Anda di halaman 1dari 23

KASUS 3 : DUALISME LIGA SEPAKBOLA INDONESIA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Sosial III

Disusun oleh:
Kelompok D1
1. Aldriani Fadila

190110140052

2. Desy Yanti P.

190110140056

3. Annisa Sri Wandini

190110140060

Pembimbing:
Tiara Widyastuti, S. Psi., M. Psi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Paparan Masalah
PSSI (Persatuan Sepakbola seluruh Indonesia) merupakan organisasi
induk dari sepakbola nasional yang membina timnas dan mewadahi pertandinganpertandingan sepakbola di Indoensia. Pertandingan-pertandingan tersebut meliputi
pertandingan di dalam negeri yang diselenggarakan oleh pihak perkumpulan atau
klub sepakbola, pengurus cabang, pengurus daerah yang dituangkan dalam
kalender kegiatan tahunan PSSI sesuai dengan program yang disusun oleh PSSI,
pertandingan di dalam negeri yang diselenggarakan oleh pihak ketiga yang
mendapat izin dari PSSI, pertandingan dalam rangka Pekan Olahraga Daerah
(PORDA) dan pekan Olah Raga Nasional (PON), serta pertandingan-pertandingan
lainnya yang mengikutsertakan peserta dari luar negeri atau atas undangan dari
luar negeri dengan ijin PSSI.
Kepengurusan PSSI pun telah sampai ke pengurusan di tingkat daerahdaerah di seluruh Indonesia, hal ini membuat Sepakbola semakin menjadi
olahraga dari rakyat dan untuk rakyat. Dalam perkembangannya, PSSI telah
menjadi anggota FIFA sejak tanggal tahun 1952, selanjutnya PSSI diterima pula
menjadi anggota AFC (Asian Football Confederation) tahun 1952, bahkan
menjadi pelopor pembentukan AFF (Asean Football Federation) di zaman
kepengurusan Kardono, sehingga Kardono sempat menjadi wakil presiden AFF
untuk selanjutnya Ketua Kehormatan. Pada tahun 1953, PSSI memantapkan
posisinya sebagai organisasi yang berbadan hukum dengan mendaftarkan ke
Departement Kehakiman dan mendapat pengesahan sejak tanggal 2 Februari

1953. PSSI adalah satu - satunya induk organisasi olahraga yang terdaftar dalam
berita Negara sejak 8 tahun setelah Indonesia merdeka.
Sebagai suatu organisasi, PSSI pernah mengalami beberapa gejolak. Salah
satu gejolak yang cukup banyak diperbincangkan di media massa dan cukup
berpengaruh

pada

perkembangan

sepakbola

Nasional

adalah

mengenai

kontroversi Ketua PSSI Nurdin Halid yang terpilih sejak tahun 2003. Beliau
dijerat berbagai kasus kriminalitas, seperti kasus penyelundupan gula dan sempat
menjalankan roda organisasi PSSI dari penjara selama 1 tahun. Ketika masa
jabatannya berakhir tahun 2007, Nurdin kembali terpilih sebagai Ketua Umum
PSSI untuk masa jabatan 2007-2011. Pada proses pemilihan yang melalui
Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub), dia menjadi calon tunggal dalam
pemilihan tersebut.
Usai Munaslub, di tahun yang sama, ia kembali divonis dua tahun penjara
atas kasus tindak pidana korupsi dalam pengadaan minyak goreng. Sejumlah
pihak kemudian mendesak agar Nurdin mundur dari kursi Ketua Umum PSSI, dan
menggelar pemilihan Ketua Umum. FIFA bahkan mengancam akan menjatuhkan
sanksi kepada PSSI jika tidak diselenggarakan pemilihan ulang ketua umum.
Berdasarkan standar statuta FIFA, seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat
sebagai ketua umum sebuah asosiasi sepak bola nasional. Meskipun hal tersebut
terjadi, beliau tetap menjabat sebagai Ketua Umum hingga akhir periodenya tahun
2011.
Indonesia Super League (ISL) selama ini dikenal sebagai liga tertinggi sepak bola
di Indonesia yang diselenggarakan oleh PSSI sejak tahun 2008. Namun saat PSSI

