Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Balita merupakan kelompok umur yang rawan penyakit, utamanya penyakit
infeksi (Notoatmodjo S, 2005). Salah satu penyakit infeksi pada balita adalah diare
dan ISPA. Diare lebih dominan menyerang balita karena daya tahan tubuh balita
yang masih lemah sehingga balita sangat rentan terhadap penyebaran infeksi
penyebab diare.
Diare merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi
pada anak, terutama pada balita. Menurut Parashar tahun 2007, di dunia terdapat 6
juta balita yang meninggal tiap tahunnya karena penyakit diare. Dimana sebagian
kematian tersebut terjadi di negara berkembang termasukIndonesia (DepkesRI,
2007).
Penyakit diare adalah penyakit yang sangat berbahaya dan terjadi hampir di
seluruh daerah geografis di dunia dan bisa menyerang seluruh kelompok usia baik
laki laki maupun perempuan, tetapi penyakit diare dengan tingkat dehidrasi berat
dengan angka kematian paling tinggi banyak terjadi pada bayi dan balita. Diare dapat
berakibat fatal apabila tidak ditangani secara serius karena tubuh balita sebagian
besar terdiri dari air, sehingga bila terjadi diare sangat mudah terkena dehidrasi
(Depkes, 2010). Di negara berkembang termasukIndonesia anak-anak menderita
diare lebih dari 12 kali per tahun dan hal ini yang menjadi penyebab kematian
sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian (Depkes, 2010).
Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan khususnya di negara
berkembang. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang memiliki

morbiditas dan mortalitas diare yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan
oleh subdit diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000-2010 menemukan
kecenderungan peningkatan insiden diare. Pada tahun 2000 angka kesakitan balita
1.278 per 1.000 penduduk turun menjadi 1.100 per 1.000 penduduk pada tahun 2003.
Namun pada tahun 2006 naik menjadi 1.330 per 1.000 penduduk dan turun kembali
di tahun 2010 menjadi 1.310 per 1.000 penduduk (Buletin diare, 2011).
Kejadian diare balita pada dasarnya dapat dicegah dengan memperhatikan
faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya diare. Pencegahan diare dapat
dilakukan melalui pendekatan epidemiologi untuk menentukan intervensi yang sesuai
yang bisa digunakan untuk melakukan pencegahan diare balita. Pendekatan
epidemiologi yang digunakan untuk pencegahan diare balita meliputi faktor penjamu,
bibit penyakit dan lingkungan. Berbagai faktor tersebut dapat ditekan untuk
mencegah terjadinya diare.
Faktor pada penjamu yang dapat menurunkan insiden diare balita adalah
penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam tatanan rumah tangga
khususnya oleh ibu balita. Kejadian diare balita dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor sosiodemografi ibu balita. Faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan
kejadian diare balita meliputi umur ibu, pendidikan ibu dan pendapatan keluarga.
Umur ibu dapat membantu memastikan hubungan sebab akibat dalam hal hubungan
penyakit (Widyastuti, 2005). Pendidikan ibu memegang peranan cukup penting
dalam kesehatan, dengan pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima
informasi tentang kesehatan menyebabkan ibu peduli terhadap pencegahan diare
balita.

Salah satu pencegahan diare adalah peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) keluarga yang terdiri dari 10 indikator hanya 5 indikator yang diteliti
karena 5 indikator tersebut ada kaitannya dengan kejadian diare balita. PHBS yang
indikatornya berkaitan dengan kejadian diare adalah memberikan ASI eksklusif,
menimbang balita, menggunakan air bersih, mencuci tangan dan menggunakan
jamban.
Upaya yang dilakukan perawat untuk menurunkan angka kejadian diare
berdasarkan pada program yang direncanakan pemerintah. Program kebijakan
pemerintah dalam pengendalian penyakit diare di Indonesia bertujuan untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat diare, penanggulangan dapat
dilakukan dengan lintas program dan lintas sector terkait. Kebijakan yang ditetapkan
pemerintah dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare adalah
melaksanakan tata laksana penderita diare yang sesuai standar, baik di sarana
kesehatan maupun di rumah tangga, melaksanakan surveilans epidemiologi dan
penanggulangan

Kejadian

Luar

Biasa

(KLB),

mengembangkan

pedoman

Pengendalian Penyakit Diare, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas


dalam pengelolaan program yang meliputi aspek manajerial dan teknis medis,
mengembangkan jejaring lintas sektor dan lintas program, pembinaan teknis dan
monitoring pelaksanaan pengendalian penyakit diare serta melaksanakan evaluasi
sabagai dasar perencanaan selanjutnya (Irianti, 2011).
Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan pemerintah meliputi
melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana kesehatan melalui
Lima Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS Diare), meningkatkan tata laksana

