EPILEPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat dalam Menjalani
KepaniteraanKlinik Senior pada Bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Disusun oleh :
Fairuz Roji Akbar
Pembimbing :
dr. Ika Marlia, M.Sc, Sp. S
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat
dan hidayah-Nya, tugas Presentasi kasus poli telah dapat diselesaikan. Selanjutnya
shalawat dan salam penulis hanturkan kepangkuan alam Nabi Muhammad SAW yang
telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan.
Adapun judul tugas ini adalah Epilepsi. Tugas ini diajukan sebagai salah
satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF IlmuSaraf
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr. Ika Marlia,
M.Sc, Sp.S yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan
bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kami tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun
daridosen dan teman teman agar tercapai hasil yang lebih baik kelak.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di dunia. Data
World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi menyerang 70 juta dari penduduk
dunia. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial
ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang yang
mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut tergolong tinggi
dibandingkan dengan negara yang maju dimana angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53
per 100.000 penduduk per tahun. Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara 410 per 1000 penderita epilepsy. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka
diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru 250.000 per tahun. Dari berbagai studi
diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per
1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada
dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik klinis yang sering dijumpai. Definisi
epilepsi menurut kelompok studi epilepsi PERDOSSI 2011 adalah suatu keadaan yang
ditandai oleh bangkitan berulang akibat lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron otak secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi, bukan
disebabkan oleh penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah merupakan
suatu penyakit, melainkan suatu kumpulan gejala. Gejala yang paling umum adalah adanya
kejang, karena itu epilepsi juga sering dikenal sebagai penyakit kejang.
Data epilepsi yang dihimpun dari 108 negara mencakup 85,4% dari populasi dunia
terdapat 43.704.000 orang menderita epilepsi. Rata-rata jumlah orang penderita epilepsi per
1000 penduduk 8,93 dari 108 negara responden. Jumlah orang penderita epilepsi per 1000
penduduk berbeda-beda di setiap regional. Sementara itu data di regional Amerika dan Afrika
di dapatkan 12,59 dan 11,29. Data di regional Asia Tenggara di dapatkan sebesar 9,97.
Sedangkan data sebesar 8,23 didapatkan di regional Eropa. Jumlah rata-rata orang epilepsi
per 1000 penduduk berkisar dari 7,99 di negara-negara berpendapatan tinggi dan 9,50 di
negara-negara berpendapatan rendah.
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir
sama, walaupun beberapa penelitian menemukan angka yang lebih tinggi di negara
berkembang. Insidensi epilepsi di berbagai negara bervariasi antara 0,2-0,7%, prevalensinya
bervariasi antara 4-7%, sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 900.000-1.800.000
penderita. Epilepsi merupakan salah satu penyakit syaraf kronik kejang berulang muncul
1
tanpa provokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak
terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai
disfungsi otak. Insidensi epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di
negara berkembang mencapai 100/100.000.
Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40%
adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut
(Purba, 2008). Insidensi epilepsi di negara-negara maju ditemukan 24-53 setiap 100.000
populasi, sementara insidensi epilepsi di negara-negara berkembang 49.3-190 setiap 100.000
populasi. Tingginya insidensi epilepsi di negaranegara berkembang dikarenakan infeksi
susunan saraf pusat, trauma kepala dan morbiditas perinatal. Tingkat insidensi epilepsi
menunjukkan laki-laki lebih sering terjangkit daripada wanita penelitian, yang berkisar antara
41,9 setiap 100.000 populasi laki-laki dan 20,7 setiap 100.000 populasi wanita. Tingkat
insidensi pada laki-laki lebih tinggi merupakan kontribusi faktor resiko dari trauma kepala.