di masa kepemimpinan Nurdin Halid, muncul liga tandingan yang bernama


Indonesia Primer Leauge (IPL) atas gagasan dari pengusaha Arifin Panigoro.
Adanya kompetisi IPL melanggar aturan FIFA, bahwa dalam satu negara harus
memiliki satu pertandingan tertinggi, tidak boleh lebih. Hal tersebut memicu
konflik perseteruan dalam organisasi sepak bola yang ada di Indonesia. Peta
pertarungan sampai di sini sudah jelas siapa saja aktor di balik konflik PSSI, yakni
kubu Nurdin Halid dengan kubu Arifin Panigoro. Konflik yang tak kunjung usai
di tubuh PSSI, membuat FIFA mengeluarkan ancaman akan menjatuhkan sanksi
berat. Kemenpora, KONI atau KOI turut tangan untuk menyelesaikan konflik
tersebut dengan membekukan PSSI. FIFA kemudian mengambil keputusan
dengan membentuk Komite Normalisasi, yang diketuai oleh Agum Gumelar. Jalan
tengah yang diambil KN adalah dengan tidak meloloskan Nurdin Halid maupun
Arifin Panigoro. Dengan berbagai proses akhirnya Komite Normalisasi berhasil
menyelenggarakan kongres dan menetapkan Djohar Arifin sebagai Ketua Umum
PSSI periode 2010 - 2015.
Kepengurusan PSSI di bawah kendali Djohar Arifin juga tidak berjalan
mulus, lantaran banyak keputusannya yang kontroversial, salah satunya adalah
mengenai pergantian IPL menjadi kompetisi yang legal dan ISL menjadi
kompetisi yang ilegal. Selain itu, teradapat penambahan 6 klub yang masuk dalam
divisi tertinggi IPL dan menimbulkan pro dan kontra pada beberapa klub. 6 klub
tersebut merupakan titipan sponsor yang dianggap belum layak menjadi klub yang
berada pada kompetisi tertinggi sepak bola Indonesia. Beberapa klub besar
dengan basis supporter yang kuat berhasil melawan.

Akhirnya terjadilah perpindahan 14 kontestan IPL ke ISL yang tidak puas


dengan penambahan karena menurutnya melanggar statuta. Hasilnya timbulah
dualisme pada klub dari satu daerah di Indonesia, yaitu Persebaya 1927 dengan
Persebaya Wisnu, Arema M Nuh dengan Arema Rendra, Persija (Jakarta FC)
dengan Persija Paulus, PSMS IPL dengan PSMS IS, yang masing-masing
berkompetisi pada liga yang berbeda. Perpindahan ini yang menjadi kesalahan
terbesar IPL, karena klub-klub yang berpindah ke ISL merupakan klub besar yang
sudah tak asing di telinga pecinta sepakbola nasional dan masing-masing memiliki
basis suporter besar. Meskipun ilegal, ISL mempunyai keuntungan karena hak siar
oleh televisi milik bakri grup serta klub dan para pemainnya sudah populer di
mata pecinta bola. Suporter yg fanatik juga menjadi nilai plus keeksisan suatu
klub. Realitanya, dualisme kompetisi yang terjadi membuat sponsor berfikir
berulang kali mau mendanai suatu klub. Sepakbola nasional mengalami krisis
moneter, banyak klub-klub kesulitan di ISL dan ternyata IPL yang berstatus liga
resmi sekalipun juga terjadi hal yang sama. Keterlambatan gaji beberapa klub,
sampai-sampai ada yang menjadi korban, menjadi sorotan media betapa suramnya
sepakbola nasional akibat dualisme PSSI dan kompetisi.

