Analisis Finansial Usahatani Padi Ciherang pada Sistem Tanam Jajar
Legowo di Kecamatan Sungai Tabukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah sentra produksi pertanian khususnya tanaman pangan (padi) dan hortikultura yang secara nasional telah menjadi salah satu yang ditetapkan sebagai lumbung padi. Kabupaten Hulu Sungai Utara merupakan salah satu kabupaten yang penduduknya kebanyakan petani padi. Pada tahun 2010 dari luas tanam, luas panen menempati urutan ketujuh, produksi menempati urutan ke enam (174.842 ton) dan produktivitasnya menempati urutan pertama dari 13 kabupaten (76,19 kw/ha). Peningkatan produktivitas tanaman padi di Kecamatan Sungai Tabukan didukung dengan adanya perubahan pola tanam, sebagian petani sudah melaksanakan pola tanam sistem jajar legowo. Prospek tanaman padi Ciherang cukup besar di daerah ini. Metode penarikan sampel dari penelitian dilakukan secara sampel stratifikasi (stratified sampling) dengan terlebih dahulu mengklasifikasikan populasi berdasarkan jumlah luas lahan yang digunakan petani dalam melakukan usahatani padi ciherang menggunakan pola tanam jajar legowo. Kemudian dari setiap kelompok petani yang sudah diklasifikasikan berdasarkan jumlah luas lahan tersebut diambil 30 persen sebagai sampel. Dari perhitungan dari usahatani padi Ciherang biaya total merupakan penjumlahan dari biaya eksplisit dan biaya implisit yaitu sebesar Rp4.207.776,31. Dengan persentase biaya implisit sebesar 65,21% dan persentase biaya eksplisit sebesar 34,79%. Kemudian dari hasil perhitungan penerimaan diperoleh rata-rata penerimaan pada petani responden padi Ciherang adalah seberar Rp 4.762.500/usahatani. Pendapatan rata-rata petani responden padi Ciherang pada sistem jejar legowo sebesar Rp3.299.445,33/usahatani. Pendapatan tersebut dapat diperoleh hasil yang lebih besar jika petani dapat meningkatkan penerimaan dan menekan biaya eksplisit seperti efisiensi tenaga kerja , pembelian sarana produksi yang murah dan berkualitas serta masa penggunaan alat dan perlengkapan atau barang modal yang relatif lama. Keuntungan diperoleh dari besarnya penerimaan dikurangi dengan biaya total. Sehingga keuntungan yang didapatkan oleh petani responden padi Ciherang pada sistem tanam jajar legowo adalah sebesar Rp555.723,69/usahatani, sedangkan keuntungan rata-rata setiap kilogram yang diterima adalah sebesar Rp342,66/kg. Keuntungan merupakan indikator bagi keberhasilan pelaksanaan usahatani. Banyak faktor yang mempengaruhi keuntungan, diantaranya adalah unsur-unsur biaya, penerimaan, pendapatan dan sebagainya. Makin besar keuntungan makin berhasil pula petani dalam mengelola usahataninya.
Selanjutnya, hasil perhitungan menunjukkan rata-rata RCR (kelayakan)
dari usahatani padi Ciherang pada sistem tanam jajar legowo yang diterima petani adalah 1,12 artinya usahatani padi Ciherang tersebut layak dibudidayakan. Dari hasil usahatani padi Ciherang pada sistem tanam jajar legowo, nilai titik impas dilihat dari volume produksi sebesar 1.253,83 kg/usahatani dan dilihat dari jumlah penerimaan atau hasil penjualan adalah sebesar Rp 4.420.547,93/usahatani. Ini berarti bahwa petani harus menjual harga sesuai harga yang telah ditentukan apabila menjual lebih dari harga maka petani akan rugi.
Perbandingan antar jurnal
Dari kedua jurnal tersebut dapat diketahui bahwa pada jurnal pertama menganalisis tentang pendapatan satu sistem tanam padi yaitu jajar legowo sedangkan pada jurnal kedua merupakan perbandingan program GPS dengan program usahatani konvensional. Pada sistem tanam padi jajar legowo di Kecamatan Sungai Tabukan, menghasilkan pendapatan sebesar 4.420.547,93/usahatani sedangkan pada program GPS adalah sebesar 13.935.817,00 dan pada usahatani konvensional adalah sebesar 9.873.573,00 . Perbedaan yang sangat jauh pendapatan antar jurnal. Hal ini disebabkan karena pada jurnal pertama, pendapatan dihitung pada setiap usahatani atau setiap petani, sedangkan pada jurnal kedua pendapatan dihitung setiap ha nya. Perbedaan ini dikarenakan luas lahan petani tidak semuanya mencapai 1 ha. Rendahnya pendapatan pada petani di Kecamatan Sungai Tabukan tersebut dikarenakan luas lahannya yang tidak terlalu luas dan harga jualnya yang mengikuti peraturan dari Pemerintah agar tidak rugi.
Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sawah pada
Program Gerbang Pangan Serasi Kabupaten Tabanan Kabupaten Tabanan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bali dengan komoditas pertanian andalannya adalah padi sawah dan dikenal sebagai lumbung beras Bali, karena memiliki luas sawah paling luas di Provinsi Bali yang mencapai 27,4% dari total sawah di Bali. Di Kabupaten Tabanan, membentuk program unggulan yaitu Gerbang Pangan Serasi (GPS) guna mempertahankan eksistensi sektor pertanian dan menyambut upaya menuju pertanian organik serta meninggalkan revolusi hijau. Minat petani pindah jalur berusahatani dari sistem konvensional ke sistem usahatani program GPS mayoritas dipengaruhi oleh tingkat pendapatan yang dikatakan meningkat dan dampak positifnya terhadap keberlanjutan kualitas lingkungan.Pemda Kabupaten Tabanan juga mencoba menbuat strategi tambahan berupa jaminan pasar dan harga dasar yang lebih tinggi untuk program GPS. Dari penelitian yang dilakukan, diketahui faktor penghambat program GPS antara lain pembayaran gabah yang sering terlambat (karena gabah dibeli oleh pemerintah melalui lembaga P4S Sriwijaya dan P4S Somia Pertiwi, yang tidak memiliki modal untuk melunasi pembayaran pembelian gabah kering dari petani), produktivitas menurun (karena masa peralihan dan kesuburan tanah belum stabil karena terkontaminasi bahan kimia), dan memerlukan perawatan yang intensif (pemupukan yang lebih intensif dibandingkan dengan usaha tani konvensional). Selain adanya faktor penghambat, terdapat faktor pendorong program gerbang pangan serasi (GPS), antara lain harga lebih tinggi (Harga dasar gabah kering panen program GPS adalah Rp 5.200 per kg, sedangkan pada petani konvensional rata rata Rp 3.417 per kg), rendemen hasil panen lebih berat dibandingkan pada beras usaha tani konvensional (Dari 100 kg gabah kering giling, program GPS menhasilkan 65 kg beras dan pada konvensional hanya mampu menghasilkan 50 kg beras), tanah lebih gembur sehingga pengolahan sawah seperti pembajakan dengan traktor dapat lebih cepat diselesaikan, kebutuhan air untuk mengairi sawah lebih hemat, dan keterediaan pasar yang sudah jelas. Total biaya usaha tani padi sawah program GPS membutuhkan total biaya yang lebih sedikit dibandingkan pada usahatani konvensional. Perbedaannya adalah pada program GPS
lebih menekankan pengeluaran untuk pupuk organik dan
pestisida alami, sedangkan pada usahatani konvensional pengeluaran untuk pupuk kimia dan pestisida kimia. Pada program GPS mengeluarkan biaya sebesar Rp 10.282.683 dan pada petani konvensional pengeluarannya adalah sebesar Rp 10.451.181. Salah satu ukuran penampilan usahatani adalah pendaatan. Dari hasil analisis pendapatan, pada nilai probabilitas biaya yang dikeluarkan adalah sama, karena tidak berbeda terlalu jauh. Sedangkan untuk penerimaan, pendapatan tunai dan pendapatan total menunjukkan probabilitas yang signifikan, dengan pendapatan total program GPS lebih besar yaitu Rp 13.935.817/ha dibandingkan pada usahatani konvensional yaitu Rp 9.873.573/ha. Tingginya pendapatan yang diterima usahatani padi sawah program GPS dikarenakan harga jual GKP program GPS lebih mahal. Perbedaan harga produk kedua jenis ushataani kemudian berpengaruh pada peningkatan penerimaan, pendapatan tunai, dan pendapatan total petani. hasil analisis R/C rasio atas biaya total pada usahatani padi sawah program GPS dan konvensional menguntungkan. Nilai R/C rasio untuk usahatani padi sawah program GPS lebih besar dibandingkan dengan usahatani konvensional. Sehingga dapat disimpulkan bahwa usahatani padi sawah program GPS lebih menguntungkan dibandingkan usahatani konvensional, dan adalah keputusan tepat untuk ikut serta dalam program GPS.