Chapter I PDF
Chapter I PDF
PENDAHULUAN
seksual yang dilakukan oleh seorang gay kepada pasangan gaynya juga terjadi di
tengah-tengah masyarakat kita. Sangat mencengangkan ketika mengetahui fakta
bahwa kekerasan seksual bukan saja dilakukan oleh pasangan heteroseksual atau
pasangan normal (laki-laki dan perempuan) tetapi juga dilakukan oleh pasangan
homoseksual (yang dalam hal ini adalah gay).
Jumlah kekerasan seksual yang terjadi pada pasangan gay juga mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Secara lebih jauh bahkan disebutkan oleh Garbo dalam
penelitiannya tahun 1999 bahwa sekitar 45% korban kekerasan seksual berasal dari
ras Kaukasian, 17% dari ras Latin, 11% dari ras Afrika-Amerika dan 4% dari Asia.
Sedangkan 44% korban kekerasan seksual berusia antara 33 sampai 44 tahun, 21%
berusia antara 23 sampai 29 tahun, 12% berusia antara 45 sampai 64 tahun, 4%
berusia antara 18 sampai 22 tahun dan 1% berusia di bawah 18 tahun atau di atas 65
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pria yang mengalami kekerasan seksual berasal
dari berbagai etnis terutama dari ras Kaukasian dan paling banyak terjadi pada
pasangan dewasa madya (Garbo, 2000).
Salah satu faktor pemicu terbesar terjadinya kekerasan seksual pada pasangan
gay adalah saat salah satu pasangannya didiagnosa mengidap HIV. Pengakuan yang
diceritakan menciptakan kemarahan kepada gay yang didiagnosa mengidap HIV
sehingga kekerasan seksual terjadi. Sisa kasus terjadi karena konflik yang memang
biasa terjadi pada pasangan mana saja, termasuk masalah cemburu dan posesif
dimana gay dikenal lebih posesif dibandingkan individu heteroseksual (Davidson,
1997 dan Spindle, 2003).
Kasus kekerasan seksual pada pasangan gay sangat sulit dideteksi. Hal ini
dikarenakan ketertutupan mereka dalam menjaga identitas dan orientasi seksual
mereka dalam masyarakat. Publik sendiri yang mengetahui hal ini kebanyakan
terkejut karena tidak terlintas sedikitpun dalam benak mereka bahwa kekerasan
seksual bias terjadi pada pasangan gay (Spindle, 2003). Kekerasan seksual yang
terjadi pada pasangan gay seringkali mengakibatkan hal yang lebih fatal
dibandingkan pada pasangan heteroseksual. Beberapa kasus dilaporkan pernah terjadi
dengan melibatkan penggunaan senjata seperti senapan sehingga mengakibatkan luka
serius dan bahkan kematian (Barnes, 2003).
Hanya saja karena ketertutupan yang mereka lakukan, maka sangat sulit bagi gay
yang mengalami tindak kekerasan seksual untuk meminta pertolongan kepada orang
lain. Biasanya reaksi yang tidak mereka harapkan justru terjadi dari orang yang
diminta pertolongan saat mengetahui bahwa kekerasan seksual tersebut terjadi dalam
konteks hubungan homoseksual yaitu gay (Waldner-Haugrud dan Gratch, 1997).
Fakta lain yang terjadi adalah bahwa yang menjadi agresor pada saat
kekerasan seksual terjadi belum tentu dilakukan oleh gay yang memiliki sifat lebih
maskulin. Kadang kala gay yang lebih kecil dan lemah yang justru sanggup
melakukannya. Jika seorang lesbian mengalami tindak kekerasan seksual, maka dia
bisa mengadu pada kelompok perlindungan wanita. Sebaliknya seorang gay akan
mengalami kebingungan karena mereka tidak bisa melakukan hal yang sama ketika
mengalami tindak kekerasan seksual tersebut (Davidson, 1997).
1. Biologis
mempengaruhi seseorang menjadi gay ini masih terus-menerus diteliti dan dikaji
lebih lanjut oleh para pakar di bidangnya.
2. Lingkungan
yang
lebih kuat
3. Figur orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan lawan jenis.
Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama
akan melihat pada orangtua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama
dengannya. Anak laki-laki melihat pada ayahnya dan anak perempuan
melihat pada ibunya. Kemudian mereka juga melihat pada teman bermain
yang berjenis kelamin sama dengannya. Homoseksual terbentuk ketika
anak-anak ini gagal mengidentifikasi dan mengasimilasi apa, siapa dan
bagaimana menjadi dan menjalani peran sesuai dengan identitas seksual
mereka berdasarkan nilai-nilai universal pria dan wanita. Kegagalan
mengidentifikasi
dan
mengasimilasi
identitas
seksual
ini
dapat
kekerasan
seksual.
Kekerasan
seksual
seperti
ini
Kota Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang menuju kota
metropolitan terindikasi sebagai salah satu kota yang keberadaan gaynya cukup
banyak setelah Surabaya dan Jakarta. Keberadaan gay di Kota Medan tentunya sudah
menjadi rahasia umum bagi masyarakat Kota Medan. Hal ini dikarenakan adanya
beberapa tempat di Kota Medan yang diidentikkan sebagai tempat berkumpulnya
para gay Medan, seperti Jalan Iskandar Muda, Jalan Pelangi, Jalan Garuda, Medan
Plaza, Sun Plaza, Hotel Tiara, Warkop Elisabeth, Warkop Harapan, Warkop Panca
Budi dan beberapa club malam di Kota Medan, seperti Retro, Tobasa, LG dan
1. Manfaat Teoritis
Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai kekerasan seksual
pada gay dan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan dan dialami oleh
gay, sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya, serta bermanfaat dalam
pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya Ilmu Sosiologi.
2. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan pengetahuan dalam bentuk bacaan untuk
memperkaya wawasan setiap individu yang membaca hasil penelitian ini dan
menjadi bahan evaluasi diri bagi para gay itu sendiri.
1. Homoseksual
Pada awalnya istilah homoseksual digunakan untuk mendeskripsikan
seorang pria yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya. Namun
dalam
perkembangannya,
istilah
homoseksual
digunakan
untuk
1. Homoseksualitas pertumbuhan
Homoseksualitas pertumbuhan adalah homoseksualitas yang bersifat
sementara. Homoseksualitas ini sangat singkat dan terjadi dalam masa
pertumbuhan anak. Pada masa pubertas anak mulai mengalihkan
perhatiannya dari orangtua kepada orang lain. Namun ketika seorang anak
laki-laki belum berani kepada seorang gadis, maka ia dapat mengarahkan
seksualnya kepada teman lelakinya yang sebaya. Dalam homoseksualitas
pertumbuhan tidak harus terjadi perbuatan-perbuatan seksual, walaupun
terkadang terjadi tindakan seksual tertentu seperti masturbasi berdua.
2. Homoseksualitas darurat
Sama halnya dengan homoseksualitas pertumbuhan, homoseksualitas
darurat juga bersifat sementara. Homoseksualitas darurat terjadi karena
tidak adanya kesempatan untuk melakukan hubungan heteroseksual.
Dalam kondisi tersebut, seorang anak laki-laki yang tidak memiliki
kesempatan melakukan hubungan heteroseksual akan beralih kepada
perilaku homoseksual. Gejala ini akan berhenti ketika kesempatan untuk
melakukan hubungan heteroseksual muncul.
3. Pseudohomoseksualitas
Pseudohomoseksualitas lebih bersifat melayani seorang homoseksual
karena alasan keuangan maupun memiliki ketergantungan terhadap
seorang homoseksual tersebut. Ketika seorang pria berada dalam tekanan
ekonomi dan seorang homoseksual mampu memberikan jaminan
ekonomi kepadanya, maka ia dapat melakukan hubungan homoseksual
demi jaminan ekonomi tersebut.
4. Homoseksualitas kecenderungan
Homoseksualitas ini sangat dipengaruhi oleh pembawaan seseorang. Jika
seorang pria berada dalam keluarga yang mempunyai banyak anggota
keluarga yang homoseksual, maka ia dapat turut melakukan hubungan
homoseksual.
2. Gay
Gay adalah seorang pria atau laki-laki yang memiliki orientasi seksual
sesama jenis atau ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama.
Dengan kata lain menyukai pria atau laki-laki secara emosional dan seksual.
Gay bukan hanya menyangkut kontak seksual antara seorang laki-laki dengan
laki-laki yang lain tetapi juga menyangkut individu yang memiliki
kecenderungan psikologis, emosional dan sosial terhadap laki-laki yang lain.
Gay tetap mengakui identitas jenis kelaminnya sebagai laki-laki, namun
orientasi seksualnya ditujukan kepada laki-laki.
3. Pasangan Gay
Pasangan gay adalah dua orang gay yang menjalin hubungan dalam
suatu ikatan emosional dan seksual. Hal ini dikenal dengan istilah BF (Boy
Friend). Pada kaum gay identitas hubungan seksual sangat penting untuk
diketahui karena hal tersebut membantu bagi seorang gay untuk mencari tipe
pasangan yang diinginkan. Perlu diketahui bahwa pola hubungan seksual pada
gay mempunyai tiga bentuk, antara lain top, bottom dan fire style. Top
merupakan salah satu bentuk hubungan seksual dimana seorang gay hanya
bisa menyodomi dan tidak mau disodomi. Kebalikannya adalah bottom,
dimana seorang gay hanya bisa disodomi dan tidak dapat menyodomi. Untuk
pola hubungan seksual kedua-duanya adalah fire style, dimana seorang gay
mampu menyodomi dan bisa disodomi. Ketika seorang gay sudah mengetahui
dirinya termasuk fire style, top atau bottom, maka dia akan lebih mudah dalam
mencari pasangannya. Hal ini karena ketika seorang gay mencari pasangan
untuk menjalin hubungan baik secara emosional dan seksual biasanya
menanyakan terlebih dahulu calon pasangannya, apakah fire style, top atau
bottom.
4. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan
seksualitas. Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual baik
kekerasan fisik, kekerasan emosional dan kekerasan verbal yang dilakukan
oleh seseorang terhadap pasangannya. Dalam penelitian ini kekerasan seksual
5. Penyimpangan Sosial
Penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilainilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan dan
agama secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada
makhluk sosial. Gay dalam masyarakat luas dikatakan sebagai penyimpangan
sosial karena fenomena gay bertentangan dengan nilai dan norma yang
berlaku dalam kelompok masyarakat. Jadi ukuran yang menjadi dasar bahwa
gay adalah penyimpangan sosial bukan karena baik atau buruk dan benar atau
salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran norma dan
nilai sosial dalam suatu kelompok masyarakat.
hubungan
seksual
yang
mereka
lakukan
adalah
perbuatan
homoseksual.
kontrol sosial yang ada dalam masyarakat berperan sebagai pembatas orientasi
seksual agar tidak menyalahi norma dan nilai yang ada dalam masyarakat.
Ketika muncul pandangan orientasi seksual maka kontrol sosial yang ada
dalam masyarakat akan membatasinya untuk berkembang, dan dalam konteks
yang lebih ekstrim maka setiap pandangan orientasi seksual yang tidak sesuai
dengan norma akan diusahakan untuk dilenyapkan.