penderita diare di rumah tangga yang tepat dan benar, dan penanggulangan KLB
diare, melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang efektif serta melaksanakan
monitoring dan evaluasi (Irianti, 2011). Sampai saat ini upaya untuk pencegahan
diare di tingkat rumah tangga khususnya dalam memberdayakan peran keluarga
belum mencapai tujuan yang diharapkan, karena kejadian penyakit diare masih
belum menurun. Penanganan diare pada balita bukan hanya tanggung jawab
pemerintah saja tetapi masyarakat pun diharapkan dapat ikut serta menanggulangi
dan mencegah terjadinya diare pada balita. Keluarga memiliki peran penting dalam
pencegahan diare (Depkes RI, 2010).
Upaya pencegahan diare salah satu kewenangan perawat komunitas. Peran
perawat komunitas sebagai pendidik, konselor, maupun kolabolator untuk
pencegahan diare. Intervensi keperawatan yang dilakukan memberikan pendidikan
kesehatan tentang diare balita serta PHBS keluarga, pemberdayaan keluarga dalam
penerapan PHBS keluarga, pembentukan kelompok keluarga dengan balita diare
serta kerjasama dengan lintas sektoral dan lintas program terkait pencegahan diare
balita. Model konsep keperawatan yang bisa digunakan adalah Health Belief Model
dimana dalam konsep ini faktor perilaku dan sosiodemografi ibu mempengaruhi ibu
untuk melakukan tindakan pencegahan yaitu melakukan perilaku hidup bersih dan
sehat dalam meminimalkan diare balita (Nurhalinah, 2011).
Berdasarkan data dari Suseda Jawa Barat, pada tahun 2012 sebesar 2,34 %
masyarakat menderita penyakit perut (diare/buang air). Berdasarkan profil kesehatan
Kabupaten Subang Tahun 2011, Penyakit diare berada pada urutan kedua dalam
sepuluh besar penyakit rawat jalan yang datang ke puskesmas pada tahun 2011

dengan jumlah 15.740 penderita ( 9.17 % ). Dan penyakit diare berada pada urutan
pertama dalam sepuluh besar penyakit rawat inap yang dirawat di RSUD Ciereng
kabupaten Subang dengan jumlah penderita 1.022 orang (21.63 %) (Profil Dinas
Kesehatan Kabupaten Subang, 2012).
Berdasarkan hasil survey PHBS yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Subang bersama dengan Puskesmas Compreng di Desa-Desa Wilayah
Kerja Puskesmas Compreng pada bulan Juli 2013 didapatkan hasil sebagai berikut
43,2% termasuk kriteria sehat dan sisanya sebanyak 56,8% masuk kriteria tidak
sehat. Hal ini menunjukkan masih jauh dari target PHBS di wilayah kerja Puskesmas
Compreng sebesar 60%. Selain itu didapat angka hasil survey PHBS tersebut
ternyata penggunaan air bersih baru mencapai 86,3%, penggunaan jamban sehat
sebesar 64 % (Puskesmas Compreng, 2013). Sebagian dari penduduk termasuk
kriteria tidak sehat sehingga dimungkinkan bisa menjadi penyebab tingginya angka
kejadian diare di desa-desa tersebut. Adapun data kejadian diare di wilayah kerja
Puskesmas Compreng Kabupaten Subang pada selama kurun waktu 3 tahun dapat
dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.1
Jumlah Kejadian Diare Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Compreng
Kabupaten Subang Tahun 2011 2013
No
1
2

Desa
Compreng
Mekar Jaya

2011
88
63

Tahun /Jumlah
2012
110
62

2013
139
101

Jumlah
337
226

Kalensari
Jumlah

44
195

64
236

64
304

172
735

Berdasarkan tabel 1.1, jumlah penderita diare pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Compreng pada tahun 2011 sebanyak 195 jiwa, tahun 2012 sebanyak 236
jiwa dan tahun 2013 sebanyak 304 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah
penderita diare mengalami peningkatan selama 3 tahun terakhir (Laporan Puksesmas
Compreng, 2013). Penyakit diare pada balita juga merupakan 10 besar penyakit yang
ditangani di Puskesmas Compreng Kabupaten Subang.
Faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya diare diantaranya
lingkungan, praktik penyapihan yang buruk. Diare dapat menyebar melalui praktikpraktik yang tidak higienis seperti menyiapkan makanan dengan tangan yang belum
dicuci, setelah buang air besar atau membersihkan tinja seorang anak serta
membiarkan seorang anak bermain di daerah dimana ada tinja yang terkontaminasi
bakteri penyebab diare (Depkes, 2010).
Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian diare yaitu tidak
memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan sarana
kebersihan, pembuangan tinja yang tidak higienis, kebersihan perorangan dan
lingkungan yang jelek, serta pengolahan dan penyimpanan makanan yang tidak
semestinya. Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menjadi faktor pendorong terjadinya diare, terdiri dari faktor agent penjamu,
lingkungan dan perilaku. Faktor penjamu yang menyebabkan meningkatnya
kerentanan terhadap diare, diantaranya tidak memberikan ASI selama 2 tahun,
kurang gizi, penyakit campak, dan imunodefisiensi. Faktor lingkungan yang paling
dominan yaitu sarana penyediaan air bersih dan pembuangan tinja, kedua faktor ini

akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak
sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang
tidak sehat pula, maka penularan diare dengan mudah dapat terjadi (Depkes, 2005).
Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 5 September 2013, melalui
Observasi dan wawancara pada 15 keluarga yang mempunyai balita di wilayah kerja
Puskesmas Compreng yaitu dari 15 keluarga menunjukkan 5 keluarga sudah
melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga yang
sehat, namun angka kejadian diare pada balita masih sering terjadi. Sementara 10
keluarga lainnya belum menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di
Rumah Tangga.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa perlu untuk mengadakan
penelitian mengenai hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan
kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Compreng Kabupaten Subang
tahun 2013.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, bahwa diare merupakan
salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama
pada balita. Kejadian diare balita pada dasarnya dapat dicegah dengan
memperhatikan faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya diare. Faktor pada
penjamu yang dapat menurunkan insiden diare balita adalah penerapan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam tatanan rumah tangga khususnya oleh ibu
balita.
Salah satu pencegahan diare adalah peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS) keluarga yang terdiri dari 10 indikator hanya 5 indikator yang diteliti
karena 5 indikator tersebut ada kaitannya dengan kejadian diare balita. PHBS yang
indikatornya berkaitan dengan kejadian diare adalah memberikan ASI eksklusif,
menimbang balita, menggunakan air bersih, mencuci tangan dan menggunakan
jamban. Upaya pencegahan diare salah satu kewenangan perawat komunitas. Peran
perawat komunitas sebagai pendidik, konselor, maupun kolabolator untuk
pencegahan diare.
Berdasarkan hasil survey PHBS yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Subang bersama dengan Puskesmas Compreng di Desa-Desa Wilayah
Kerja Puskesmas Compreng pada bulan Juli 2013 didapatkan hasil sebagai berikut
43,2% termasuk kriteria sehat dan sisanya sebanyak 56,8% masuk kriteria tidak
sehat. Berdasar pada angka hasil survey PHBS tersebut ternyata penggunaan air
bersih baru mencapai 86,3%, penggunaan jamban sehat sebesar 64 % .
Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah
ada hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan kejadian diare
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Compreng Kabupaten Subang tahun 2013 ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS) dengan kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Compreng
Kabupaten Subang tahun 2013.

