Anda di halaman 1dari 5

IDENTIFIKASI MASALAH PERTAMBANGAN DAN

KEBIJAKANNYA

Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara

A.

Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengusahaan batubara masih


diperlukan untuk menunjang pembangunan, sehingga pengembangan tambang
batubara masih akan terus berlanjut. Pelaksanaan UU Mineral dan Batubara
yang baru ditujukan untuk mendorong realisasi hal itu. Di bawah ini adalah poin
poin penting dalam UU tersebut:

Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan


oleh gubernur, bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi daerah).

Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam


negeri, dalam hal ini adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan
dan pemurnian hasil tambang (Belum ada kewajiban untuk membangun
fasilitas prepasi batubara/coal preparation plant).

Kewajiban

bagi

pengusaha

pertambangan

untuk

melakukan

pembangunan daerah (community development) dan penanganan


lingkungan yang terkait dengan pelaksanaan pertambangan.

Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah


produksi,

volume

ekspor,

serta

harga

batubara.

Pemberlakukan

kewajiban suplai untuk kebutuhan domestic (Domestic Market Obligation /


DMO) dan regulasi harga batubara (Indonesia Coal Price Reference /
ICPR).

Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN


dan perusahaan dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah
Pencadangan Negara (WPN) diterbitkan oleh pemerintah pusat.

Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat


publik. Aturan hukum menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran
menjadi lebih tegas, serta memungkinkan hukuman pidana bagi badan
hukum.

Pasal 76UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(UU Minerba) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:

1. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan


studi kelayakan;
2. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau
seluruh kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di atas.
Pasal 77 UU Minerba mengatur bahwasetiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin
untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya. IUPK Operasi Produksi ini akan diberikan pada badan usaha
berbadan hukum Indonesia yang telah memiliki data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 23/2010) mengatur
bahwa IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya.

B.

Kebijakan Pemerintah Terhadap PETI


UU No. 11 Tahun 1967 dilaksanakan melalui PP No. 32 Tahun 1969.

Dalam ketentuan ini ditentuakn bahwa pertambangan rakyat dapat dilakukan


setelah mendapat Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat yang dikeluarkan
oleh menteri. Dimana Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa
Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Rakyat setempat untuk
melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas
wilayah yang sangat terbatas.
Selanjutnya
pertambangan

beberapa

rakyat

ini

ketentuan
diantaranya

dikeluarkan
Kepmen

untuk

mengatur

Pertambangan

No.

181/Kpts/M/Pertamb/69 tentang Tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat


Untuk Bahan galian timah Putih di Riau Daratan, Kepmen Pertambangan No.
188/Kpts/M/Pertamb/1969 tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk
Bahan Galian Emas Di Daerah Propinsi Bengkulu, Kepmen Pertambangan No.
77/Kpts/M/Pertamb/1973 tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk
Bahan Galian Emas Di Daerah Bolaangmongondow Propinsi Sulawesi Utara,
Kepmen Pertambangan No. 763/Kpts/M/Pertamb/1974 tentang Pengaturan Izin
Pertambangan Rakyat Untuk bahan galian Kaolin Di Daerah Karaha kab. Tasik
Malaya

Propinsi

Jabar,

Permen

Pertambangan

&

Energi

No.

