Anda di halaman 1dari 7

Ada dua peristiwa penegakan hukum yang melambangkan representasi bagaimana

penegakan hukum saat ini dilaksanakan tidak senapas dengan politik hukum yang
dicanangkan oleh pemerintah.
Tertangkapnya tiga hakim tata usaha negara di PTUN Medan- serta satu panitera dan
satu advokat-di saat bulan puasa telah menghebohkan dunia hukum dan lembaga
peradilan Indonesia. Peristiwa lain yang tak kurang mengejutkan dan menghebohkan
adalah ketika dua komisioner Komisi Yudisial dinyatakan sebagai tersangka karena
dianggap mencemarkan nama baik hakim Sarpin Rizaldi, yang mengabulkan gugatan
praperadilan yang diajukan Budi Gunawan.
Seharusnya, dengan dua peristiwa tersebut dan peristiwa lain yang kurang
mencerminkan semangat "Revolusi Mental" dan program pemberantasan korupsi,
Presiden Jokowi tidak begitu saja menyerahkan persoalan penegakan hukum kepada
penegak hukum. Jokowi perlu mengajak diskusi Mahkamah Agung, KPK, KY, dan
organisasi advokat untuk menjelaskan politik hukum pemerintah tentang "Revolusi
Mental" dan program pemberantasan korupsi. Lewat diskusi itu diharapkan misi dan visi
politik hukum pemerintah dapat ditunjang dengan penegakan hukum yang anti korupsi
dan mencerminkan semangat "Revolusi Mental" yang ia dicanangkan.
Pemisahan kekuasaan bukanlah berarti di antara kekuasaan eksekutif dan legislatif
bekerja terpisah secara mutlak, tetapi dapat bersinergi untuk mencapai satu tujuan:
menunjang dan mengegolkan politik hukum pemerintah. Dengan demikian, penegakan
hukum akan selaras dengan "Revolusi Mental" dan program pemberantasan korupsi.
Pemisahan kedua kekuasaan eksekutif dan yudikatif adalah agar saling mengawasi
satu terhadap yang lain, tetapi bukan berarti tidak bekerja sama secara selaras dan
bersinergi.
MA sebagai pengawas para hakim dapat saja minta hakim Sarpin menarik laporannya
tentang pencemaran nama baik oleh kedua komisioner KY karena ada tujuan yang lebih
besar dan penting, yaitu politik hukum pemerintah. Begitu juga MA, Polri, Kejaksaan
Agung, KPK, KY, dan organisasi advokat dapat menuntaskan perkara suap di PTUN

Medan sampai tuntas dengan menjatuhkan sanksi kepada yang bersalah senapas
dengan politik hukum pemerintah.
Membongkar dan menyelesaikan perkara ini secara tuntas diikuti dengan sanksi
administratif bagi tiga hakim dan satu panitera serta pemecatan advokat oleh organisasi
advokat. Penuntasan dan penyelesaian perkara ini ditunggu masyarakat tidak saja
berhenti pada lima pelaku (tersangka) perkara suap itu, tetapi juga membongkar siapa
yang berada di belakang layar dan merekayasa suap tersebut.
Kejar sampai ke akarnya
Di masa lalu sering kali perkara berhenti pada pelaku suap, baik yang menyuap
maupun yang menerima suap, tetapi pencipta skenario itu terabaikan dan tidak dicari
sampai tuntas ke akarnya. Pemberantasan korupsi yang berhenti sampai pada pelaku
saja, tidak membongkar sampai ke akarnya, mencerminkan pemberantasan korupsi
setengah hati dan kemungkinan besar tidak akan sukses ke depannya.
Korupsi yudisial, termasuk suap di lembaga peradilan, sudah menjadi pengetahuan
umum dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, tidaklah berlebihan jika
lembaga peradilan, lembaga penegak hukum, KPK, KY, dan organisasi advokat harus
bekerja sama secara terpadu menghadapi praktik korupsi yang masif dan marak ini.
Sering kali kita mendengar pejabat eksekutif menegaskan untuk tidak campur tangan:
biarlah proses hukum yang berjalan. Pernyataan seperti ini tidak benar seratus persen
karena bagaimana politik hukum pemerintah dapat memberantas korupsi jika program
ini tidak ditunjang oleh seluruh lembaga peradilan, lembaga penegak hukum, Polri,
Kejaksaan Agung, KPK, KY, dan organisasi advokat yang ada. Begitu pula "Revolusi
Mental" harus dijelaskan apa maksud yang sebenarnya. Ini agar ke depan tidak terjadi
lagi hal-hal seperti kedua peristiwa hukum tadi, yang sama sekali tidak mencerminkan
politik hukum memberantas korupsi dan "Revolusi Mental".
Akhir kata, dalam memberantas korupsi yang masif dan marak diperlukan sinergi antara
pemerintah dan lembaga peradilan serta unsur-unsur penegak hukum dan profesi

hukum. Hal ini agar tingkat korupsi di Indonesia dapat ditekan ke tingkat yang serendahrendahnya.
Frans H Winarta
Ketua Umum Peradin; Dewan Penyantun YLBHI