B. Identifikasi Masalah
1. What is the problem?
Masalah dalam kasus ini adalah terdapat banyak konflik internal di
dalam organisasi PSSI, meliputi:

Ketua yang tidak menjadi pemimpin yang seharusnya

Adanya dualisme kompetisi sepakbola, dimana salah satunya ilegal namun


dibiarkan tetap ada

Politik
2. Why is it a problem?
Hal ini menjadi masalah karena konflik tersebut menyebabkan
PSSI terlalu fokus terhadap masalah-masalah yang ada dan sibuk mencari
jalan

keluar,

sehingga

persepakbolaan

Indonesia

menjadi

tidak

berkembang dan minim prestasi. Dualisme yang terjadi juga berpengaruh


pada munculnya dualisme pada klub-klub bola yang berasal dari daerah
yang sama.
3. For whom is it a problem?
Pihak-pihak yang terlibat dalam masalah diatas, yaitu:
Who suffers from the problem
Korban utama dalam masalah ini adalah grup-grup sepak bola di
Indonesia.
Who causes the problem
Kelompok yang menjadi penyebab masalah adalah organisasi PSSI
itu sendiri, terutama kepemimpinan didalamnya.
Who is responsible for tackling the problem
Pihak yang bertanggung jawab terhadap permasalahan ini adalah
PSSI itu sendiri. Selain itu organisasi-organisasi yang berada diatas PSSI
juga turut bertanggungjawab seperti FIFA, Kemenpora, dan KONI.

Pemerintah juga turut bertanggungjawab karena pemerintah memiliki


kekuasaan tertinggi untuk mengatur dan mengambil keputusan terhadap
masalah yang ada. Kemudian psikolog juga memilki tanggungjawab
dalam permasalahan ini, karena dapat membantu memberi pengetahuan
mengenai kepemimpinan yang baik dan efektif dalam suatu organisasi.
4. What are the possible causes of the problem?
Penyebab dari masalah diatas adalah:
-

Gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh para ketua

PSSI selama menjabat


-

FIFA yang kurang tegas dalam menetapkan suatu

aturan dan dalam pemberian sanksi


-

Adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan

sebesar-besarnya
5. What is/are the target group?
Kelompok yang menjadi target intervensi adalah ketua PSSI yang
menjabat pada masanya.
6. What are the key aspects of the problem?
Gaya kepemimpian (leadership) yang digunakan oleh ketua PSSI
tidak mampu untuk menyelesaikan konflik yang ada dan tidak mampu
menghasilkan

prestasi

dalam

persepakbolaan

Indonesia.

Menurut

transformational leadership style seorang pemimpin seharusnya mampu


merangkul dan memotivasi bawahannya untuk dapat bersama-sama
melakukan perubahan.

Masalah dalam kasus ini dapat diselesaikan dengan intervensi


psikologi sosial yaitu dengan melakukan pelatihan mengenai leadership
style supaya dapat mengetahui gaya kepemimpinan yang efektif dalam
suatu organisasi.
7. Problem definition
Terdapat beberapa konflik didalam tubuh PSSI, diantaranya adalah
masalah dalam pemilihan ketua pada masa Nurdin Halid, adanya
dualisme kompetisi sepakbola, dan adanya masalah politik. Konflikkonflik internal tersebut menyebabkan
pada dua oganisasi liga sepak bola Indonesia yaitu IPL dan ISL.
Konflik tersebut disebabkan adanya kompetisi dari tiap organisasi,
kompetisi tersebut didasari oleh adanya motivasi dari kedua organisasi
untuk menjadi organisasi liga sepak bola yang diakui dan dilegalkan
oleh PSSI. Selain itu masalah tersebut juga disebabkan oleh persepsi
kelompok mengenai dirinya sendiri, yaitu merasa lebih pantas dan
layak untuk diakui, dan adanya keinginan untuk memperoleh imbalan
baik berupa uang maupun sponsor. Oleh karena itu, masalah ini dapat
diselesaikan dengan intervensi kepada organisasi IPL dan ISL dengan
intervensi berupa pelatihan mengenai motivasi supaya kedua organisasi
dapat memiliki motivasi yang tepat agar tidak salah dalam bertindak.