2. Tujuan Khusus
Penelitian ini memiliki tujuan khusus sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
b. Mengidentifikasi kejadian diare pada balita.
c. Mengidentifikasi hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan kejadian
diare pada balita.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat khususnya bagi peneliti dan pihakpihak terkait baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai salah satu sumber informasi tentang hubungan antara Perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS) dengan kejadian dan upaya pencegahan penyakit diare pada balita.
b. Sebagai pengembangan dari ilmu keperawatan khususnya keperawatan komunitas
tentang hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan kejadian diare
pada balita, upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Instansi terkait (Puskesmas dan Dinas Kesehatan)
1)
Memberikan masukan dalam membuat kebijakan untuk neningkatkan
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat khususnya dalam mengatasi
masalah diare.
2)

Sebagai masukan dalam merencanakan program untuk upaya pencegahan


penyakit diare di masyarakat.
b. Bagi masyarakat / keluarga
Menimbulkan kesadaran pada keluarga atau masyarakat akan pentingnya
upaya pencegahan penyakit diare, serta kecepatan dan ketepatan dalam memberikan
pertolongan baik secara mandiri maupun dengan memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan yang tersedia.
E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada masalah perilaku hidup bersih dan
sehat terdiri dari 5 indikator yang ada kaitannya dengan kejadian diare balita antara
lain memberikan ASI eksklusif, menimbang balita, menggunakan air bersih, mencuci
tangan dan menggunakan jamban. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif
korelational dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian ini adalah seluruh
ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Compreng Kabupaten Subang. Populasi dalam
penelitian ini sebanyak 928 ibu balita dan jumlah sampel sebanyak 90 responden
yang diambil secara acak sederhana. Lokasi dan waktu penelitian dilakukan di Desa
Compreng, Mekar Jaya, dan Kalensari wilayah kerja Puskesmas Compreng
Kabupaten Subang pada bulan Oktober 2013. Instrumen penelitian yang digunakan
adalah kuesioner.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang
bersangkutan, apabila dilihat dari segi biologis. Secara lebih jelas perilaku (manusia)
adalah semua kegiatan atau aktivitas, baik yang dapat diamati langsung, maupun
yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Notoatmodjo (2007) yang
mengutip pendapat Skinner, seorang ahli psikologi mengatakan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
organisme, kemudian organisme tersebut merespon, sehingga teori Skiner ini disebut
teori S-O-R, atau stimulus Organisme Respons.

10

Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan


adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang
berkaiatan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
minuman,

serta

lingkungan.

Dari

batasan

ini,

perilaku

kesehatan

dapat

diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.


1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintenance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab
itu, perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek yaitu :
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan
kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Maksudnya
adalah bahwa kesehatan ini sangat dinamis dan relative, sehinga orang yang sehat
juga perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memeliharan
serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman
dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang. Hal ini sangat tergantung
pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman (Notoatmodjo, 2007).
2. Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem/Fasilitas Pelayanan atau Perilaku
Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behavior)
Perilaku ini adalah mengenai upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari
mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

11

3. Perilaku Kesehatan Lingkungan


Bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi
kesehatannya. Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya
sehingga tidak menganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya.
Misalnya bagaimana pengelolaan pembuangan limbah, pengelolaan sampah dan
sebagainya.
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena
perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal
(lingkungan). Secara garis besar perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek, yakni
aspek fisik, psikis dan sosial. akan tetapi dari ketiga aspek tersebut sulit untuk ditarik
garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terperinci,
perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan,
seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan
sebaginya (Notoatmodjo, 2007).
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau
bulan yang lalu (recall). Pengukuran dapat juga dilakukan secara langsung yakni
dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2007).
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut analisis Green dalam Notoatmodjo (20073) bahwa perilaku manusia
berangkat dari tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh 3 faktor
yaitu:

12

a.

Faktor Predisposisi, yang mewujud dalam pengetahuan, kepercayaan,


sikap, nilai dan sebagainya. Varietas faktor demografi seperti umur, status sosial,
jenis kelamin, pendidikan, dan ukuran keluarga adalah faktor predisposisi perilaku
namun tidak dimasukkan ke dalam faktor predisposisi karena tidak membawa
pengaruh secara langsung bagi program promosi kesehatan.

b.

Faktor pendukung, yang terwujud dalam lingkungan fisik, fasilitas, sarana


kesehatan, keterjangkauan, atau kemampuan sumber daya masyarakat. Biaya, jarak,
transportasi yang tersedia juga merupakan faktor pendukung terjadinya perilaku.

c.

