan alat, pelayanan di poli umum
puskesmas lebih diutamakan oleh pihak pusksmas. Program posbindu dan perkesmas terhambat
pelaksanaannya karena tidak dapat dilaksanakan pemeriksaan kadar glukosa darah sebagai
skrining/deteksi dini DM dan memonitor kadar glukosa darah pasien DM.
Nanti ada yang namanya posbindu, pos pembinaan terpadu utama yang
mestinya skrining itu adanya disana, cuma di puskesmas kita belum dibekali
oleh alat skrining. Jadi masih pada tahapan pengukuran BB, TB dan IMT serta
tekanan darah.
R.10, pemegang program penyakit tidak menular
4. Manajemen Layanan Kesehatan
Keengganan pasien untuk melakukan pemeriksaan kesehatan berkaitan dengan keluhan
mengenai manajemen layanan kesehatan, yaitu mengenai proses administrasi dan lamanya
menunggu antrian di Puskesmas maupun Rumah Sakit.
1) Proses administrasi untuk penggunaan asurasi kesehatan
Proses administrasi berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan asuransi baik BPJS maupun
JKBM. Proses administrasi ini dianggap hal yang merepotkan bagi responden sehingga
14
responden tidak menggunakan asuransi kesehatan yang ada. Padahal di sisi lain responden ini
membutuhkan asuransi kesehatan karena responden memiliki keterbatasan alokasi dana untuk
memeriksakan kesehatan.
orang saya kerja gini saja, kerja di luar ya dapat sedikit. Kalau kadangkadang punya uang diperiksa, kalau gak ada didiamin dulu..itu dah
menunggu-nunggunya lamaprosesnya juga, pake surat lagi. Gak mau saya
repot-repot gitu
R.1, Wiraswasta
Menurut pihak puskesmas, masalah tersebut tidak terletak pada proses administrasi tapi pada
sikap pasien yang tidak ingin repot.
Pasien mereka itu tidak mau menggunakan KTP sebagai prosedur, mereka
lebih memilih bayar 5000, mereka itu mau gampangnya aja, padahal itu nanti
akan ribet kalau sudah dirujuk ke poli di rumah sakit, itu mereka harus bayar
lagi. Kalau tidak punya KTP tidak bisa diuruskan JKBMnyajadi nanti mereka
kelimpungan, tapi nanti bilang puskesmas yang menghambat
R.7, Dokter Puskesmas
2) Waktu yang lama dalam menunggu antrian
Pasien enggan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan ke puskesmas maupun rumah sakit
dikarenakan lamanya menunggu antrian. Hal ini berkaitan dengan kesesuaian jumlah pasien
yang datang dan jumlah dokter yang memberikan pelayanan.
Disuruh saya ke puskesmas itu kan ya waktu ya menunggu-nunggu lagi lama
ya. Ke rumah sakit aja saya jarang. Jarang karena itu dah menunggunya saya
bosan.nanti kalau menunggu sampai dua jam itu saya sudah gak tahan tu
perut lapar tu. Iya biar segera bisa itu sampai langsung diperiksa langsung
sudah bisa makan gitu
R.1, Wiraswasta
.karena pasien malas ke rumah sakit, kenapa? Antriannya lama
R.7, Dokter Puskesmas
Kalau untuk dokternya yang kurang, apalagi kita ada kegiatan di luar, pusling,
p3k
R.10, Pemegang program penyakit tidak menular
Satu hari pasiennya bisa 100, perawatan kurang lebih 5 menit paling lama 10
menit
R. 8, Perawat
6. Sumber Informasi DM
Sumber informasi masyarakat mengenai DM berasal dari televisi dan informasi dari
teman/kerabat yang merupakan pasien DM. Informasi yang didapat responden menjadi alasan
yang menyebabkan mereka memeriksakan diri.
15
Gini, itu dah sudah banyak-banyak kencing dengar di TV kan itu ya saya
kondisinya drop langsung ke dokter.dah itu saya ke teman yang
kena.gimana sih gejalanya kalau-kalau kena penyakit ini kalau sekarang
saya tahu, teman-teman saya di rumah itu kan banyak yang kena diabetes
R.1, Wiraswasta
Ahhhkan saya bilang tadi kalau di TV tu ada tentang gitu iya saya liat kalo
nggak iya tidak tahu.