BAB 2
TEORI

A. Outcome Variabel
Pemimpin PSSI menggunakan pendekatan tranformational leadership
dalam memimpin organisasi.
B. Generating Explanation
Suatu organisasi dapat bermasalah dan hal tersebut dapat terjadi karena
disebabkan oleh munculnya suatu konflik di dalam organisasi tersebut. Konflik
yang biasanya terjadi dalam suatu organisasi adalah kompetisi antara organisasi
yang satu dan organisasi yang lainnya atau kompertisi di dalam organisasi
tersebut. Selain itu, konflik yang disebabkan oleh kompetisi itu, biasanya
didasarkan pada suatu motivasi atau tujuan tertentu dari anggota organisasi.
Thompson dalam Thoha (1992), merumuskan organisasi dengan
penekanan pada tingkat rasionalitas dalam kerjasama yang terkoordinasi, dengan
menekankan pentingnya pembagian tugas sesuai keahlian masing-masing anggota
organisasi. Sedangkan Robbins (1996), memandang organisasi sebagai kesatuan
sosial, yaitu terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama
lain. Pola interaksi yang diikuti oleh anggota organisasi tidak begitu saja timbul,
melainkan telah dipikirkan terlebih dahulu.

KONFLIK

Konflik dapat terjadi ketika seseorang bersikeras dengan pendapatnya,


saling bergantung satu sama lain, adanya ketidaksamaan tentang pemahaman
tujuan, merasakan kelangkaan sumber daya, membuat kesimpulan yang berbeda
dengan orang lain, adanya orang yang berlawanan sehingga situasinya disebut
konflik, perilaku yang tidak kompatibel, adanya interaksi antagonis, menahan
pihak lain untuk mencapai targetnya. Konflik biasanya disebabkan oleh social
dillemas, kompetisi, adanya ketidakadilan, mispersepsi, mirror image perception,
simplistic thinking, dan shifting perception.
Ada beberapa perspektif tentang konflik, yaitu:
Pandangan Tradisional
Semua konflik merugikan dan harus dihindari.
Pandangan Hubungan Manusia
Konflik merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dielakan.
Pandangan Interaksionis
Konflik penting dan perlu karena dapat menjadi satu kekuatan
positif untuk terjadinya pengembangan, baik individu, kelompok
atau komunitas.
Adapun kondisi-kondisi yang mendukung terjadinya konflik:
Kompetisi sumber-sumber yang terbatas
Interdependensi tugas
Ketidakjelasan jurisdiksi
Kerawanan Status/Posisi

Terdapat beberapa dampak negatif dari terjadinya konflik yaitu dapat


mengganggu komunikasi, menghambat kohesi dan kerja sama, produktifitas
menurun, individu mengalami tekanan, frustrasi, cemas, gangguan tingkah laku,
kepuasan kerja rendah, apatisme, dan menarik diri. Adapun dampak positif dari
adanya suatu konflik yaitu memperkuat ikatan hubungan, meningkatkan
kepercayaan,

meningkatkan

harga

diri,

mempertinggi

kreativitas

dan

produktivitas, berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan meningkatkan


kepuasan kerja.
Terdapat cara untuk dapat menyelesaikan suatu konflik, yaitu:
1. Memperbaiki Hubungan
Mengurangi/menurunkan prasangka dengan membangun pertemanan,
mengupayakan terjadinya kesamaan status, dsb.
2. Membangun Kerjasama
Menetapkan goal yang lebih tinggi mendorong kerjasama
Tantangan bersama akan membangun kohesivitas
Membangun kerjasama akan meningkatkan kohesivitas
3. Komunikasi
Bargaining, tawar menawar untuk menemukan kesepakatan.
Mediasi, melibatkan pihak ketiga untuk memfasilitasi terjadinya komunikasi yang
efektif.
Arbitrasi, melibatkan pihak ketiga untuk menengahi dan mengupayakan
resolusi/penyelesaian konflik, sampai tercapainya persetujuan integratif
4. Konsiliasi

Merupakan strategi yang didesain untuk menurunkan ketegangan


international.

