Menganalisis tingkat kesukaran soal artinya mengkaji soal- soal tes dari segi
kesulitanya sehingga dapat di peroleh soal-soal mana yang termasuk
mudah ,sedang dan sukar. Sedangkan menganalisis daya pembeda artinya
mengkaji soal-soal tes dari segi kesanggupan tes tersebut dalam kategori
lemah atau rendah dan kategori kuat atau tinngi prestasinya (Wayan
Nurkancana, 1983; 134).
Perbandingan antara soal mudah sedang sukar bisa di buat 3-4-3. Artinya,
30% soal kategori mudah 40% soal kategori sedang dan 30% lagi soal
kategori sukar.
Di samping itu oleh karena suatu tes dimaksutkan untuk memisahkan antara
murid-murid yang betul-betul mempelajari suatu pelajaran dengan muridmurid yang tidak mempelajari pelajaran itu, maka tes atau item yang baik
adalah tes atau item yang betul-betul dapat memisahkan ke dua golongan
murid tadi. Jadi setiap item disamping harus mempunyai derajat kesukaran
tertentu, juga harus mampu membedakan antara murid yang pandai dengan
murid yang kurang pandai.
Setelah judgment dilakukan oleh guru kemudian soal tersebut di uji cobakan
dan dianalisis apakah judgment tersebut sesuai atau tidak. Cara melakukan
analisis untuk menentukan tingkat kesukaran soal adalah dengan
menggunakan rumus sebagai berikut.
I=
Keterangan:
Kriteria yang digunakan makin kecil indeks yang di peroleh makin sulit soal
tersebut. Sebaliknya makin besar indeks yang diperoleh makin mudah soal
tersebut.
No soal
Tingkat kesukaran so
Pengetahuan
Aplikasi
Mudah
Sedang
Pemahaman
Mudah
Analisis
Sedang
Evaluasi
Sukar
Sitesis
Sukar
Pemahaman
Mudah
Aplikasi
Sedang
Analisis
Sedang
10
Sitesis
Sukar
Kemudian soal tersebut di berikan kepada 10 orang siswa dan tidak seorang
pun yang tidak mengisi seluruh pertanyaan tersebut. Setelah di periksa
hasilnya adalah sebagai berikut.
No soal
Banyakya siswa
yang menjawab
Banyaknya siswa
yang menjawab (B)
Indeks
B
N
(N)
20
18
0,9
20
12
0,6
20
10
0,5
20
20
1,0
20
0,3
20
0,2
20
16
0,8
20
11
0,55
20
17
0,85
10
20
0,25
Dari sebaran di atas ternyata ada tiga soal yang meleset, yakni soal nomor 3
yang semula di proyeksikan kedalam kategori mudah, setelah di coba
ternyata termasuk kedalam kadegori sedang.demikian,juga soal nomor 4
yang semula di proyeksikan sededang ternyata termasuk kedalam kategori
mudah . nomor 9 semula di kategorikan sedang ternyata termasuk kedalam
kategori mudah. Sedangkan tujuh soal yang lainya sesuai dengan proyeksi
semula atas dasar tersebut ketiga soal diatas harus diperbaiki kembali.
Salah satu tujuan analisis kuantitatif soal adalah untuk menentukan dapat
tidaknya suatu soal membedakan kelompok dalam aspek yang di ukur sesuai
dengan perbedaan yang ada dlam kelompok itu.
1.
2.
Nomor soal
No
Peserta
1
2
Aan
Adi
Ana
Andi
Candra
dian
Risma
sasa
titik
10
uun
No
Peserta
Aan
Dian
2
Andi
3
Ana
4
Sasa
5
Candra
6
Titik
7
Uun
8
Adi
9
Risma
10
10
10
10
10
10
Jumlah peserta
Kesukaran
0.00
0.50
0.60
0.60
Keterangan :
Nilai DB akan merentang antara nilai -1,00 hingga +1.00. dengan mengambil
soal comtoh di atas beberapa kondisi soal dapat di jelaskan sebagai berikut:
0.8
contoh : soal nomor 2 semua siswa kelompok atas dapat menjawab benar
dan semua siswa kelompok bawah menjawab salah, maka DB akan + 1,00.