Faktor Pendorong, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas


kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat, dukungan sosial, pengaruh teman sebaya, dan juga nasehat atau umpan
balik pelayanan kesehatan. Dengan demikian perilaku seseorang atau masyarakat
tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dari
orang atau masyarakat yang bersangkutan di samping ketersediaan fasilitas serta
perilaku petuhas terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku.
B. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
1. Pengertian
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah semua perilaku kesehatan
yang dilakukan atas dasar kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat
menolong dirinya sendiri dalam hal kesehtan dan berperan aktif dalam kegiatankegiatan kesehatan di masyarakat. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di Rumah
Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar memahami

13

dan mampu melaksanakan Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta berperan
aktif dalam Gerakan Kesehatan di masyrakat (DepkesRI, 2010).
2. Komponen PHBS
Rumah tangga sehat adalah rumah tangga yang melakukan komponenkomponen PHBS yang meliputi:

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
3.
a.
1)
2)
3)

Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan


Memberi bayi ASI eksklusif
Menimbang bayi dan balita
Menggunakan air bersih
Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
Menggunakan jamban sehat
Memberantas jentik nyamuk
Makan buah dan sayur setiap hari
Melakukan aktivitas fisik setiap hari
Tidak merokok di dalam rumah (DepkesRI, 2010).
Manfaat PHBS
Bagi keluarga
Menjadikan anggota keluarga lebih sehat dan tidak mudah sakit
Anggota keluarga lebih giat dalam bekerja
Pengeluaran biaya rumah tangga dapat ditujukan untuk memenuhi gizi

keluarga, pendidikan dan modal usaha untuk menambah pendapatan keluarga.


b. Bagi masyarakat.
1) Mampu mengupayakan lingkungan sehat.
2) Mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan.
3) Memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
4)

Mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat


(UKBM) seperti Posyandu, tabungan ibu bersalin (Tabulin), arisan jamban, ambulan
desa (DepkesRI, 2010).
4. Kriteria penilaian PHBS

14

Rumah tangga termasuk kriteria sehat apabila memenuhi nilai 10 (sepuluh)


atau mempunyai perilaku positif pada setiap komponen PHBS dan dikatakan tidak
sehat apabila salah satu dari sepuluh komponen PHBS ada yang nilai 0 (nol) atau
perilaku negatif (DepkesRI, 2010).
C. Konsep Penyakit Diare
1. Definisi penyakit diare
Diare adalah buang air besar lembek atau cair dapat berupa air saja yang
frekwensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari)
(DepkesRI, 2010). Sedangkan menurut Widjaja (2005), diare diartikan sebagai buang
air encer lebih dari empat kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak.
Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anak-anak) peringkat
pertama diIndonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik balita, anakanak dan orang dewasa. Menurut Depkes (2010) diare adalah suatu keadaan
pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti biasanya, ditandai dengan
peningkatan volume keenceran, serta frekwensi lebih dari 3 kali sehari pada anak dan
pada bayi lebih dari 4 kali sehari dengan atau tanpa lendir darah. Menurut Mansjoer
A (2005), diare adalah buang air besar dengan konsistensi encer atau cair dan lebih
dari 3 kali sehari. Diare menurut Ngastiyah (2005) adalah keadaan frekwensi buang
air besar lebih dari 4 kali sehari pada bayi dan lebih dari 3 kali sehari pada anak,
konsistensi faeces encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan
darah atau lendir saja.

2. Etiologi

15

Menurut Widjaja (2005), diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi


(gangguan penyerapan zat gizi), makanan dan faktor psikologis.
a. Faktor infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak.
Jenis-jenis infeksi yang umumnya menyerang antara lain:
1) Infeksi oleh bakteri: Escherichia colin, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae(kolera),
dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik seperti
pseudomonas. Infeksi basil (disentri),
2) Infeksi virus : Enterovirus (virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis) Adeno virus,
Rotavirus, Astrovirus
a) Infeksi parasit oleh Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongy loides), Protozoa
(Entamoeba Histolytica, Giardia Lamblia, Trichoirionas Hominis), Jamur (Candida
Albicans).
3) Infeksi jamur (Candida albicans).
4) Infeksi parental ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti : Otitis Media
Akut (OMA), Tonsillitis/Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis dan
sebagainya. Keadaan ini terutama terjadi pada bayi dan anak berumur di bawah 2
tahun;
5) Keracunan makanan
b. Faktor malabsorpsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan
lemak. Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam
susu formula dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau
sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila
dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida. Triglyserida, dengan
bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi

16

usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul
karena lemak tidak terserap dengan baik.
c. Faktor makanan
Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi,
beracun, terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang matang. Makanan yang
terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak dan balita.
d. Faktor psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare
kronis. Tetapi jarang terjadi pada balita, umumnya terjadi pada anak yang lebih besar.
3. Patofisiologi
Menurut Depkes (2010) proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh
berbagai kemungkinan, diantaranya:
a. Faktor infeksi
Proses ini dapat diawali adanya mikroba atau kuman yang masuk dalam
saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa
usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus selanjutnya terjadi perubahan
kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi
cairan dan elektrolit atau juga dikatakan bakteri akan menyebabkan sistem
transporaktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian
sekresi cairan dan elektrolit meningkat.
Diare dapat meningkatkan motilitas dan cepatnya pengosongan pada
intestinal merupakan akibat dari gangguan absorbsi dan ekskresi cairan dan elektrolit
yang berlebihan. Cairan, sodium, potasium dan bikarbonat berpindah dari rongga