TRANSOFORMATIONAL LEADERSHIP
Kepemimpinan (Leadership) merupakan usaaha yang positif untuk
mempengaruhi/mengarahkan orang lain untuk tetap atau lebih bersemangat
melakukan tugas atau mengubah tingkahlaku mereka.
Transformational Leadership adalah proses memberdayakan pengikut
untuk mencapai tujuan organisasi/kelompok melalui upaya membangun
komitmen, menginspirasi serta memotivasi para pengikut untuk mencapai hasilhasil yang lebih baik daripada yang direncanakan secara orisinil dan juga
merupakan proses di mana pemimpin dan pengikut saling meningkatkan moralitas
dan motivasi mereka untuk mencapai hasil yang lebih baik (Myers, 2013)

Faktor-faktor pengembangan transformational leadership :


Karisma
Pemimpin mampu menanamkan nilai, rasa hormat, kebanggaan dan
mengutarakan visi secara jelas.
Perhatian individual

Pemimpin harus memberi perhatian pada kebutuhan para pengikut dan


memberi mereka tugas untuk menangani proyek-proyek yang berarti agar
para pengikut berkembang sebagai pribadi.
Rangsangan intelektual
Pemimpin membantu para pengikut untuk mengevaluasi secara rasional
suatu hasil atau situasi tertentu. Pemimpin harus mendorong pengikut agar
kreatif.
Penghargaan yang tidak terduga
Pemimpin memberikan kejutan-kejutan yang menyenangkan untuk
memelihara possion pengikut.
Manajemen dan pengecualian
Pemimpin mengijinkan para pengikut untuk mengerjakan tugas lain
kecuali jika target tidak tercapai.

Menurut

Bass

dan

Silin

(dalam

Yukl,

1998:248)

menyatakan

kepemimpinan transformasional terdiri atas empat komponen:


1. Karisma (Idealized Influence - Charisma)
Karisma merupakan komponen penting dalam konsep kepemimpinan
transformasional. Pemimpin karismatik haruslah memiliki kriteria sebagai seorang
yang tinggi tingkat kepercayaan dirinya, kuat keyakinan dan idealismenya serta
mampu mempengaruhi orang lain. Pemimpin yang karismatik pada umumnya
memperoleh perasaan cinta dari anak buah, bahkan bawahan merasa percaya diri
dan saling mempercayai di bawah seorang pemimpin yang karismatik. Bagi

seorang pemimpin karismatik, bawahan menerima pemimpinnya sebagai model


yang diingini setiap saat, tumbuh antusiasme kerja anak buah, mampu membuat
anak buah bekerja lebih lama dengan senang hati. Skala karisma kepemimpinan
transformasional

mendeskripsikan

sejauhmana

pemimpin

menciptakan

antusiasme anak buah, mampu membedakan hal-hal yang benar-benar penting,


serta membangkitkan perasaaan mengemban misi terhadap organisasi. Melalui
karisma,

pemimpin

mengilhami

loyalitas

dan

ketekunan,

menanamkan

kebanggaan dan kesetiaan selain membangkitkan rasa hormat.


Selanjutnya menurut Dubrin (2005:44) Berdasarkan uraian di atas aspekaspek perilaku, bahwa karisma adalah:
Keteladanan
Seorang pemimpin yang menjadi panutan ia harus mempunyai
sikap setia kepada organisasi, kesetiaan kepada bawahan, dedikasi
pada tugas, disiplin kerja, landasan moral dan etika yang
digunakan, kejujuran, perhatian pada kepentingan dan berbagai
nilai-nilai yang bersifat positif.
Berlaku jujur
Pemimpin karismatik adalah orang-orang yang jujur dan terbukan
pada orang lain, tidak kaku, biasanya terus terang dalam
memberikan penilaian atas sesuatu dan situasi. Kebenaran itu
kadang pahit, tetapi tidak melemahkan para pemimpin yang
karismatik (Dubrin, 2005:49).
Kewibawaan

Menurut Fiedler dan Chamers (dalam Wahjusumidjo 2003:428)


bahwa keberhasilan seorang pemimpin dari segi sumber dan
terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada pada para pemimpin,
dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin menggunakan
kewibawaan tersebut kepada bawahannya. Selanjutnya menurut
Wahjosumidjo (2003:433) mengatakan kewibawaan (power)
merupakan keunggulan, kelebihan atau pengaruh yang dimiliki
oleh

pemimpin

unit

kerja.