Epilepsi merupakan suatu gangguan serius pada otak dan mengenai hampir 50.000.000
orang di seluruh dunia. Angka insidensinya berkisar antara 30-50 per 100.000 orang
pertahun, dengan puncaknya pada umur kurang dari 2 tahun dan lebih dari 65 tahun. Epilepsi
menghimpun sekitar 1% dari total beban semua penyakit dari seluruh dunia. Data penelitian
menunjukkan 80% beban dari beban ini terdapat pada negara berkembang salah satunya
Indonesia. Di Indonesia angka prevalensi epilepsi tidak jauh berbeda dari negara-negara asia
lainnya, yaitu antara 3,9-5,6/1000 orang. Prevalensi 0,5% dan penduduk 220 juta orang,
terdapat lebih 1,1 juta orang dengan epilepsi di Indonesia. Kualitas hidup yang berhubungan
dengan kesehatan merupakan keseluruhan kondisi status kesehatan seorang pasien, termasuk
kesehatan fisik pasien, sosial, psikologis, dan ekonomi pasien. Penilaian kualitas hidup
dipengaruhi oleh keadaan fisik, mental, sosial, dan emosional. Seorang penderita dengan
epilepsi dapat dinilai kualitas hidupnya berdasarkan salah satu faktor yaitu lama menderita
epilepsi (Duration of epilepsy). Dalam melakukan penilaian kualitas hidup pada penderita
epilepsi dapat menggunakan suatu instrumen yaitu, Quality of Life in Epilepsy (Qolie)).
Lama menderita epilepsi mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi secara keseluruhan.
Hal ini terbukti dengan adanya pengurangan jumlah skor kualitas hidup pada penderita
epilepsi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai
akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik abnormal dan berlebihan dineuro-neuron secara paroksismal, didasari oleh
berbagai factor etiologi. Bangkitan epilepsy adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa
(stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi
secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, onset, jenis bangkitan, factor
pencetus, dan kronisitas. Setelah masa neonatus, penyebab epilepsi mencakup berbagai
keadaan yang didapat, kongenital atau bawaan, diantaranya ada yang khas pada anak-anak
dan beberapa dapat timbul pertama kali pada berbagai usia. Sindroma epileptik yang spesifik
pada anak-anak sangatlah ditentukan oleh umur. Epilepsi yang disebabkan kelainan
metabolik herediter atau kelainan genetik biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, epilepsi
yang disebabkan trauma lahir kadang-kadang timbul pertama kali pada masa dewasa
walaupun hal ini tidak biasa dan sebagian kecil kasus epilepsi umum primer dimulai pada
usia dewasa. Tumor otak tertentu biasanya terdapat pada anak-anak (misalnya
meduloblastoma), lainnya pada orang dewasa (meningioma) dan beberapa penyakit hanya
terdapat pada usia lanjut (misalnya demensia presenilis dan penyakit serebrovaskuler).
Berbagai keadaan lain terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa misalnya trauma infeksi
otak.
2.2 Etiologi
Penyebab epileptik pada umum nya di bagi 3 yaitu :
1) Epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi 50% dari penderita
epilepsi anak umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia >
3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat alat
diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil
2) Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.
3) Epilepsi kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difusi.
Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat
kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak
yang abnormal.
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat dari
adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir
atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
perkembangan anak.
keturunan
seperti
fenilketonuria
(FKU),
sclerosis
tuberose
dan
antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Namun demikian bisa juga terjadi bahwa
sebagian dari neuron bereaksi secara abnormal. Hal ini misalnya terjadi apabila mekanisme
yang mengatur lalu lintas pulsa antar neuron kacau bila braking system dari otak mengalami
gangguan. Antara lain yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah
neurotransmitter kelompok glutamat (yang mendorong ke arah aktivitas berlebihan atau
excitatory) dan kelompok GABA (gamma-aminobutyric acid), yang bersifat menghambat :
inhibitornya.
Kejang epileptik apapun jenisnya selalu di sebabkan oleh transmisi impuls yang
berlebihan didalam otak yang mengikuti pola yang normal. Terjadi apa yang di sebut
sinkronisasi dari pada impuls , sinkronisasi bisa terjadi hanya pada sekelompok kecil neuron
saja atau kelompok yang lebih besar, atau malahan meliputi seluruh neuron di otak secara
serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut dalam proses sinkronisasi ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptiknya. serangan epileptik yang
ditimbulkan juga jadi sangat beragam. Bagaimana cara terjadinya sinkronisasi tidak diketahui
secara tepat.
Secara teoritis ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini :
a. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron penghambat kurang optimal hingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
tidak normal. Otak pasien yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung
konsentrasi GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi
potensial postsinaptik (IPSIs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat
reseptor GABA.
Gamma amino butyric acid (GABA). Suatu hipotesa mengatakan bahwa aktivitas
epileptik disebabkan oleh hilang atau berkurangnya inhibisi oleh GABA. Zat ini
merupakan neurotransmitter inhibitorik utama di otak. Ternyata bahwa sistem GABA
ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan
bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak
lengkap yang akan menambah rangsangan. Ada kesan bahwa peran GABA pada
absence dan pada epilepsi konvulsif tidak sama. Kini belum ada kesepekatan tentang
peran GABA pada epilepsi kronis.
b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan hingga terjadi
pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Kemungkinan lain adalah bahwa fungsi jaringan neuron penghambat normal tapi
sistim pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan
oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak . sampau berapa jauh peran
peningkatan glutamat ini pada orang yang menderita epilepsi belum diketahui secara
pasti. Glutamat sejak lama diakui sebagai zat yang berperan pada sinaps perangsang
di korteks dan hipocampus. Hayashi pada tahun 1954 menemukan bahwa aplikasi
glutamat topikal akan menimbulkan bangkitan paroksimal seperti pada epilepsi. Kini
diketahui bahwa sistem glutamat ini juga terdiri dari beberapa subtip reseptor lagi.
Glycine diperlukan untuk fungsi glutamat sedangkan zinc memblokir pengaruhnya
bila diberikan sebelum serangan dimulai.
2.4 Klasifikasi Epilepsi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsy dibagi atas 2
penyebab yaitu :
Bangkitan Epilepsi
a. Bangkitan parsial
1. Bangkitan parasial sederhana
a. Disertai gejala motor
b. Disertai gejala sensori khusus
c. Disertai gejala kejiwaaan
3. Simtomatik
a. Etiologi non spesifik
1. Ensefalopati mioklonik dini
10
hipokampus
itu
juga dapat
11
Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) biasanya dimulai dengan kelainan
muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah
otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi. Epilepsi primer
generalisata ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak yang luas, yang sejak
awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis epilepsi ini terjadi kejang
sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang konvulsif, terjadi
penurunan kesadaran sementara, kejang otot yang hebat dan sentakan-sentakan di seluruh
tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya pengendalian
kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan
merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama
kejang.
Kejang petit mal, dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum usia 5
tahun. Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grandmal. Penderita hanya
menatap, kelopak matanya bergetar atau otot wajahnya berkedut-kedut selama 10-30
detik. Penderita tidak memberikan respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan
maupun menyentak-nyentak. Status epileptikus, merupakan kejang yang paling serius,
dimana kejang terjadi terus menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu
bernafas sebagaimana mestinya dan muatan listrik didalam otaknya menyebar luas. Jika tidak
segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan penderita biasa
meninggal.
Spame Infatil adalah serangan berupa fleksi atau ekstensi satu kelompok, akut atau
lebih secara mendadak, biasanya terjadi berturutan dan sering disertai dengan teriakan. Satu
dari 3.000 anak terkena serangan ini dan 90% diantaranya terjadi antara usia 3-12 bulan. West
Syndrom bisa dibedakan menjadi dua jenis yaitu simptomatik dan cryptogenik. Jenis
12
13
Penatalaksanaan primer pada penderita epilepsi bertujuan agar kualitas hidup optimal
untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental
yang dimilikinya dapat tercapai. Tujuan tersebut hanya akan dicapai melalui beberapa upaya
yang diolah serta diterapkan secara holistik antara lain adalah menghentikan bangkitan,
mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka
kesakitan dan kematian serta mencegah timbulnya efek samping obat anti epilepsi.
Penderita epilepsi cenderung untuk mengalami serangan kejang secara spontan, tanpa
faktor provokasi yang kuat atau yang nyata. Timbulnya bangkitan kejang yang tidak dapat
diprediksi pada penderita epilepsi selain menyebabkan kerusakan pada otak, dapat pula
menimbulkan cedera atau kecelakaan. Kenyataan inilah yang membuat pentingnya pemberian
antikonvulsan pada pasien epilepsi. Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan
mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan obat ini lebih tepat dinamakan
anti epilepsi sebab jarang digunakan untuk gejala konvulsi penyakit lain.