17

ekstraseluler ke dalam tinja, sehingga mengakibatkan dehidrasi kekurangan elektrolit


dan dapat terjadi asidosis metabolik. Transport aktif akibat rangsangan toksin bakteri
terhadap elektrolit ke dalam usus halus. Sel dalam mukosa intestinal mengalami
iritasi dan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit. Mikroorganisme yang masuk
akan merusak sel mukosa intestinal sehingga menurunkan area permukaan intestinal,
perubahan kapasitas intestinal dan terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit.
Peradangan akan menurunkan kemampuan intestinal untuk mengabsorbsi cairan dan
elektrolit dan bahan-bahan makanan. Ini terjadi pada sindrom malabsorbsi.
Meningkatnya motilitas intestinal dapat mengakibatkan gangguan absorbsi intestinal.
b. Faktor malabsorbsi
Merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan
tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga
usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi diare.
c. Faktor makanan
Dapat terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan
kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare.

d. Faktor psikologis
Keadaan psikologis seseorang dapat mempengaruhi kecepatan gerakan
peristaltik usus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang
dapat menyebabkan diare.
4. Jenis diare

18

Penyakit diare menurut DepkesRI (2008), berdasarkan jenisnya dibagi


menjadi empat yaitu :
a. Diare Akut
Diare akut yaitu, diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya
kurang dari 7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan
penyebab utama kematian bagi penderita diare.
b. Disentri
Disentri yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah
anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan kemungkinan terjadinnya
komplikasi pada mukosa.
c. Diare persisten
Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan
metabolisme.
d. Diare dengan masalah lain
Anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten) mungkin juga
disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

5. Tanda-tanda diare
Mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu
makan berkurang atau tidak ada, tinja cair, warna tinja makin lama kehijau-hijauan
karena bercampur dengan empedu, anus dan daerah sekitar lecet, ubun-ubun cekung,

19

berat badan menurun, muntah, selaput lendir mulut dan kulit kering (Ngastiyah,
2005).
6. Gejala diare
Menurut Widjaja (2005), gejala-gejala diare adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah.


Suhu badan meningkat,
Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah
Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu,
Lecet pada anus,
Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang,
Muntah sebelum dan sesudah diare,
Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah),
Dehidrasi (kekurangan cairan), dehidrasi ringan, dehidrasi sedang,
dehidrasi berat.

Sebelum anak dibawa ke tempat fasilitas kesehatan untuk mengurangi resiko


dehidrasi sebaiknya diberi oralit terlebih dahulu, bila tidak tersedia berikan cairan
rumah tangga misalnya air tajin, kuah sayur, sari buah, air the, air matang dan lainlain.

7. Epidemiologi Penyakit Diare


Menurut Depkes RI (2005), epidemiologi penyakit diare adalah sebagai
berikut: Penyebaran kuman yang menyebabkan diare. Kuman penyebab diare
biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman
yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa
perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko
terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada
pertama kehidupan, menggunakan botol susu yang kotor, menyimpan makanan

20

masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci
tangan sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum
makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar.
a. Faktor pejamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare
Faktor pada pejamu yang dapat meningkatkan insiden, beberapa penyakit dan
lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak memberikan ASI sampai umur 2
tahun, kurang gizi, campak, imunodefisiensi atau imunosupresi dan secara
proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.
b. Faktor lingkungan dan perilaku
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor
yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan
berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena
tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula,
yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.

8. Pencegahan Diare
Di bawah ini adalah beberapa hal yang harus dilakukan untuk mencegah agar
anak-anak tidak terjangkit penyakit diare, hal-hal tersebut adalah:
a. Memberikan ASI
ASI turut memberikan perlindungan terhadap terjadinya diare pada balita
karena antibodi dan zat-zat lain yang terkandung di dalamnya memberikan
perlindungan secara imunologi.
b. Memperbaiki makanan pendamping ASI

21

Perilaku yang salah dalam pemberian makanan pendamping ASI dapat


menyebabkan resiko terjadinya diare sehingga dalam pemberiannya harus
memperhatikan waktu dan jenis makanan yang diberikan. Pemberian makanan
pendamping ASI sebaiknya dimulai dengan memberikan makanan lunak ketika anak
berumur 6 bulan dan dapat diteruskan pemberian ASI, setelah anak berumur 9 bulan
atau lebih, tambahkan macam makanan lain dan frekwensi pemberikan makan lebih
sering (4 kali sehari). Saat anak berumur 11 tahun berikan semua makanan yang
dimasak dengan baik, frekwensi pemberiannya 4-6 kali sehari.
c. Menggunakan air bersih yang cukup
Resiko untuk menderita diare dapat dikurangi dengan menggunakan air yang
bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai
penyimpanannya di rumah.
d. Mencuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan.
e. Menggunakan jamban
Upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan
resiko penularan diare karena penularan kuman penyebab diare melalui tinja dapat
dihindari.
f. Membuang tinja bayi dengan benar
Membuang tinja bayi ke dalam jamban sesegera mungkin sehingga penularan
kuman penyebab diare melalui tinja bayi dapat dicegah.
g. Memberikan imunisasi campak

22

Anak yang sakit campak sering disertai diare sehingga imunisasi campak
dapat mencegah terjadinya diare yang lebih parah lagi (Depkes, 2010).
D. Peran Perawat Komunitas
Berdasarkan Konsorsium Ilmu Kesehatan Tahun 1989 dan Hasil Lokakarya
Keperawatan Tahun 1983 maka banyak sekali peran yang dijalankan oleh perawat
kesehatan masyarakat dalam mengorganisasikan upaya-upaya kesehatan yang
dijalankan apakah itu melalui Puskesmas yang merupakan bagian dari institusi
pelayanan dasar utama, baik program di dalam geudng atau di luar gedung, pada
keluarga, kelompok-kelompok khusus dan lain sebagainya sesuai dengan peran dan
fungsi tanggungjawabnya (Nurharlina. 2011). Dan peran yang dapat dilaksanakan
diantaranya adalah :
1. Pelaksana pelayanan keperawatan
Perawat bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan keperawatan dari
yang bersifat sederhana sampai yang paling kompleks, secara langsung atau tidak
langsung kepada klien sebagai individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Ini
merupakan peran utama dari perawat, dimana perawat dapat memberikan asuhan
keperawatan yang profesional, menerapkan ilmu atau teori, prinsip, konsep dan
menguji kebenarannya dalam situasi nyata, apakah kriteria profesi dapat ditampilkan
dan sesuai dengan harapan penerima jasa keperawatan. Masyarakat mengharapkan
perawat mempunyai kemampuan khusus untuk menanggulangi masalah-masalah
individu, keluarga, kelompok atau masyarakat. Perawat harus menguasai konsepkonsep dalam lingkup kesehatan dan melatih diri sehingga dapat memiliki