R.5, Ibu rumah tangga
Masyarakat sekitar itu saya rasa sangat berperan untuk menyebarkan
informasi mengenai kesehatan, kalau ada satu pasien terkena DM menceritakan
ke lingkungan rumah, tetangga, sangat membantu mereka itu segera
memeriksakan diri
R.7, Dokter Puskesmas
7. Ekonomi
Aksesibilitas ekonomi yang memadai cukup terkait dalam penegakan diagnosis suatu penyakit
(Tripp, 2001). Kemudahan mendapatkan akses sarana kesehatan didasarkan atas kemampuan
finansial responden untuk mengakses pelayanan kesehatan.(Notoadmojo, 2007).
Faktor ekonomi berkaitan dengan alokasi dana yang dimiliki responden untuk biaya
pemeriksaan kesehatan. Responden yang memiliki penghasilan tidak tetap menunda
pemeriksaan kesehatan ketika tidak memiliki dana yang memadai. Hal ini dapat diatasi dengan
penggunaan asuransi kesehatan, namun kesadaran
16
satu juta delapan ratus.satu kotak gitu, Iya lebih mahalkalau saya beli obat
itu gak dipikirkan.bukan gak masalah tapi kalau itu dipikirkan.(tertawa)
R.6, Pegawai swasta
8. Sosial dan Budaya
1) Persepsi masyarakat desa mengenai kualitas pelayanan puskesmas
Suatu pandangan berkembang di masyarakat desa bahwa pelayanan di puskesmas tidak sebaik
dokter praktek dan rumah sakit.
Bukan, bukan karena saya tidak percaya puskesmas. Tanggapan di desa itu, di
puskesmas itu masih cuma perawat gitu lah. Gitu ceritanya kalau di desa
sugestinya, kalau ke dokter itu sembuh tapi ke puskesmas itu gak walaupun
obatnya sama
R.6, pertama kali terdiagnosis DM di dokter praktik swasta
10. Kebijakan Pemerintah
1) Penyediaan fasilitas yang mendukung deteksi dini DM
Penyediaan alat untuk mengecek gula darah di Puskesmas Abang I masih disediakan oleh
dokter dan pegawai di Puskesmas dengan menggunakan urunan dana pribadi. Usulan untuk
penyediaan alat sudah disampaikan kepada dinas kesehatan, namun masih belum mendapatkan
tanggapan.
Terus kami tawarkan apakah ingin periksa disini di Puskesmas, dengan
konsekuensi biaya sendiri, karena pemeriksaan gula darah digital kami urunan
di poli untuuk membantu mereka mencari stik dan alatnya, karena tidak
ditanggung oleh dinkes
R.7, Dokter Puskesmas
Sudah diusulkan tapi tergantung di pusatnya.
R.10, pemegang program lansia
2) Jumlah tenaga kesehatan
Selain itu jumlah penyebaran tenaga kesehatan dianggap tidak sesuai dengan jumlah pasien
yang datang, khusunya untuk jumlah dokter umum yaitu hanya satu orang dokter tetap (dokter
PNS) dan satu orang dokter tidak tetap (dokter PTT) dirasakan masih kurang karena terdapat
banyak kegiatan lain selain layanan di poli umum puskesmas yang mengharuskan dokter
bertugas di luar Puskesmas, seperti kegiatan Puskesmas Keliling (pusling), Pos Pelayanan
Terpadu (posyandu), dan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan. Hal ini mempengaruhi durasi
dokter dalam memberikan pelayanan kesehatana, termasuk pemberian KIE.
.dokternya kurang, apalagi kita ada kegiatan di luar, pusling, P3K.