Terdapat dua mekanisme anti epilepsi yang penting yaitu:
1.
Mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus
2.
epileptik
Mencegah letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi.
Bagian terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan terakhir ini.
Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dipahami dengan baik. Berbagai obat
14
bangkitan parsial sederhana maupun kompleks, sedangkan asam valproat terutama untuk
bangkitan lena maupun bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik klonik.
Golongan obat anti epilepsi
1.
Hidantoin
obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan
kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Fenitoin memiliki range terapetik sempit
sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme
aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na +) yang mengakibatkan influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial
aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5
mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang sering
terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah,
kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk.
Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh
dan nystagmus.Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalahgingival
hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi
resiko gingival hyperplasia.
2.
Barbiturat
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik.
Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang
penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya
menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai
obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan
konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek
15
langsung terhadap reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan
durasi pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain
itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic
GABAergic inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis
pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi
pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan,
mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat
menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit,
danStevens-Johnson syndrome.
3.
Deoksibarbiturat
Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Primidon
mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang primidon hampir sama
dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi
metabolit
aktif
yaitu
fenobarbital
dan
feniletilmalonamid (PEMA).
PEMA dapat
meningkatkan aktifitas fenobarbotal. Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping
yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan,
perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi
4.
Iminostilben
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin
digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik.
Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion
Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh
depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun
16
10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis
pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400
mg 2 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah
gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak
dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut
akan meningkat seiring dengan peningkatan usia.
5.
Suksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan target dari
beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus
berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca 2+ tipe T pada
kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada
kejang absens. Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan
20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6
tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan
muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh,
mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.
6.
Asam valpoat
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens,
kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABA
dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga
berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta
mempengaruhi kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek
samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual,
muntah,anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan
adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat
17
mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan
asam valproat adalah hepatotoksik.Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai
dengan peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai
menyebabkan kerusakan hati.
Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait
penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan
dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan.
Valproat
sendiri
juga
dapat
menghambat
metabolisme
lamotrigin,
fenitoin,
dan
Benzodiazepine
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis
a.
Gabapeptin
Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi
walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati. Uji double-blind
dengan kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa
penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo.
Penurunan nilai median seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan
18
dengan 12% pada plasebo. Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800
mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600
mg/hari). Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme
yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca 2+ tipe
L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe T, N, atau L.
Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terus-menerus.
Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 2535 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari. Efek
samping
yang
sering
dilaporkan
adalah
pusing,
kelelahan,
mengantuk,
dan
ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa
pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan.
b.
Lamotrigin
Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang
memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak menginduksi atau
menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah
blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi
neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari.
Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada
pasien geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan
(penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak).
Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4
minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin.
c. Levitirasetam
Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifatpyrrolidone ((S)-ethyl-2oxo-pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang
19
Topiramat
Lamotrigin
Levetiracetam
Asam valproat
Zonisamid
okskarbanzepin
Tiagabin
Primidon
Fenobarbital
Felbamat
Asam valproat
Lamotrigin
Etosuksimid
Levetiracetam
Lamotrigin,
Klonazepam
topiramat,
felbamat, zonisamid,
20
levetiracetam
Tonik-
Fenitoin
Lamotrigin,
Karbamazepin
topiramat, primidon,
Asam valproat
fenobarbital,
klonik
okskarbanzepin,
Levetiracetam
BAB III
LAPORAN KASUS
21
: Ny NA
Umur
: 32 Tahun
Pekerjaan
: Wiraswast
Agama
: Islam
Status Perkawinan
: Menikah
Alamat
: Sigli
Nomor CM
: 1-11-14-83
Tanggal Pemeriksaan
: 6 Desember 2016
3.2. Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Kejang
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik saraf dengan keluhan kejang. Awalnya kejang pertama kali
dialami pasien sejak 2 tahun yang lalu. Kejang kemudian memberat sejak 2 bulan terakhir.
Keluhan kejang dirasakan secara tiba-tiba ketika pasien ingin tidur. Kejang yang dirasakan
pasien selama 30 menit dengan frekuensi kejang sebanyak satu kali. Kejang dirasakan
terjadi pada seluruh badan pasien. Keluhan mulut berbusa pada saat kejang tidak ada.