23

kemampuan tersebut. Kemampuan ini diperoleh selama masa pendidikan dan


dimanfaatkan saat menjalankan tugasnya di sarana pelayanan kesehatan.
2. Pendidik
Perawat bertanggung jawab dalam hal pendidikan dan pengajaran ilmu
keperawatan kepada klien, tenaga keperawatan maupun tenaga kesehatan lainnya.
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam keperawatan adalah aspek
pendidikan, karena perubahan tingkah laku merupakan salah satu sasaran dari
pelayanan keperawatan. Perawat harus bisa berperan sebagai pendidik bagio
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
3. Koordinator pelayanan kesehatan
Peran

ini

dilaksanakan

dengan

mengarahkan,

merencanakan,

serta

mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi pelayann


kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

4. Innovator (pembaharu)
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan,
kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelauanan keperawatan.
5. Kolaborator
Peran ini dilakuakn karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri
dari: dokter, fisioterapis, ahli gizi dll dengan berupayan mengidentifikasi pelayanan

24

keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan
bentuk pelayanan selanjutnya.
6. Konsultan
Yaitu sebagai tenpat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan
yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap
informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
7. Pengelola
Perawat bertanggungjawab dalam hal administrasi keperawatan baik di
masyarakat maupun dalam institusi dalam mengelola pelayanan keperawatan untuk
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Perawat juga bekerja sebagia
pengelola

suatu

sekolah

atau

program

pendidikan

keperawatan.

Sebagai

administrator bukan berarti perawat harus berperan dalam kegiatan administratif


secara umum. Perawat sebagi tenaga kesehatan yang spesifik dalam sistem pelayanan
kesehatan tetap bersatu dengan profesi lain dalam pelayanan kesehatan. Setiap tenaga
kesehatan adalah anggota potensial dalam kelompoknya dan dapat mengatur,
merencanakan, melaksanakan dan menilai tindakan yang diberikan, mengingat
perawat merupakan anggota profesional yang paling lama bertemu dengan klien
maka perawat harus merencanakan, melaksanakan, dan mengatur berbagai alternatif
terapi yang harus diterima oleh klien. Tugas ini menuntut adanya kemampuan
manajerial yang handal dari perawat (Nurharlina. 2011).

25

BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antar konsep-konsep
yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan
(Notoatmodjo, 2005). Kerangka konsep adalah bagian penelitian yan menyajikan

26

konsep atau teori dalam bentuk kerangka konsep penelitian. Kerangka konsep dalam
penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut:
Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

PHBS
Pemberian ASI esklusif
Kejadian Diare
Balita ditimbang dalam tiga bulan terakhir
Buang
air
besar
Cuci tangan dengan air bersih dan sabun sebelum makan dan atau
setelah
buang
air lebih
besar. dari 3-4 kali
Tinja berbentuk cair
Menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga sehari-hari
Memiliki atau menggunakan jamban
Dengan atau tanpa disertai lendir
Air yang diminum selalu dimasak terlebih dahulu
Jarak Sumber air dengan jamban 10 meter atau lebih

Variabel Bebas/Independen

perhari

Variabel Terikat/Dependen

B. Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional variabel digunakan untuk membatasi ruang lingkup atau
pengertian variabel-variabel diamati atau diteliti, perlu sekali variabel-variabel
tersebut diberi batasan atau definisi operasional. Definisi operasional ini bermanfaat
untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel
bersangkutan serta pengembangan instrumen (alat ukur) (Notoatmodjo, 2005).
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel

27

Definisi
Operasional

Cara
Ukur

Alat
Ukur

Independent:
Perilaku
hidup bersih
dan sehat
(PHBS)

Perilaku hidup
bersih dan
sehat (PHBS)
responden
sesuai dengan
kriteria
program PHBS
yang telah
dimodifikasi
dan
disesuaikan
dengan
masalah diare

Melihat
hasil
jawaban
responden

Kuesioner

Dependen:
Kejadian
diare pada
balita

Buang air besar


cair yang dialami
oleh balita yang
terpilih sebagai
sampel dalam
kurun waktu
bulan Juli 2010
Sekarang

Melihat
hasil
jawaban
responden

Kuesioner

No

Variabel

1.

2.

Kategori

Skala
Nominal

1.

Ya = 1

2. Tidak = 0
Dengan Kriteria:
Sehat jika
jawaban ya =
100%
Tidak sehat jika
ada salah satu
jawaban tidak
(Depkes RI, 2010)

Nominal

1.

Tidak
Diare = 1

2.

Diare = 0

C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah (Nursalam, 2005).
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ha

: Ada hubungan antara Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan
kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Compreng
Kabupaten Subang.

