Anda di halaman 1dari 4

Pengusaha Keberatan RUU

CSR
Selasa, 6 Desember 2016 13:41 WIB

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Wakill Presiden Direktur JICT Riza Erivan (tengah) bersama perwakilan Pemkot Jakarta Utara menyapa
anak-anak saat peluncuran program pengembangan dan peningkatan mutu 15 unit Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) di Kantor Walikota Jakarta Utara, Senin (14/11/2016). PT Jakarta International Container
Terminal (JICT) meluncurkan 15 PAUD di Jakarta Utara yang merupakan bagian dari CSR JICT untuk
meningkatkan akses dan mutu pendidikan PAUD di Jakarta Utara
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA- Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang tanggungjawab
sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) yang tengah dibahas Komisi VIII Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai menambah beban pengusaha.
RUU CSR ini masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2017.
"RUU CSR kami pastikan akan menambah beban berat pengusaha daerah," ujar Ketua Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Teddy Karim, Senin
(5/12/2016).

Beban berat itu, kata Teddy, disebabkan semakin banyaknya pos-pos pengenaan pajak yang
ditetapkan pemerintah kepada para pengusaha. Padahal, di sisi lain pemerintah belum optimal
memberikan fasilitas dan pelayanan bagi dunia usaha.
Hal itu, katanya, terlihat dari masih maraknya praktik pungutan liar yang kerap dilakukan oleh
aparat pemerintah. Termasuk juga, praktik korupsi yang masih terjadi pada instansi pemerintah.
"Dalam hal ini, selalu pengusaha yang dirugikan. Dan kini beban berat baru hendak ditambahkan
lagi bagi pengusaha melalui RUU CSR itu. Makin ngeri," ungkap Teddy.
Menurut dia, penetapan tarif CSR dalam RUU tersebut menjadi permasalahan serius bagi dunia
usaha.
Pasalnya, selama ini pemberian CSR merupakan alokasi sukarela dan tidak wajib yang diberikan
perusahaan.
Skema yang ada, CSR diberikan setelah perusahaan mencapai titik keuntungan dan membayar
semua kewajiban-kewajibannya, katanya.
"Perlu juga dipertanyakan apakah CSR nantinya akan mengurangi beban pajak pengusaha secara
over all, atau justru menjadi beban baru. Kalau menjadi beban baru, berarti tidak fair," keluh Teddy.
Lanjutnya, parlemen mudah saja mengatakan beban CSR itu tidak memberatkan pengusaha.
Namun, realisasi di lapangan paling dirasakan oleh pelaku usaha itu sendiri.
Penulis: RH Napitupulu.

Nama:Bima Putra Bagaskara


NIM:15/384220/SP/26932
Analisi berita

Berita yang saya pilih untuk dianalisis berjudul Pengusaha Keberatan RUU CSR,
Berita ini ditulis oleh RH napitupulu di majalah KONTAN yang di lansir oleh tribunnews.com
pada hari selasa tanggal 6 desember 2016.
Inti dari berita ini ialah penolakan Rancangan Undang-Undang CSR oleh kalangan
pengusaha yang kali ini diwakili oleh ketua KADIN (Kamar Dagang Indonesia), Seperti
diketahui sebelumnya akhir-akhir ini DPR sedang menginisiasi pembuatan Undang-Undang
CSR, hal ini dinilai DPR penting untuk dilakukan karena ada banyak perusahaan yang tidak
menjalankan CSR dengan baik. Dalam rancangan undang-undang perusahaan diwajibkan untuk
mengalokasikan anggaran sebesar 2% dari total keuntungan bersih.
Pengusaha menurut pandangan saya masih berpikir profit-oriented dalam arti masih
kurang memikirkan masyarakat dan alam disekitarnya, private sector meerasa keberatan dengan
kewajiban baru yang harus diemban mereka karena sebelumnya mereka juga tetap dibebankan
dengan kewajiban membayar pajak,belum lagi perusahaan tembakau dan alcohol yang dikenai
pajak tambahan, dalam hal ini ketua KADIN beranggapan bahwa dengan membayar pajak
berarti perusahaan telah berkontribusi secara tidak langsung dalam pemerataan pembangunan.

Namun, DPR memiliki keyakinan bahwa sudah seharusnya perusahaan berkontirubusi


secara langsung terhadap masyarakt sekitar dan juga alam, karena apa yang telah perusahaan
lakukan dalam mencari keuntungan ialah dengan mengeksploitasi alam atau bahkan masyarakat
sekitar, Menurut Hamka haz (Anggota DPR Komisi VIII) Pajak merupakan bentuk tangggung
jawab perusahaan terhadap pemerintah, sedangkan CSR merupakan bentuk tanggung jawab
perusahaan terhadap masyarakat sekitar.
Kurangnya komunikasi antara private sector dan state dapat terlihat disini, karena tidak
adanya kesamaan definisi CSR antara kedua belah pihak,hal ini berimbas terhadap
pengaplikasian CSR di lapangan menjadi terbengkalai, UU No 40 Tahun 2007 belum cukup
mengikat perusahaan untuk melakukan kegiatan CSR,sudah seharusnya dibuat UU serta sanksi
yang lebih mengikat, serta diperlukan Kesadaran dari perusahaan dalam melakukan kegiatan
CSR yang memberdayakan masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan, Apabila
perkembangan CSR diluar negeri mengalami peningkatan karena dorongan masyarakat madani,
sepertinya di Negara-negara berkembang sudah seharusnya memberlakukan aturan yang
mengikat seperti layaknya di India.

Anda mungkin juga menyukai