17
18
Nika ampun, berung tiange nak ten seger-seger, lantas ajakin ajak kaponakane
periksa ke puskesmas [itu sudah, luka saya tidak sembuh-sembuh lalu saya
diajak keponakan saya periksa ke puskesmas]
R.4,
Langsung saya ke dokter.keluarga saya sih yang bilang lebih baik ke dokter
langsung daripada tambah parah gitu luka di kaki saya.iya jadi saya langsung
ke puskesmas gitu ceritanya
19
hasil wawancara dengan responden, hanya dua responden yang secara dasar saja mendapat tahu
tentang penyakit DM dengan menonton televisi dan kebanyakan responden yang lain tidak
mengetahui langsung tentang penyakit DM karena kekurangan sumber informasi tanpa adanya
poster dan broshur saat mereka mengunjungi puskesmas. Jadi untuk di depannya, pihak
puskesmas seharusnya lebih banyak berusaha untuk lebih banyak menempelkan poster dan
broshur tentang diabetes mellitus supaya saat pasien menunggu antrian untuk mendapatkan
pelayanan maka mereka dapat mengisi waktu mereka membaca tentang penyakit DM sekaligus
tidak akan bosan menunggu.
Dari segi fasilitas di puskesmas sendiri, alat pemeriksaan kadar gula darah di Puskesmas Abang
I jumlahnya sangat terbatas, yaitu hanya satu alat pemeriksa gula darah digital, yang disediakan
secara swadaya oleh staf di puskesmas. Jadi untuk mengatasi masalah tersebut, dari pihak
puskesmas sendiri bisa membuat proposal ke Dinas Kesehatan untuk meminta menyediakan
fasilitas alat pemeriksaan gula darah yang lebih banyak. Hal ini karena alat pemeriksa kadar
glukosa darah dibutuhkan untuk pelayanan di poli umum puskesmas, untuk program skrining di
Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu), serta untuk program kunjungan rumah pasien yang disebut
dengan Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas). Dikarenakan keterbatasan alat,
pelayanan di poli umum puskesmas lebih diutamakan oleh pihak pusksmas. Program posbindu
dan perkesmas terhambat pelaksanaannya karena tidak dapat dilaksanakan pemeriksaan kadar
glukosa darah sebagai skrining/deteksi dini DM dan memonitor kadar glukosa darah pasien
DM. Dengan adanya alat pemeriksa kadar glukosa darah lebih dari satu maka, semua program
dapat berjalan seperti yang dijadwalkan tanpa hambatan.
Selain itu juga, dari hasil pengamatan peneliti, terdapat beberapa responden yang mengatakan
bahwa edukasi dari dokter di Puskesmas Abang I sendiri tidak begitu efektif dalam menjelaskan
penyakit Diabetes Melitus kepada mereka. Ada responden mengatakan tidak mendapatkan KIE
dari dokter di Puskesmas Abang I pada fase awal sebelum terdiagnosis DM disertai komplikasi
dan pada akhirnya terdiagnosis DM pertama kali telah disertai komplikasi di RSUD
Karangasem. Jadi seharusnya, dokter di puskesmas harus memberikan KIE yang betul, tepat
pada waktunya serta dimengerti oleh pasien yang datang berobat ke puskesmas karena
puskesmas itu sendiri merupakan tempat pelayanan primer yang dikunjungi oleh masyarakat.
20
Dengan memperbaiki dan menguatkan KIE yaitu memberikan penjelasan tentang penyakit
tersebut serta cara pencegahan yang benar kepada pasien oleh dokter, maka tidak akan terjadi
keterlambatan diagnosis DM pada pasien yang beresiko tinggi. Juga perlu diingatkan bahwa
ketika memberikan penjelasan kepada pasien, dokter seharusnya menanamkan kepercayaan
dalam diri pasien tanpa menghilangkan harapan hidup pasien. Ini karena jika pasien yang
datang dengan komplikasi saat pertama kali terdiagnosis dengan DM dan mereka mendapat
penjelasan dari dokter yang membuat mereka menganggap bahwa penyakit mereka tidak bisa
disembuhkan, jadi ini akhirnya akan mengakibatkan mereka memilih jalan alternatif lain yaitu
ke pengobatan non-medis hanya karena KIE dari dokter itu sendiri tidak efektif.
21
BAB VI
SIMPULAN & SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan terdapat beberapa faktor yang Mempengaruhi keterlambatan
diagnosis pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Abang I. Faktor yang mempengaruhi ini
terdiri atas faktor predisposisi (Predisposing factor), faktor pemungkin (Enabling factor) dan
faktor penguat (Reinforcing factor).