28

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Desain penelitian adalah hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang dibuat
oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan.
Desain sangat erat dengan bagaimana kerangka konsep penelitian sebagai petunjuk

29

perencanaan penelitian secara rinci dalam hal pengumpulan dan analisa data,
(Nursalam, 2005). Dalam hal ini metode penelitian yang digunakan adalah metode
analitik korelasional yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan untuk mencari,
menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan serta menguji berdasarkan teori yang
sudah ada. Penelitian korelasional bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif
antar variabel (Nursalam, 2005).
Jenis penelitian ini menggunakan rancangan Cross Sectional yaitu suatu
penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan
efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu
saat. Artinya setiap subjek penelitian hanya diobservasi satu kali saja (Notoatmodjo,
2005).
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh ibu-ibu yang
memiliki balita (berumur 1-5 tahun) yang bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Compreng Kabupaten Subang sebanyak 928 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian kecil yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. (Notoatmodjo, 2005). Dalam
penelitian ini sampel yang diteliti yaitu sebagian dari ibu-ibu yang memiliki balita
yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Compreng Kabupaten Subang,
pada penelitian ini sampel yang diteliti adalah yang sesuai dengan kriteria inklusi
sejumlah 90 responden.

30

a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2008). Adapun yang
menjadi kriteria inklusi dalam sampel penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)

Ibu-ibu yang memiliki balita bertempat tinggal dan tercatat sebagai


penduduk Desa wilayah kerja Puskesmas Compreng Kabupaten Subang dan datang
ke Posyandu.

2)

Dapat membaca dan menulis.

3)

Dapat berkomunikasi dengan baik.

4)

Bersedia menjadi responden.


3. Besar sampel
Besar sampel adalah anggota yang akan dijadikan sampel (Nursalam, 2005).
Menurut Notoatmodjo (2005), melihat pada pendapat di atas maka penelitian ini,
populasi penelitian lebih dari 100, maka jumlah sampel ditentukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
N
N .d 2 1
928
n
928(0,1) 2 1
928
n
928(0,01) 1
928
n

9,28 1
928
n
90,27
10,28
n

keterangan:

31

N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kepercayaan (ketepatan yang diinginkan) sebesar 10%
Jadi jumlah sampel sebanyak 90 responden.
4. Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi dari populasi yang ada. Teknik sampling
merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh
sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan setiap penelitian (Nursalam,
2005). Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak yaitu
dengan menggunakan teknik simple random sampling yaitu bahwa setiap anggota
atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai
sampel. Untuk mencapai sampel ini, setiap elemen diseleksi secara acak (random).
Nomor responden ditulis pada secarik kertas, dimasukkan ke dalam kotak, diaduk
dan diambil secara acak sesuai besarnya sampel (Notoatmodjo S, 2005).
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Compreng
Kabupaten Subang pada bulan Oktober 2013. Proses penelitian selesai dalam waktu
kurang lebih 2-3 minggu.
D. Etika Penelitian
Pada saat akan melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin
kepada Kepala Puskesmas Compreng yang menjadi tempat penelitian untuk
mendapatkan persetujuan. Kemudian kuesioner dikirimkan ke subjek yang diteliti
dengan menekankan pada masalah etika yang meliputi:
1. Informed Concent

32

Informed concent merupakan kesepakatan antara peneliti dengan responden


dengan cara pemberian lembar persetujuan (Informed Concent). Peneliti sebelum
melakukan penelitian mengedarkan lembar persetujuan untuk menjadi responden
dengan tujuan supaya subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian, manfaat serta
akibat dari penelitian ini. Pada saat penelitian, semua calon responden menyetujui
untuk menjadi sampel penelitian sehingga semua menandatangani lembar
persetujuan dan tidak ada subjek yang tidak bersedia menjadi responden penelitian
(Nursalam, 2005).
2. Anonimity (Tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencatumkan nama
responden pada lembar pengukuran data (kuesioner). Lembar tersebut hanya diberi
nomor responden dengan kode angka 1 sampai dengan angka 90 sesuai dengan
jumlah responden pada saat penelitian (Nursalam, 2005).
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dengan
tidak mencantumkan nama pada saat membuat laporan hasil penelitian (skripsi)
kepada dosen pembimbing, hanya kelompok data tertentu seperti data karakteristik
responden, perilaku hidup bersih dan sehat serta kejadian diare pada balita yang
dilaporkan sebagai hasil penelitian (Nursalam, 2005).
4. Keadilan
Peneliti menekankan prinsip keadilan yaitu dengan memperlakukan
responden dengan perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun sesudah
berpartisipasi dalam penelitian (Nursalam, 2005).

33

5. Manfaat dan kerugian yang ditimbulkan


Peneliti melakukan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian supaya
mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian.
Peneliti juga meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek seperti tidak
menggangu aktivitas responden, dan tidak mengganggu privasi responden pada saat
mengisi kuesinoer (Nursalam, 2005).
E. Variabel Penelitian
1. Variabel Independent
Variabel independent atau variabel bebas ini merupakan yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel dependent (terikat) (Notoatmodjo, 2005). Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
2. Variabel Dependent
Variabel dependent atau variabel tergantung ini merupakan variabel yang
dipengaruh atau menjadi akibat karena variabel bebas (Notoatmodjo, 2005). Variabel
tergantung dalam penelitian ini adalah kejadian diare pada balita.
F. Alat Pengumpul Data Penelitian
Instrumen penelitian yaitu suatu alat yang digunakan untuk memperoleh
informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia
ketahui (Arikunto, 2006). Pada penelitian ini instrumen yang digunakan untuk
variabel kejadian diare adalah kuesioner untuk variabel Perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) kuesioner yang digunakan disesuaikan dengan format PHBS dan
diambil yang sesuai dengan masalah diare.
G. Prosedur Pengumpulan Data