Kewibawaan

pemimpin

dapat

mempengaruhi orang lain, menggerakan, memberdayakan segala


sumber daya institusi kerja untuk mencapai tujuan institusi sesuai
dengan keinginan pemimpin.

Memiliki semangat
Optimisme dan energi, salah satu kualitas luar biasa dari orang
yang karismatik adalah selalu bersemangat, optimisme, dan energi
setiap saat.
Pujian yang beralasan
Pemimpin karismatik adalah bersifat jujur dan selalu memberi
pujian. Mereka selalu memuji tindakan atau karakteristik yang
layak dipuji. Pujian jujur membuat orang lain merasa senang. Salah
satu ciri pemimpin yang karismatik adalah membuat orang lain
senang (Dubrin, 2005:51).

Menggunakan ekspresi wajah yang hidup


Orang karismatik selalu menunjukkan ekspresi wajah yang hidup
seperti senyum, ekspresi senang.
2. Pertimbangan individual (Individualized Consideration)
Pertimbangan

Individual

Setiap

pemimpin

transformasional

akan

memperhatikan faktor-faktor individual sebagaimana tidak bisa disamaratakan


karena adanya perbedaan, kepentingan, dan pengembangan diri yang berbeda.
Dalam model kepemimpinan transformasional pertimbangan individual diartikan
sebagai perilaku yang mencerminkan suatu kepekaan terhadap keanekaragaman,
keunikan minat, bakat serta mengembangkan diri. Menurut Wahjosumidjo
(2001:24) pertimbangan individu (konsiderasi) adalah menunjukkan perilaku yang
bersahabat, saling adanya kepercayaan, saling menghormati, dan hubungan yang
sangat hangat di dalam kerja sama antara pemimpin dengan anggota kelompok.
Seorang pemimpin transformasional akan memperhatikan faktor-faktor individu
sebagaimana mereka tidak boleh disamaratakan karena adanya: perbedaan,
kepentingan, latar belakang sosial, budaya, dan pengembangan diri yang berbeda
satu dengan yang lain. Artinya, seorang pemimpin akan memberikan perhatian
untuk membina, membimbing, dan melatih setiap orang sesuai dengan
karakteristik individu yang dipimpinnya.
Selanjutnya menurut Bass dan Avolio (dalam Balitbang 2003:29)
mengatakan model kepemimpinan ini mau mendengarkan dengan penuh perhatian
masukan-masukan bawahan (pengikut) serta secara khusus mau memperhatikan
kebutuhan bawahan (pengikut) akan pengembangan karier. Berdasarkan uraian di

atas, kerangka perilakunya adalah: (1) toleransi yang merupakan adanya


penyimpangan-penyimpangan yang diperbolehkan, (2) adil yang artinya tidak
boleh membeda-bedakan sesama karyawan yang ada dalam perusahaan, (3)
pemberdayaan yang menurut Dubrin (2005;150) pemimpin dapat membangun
kepercayaan, keterlibatan, dan kerjasama antar anggota tim, (4) demokratif adalah
keterbukaan dan keinginan memposisikan pekerjaan dari, oleh, dan untuk
bersama, (5) partisifatif artinya melibatkan bawahan dalam pengambilan
keputusan. Pemimpin meminta komentar, pendapat, dan saran-saran dari para
karyawan terhadap apa yang akan dilaksanakan. (6) penghargaan sesuatu yang
diharapkan untuk diperoleh dinamakan penghargaan atau rewards. Secara garis
besar, penghargaan dapat terbagi menjadi dua yaitu: penghargaan instrinsik
(intrinsic rewards) dan penghargaan ekstrinsik (extrinsic rewards). Sule dan
Saefullah (2005:248) mengatakan penghargaan instrinsik adalah sesuatu yang
dirasakan oleh dirinya ketika melakukan sesuatu. Sedangkan penghargaan
ekstrinsik adalah sesuatu yang diterima oleh seseorang dari lingkungan tempat dia
bekerja di mana sesuatu yang diperolehnya sesuai dengan harapannya.
Penghargaan ini dapat berupa penghargaan dari pemimpin dan adanya promosi.
3. Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation)
Dalam kepemimpinan transformasional seorang pemimpin melakukan
stimulasi-stimulasi intelektual. Elemen kepemimpinan ini antara lain kemampuan
seorang pemimpin dalam menciptakan, menafsirkan dan mengelaborasi simbol
yang muncul dalam kehidupan, dan mengajak bawahan untuk berpikir dengan
cara-cara benar. Dalam arti, bawahan dikondisikan pada situasi untuk selalu