DB dapat di tentukan besarnya dengan rumus sebagi berikut : PT PR
TB
No soal
Kelompok atas
Kelompok bawah
1.00
1.00
1.00
0.00
1.00
0.10
1.00
0.10
0.30
0.60
1.00
0.00
1.00
0.10
0.80
0.10
0.00
1.00
10
0.00
0.00
Kembali pada tingkat kesukaran yang di tunjukkan pada tabel dapat kita lihat
soal no 9 merupakan soal yang sukar bagi kelompok atas tetapi sangat
mudah bagi kelompok bawah soal no 10 merupakan soal yang sangat sukar
baik bagi kelompok atas maupun kelompok bawah. soal nomor 2 dan nomor
6 merupakan soal yang sangat sukar dagi kelompok bawah tetapi relatif
mudah untuk kelompok atas. Perhitungan daya beda sangatlah sederhana
dan menyajikan informasi yang dapat membedakan masing masing
kelompok berdasarkan kemampuan mereka. (engelhart, 1965) . soal nomor 1
dan nomor 10 tidak menujukkan perbedaan antar kelompok. Tidak adanya
perbedaan tingkat kesukaran pada soal nomor 1 dan nomor 10 yang juga
menujukkan bahwa soal tidak dapat menujukkan perbedaan antar kelompok.
Soal no 5 dan no 9 mempunyai indeks dayabeda yang baik, tetapi terbalik.
Tanda negatif no 5 dan no 9 menujukkan bahwa peserta tes yang
kemampuanya tinggi tidak dapat menjawab soal dengan benar , tetapi
peserta tes yang kemampuanya rendah menjawab dengan benar , data
setatistik diatas menunjukkan bahwa soal nomor 5 dan 9 merupakan soal
yang tidak baik, data setatistik menujukkan bahwa soal nomer 2,3,4,6,7 dan
8 merupakan soal yang baik ditinjau dari daya pembeda.
3.
2.Membuat daftar peringkat atau urutan hasil tes berdasarkan sekor yang di
capainya.
6.Menentukan ada tidaknya daya pembeda pada setiap nomor soal dengan
kriteria memiliki daya pembeda.
PENDAHULUAN
Pada saat ini terdapat dua pengukuran yang berkembang dan banyak
digunakan dalam merancang dan menganalisis alat ukur atau tes. Pertama
adalah Teori Tes Klasik yang dikembangkan sejak tahun 1940 dan telah
digunakan secara luas, sedang teori yang kedua adalah Teori Respons Butir,
yang berkembang setelah teknologi komputer berkembang. Teori yang ke
dua ini menggunakan lebih banyak asumsi dibandingkan dengan teori yang
bertama, namun dapat menyajikan informasi lebih banyak.
A. TEORI KLASIK ANALISIS BUTIR SOAL
Pengertian klasik pada Teori Klasik ini menunjukkan pada ukuran waktu.
Teori Klasik analisis butir merupakan teori analisis butir yang pertama kali
Keterangan:
P = indeks kesukaran item
JSB = jumlah testee yang menjawab item dengan benar
JS = jumlah testee yang menjawab item.
Sebagai contoh, dari 100 siswa yang dikenai suatu tes, ternyata item nomor
1 dapat dijawab benar oleh 65 orang di antara mereka, sedangkan selainnya
35 menjawab salah. Maka item nomor 1 tersebut indeks kesukarannya (p)
adalah 65 dibagi 100 = 0,65.
Indeks kesukaran item soal berkisar antara 0,00 hingga 1,00. Semakin
mendekati angka 1,00 menunjukkan item soal tersebut semakin mudah.
Dengan demikian nilai indeks kesukaran item berlawanan arah dengan
tingkat kesukaran, sehingga indeks tersebut lebih tepat dikatakan sebagai
indeks kemudahan dari pada indeks kesukaran. Namun sudah menjadi
0,00 1,00
sukar / sulit mudah
Untuk menentukan taraf kesukaran yang ideal tergantung pada beberapa
faktor, antara lain: sifat hal yang diukur, interkorelasi antara item, tujuan
khusus si perancang tes dan sesebagainya. Apabila tujuab pengukuran itu
adalah untuk pengukuran penguasaan (mastery testing), maka indeks yang
diinginkan adalah 1,00. Namun jika tujuan tes hendak menyeleksi secara
ketat terhadap sejumlah testee, maka diperlukan indeks kesukaran yang
rendah (mendekati nol).