34

1. Perizinan Penelitian
Sebagai salah satu persyaratan untuk penelitian ini adalah diperlakukannya
perizinan baik dari tingkat lembaga-lembaga terkait dalam hal ini adalah instansi
dimana peneliti melakukan penelitian
2. Pelaksanaan Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data diperoleh dari dua jenis data yaitu:
a. Data Primer
Pengumpulan data untuk variabel PHBS, dan kejadian diare pada balita
diperoleh secara langsung dengan menggunakan

kuesioner kepada seluruh

responden berupa jawaban responden terhadap pernyataan-pernyataan di dalam


kuesioner.
Pelaksanaan pengumpulan data ini akan dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Compreng. Prosedur yang ditempuh dalam pelaksanaan pengumpulan
data ini adalah sebagai berikut :
1) Memberikan informasi berkaitan dengan kepentingan penelitian dan memberikan
petunjuk pengisian alat pengumpul data.
2) Memberikan informed concent kepada responden sebagai bentuk kesediaan
responden dijadikan sampel penelitian.
3) Membagikan alat pengumpul data PHBS dan kejadian diare pada balita kepada
responden yang menjadi sampel penelitian.
4) Mengumpulkan lembar jawaban sebagai hasil pengumpulan data primer dari
responden dan melakukan cek ulang untuk memeriksa kelengkapan identitas dan
jawaban responden pada setiap lembar kuesioner.

35

5) Menghitung hasil jawaban responden serta memberikan skor.


b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari Puskesmas Compreng Kabupaten Subang mengenai
jumlah ibu balita selama penelitian berlangsung.
H. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik Pengolahan data
Sebelum data hasil penelitian dianalisis, data yang telah dikumpulkan akan
diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.

Editing
Tahap pemeriksaan kelengkapan data dan kesinambungan data serta
keseragaman data. Penulis melakukan pemeriksaan biodata karakteristik responden,
kelengkapan hasil jawaban responden. jika terdapat kesalahan atau kekurangan maka
penulis dapat segera melakukan perbaikan dengan mengembalikan instrumen

b.

penelitian untuk diisi dengan lengkap.


Coding
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari responden menurut kriteria
tertentu. Klasifikasi ukumnya ditandai dengan kode tertentu yang biasanya berupa
angka (Moh.Nasir, 2005). Pada penelitian ini pengkodean sebagai berikut:
1) Variabel Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
a) Jika jawaban ya diberi nilai 1
b) Jika jawaban tidak diberi nilai 0
2) Variabel kejadian diare
a) Jika tidak diare diberi nilai 1
b) Jika diare diberi nilai 0.

c.

Scoring

36

Scoring adalah penentuan jumlah skor bila ada jawaban ya diberi skor 1 dan
bila tidak diberi skor 0 (Moh.Nasir, 2005). Variabel Perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) menggunakan rumus persentase sebagai berikut
P

f
x100%
n

Keterangan :
P : Persentase.
f : Nilai yang diperoleh.
n : Frekuensi total atau keseluruhan (Budiarto E, 2006).
Setelah persentase diketahui, kemudian hasilnya dikelompokkan pada
kriteria:

d.

a) Kriteria sehat jika persentase 100%


b) Kriteria tidak sehat jika persentase < 100% (Depkes, 2010)
Tabulating
Tabulating adalah penyusunan data dalam bentuk tabel (Moh.Nasir, 2005).
Tabulasi adalah pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat
dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisa. Proses tabulasi dapat
dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan metode tally, menggunakan kartu,
dan menggunakan komputer (Budiarto, 2006). Dalam penelitian ini penyajian data
dalam bentuk tabel yang menggambarkan distribusi frekwensi responden
berdasarkan karakteristiknya dan tujuan penelitian.
2. Teknik Analisis Data

37

Analisis data merupakan suatu kegiatan untuk mengelompokkan, membuat,


dan memberikan tingkatan pada data sehingga memiliki arti dan mudah dibaca.
Analisis dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat, melalui komputer statistik.
a. Analisis Univariat
Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dari variabel PHBS dan
kejadian diare pada balita.
b. Analisis Bivariat
Data yang telah terkumpul diperiksa ulang dengan tujuan untuk mengetahui
kelengkapan dan kebenarannya, kemudian ditabulasi dan disajikan dalam tabel
distribusi frekuensi. Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mencari /
mengetahui adanya hubungan antara dua variabel, yaitu variabel independent dan
dependent dalam bentuk kategori maka uji statistik yang digunakan adalah uji ChiSquare pada tingkat kepercayaan 95% dengan menggunakan bantuan komputer,
dimana taraf signifikansinya sebesar 0,05 sehingga bila ditemukan hasil analisis
statistik p 0,05 maka variabel di atas dinyatakan berhubungan secara signifikan.
Variabel independent dalam penelitian ini adalah PHBS sedangkan variabel
dependent yaitu kejadian diare pada balita. Adapun rumus uji chi-square sebagai
berikut:
2

f0 fe 2
fe

Keterangan :
2

: Nilai chi kuadrat

fo

: frekuensi yang diobservasi (frekuensi empiris)

38

fe

: frekuensi yang diharapkan (frekuensi teoritis)

(Budiarto, 2006).
Membuat keputusan tentang hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak,
maka dapat dilihat pada p value. Jika p 0,05 : Ho ditolak. Artinya terdapat
hubungan signifikan. Analisis hasil dilakukan juga dengan cara distribusi frekuensi,
tabel disajikan dalam bentuk tabel kontingensi (selalu dalam bentuk tabel kontingensi
2x2 atau 2 baris dan 2 kolom) kemudian diinterpretasikan untuk menjawab tujuan
penelitian sebagai kesimpulan penelitian (Dahlan, S, 2008).

39

40

Anda mungkin juga menyukai