bertanya pada diri sendiri dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah


secara bebas. Berdasarkan uraian di atas kerangka perilakunya adalah: (1) Inovatif
Pemimpin unit mengajak para karyawan untuk melakukan sesuatu yang baru atau
menemukan sesuatu yang dalam pengembangan perusahaan ke arah perubahan
sesuai dengan yang ditetapkan. (2) Profesionalisme Job description telah
ditetapkan oleh pemimpin. Pemimpin diharapkan dapat menggiring para
karyawan bekerja ke arah keprofesionalannya dengan memberi teladan bahwa
bekerja keras dan berhasil akan mendatangkan kepuasan hidup yang luar biasa.
(3) Self assessment, pemimpin transformasional selalu mengevaluasi diri atas
tindakan-tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk perbaikan selanjutnya. (4)
Mengembangkan ide baru, selalu mencari ide baru dalam mengembangkan
organisasi

dan

ide

tersebut

disampaikan

kepada

bawahan

untuk

diimplementasikan. (5) Kepemimpinan kolektif adalah kepemimpinan yang


melibatkan para bawahan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam
organisasi. (6) Kreatif, ketika mencoba dan mencoba lagi adalah merupakan awal
dari lahirya kreasi-kreasi baru. Pemimpin unit kerja memberi keteladanan tentang
prinsip

trial

and

error

adalah

bahagian

dari

lahirnya

inovasi-inovasi

kepemimpinan.
4. Motivasi yang menginspirasi (Inspirational motivation)
Pemimpin memberikan arti dan tantangan bagi pengikut dengan maksud
menaikkan semangat dan harapan, menyebarkan visi, komitmen pada tujuan dan
dukungan tim. Kepemimpinan transformasional secara jelas mengkomunikasikan
harapanharapan, yang diinginkan pengikut tercapai. (Bass dan Avolio, 1994,

dalam Yukl, 1998:140). Pemimpin transformasional berperilaku dengan tujuan


untuk memberi motivasi dengan inspirasi terhadap orang-orang disekitarnya.
Perilaku pemimpin inspirasional dapat merangsang antusiasme bawahan terhadap
tugas-tugas kelompok dan dapat mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan
kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan
mencapai tujuan kelompok. Pemimpin transformasional harus dapat berperan
banyak di dalam menstimulasi orang-orang yang terlibat agar menjadi lebih
kreatif dan inovatif di samping dia juga merupakan seorang pendengar yang baik

C. Reducing Explanation
Konflik internal yang terjadi di dalam PSSI tersebut, salah satunya
disebabkan oleh pemimpin PSSI yang tidak dapat memimpin organisasi PSSI ini
dengan baik sehingga organisasi ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Pemimpin PSSI tersebut seharusnya menggunakan pendekatan tranformational
leadership dalam memimpin organisasi. Transformational Leadership adalah
proses memberdayakan pengikut untuk mencapai tujuan organisasi/kelompok
melalui upaya membangun komitmen, menginspirasi serta memotivasi para
pengikut untuk mencapai hasil-hasil yang lebih baik daripada yang direncanakan
secara orisinil. Dalam tranformational leadership, terdapat 4 komponen yang
dapat membantu pemimpin PSSI tersebut untuk dapat mengurus organisasi
tersebut dengan baik sehingga konflik cenderung tidak akan muncul. Komponen
tersebut adalah karisma (Idealized Influence - Charisma), dimana pemimpin
mampu menanamkan nilai, rasa hormat, kebanggaan dan mengutarakan visi

secara

jelas.