Salah satu tantangan terpenting yang dihadapi Indonesia untuk menjadi negara maju
yang makmur dan adil adalah menanggulangi korupsi yang sudah menggerogoti
lembaga eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif. Hingga kini, tiada negara dengan
korupsi yang meluas dan mendalam berhasil menjadi negara yang makmur, adil, dan
demokratis sejati. Bahkan, Negara China dan India yang selama dua atau tiga
dasawarsa bertumbuh dengan amat pesat juga digerogoti korupsi yang luas, yang
menggerogoti kohesi sosial. Tdak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk
menjawab mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara.
Ada yang mengatakan bahwa korupsi ibarat penyakit kanker ganas yang sifatnya
tidak hanya kronis tetapi juga akut. Korupsi menggerogoti perekonomian sebuah negara
secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek bidang
kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas.

Sesunguhnya korupsi bisa menimpa semua orang tanpa terkecuali tergantung tingkat
kesadaran dan iman dan takwa kepada tuhan yang maha esia. seseorang melakukan
korupsi di pengaruhi banyak hal termasuk pola hidup dan sikap tangung jawap terhadap
amanah yang di pegangnya dan kebutuhan hidup yang sangat mewah sehinga
memperlukan banyak uang. Banyak yang tidak menyadari bahaya korupsi bagi
kelangsungan masa depan bangsa dan negara, karena generasi muda di sekolahsekolah jarang mengingat dan mengetahui sejarah bangsa nya sendiri dan mereka
seakan-akan tidak peduli dengan NKRI yang telah di perjuangkan oleh nenek
moyangnya dulu dan anak muda sekarang lebih mementingkan kepentingankepentingan yang salah daripada mementingkan kemanakah NKRI akan di bawa
nantinya. Penting untuk menghubungkan strategi atau upaya pemberantasan korupsi
dengan melihat karakteristik dari berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan dimana
mereka bekerja atau beroperasi. Tidak ada jawaban, konsep, atau program tunggal
untuk setiap negara atau organisasi. Ada begitu banyak strategi, cara, atau upaya yang
kesemuanya perlu disesuaikan dengan konteks, masyarakat, maupun organisasi yang
dituju. Setiap negara, masyarakat, maupun organisasi perlu mencari cara mereka
sendiri untuk menemukan solusinya. Upaya yang paling tepat memberantas korupsi
adalah dengan memberikan pidana atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi.
Jika memang demikian, bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai
jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi.
Saat ini langkah pemberantasan korupsi di Indonesia terutama ditangani oleh KPK, yang
bekerja sangat keras dengan penuh dedikasi meskipun sering dihalangi oleh banyak
kepentingan bercokol (vested interests) yang merasa terancam oleh sepak terjang KPK.
Ketekunan dan dedikasi para anggota KPK untuk memberantas korupsi harus
diapresiasi. Meskipun demikian, untuk menanggulangi korupsi yang meluas, diperlukan
pendekatan yang lebih sistematik dan tuntas. Ada beberapa tindakan yang perlu dan
dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia, diantaranya adalah menciptakan lingkungan
yang kondusif untuk upaya pemberantasan korupsi. Pemerintah pusat perlu memegang
peran kunci dalam upaya pemberantasan korupsi. Langkah yang perlu ditempuh dalam
kaitan ini, yakni memperkuat akuntabilitas para pelindung akuntabilitas,
menyederhanakan peraturan-peraturan pemerintah pusat dan daerah yang ruwet dan
sering bertentangan satu sama lain, terutama yang membuka peluang untuk kegiatan
pemburuan rente, mengurangi kebijakan pembebasan dari hukuman atau impunitas
serta meningkatkan transparansi karena akuntabilitas tidak bisa dijamin tanpa
transparansi.
Budaya birokrasi yang sering tertutup menciptakan tirai yang menyelubungi kegiatan
korupsi. Tirai ini perlu dibuka seluas-luasnya di negara demokrasi ini untuk mengurangi
korupsi. Suatu undang- undang yang menjamin transparansi merupakan prasyarat
penting dalam upaya mengurangi korupsi. Dalam menangani kasus korupsi, yang harus
disoroti adalah oknum pelaku dan hukum. Kasus korupsi dilakukan oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab sehingga membawa dampak buruk pada nama instansi
hingga pada pemerintah dan negara. Hukum bertujuan untuk mengatur, dan tiap badan
di pemerintahan telah memiliki kewenangan hukum sesuai dengan perundangan yang
ada. Namun, banyak terjadi tumpang tindih kewenangan yang diakibatkan oleh