Namun demikian, mengingat pada umumnya tes juga bertujuan untuk
mengetahui tingkat perbedaan kemampuan (competence testing) testee,
kebanyakan ahli berpendapat bahwa tes yang terbaik adalah tes yang terdiri
atas item-item soal yang mempunyai taraf kesukaran sedang (cukup) dan
rentang distribusi kesukarannya kecil, yakni item tes dengan indeks
kesukaran antara 0,30 sampai 0,70 (Mehren, 1973: 329) (Fernandes, 1984:
29) (Sudijono, 1996: 372).
Item soal yang terlalu sulit dengan indeks kesukaran terlalu rendah
(mendekati 0,00) dan item soal yang terlalu mudah dengan indeks
kesukaran tinggi (mendekati 1,00) secara umum tidak banyak memberikan
kontribusi keefektifan suatu tes. Hal ini disebabkan butir soal tersebut tidak
memiliki kemampuan untuk membedakan testee yang berkemampuan tinggi
dengan testee yang berkemampuan rendah. Item soal yang terlalu mudah
akan mampu dijawab benar oleh siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan
rendah. Sebaliknya item soal yang terlalu sulit, kedua kelompok testee
menjawab salah. Dengan demikian daya diskrimansi item tersebut rendah
atau tidak baik.
Perlu diingat bahwa besarnya harga P yang dihitung merupakan indeks
kesukaran item soal bagi seluruh kelompok testee, buka indeks kesukaran
bagi masing-masing testee secara individual. Taraf kesukaran bagi masingmasing testee adalah berbeda-beda dan kita tidak tahu seberapa sulit atau
seberapa mudah suatu item soal bagi siswa. Harga P yang dihitung dalam
kelompok hanya merupakan rata-rata indeks kesukaran bagi seluruh siswa
dalam kelompok itu. Apa yang kita ketahui adalah apabila testee mampu
menjawab benar suatu item soal berarti taraf kesukaran item tersebut lebih
rendah dari pada taraf kemampuannya dalam menjawab. Sebaliknya,
apabila testee salah menjawab suatu item soal berarti bahwa tingkat
kemampuannya lebih rendah dari pada taraf kesukaran item yang
bersangkutan.
2. Daya Beda Item
Terdapat dua konsep daya beda, yang pertama adalah kemampuan suatu
item soal dalam membedakan antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi
/ baik / good student dengan siswa yang memiliki kemampuan rendah / poor
student (Fernandes, 1984: 27). Sementara konsep yang kedua, daya beda
item adalah tingkat kesesuaian antara item soal dengan keseluruhan soal
dalam membedakan antara mereka yang tinggi kemampuannya dan mereka
yang rendah kemampuannya dalam hal yang diukur oleh tes yang
bersangkutan. (Suryabrata, 1997: 100).
Kedua konsep tersebut didasarkan atas asumsi bahwa dalam suatu kelompok
testee terdapat Kelompok Tinggi dan Kelompok Rendah. Suatu item soal
yang baik adalah item soal yang hanya mampu dijawab benar oleh testee
yang memang memiliki kemampuan (Kelompok Tinggi). Kalau proporsi
penjawab benar dari dua kelompok tersebut sama, berarti item soal tersebut
tidak mampu membedakan antara mereka yang berkemampuan tinggi dan
mereka yang kemampuan rendah. Apalagi bila suatu item soal ternyata
justru dapat dijawab benar oleh sebagian besar subyek Kelompok Rendah,
sedangkan sebagian besar subyek Kelompok Tinggi tidak banyak yang
mampu menjawab dengan benar, maka hal itu menunjukkan bahwa item
soal tersebut menyesatkan karena daya diskriminasinya terbalik (minus).
Untuk menghitung Daya Beda antara testee Kelompok Tinggi dengan testee
Kelompok Rendah, pada konsep daya beda yang pertama menggunakan
formula sebagai berikut:
Keterangan:
D = indeks diskriminasi item
BT = jumlah kelompok tinggi yang menjawab benar
JT = jumlah kelompok tinggi
BR = jumlah kelompok renah yang menjawab benar
JR = jumlah kelompok rendah.
Untuk penghitungan indeks daya beda terlebih dahulu testee dipisahkan ke
dalam Kelompok Tinggi dan Kelompok Rendah. Pembagian kelompok ini
didasarkan atas hasil jawaban benar oleh testee terhadap keseluruhan tes.