01

P/201/M/PE/1986 Tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan


Galian Strategis Dan Vital (Golongan A & B)
Dari semua ketentuan tersebut terdapat dapat ditarik catatan penting tentang
kebijakan pemerintah yaitu :
1. Berbagai pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan
perundangan memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang.
2. Ketidakpastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang
Kontrak Karya atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat
harus menyingkir.
3. Sedangkan untuk diareal yang ada Kontrak Pertambangannya tetap
dibuka kemungkinan pertambangan rakyat, dengan syarat adanya ijin
pemegang kontrak pertambangan.
4. Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara dengan imbalan
sejumlah pungutan dari penambang. Meskipun pembinaan tersebut tidak
jelas dan diserahkan kepada pemda setempat.
Akibat dari berbagai kebijakan terhadap pertambangan rakyat tersebut,
banyak pertambangan-pertambangan dilakukan tanpa ijin (PETI). Kepala dinas
Pertambangan Kalimantan selatan menyebutkan Sepanjang tahun 1997-2000,
tambang rakyat di Kalimantan Selatan berkembang 334 penambang tanpa ijin
yang tersebar di 238 lokasi, mencakup 236 ha dengan memakai alat berat .
Sedangkan di Sumatera Barat, Kodya Sawahlunto sampai dengan tahun 2000
terdapat 2500 orang penambang liar . Sementara itu di Jambi, dikecamatan
Palepat Kab. Bungo sampai tahun 2001 terdapat kurang lebih 500 orang
penambang tanpa ijin . Di Kalimantan Selatan sampai tahun 2001 terdapat 6000
orang penambang emas tanpa ijin.
Selain

masalah-masalah

tersebut,

kebijakan

yang

mendahulukan

pemegang kontrak pertambangan daripada penambang rakyat, juga menuai


konflik.
Menghadapi masalah-masalah PETI ini, pada tahun 2000 pemerintah
mengeluarkan Inpres RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penanggulangan
Masalah Pertambangan Tanpa Izin. Namun demikian pelaksanaan Inpres ini
mendapat reaksi yang keras karena praktek dilapangan yang tidak sepatutnya.

C.

Rencana Kebijakan Pemerintah Terhadap Sektor Pertambangan SDA


Kondisi Energi di Indonesia pada komposisi energi primer peningkatan

rasio untuk batubara setiap tahunnya dimana persentase batubara yang hanya
sebesar 18.3% pada tahun 2008, direncanakan meningkat hingga 33% pada
tahun 2025. Rencana ini adalah berdasarkan Peraturan Presiden No 5 tahun
2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan peranan batubara
sebesar 33% pada bauran energi nasional di tahun 2025. Peraturan ini
menunjukkan dengan jelas mengenai kebijakan untuk mendorong pengusahaan
batubara, sebagai upaya untuk mendukung konversi energi minyak ke batubara.
Dalam pembangkitan listrik pun rasio pemakaian batubara juga terus meningkat
setiap tahunnya, dimana realisasi pada tahun 2007 mencatat angka sebesar
63%. Adapun rasio gas alam pada pembangkitan listrik menurun karena adanya
kebijakan peningkatan ekspor gas.

D.

CSR Dalam Bidang Pertambangan


Dalam UU PT, pengaturan mengenai CSR hanya terdapat dalam 1 (satu)

pasal yakni Pasal 74. Pasal 74 menegaskan perseroan yang menjalankan


kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yang mana kewajiban
tersebut dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukandengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Apabila kewajiban tersebut tidak dijalankan maka akan dikenakan sanksi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam
penjelasan pasal tersebut ditegaskan pula mengenai tujuan diberlakukannya
kewajiban CSR, untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat.
The

World

Business

Council

for

Sustainable

Development

(WBCSD)

mendefinisikan CSR Continuing commitment by business to behave ethically


and contribute to economic development while improving the quality of life of the
workforce and their families as well as of the local community and society at
large. Artinya adalah komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak
dengan etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan
ekonomi, dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan

keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat


secara lebih luas.
Komisi Eropa mendefinisikan CSR sebagai kondisi dimana perusahaan
secara sukarela memberi kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih
baik dan lingkungan yang lebih bersih. Definisi lain dari CSR juga dikemukakan
oleh Elkington (1997) melalui bukunya Cannibals with Forks, the Triple Bottom
Line of Twentieth Century Bussiness , dimana sebuah perusahaan yang
menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian secara
berimbang kepada 3P yaitu Profit, People dan Planet. Profit artinya peningkatan
kualitas perusahaan; People artinya masyarakat, khususnya komunitas sekitar ;
dan Planet artinya lingkungan hidup.
Corporate Social Responsibility (CSR) menggagas bahwa perusahaan
tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom
line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi
keuangannya (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada
triple bottom lines. Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam
istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice (Wibisono,
2007).

Anda mungkin juga menyukai