Riwayat penurunan kesadaran saat dan setelah kejang tidak ada. Riwayat trauma sebelumnya
tidak ada. Sebelum kejang pasien tidak mengeluhkan melihat seperti kilatan cahaya. Riwayat
demam, mual dan muntah disangkal. Pasien memiliki riwayat hipertensi selama 2 tahun
terakhir 150/90 mmHg, dan tidak mengkonsumsi obat. Riwayat diabetes mellitus tidak ada.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (+), Diabetes Mellitus (-)
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga tidak terdapat adanya keluhan yang sama seperti pasien.
: Sakit ringan
: E4M6V5
: 150/90 mmHg
: 84 x/menit
: 36,5 oC
: 18 x/menit
: 55 kg
: 165 cm
: Kuning langsat
: Cepat kembali
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
Pemeriksaan Kepala
Rambut
Wajah
Mata
sekret (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+), Pupil bulat isokor, 3 mm/3 mm
Telinga
: Serumen (-/-)
Hidung
: Sekret (-/-)
Mulut
o Bibir
: tidak simetris
o Lidah
: Sulit dinilai
o Tonsil
: Sulit dinilai
o Faring
: Sulit dinilai
Pemeriksaan Leher
Inspeksi
Palpasi
Pemeriksaan Thorax
Inspeksi
o Statis : Simetris, bentuk normochest
o Dinamis
: Pernafasan thorakoabdominal, retraksi suprasternal (-),
retraksi intercostal (-), retraksi epigastrium (-)
Paru
Inspeksi
23
Palpasi
Perkusi
Kanan
Fremitus N
Sonor
Kiri
Fremitus N
Sonor
Auskultasi
Vesikuler Normal
Vesikuler Normal
Jantung
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
Ginjal
: Ballotement (-)
Perkusi
Auskultasi
Tulang Belakang
Bentuk
: Simetris
Nyeri tekan
: Tidak ada
Kelenjar Limfe
Pembesaran KGB: Tidak ada
Ekstremitas
Superior
Kanan
Sianosis Oedema Fraktur -
Inferior
Kanan
-
Kiri
-
: E4 M6 V5
Pupil
Reflek Cahaya
24
Kiri
-
Nervus Cranialis
Kelompok Optik
Kanan
Kiri
Nervus II (visual)
-
Visus
Lapangan pandang
Melihat warna
Ukuran
3 mm
3 mm
Bentuk Pupil
bulat
bulat
Reflek cahaya
positif
positif
Nistagmus
negatif
negatif
Strabismus
negatif
negatif
Lateral
Atas
Bawah
Medial
Diplopia
Kelompok Motorik
Nervus V (fungsi motorik)
-
Membuka Mulut
Mengerutkan dahi
Menutup Mata
Menggembungkan pipi
Memperlihatkan gigi
Sudut bibir
Bicara
Reflek menelan
Mengangkat bahu
Memutar kepala
Artikulasi lingualis
Menjulurkan lidah
Kelompok Sensoris
Nervus I (penciuman)
Badan
Motorik
-
Gerakan Respirasi
: Thorakoabdomial
: Kesan simetris
Sensibilitas
-
Rasa Suhu
: Tidak dilakukan
Rasa nyeri
Rasa Raba
5555/5555
Refleks
Kanan
Kiri
Bisceps
++
++
Trisceps
++
++
5555/5555
Kanan
Kiri
Patella
++
++
Achilles
++
++
Babinski
negatif
negatif
Chaddok
negatif
negatif
Gordon
negatif
negatif
Oppenheim
negatif
negatif
26
Kaku Kuduk
negatif
negatif
Kuduk Kaku
negatif
negatif
Sensibilitas
-
Rasa suhu
Rasa nyeri
Rasa raba
: Epilepsi
Diagnosis Topis
Diagnosis Etiologi
Diagnosis Patologi
Diagnosis Sekunder
: Hipertensi
3.8. Penatalaksanaan
1
2
3.9. Prognosis
Quo ad vitam
: Dubia Ad Malam
Quo ad functionam
: Dubia Ad Malam
27
BAB IV
PEMBAHASAN
1.
a.