Faktor predisposisi yang mempengaruhi keterlambatan diagnosis pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 yaitu:
pengertian, gejala dan faktor risiko, dan pengetahuan mengenai pemeriksaan gula darah yang
masih kurang. Dari segi sikap pasien yang berkaitan persepsi pasien terhadap sehat dan sakitnya
juga didapatkan mempengaruhi keterlambatan diagnosis DM. Perilaku pasien berkaitan dengan
ketepatan waktu pasien untuk mencari pengobatan dan melakukan pemeriksaan kesehatan
dianggap tidak penting. Disini didapatkan pengetahuan dan sikap pasien terkait penyakit DM
yang paling dominan berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis DM.
Faktor pemungkin yang mempengaruhi keterlambatan diagnosis pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 adalah: kemampuan dokter dalam mendiagnosis dan pemberian komunikasi, informasi
baik anjuran deteksi dini, dan edukasi (KIE) kepada pasien masih belum maksimal, tidak
adanya program skrining DM di puskesmas, keterbatasan alat periksa gula darah, program
puskesmas khususnya program penyuluhan mengenai penyakit degenerative masih belum
efektif, dan kebijakan pemerintah terkait sarana dan prasarana puskesmas masih belum
maksimal.
Faktor penguat yang berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 adalah kurangnya dukungan keluarga dalam hal melakukan deteksi dini, hal ini dapat
disebabkan karena pengetahuan dan juga sikap keluarga mengenai penyakit DM masih kurang.
Selain dari faktor-faktor yang disebutkan diatas, ditemukan juga faktor-faktor lain
yang
muncul. Salah satu faktor yang ditemukan adalah faktor ketakutan atau kecemasan pasien yang
tidak memeriksakan kesehatan karena takut mengetahui penyakit yang diderita. Dari faktor lain
yang muncul yaitu sumber informasi mengenai penyakit DM yang berasal dari televisi dan dari
teman/kerabat yang merupakan pasien DM.
22
6.2 Saran
Adapun saran yang dapat kami ajukan adalah sebagai berikut:
1. Pihak puskesmas harus bekerjasama dengan pemegang program PROMKES untuk
merencanakan mekanisme penyuluhan yang lebih baik yaitu dengan cara memutarkan
video-video menarik berkaitan dengan materi penyuluhan daripada hanya ceramah saja
supaya lebih banyak masyarakat mengikuti penyuluhan-penyuluhan yang diadakan di
Banjar maupun di puskesmas supaya masyarakat terhibur dan tidak bosan mendengar
apa yang coba disampaikan oleh penceramah.
2. Pihak Puskesmas Abang I perlu lebih banyak menempelkan poster-poster tentang
penyakit diabetes mellitus dan menyediakan broshur-broshur tentang penyakit DM
supaya masyarakat yang datang ke puskesmas dapat membaca informasi tersebut
sambal menunggu antrian untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
3. Hasil survei penilaian indeks kepuasan pasien lebih baik didiskusikan dengan semua
petugas Puskesmas Abang I sehingga akan adanya evaluasi dan pencarian solusi
terhadap keluhan pasien terkait dengan proses administrasi, kualitas layanan
kesehatan, dan pelaksanaan program puskesmas secara bersama-sama dan bukan dari
satu pihak saja.
4. Pihak puskesmas Abang I harus membuat proposal ke Dinas Kesehatan untuk meminta
menyediakan fasilitas alat pemeriksaan gula darah yang lebih banyak dengan
memandangkan keterbatasan alat tersebut di puskesmas Abang I sehingga menjadi
salah satu faktor keterlambatan diagnosis pasien diabetes mellitus.
5. Dokter yang bertugas harus memberikan KIE yang betul, tepat pada waktunya serta
dimengerti oleh pasien yang datang berobat ke puskesmas. Dengan memperbaiki dan
menguatkan KIE yaitu memberikan penjelasan tentang penyakit tersebut serta cara
pencegahan yang benar kepada pasien oleh dokter, maka tidak akan terjadi
keterlambatan diagnosis DM pada pasien yang beresiko tinggi mengingat terdapat
responden diabetes mellitus yang tidak diberitahukan makanan apa yang harus
dihindari tetapi hanya memberikan obat saja.
DAFTAR PUSTAKA
23
24
Phillips LS, Branch WT, Cook CB, Doyle JP, El-Kebbi IM, Gallina DL, Miller CD, Ziemer DC,
Barnes CS. (2001). Clinical inertia. Ann Int Med.
Saleh et al. (2012). Knowledge and self-care practices regarding diabetes among newly
diagnosed type 2 diabetiks in Bangladesh: a cross-sectional study. BMC Public Health.
Tassier D, Menard J, Fulop T, Ardilouze JL, Roy MA, Dubac N, Dubois MF, Gauthier P.
(2000). Effect of aerobic physical exercise in the elderly with type 2 diabetes mellitus. Archives
of Gerontology and Geriatrics.
Taylor C, Keim KS, Sparrer A, Van Delinder J, Parker S. (2004). Social and cultural barriers to
Diabetes Prevention in Oklahoma American Indian Women. Prev Chronic Dis [serial online]
2004
Apr
[date
cited].
Available
from:
URL:
http://www.cdc.gov/pcd/issues/2004/apr/03_0017.htm.
Tenenbaum A, et al. (1999). Am J Cardiol.
Tjokoprawiro, Askandar. (2006). Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes Mellitus. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Tripp-Reimer, T. and Choi, E. and Kelley, L. S. and Enslein, J, C. (2001) Cultural Barriers to
Care: Inverting the Problem. Diabetes Spectrum, 14(1). Pp. 13-22.
USPSTF. (2008). Screening for type 2 diabetes mellitus in adults: U.S. Preventive Services
Task Force recommendation statement. U.S. Preventive Services Task Force. Annals of Internal
Medicine 148(11):864-854
Wee HL, Ho HK, Li SC. (2001). Public Awarness of Diabetes Melitus in Singapore. Singapore
Med J.
WHO. (2003). Screening for Type 2 Diabetes: Report of a World Health Organization and
International Diabetes Federation meeting. World Health Organization, Geneva.
Zuhaid. M. and Zahir K. K. and Diju I. U. (2012). Knowledge and perceptions
of diabetes in urban and semi urban population of Peshawar, Pakistan. J
Ayub Med Coll Abbottabad.
25
PEDOMAN WAWANCARA
Perkenalan :
Perkenalkan nama saya Anggita/Kumu/Lisa, saya koas fakultas kedokteran universitas udayana
yang sedang menyelesaikan tugas penelitian kami. Saya akan menanyakan beberapa hal terkait
penyakit Bapak/Ibu, nanti seluruh percakapan akan direkam dan akan dicatat oleh teman saya,
lalu ditulis kembali kata per kata karena nama Bapak/Ibu tidak akan dicantumkan. Apakah
Bapak/Ibu bersedia?
Topik
Pertanyaan
Tingkat Pengetahuan
1)
Sebelum
Probing
anda
Sebelum
anda
Sebelum
anda
26
Sebelum
anda
27
Perilaku
.
Pelayanan kesehatan
(wawancara pasien)
Pelayanan kesehatan
28
(FGD)
pengetahuan masyarakat Di
wilayah kerja Puskesmas
Abang I mengenai DM?
2) Menurut apa sajakah yang
menyebabkan keterlambatan
diagnosis DM di Puskesmas
Abang I?
3) Bagaimanakah mekanisme
anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang
sampai pasien terdiagnosis
diabetes mellitus yang
dilakukan oleh dokter?
4) Apakah pasien dengan
risiko diabetes mellitus
disarankan dokter untuk
melakukan pemeriksaan gula
darah?
Akses terhadap pelayanan
kesehatan
Apakah
menurut
orang
yang
mengantarkan
anda
berobat
atau
memeriksakan
diri
ke
29
puskesmas?
Apakah ada
yang
Akses untuk layanan
kesehatan
(FGD)
Fasilitas puskesmas
(FGD)
anda
trasportasi
gunakan
menuju puskesmas?
Apakah ada di wilayah
kerja puskesmas abang I
yang sulit dijangkau untuk
pelayanan kesehatan?
Bagaimanakah ketersediaan,
kecukupan, dan kualitas
fasilitas yang mendukung
deteksi dini DM?
Program puskesmas
(wawancara pasien)
Program puskesmas
(FGD)
Keluarga
30
memeriksakan diri?
Sebelum anda tahu menderita
DM, apakah di keluarga anda
biasa memeriksakan gula
darah?
Apakah di keluarga anda ada
yang menderita DM?
Ekonomi
31
anda?