banyaknya campur tangan politik buruk yang dibawa oleh oknum perorangan maupun
instansi. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional maka mau tidak mau korupsi
harus diberantas, baik dengan cara preventif maupun represif. Penanganan kasus
korupsi harus mampu memberikan efek jera agar tidak terulang kembali. Tidak hanya
demikian, sebagai warga Indonesia kita wajib memiliki budaya malu yang tinggi agar
segala tindakan yang merugikan negara seperti korupsi dapat diminimalisir. Negara kita
adalah negara hukum. Semua warga negara Indonesia memiliki derajat dan perlakuan
yang sama di mata hukum. Maka dalam penindakan hukum bagi pelaku korupsi
haruslah tidak boleh pilih kasih, baik bagi pejabat ataupun masyarakat kecil. Diperlukan
sikap jeli pemerintah dan masyarakat sebagai aktor inti penggerak demokrasi di
Indonesia, terutama dalam memilih para pejabat yang akan menjadi wakil rakyat. Tidak
hanya itu, semua elemen masyarakat juga berhak mengawasi dan melaporkan kepada
institusi terkait jika terindikasi adanya tindak pidana korupsi. Seharusnya korupsi di
hukum mati sehinga para koruptor yang lain berpikir dua kali untuk melakukan korupsi
Nurhali mah Habibah

http://forum.liputan6.com/t/revolusi-mental-dengan-kesadaran-antikorupsi/25147

Jargon revolusi mental dari Presiden Joko Widodo, merupakan hal yang baru dan masih
memerlukan kesiapan proses waktu, managerial dan administratif dan pastinya kesiapan hati nurani
semua elemen masyarakat, terutama pejabat-pejabat sebagai konduktor atau nahkoda di daerah
untuk diaplikasikan.
Provinsi Bali yang merupakan wilayah basis pendukung Jokowi, hampir mencapai 71 persen
kemenangan ketika pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pejabat daerah, khususnya di provinsi
sebagai kordinator kabupaten/kota, seharusnya dapat segera menerjemahkan makna revolusi
mental sebaik mungkin di masyarakat.
Hal ini diungkapkan Pembantu Dekan (PD) III Fakultas Ekonomi Undiksa Singaraja, I Putu Gede
Parma, di mana masyarakat perlu dipertontonkan contoh nyata dari para pejabatnya. Salah satu hal
mendasar dari revolusi mental, melalui program-program yang benar-benar pro rakyat. Di dalamnya
termasuk kesejahteraan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Selain itu, pemberantasan Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN
Law enforcement harus ditingkatkan. Aparat penegak hukum harus berani bertindak tegas
memberantas hukum, tanpa pandang bulu, ujarnya, Minggu (21/12/2014). Dia menerangkan,
kepuasan konsumen, dalam hal ini rakyat, merupakan indikator keberhasilan Pegawai Negeri Sipil
(PNS) di dalam bekerja. Di mana reward and punishment, juga merupakan salah satu alat kontrol
yang tepat bagi kalangan PNS.
Saya setuju dengan program kementrian pendayagunaaan aparatur negara dan RB, yang akan
memformulasikan jumlah gaji take home pay, yang tidak sama pada setiap PNS walaupun mereka
pada golongan pangkat dan masa kerja yang sama. Jadi, di sana akan terasa reward atau
penghargaan bagi PNS yang benar-benar bekerja keras, berprestasi, bersih, dan tulus dalam
melakukan tugasnya, terangnya
Lebih lanjut dikatakan, masyarakat mesti berani kritis menilai kinerja pelayanan PNS. Karena
dominan tipikal masyakat Indonesia, masih menerima-menerima saja pelayanan yang diberikan
walau di bawah standar. Sebagai alat ukur, perlu dibuatkan SOP (standard operational procedure)
yang tepat, baik dan aplikatif pada masing-masing SKPD atau kementrian dari SOP kebijakan paling
atas hingga tataran pelaksanaan dasar pelayanan.
Tujuannya agar PNS memiliki pegangan pasti dalam bekerja dan melayani. Juga harusnya
dilakukan evaluasi terhadap SOP itu. Beberapa SOP kebijakan harus seragam pada setiap daerah,
sementara lainnya bisa menyesuaikan sesuai karakteristik daerah masing-masing, katanya. Dia

menjelaskan, pemberantasan korupsi melalui revolusi mental, sangat perlu dibuat pola whistle
blower di internal SKPD atau kementrian.
Sehingga memiliki kontrol internal selain kontrol eksternal dari para penegak hukum seperti KPK,
kepolisian. PNS akan berpikir seribu kali apabila ingin KKN, jika program internal whistle blower ini
jalan. Model penegakan hukum harus lebih ekstrim terkait revolusi mentalnya pak jokowi ini.
Misalnya bagi aparat atau Pejabat koruptor hukumannya bukan hanya pada dirinya tapi juga
keluarganya
Selai n den gan pe miskina n koru ptor ju ga pe mb atasan hak-h ak in divid u seb aga i
warga neg ara Ind on esia sep erti pe mb atasa n h ak-hak kelu arga korup tor dal am
berpolit ik ata u d igar is mer ah unt uk menj adi PNS, p ungkasn ya. (de wa
kusuma/bali post)

http://balipost.com/read/headline/2014/12/21/27115/berantas-korupsi-lewatrevolusi-mental.html

Anda mungkin juga menyukai