Komponen

yang

kedua

adalah

pertimbangan

individual

(Individualized Consideration) di mana pemimpin menunjukkan perilaku yang


bersahabat, saling adanya kepercayaan, saling menghormati, dan hubungan yang
sangat hangat di dalam kerja sama antara pemimpin dengan anggota kelompok.
Komponen yang ketiga adalah stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation) di
mana kemampuan seorang pemimpin dalam menciptakan, menafsirkan dan
mengelaborasi simbol yang muncul dalam kehidupan, dan mengajak bawahan
untuk berpikir dengan cara-cara benar. Komponen yang keempat adalah
inspirational motivation di mana pemimpin memberikan arti dan tantangan bagi
pengikut dengan maksud menaikkan semangat dan harapan, menyebarkan visi,
komitmen pada tujuan dan dukungan tim.
Oleh karena itu, pemimpin yang menggunakan gaya transformational
leadership akan dapat menciptakan sebuah hubungan yang meningkatkan tingkat
motivasi dan moralitas baik untuk dirinya sendiri maupun untuk anggotanya.
Pemimpin PSSI tersebut tidak melakukan transparansi terhadap setiap
keputusannya kepada anggotanya sehingga konflik-konflik internal udah saja
untuk terjadi. Pemimpin PSSI tersebut juga tidak melibatkan anggotanya dalam
keputusan besar yang diambilnya, seperti pada pelegalan IPL tersebut, sehingga
menimbulkan masalah dualism yang terjadi pada liga sepakbola di Indonesia yang
seharusnya tidak terjadi. Sehingga, apabila pemimpin PSSI tersebut menggunakan
transformational leadership maka pemimpin PSSI tersebut akan dapat menjadi
seorang pemimpin yang ini sangat perhatian terhadap kebutuhan dan motif para

anggotanya dan dapat mencoba untuk membantu anggotanya mencapai


kemampuan terbaik dan dapat menjalankan organisasi ini dengan lebih terstruktur.

diindikasikan adanya suatu ketidaksamaan tentang pemahaman tujuan


diantara kedua organisasi tersebut. Dampak negatif yang dihasilkan dari
terjadinya konflik tersebut yaitu dapat mengganggu komunikasi, menghambat
kohesi dan kerja sama, produktifitas menurun, individu mengalami tekanan,
frustrasi, cemas, gangguan tingkah laku, kepuasan kerja rendah, apatisme, dan
menarik diri dari masyarakat. Konflik yang terjadi itu disebabkan oleh adanya
kompetisi di antara kedua organisasi tersebut. Persaingan (competition) adalah
suatu proses sosial ketika ada dua pihak atau lebih saling berlomba dan berbuat
sesuatu untuk mencapai kemenangan tertentu. Dalam kasus ini, kedua
organisasi tersebut berkompetisi untuk memperoleh eksistensi dan dapat
dilegalkan oleh PSSI serta menjadi suatu liga dengan kasta yang tertinggi di
persepakbolaan Indonesia. Kompetisi tersebut terjadi karena adanya need for
power yang tinggi dbandingkan dengan need for achievement dan need for
affiliation. Sehingga bukannya menciptakan prestasi yang baik bagi
persepakbolaan Indonesia, melainkan ISL dan IPL menimbulkan ketidakjelasan
dalam system persepakbolaan Indonesia.

BAB III
PROCESS MODEL

3.1 Diagram Process Model


3.2 Penjelasan Process Model
Pendekatan transformational leadership merupakan

DAFTAR PUSTAKA

Myers, D. G. (2013). Social Psychology 11ed. USA: McGraw-Hill

http://pssi.org/in/read/pssi/Sejarah-PSSI-5773
http://dunia.inilah.com/read/detail/1801104/perbedaan-konsep-ipl-vs-isl
http://media.iyaa.com/article/2016/02/Ada-4-Poin-Terjadinya-Konflik-diPSSI-3435960.html
http://www.kompasiana.com/anam_tujuh_lapan/ipl-isl-dan-dampakdualisme-sepakbola-nasional_551f72178133112e0d9df1c7
https://www.psychologytoday.com/blog/cutting-edgeleadership/200903/are-you-transformational-leader
http://www.leadership-central.com/burns-transformational-leadershiptheory.html#axzz4RzoLM06V

Anda mungkin juga menyukai