Diagnosis
Anamnesis
Telah dilakukan
diagnosis klinis Epilepsi. Pada pasien ini, diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien datang ke poliklinik saraf dengan keluhan kejang.
Awalnya kejang pertama kali dialami pasien sejak 2 tahun yang lalu. Kejang kemudian
memberat sejak 2 bulan terakhir. Keluhan kejang dirasakan secara tiba-tiba ketika pasien
ingin tidur. Kejang yang dirasakan pasien selama 30 menit dengan frekuensi kejang
sebanyak satu kali. Kejang dirasakan terjadi pada seluruh badan pasien. Keluhan mulut
berbusa pada saat kejang tidak ada. Riwayat penurunan kesadaran saat dan setelah kejang
tidak ada. Riwayat trauma sebelumnya tidak ada. Sebelum kejang pasien tidak mengeluhkan
melihat seperti kilatan cahaya. Riwayat demam, mual dan muntah disangkal. Pasien memiliki
riwayat hipertensi selama 2 tahun terakhir 150/90 mmHg, dan tidak mengkonsumsi obat.
Riwayat diabetes mellitus tidak ada. .
Berdasarkan anamnesis di atas, gejala klinis yang terdapat pada pasien ini yang
mengarah ke epilepsi adalah sebagai berikut:
-
kejang
28
b.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan:
- Glasgow Coma Scale : E4M5Vx
- Tekanan darah : 150/90 mmHg
- Mata : pupil isokor ukuran 3 mm/3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
- Tanda rangsangan meningeal : tidak ada
- Nervus cranialis : dalam batas normal
- Motorik : ekstremitas atas 5555/5555, ekstremitas bawah 5555/5555
- Sensorik : dalam batas normal
- Reflek fisologis : ++
- Reflek patologis : (-/-)
c.
Pemeriksaan penunjang
Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi
konduksi Ca
2+
secara perlahan.
29
2.
3.
4.
Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5.
Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan
dari
frekuensi
tinggi
peristiwa
aktifasi.
30
hingga
terjadi
pelepasan
impuls
epileptik
berlebihan
juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (
gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials)
adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap
yang akan menambah rangsangan.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau
seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik
( Glutamat ) berlebihan.
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan
antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya
faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi
bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada
abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu
menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan
selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak
penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena
itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.
31
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat
berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia,
yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik.
Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya
dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi
epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit
mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari
serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
2.Hipertensi
Hipertensi merupakan . Walaupun tidak ada nilai pasti korelasi epilepsi dan
peningkatan tekanan darah.
32
BAB III
KESIMPULAN
Stroke adalah gangguan atau disfungsi otak, yang terjadi secara mendadak, baik fokal
atau global, dikarenakan adanya suatu kelainan pembuluh darah otak dengan defisit
neurologis yang terjadi lebih dari 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular.
Stroke biasanya tidak berdiri sendiri, sehingga bila ada kelainan fisiologis yang
menyertai harus diobati misalnya pada pasein stroke dengan gagal jantung, irama jantung
yang tidak teratur, tekanan darah tinggi dan infeksi paru paru. Penegakan diagnosis stroke
haruslah cepat dan tepat, diagnosis stroke dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang seperti pengunaan CT-Scan untuk membedakan tipe
hemoragik maupun penyumbatan
33
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Saraf 2007.
S. William, WM. Chelsea, SE Joseph. Adult onset epilepsies, DW Chadwick. From Cell
to Community-A practical guide to epilepsy. National Society for Epilepsy. 2007. pp
3.
127-132.
GJ Tucker. Textbook Of Traumatic Brain Injury: Seizures. American Psychiatric
4.
5.
Practice. Hagerstown, MD: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. pp. 521524
Coulam CB, Annegers JF. Do anticonvulsants reduce the efficacy of the
6.
7.
5.
Samren EB, van Duijn CM, Koch S, Hiilesmaa VK, Klepel H, Bardy AH, et al.
Maternal use of antiepileptic drugs and the risk of major congenital malformations: a
joint european prospective study of human teratogenesis associated with maternal
8.
9.
34