Testee diurutkan dari yang jumlah jawaban benar tertinggi hingga jumlah
jawaban benar terendah. Apabila jumlah seluruh testee kurang dari 100,
pengelompokan dapat dilakukan dengan membagi seluruh testee menjadi
dua (masing-masing kelompok 50 % = 50 testee). Sedangkan jika testee
berjumlah lebih dari 100, untuk memilih Kelompok Atas dapat diambil 27 %
testee teratas (rankingnya), dan untuk Kelompok Bawah diambil 27 % testee
terbawah (ranking dari bawah), masing-masing kelompok tersebut mewakili
Kelompok Atas dan Bawah.
Besarnya indeks diskriminasi item soal merentang antara -1,00 hingga 1,00.
Klasifikasi tingkat diskriminasi soal serta interpretasinya, menurut Suharsimi
Arikunto (1995: 223) dengan sedikit modofikasi dari penulis, adalah sebagai
berikut:
Interpretasi
Negatif
Sangat jelek
0,00 0,20
Jelek (poor)
0,21 0.40
Cukup (satisfactory)
0,41 0,70
Baik (good)
0,71 1,00
Baik sekali (excellent)
Sementara itu, untuk menghitung daya beda butir soal pada konsep yang
kedua, yakni kesesuaian item dengan keseluruhan tes dalam membedakan
antara mereka yang tinggi kemampuannya dan mereka yang rendah
kemampuannya, teknik yang dipergunakan adalah dengan menggunakan
teknik Korelasi Biserial dan teknik Korelasi Point Biserial. Rumus Korelasi
Biserial yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Xb : rata-rata skor kriteria subyek yang menjawab benar
Xs : rata-rata skor kriteria subyek yang menjawab salah
St : simpangan baku skor kriteria semua subyek
P : proporsi subyek yang menjawab benar terhadap semua subyek
Y : Ordinat dalam kurve normal yang membagi menjadi P dan 1-P
Bagian esensial dalam rumus di atas adalah perbedaan antara kedua ratarata dalam perbandingan dengan simpangan baku. Makin besar perbedaan
kedua rata-rata (Xb Xs) itu akan semakin tinggi korelasi biserial, dan berarti
makin tinggi daya beda soal.
Teknik lain yang biasa digunakan untuk menghitung indeks diskriminasi
adalah teknik Korelasi Point-Biserial (biserial titik), yang formulasinya sebagai
berikut:
Keterangan:
Xb = rata-rata skor kriteria yang menjawab benar
Xs = rata-rata skor kriteria yang menjawab salah
St = simpangan baku skor kriteria total
p = proporsi jawaban benar terhadap semua jawaban
q=1p
Begitu juga dengan skor yang diperoleh testee akan tergantung pada tingkat
kesukaran suatu soal. Seorang siswa akan memiliki tingkat skor tinggi
manakala kepadanya diberikan soal yang mudah (indeks kesukaran tinggi).
Sebaliknya siswa yang sama akan memiliki skor rendah manakala kepadanya
diberikan soal yang sulit (indeks kesukaran rendah).
B. TEORI RESPON BUTIR
Teori Respon Butir merupakan teori analisis butir soal yang berkembang
setelah berkembangnya teknologi komputer. Hal ini disebabkan dalam Teori
Respon Butir memerlukan perhitungan yang lebih rumit, sehingga akan
menjadi kurang efisien dan praktis untuk dilakukan penghitungan secara
manual.
Teori Respon Butir memiliki tiga model, yaitu model satu parameter, dua
parameter dan tiga parameter (Hambleton & Swaminathan, 1991). Model
satu parameter dikenal dengan Model Rasch. Dalam model ini terdapat dua
asumsi, yaitu:
1. Semua butir memiliki daya pembeda yang sama
2. Peluang menjawab butir benar bagi mereka yang memiliki kemampuan
rendah sama dengan 0 (nol).
Dengan kata lain semua kurve karakteristik butir-butir model ini adalah
sejajar atau mendekati sejajar. Oleh karena itu parameter butir pada model
Rasch adalah hanya tingkat kesulitan butir, sedangkan parameter daya
pembeda dianggap sama, dan dugaan pseudo dianggap sama dengan nol.
Persamaan model satu parameter yang dikenal dengan model Rash dapat
ditulis sebagai berikut: