BAB I
PENDAHULUAN
Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit, yang
merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak
oleh karena terganggu fungsinya. Kejang demam pada anak merupakan kelainan neurologik
yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Kejang demam adalah tipe kejang yang
paling sering terjadi pada anak. Walaupun telah dijelaskan oleh bangsa Yunani , baru pada
abad ini kejang demam dibedakan dengan epilepsy. 1,2
Kejang merupakan salah satu darurat medik yang harus segera diatasi.2 Kejang didefinisikan
sebagai gangguan fungsi otak paroksismal yang dapat dilihat sebagai kehilangan kesadaran,
aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom.1,2
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu badan yang
tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial (ekstrakranial : ekstra = di luar, kranium :
rongga tengkorak. Ekstrakranial : di luar rongga tengkorak).1
Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama, tergantung dari
nilai ambang kejang masing-masing. Setiap serangan kejang pada anak harus mendapat
penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada kasus kejang yang berlangsung lama dan
berulang. Karena keterlambatan dan kesalahan prosedur akan mengakibatkan gejala sisa pada
anak atau bahkan menyebabkan kematian.2
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2-4% dari jumlah penduduk di AS,
Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi.
Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus
ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih
banyak menyerang anak laki-laki. Penderita pada umumnya mempunyai riwayat keluarga
(orang tua atau saudara kandung) penderita kejang demam.2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
lebih dari 380c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi
pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa
demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang
disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan
terjadi bersama demam.
2.2. Epidemiologi
A. Frekuensi
Amerika Serikat
Antara 2% sampai 5% anak mengalami kejang demam sebelum usianya yang ke 5. Sekitar
1/3 dari mereka paling tidak mengalami 1 kali rekurensi.
Internasional
Kejadian kejang demam seperti di atas serupa di Eropa. Kejadian di Negara lain berkisar
antara 5 sampai 10% di India, 8.8% di Jepang, 14% di Guam, 0.35% di Hong Kong, dan 0.51.5% di China.
B. Mortalitas/Morbiditas
Kejang demam biasanya tidak berbahaya.
Anak dengan kejang demam memiliki resiko epilepsy sedikit lebih tinggi dibandingkan
yang tidak (2% : 1%).
Faktor resiko untuk epilepsy di tahun-tahun berikutnya meliputi kejang demam kompleks,
riwayat epilepsy atau kelainan neurologi dalam keluarga, dan hambatan pertumbuhan. Pasien
dengan 2 faktor resiko tersebut mempunyai kemungkinan 10% mendapatkan kejang demam.
C. Ras
Kejang demam terjadi pada semua ras.
D. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan kejadian lebih tinggi pada pria.
E. Usia
Kejang demam terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun.
2.3. Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan
oleh :
infeksi saluran pernafasan atas,
otitis media,
pneumonia,
gastroenteritis, dan
infeksi saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak begitu tinggi
dapat menyebabkan kejang.3
Penyebab lain kejang disertai demam adalah penggunaan obat-obat tertentu seperti
difenhidramin, antidepresan trisiklik, amfetamin, kokain, dan dehidrasi yang mengakibatkan
gangguan keseimbangan air-elektrolit.4
2.4. Faktor Resiko
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kejang demam adalah :11
1. Umur
a. 3% anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.
b. Insiden tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun, jarang terjadi pada
anak di bawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
c. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan
bertambahnya umur.
2. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih cepat pada
perempuan dibandingkan pada laki-laki.
3. Suhu badan
Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada
saat timbul serangan merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk
setiap anak, berkisar antara 38,3C 41,4C. Adanya perbedaan ambang kejang ini
menerangkan mengapa pada seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya
meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu
meningkat tidak terlalu tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya
kejang demam akan lebih sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah.
4. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam. Beberapa
penulis mendapatkan bahwa 25 50% anak yang mengalami kejang demam memiliki
anggota keluarga ( orang tua, saudara kandung ) yang pernah mengalami kejang demam
sekurang-kurangnya sekali.
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.6 Kejang demam
cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan demam atau pada waktu
demam tinggi.7
Faktor faktor lain diantaranya:
riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat,
problem pada masa neonatus,
anak dalam perawatan khusus, dan
kadar natrium rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau
lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Risiko rekurensi
meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga
epilepsi.
Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami kejang rekuren.
o Faktor resiko untuk kejang demam rekuren meliputi berikut ini:
Usia muda saat kejang demam pertama
Suhu yang rendah saat kejang pertama
Riwayat kejang demam dalam keluarga
Durasi yang cepat antara onset demam dan timbulnya kejang
o Pasien dengan 4 faktor resiko ini memiliki lebih dari 70% kemungkinan rekuren. Pasien
tanpa faktor resiko tersebut memiliki kurang dari 20% kemungkinan rekuren.
2.5. Patofisiologi
Kelangsungan hidup sel otak memerlukan energi yang didapat dari metabolisme glukosa
melalui suatu proses oksidasi. Dimana dalam proses oksidasi tersebut diperlukan oksigen
yang disediakan dengan perantaraan paru-paru. Oksigen dari paru-paru ini diteruskan ke otak
melalui sistem kardiovaskular.11,12,13
Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang
terdiri dari membran permukaan dalam dan membran permukaan luar. Membran permukaan
dalam bersifat lipoid, sedangkan membran permukaan luar bersifat ionik. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion Kalium ( K+ ) dan sangat sulit
dilalui oleh ion Natrium ( Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di
luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar neuron, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran
tadi dapat berubah oleh adanya :
1. perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. rangsangan yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau aliran listrik
dari sekitarnya
3. perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan11,12,13
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia 3 tahun,
sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengakibatkan adanya
perubahan keseimbangan membran neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium
dan ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel tetangga dengan perantaraan neurotransmiter sehingga terjadilah kejang. Tiap
anak memiliki ambang kejang yang berbeda, dan tergantung dari tinggi rendahnya nilai
ambang kejang, seorang anak menerita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38C,
sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu
40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam
akan lebih sering pada anak dengan ambang kejang yang rendah. Sehingga dalam
penanggulangan anak dengan ambang kejang demikian perlu diperhatikan pada tingkat suhu
berapa anak tersebut akan mendapat serangan. 11,12,13
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi pada kejang lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai
terjadinya apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu
tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian tadi adalah faktor penyebab
hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan
neuron. 11,12,13 Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa terjadi di
daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini
diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.
Berdasarakan referensi lain, mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak ada
beberapa faktor fisiologis yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk memulai kejang,
harus ada kelompok neuron yang mampu menimbulkan ledakan discharge (rabas) yang
berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan discharge (rabas) kejang akhirnya
tergantung pada eksitasi sinaps glumaterik. Bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa eksitasi
neurotransmiter asam amino (glutamat, aspartat) dapat memainkan peran dalam
menghasilkan eksistasi neuron dengan bekerja pada reseptor sel tertentu. Diketahui bahwa
kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan bahwa kejang dapat berasal dari daerah
kematian neuron dan bahwa daerah otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps
hipereksitabel baru yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus temporalis
(termasuk glioma tumbuh lambat hematoma, gliosis, dan malformasi arteriovenosus)
menyebabkan kejang. Dan bila jaringan abnormal diambil secara bedah. Kejang mungkin
berhenti. Lebih lanjut, konvulsi dapat ditimbulkan pada binatang percobaan dengan fenomena
membangkitkan. Pada model ini, stimulasi otak subkonvulsif berulang (misal, amigdala)
akhirnya menyebabkan konvulsi berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan
terjadinya epilepsi pada manusia pasca cedera otak. Pada manusia telah diduga bahwa
aktivitas kejang berulang-ulang dari lobus temporalis normal kontralateral dengan
pemindahan stimulus melalui korpus kallosum.
Kejang adalah lebih lazim pada bayi dan binatang percobaan imatur. Kejang tertentu pada
populasi pediatri adalah spesifik umur (misal spasme infantil) , yang menunjukkan bahwa
otak yang kurang berkembang lebih rentan rerhadap kejang spesifik daripada anak yang lebih
tua atau orang dewasa. Faktor genetik menyebabkan setidaknya 20% dari semua kasus
epilepsi. Penggunaan analisis kaitan, lokasi kromosom beberapa epilepsi. Penggunaan
analisis kaitan, lokasi kromosom beberapa epilepsi famili telah dikenali, termasuk konvulsi
neonatus benigna (20q), epilepsi mioklonik juvenil (6p), dan epilepsi mioklonik progresif
(21q22.3), Adalah amat mungkin bahwa dalam waktu dekat dasar molekular epilepsi
tambahan, seperti epilepsi rolandik benigna dan kejang-kejang linglung, akan dikenali. Juga
diketahui bahwa substansia abu-abu memegang peran integral pada terjadinya kejang
menyeluruh. Aktivitas kejang elektrografi menyebar dalam substansia abu-abu, menyebabkan
peningkatan pada ambilan 2 deoksiglukosa pada binatang dewasa, tetapi ada sedikit atau
tidak ada aktivitas metabolik dalam substansia abu-abu bila binatang imatur mengalami
kejang. Telah diduga bahwa imaturitas fungsional substansia abu-abu dapat memainkan peran
pada peningkatan substansia abu-abu dapat memainkan peran pada peningkatan kerentanan
kejang otot imatur. Lagipula, neuron pars retikulata substansia abu-abu (substantia nigra pars
reticulata (SNR) sensitif-asam gama aminobutirat (GABA) memainkan peran pada
pencegahan kejang. Agaknya bahwa saluran aliran keluar substansia abu-abu mengatur dan
memodulasi penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan mulainya kejang. Penelitian
eksitabilitas neuron, mekanisme hambatan tambahan, pencairan mekanisme non-sipnapsis
perambatan kejang dan kelainan seseptor GABA.5
2.6. Klasifikasi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak dengan umur berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun,
insidens tertinggi pada umur 18 bulan.
Kejang demam dibagi atas :
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure).5,6
Berlangsung singkat (< 15 menit) dan umumnya akan berhenti sendiri.
Kejang berbentuk umum (bangkitan kejang tonik dan atau klonik), tanpa gerakan fokal.
Kejang hanya sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)5,6
Berlangsung lama (> 15 menit).
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial.
Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih
dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 %
bangkitan kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didauhului kejang
parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang
anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.
jarang terjadi dalam laboratorium EEG. EEG normal tidak mengesampingkan diagnosis
epilepsi, karena perekaman antar-kejang normal pada sekitar 40% penderita. Prosedur
aktivasi yang meliputi hiperventilasi, penutupan mata, stimulasi cahaya, dan bila terindikasi,
penghentian tidur dan perempatan elektrode khusus (misal hantaran zigomatik), sangat
meningkatkan hasil positif, discharge (rabas) kejang lebih mungkin direkam pada bayi dan
anak daripada remaja atau dewasa.
Memonitor EEG lama dengan rekaman video aliran pendek dicadangkan pada penderita yang
terkomplikasi dengan kejang lama dan tidak responsif. Monitor EEG ini memberikan metode
yang tidak terhingga nilainya untuk perekaman kejadian kejang yang jarang diperoleh selama
pemeriksaan EEG rutin. Tehnik ini sangat membantu dalam klasifikasi kejang karena ia dapat
secara tepat menentukan lokasi dan frekuensi discharge (rabas) kejang saat perubahan
perekaman pada tingkat yang sadar dan adanya tanda klinis. Penderita dengan kejang palsu
dapat dengan mudah dibedakan dari kejang epilepsi sejati, dan tipe kejang (misal, kompleks
parsial vs menyeluruh) dapat lebih dikenali dengan tepat, yang adalah penting pada
pengamatan anak yang mungkin merupakan calon untuk pembedaan epilepsi.
Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah kontroversial. Hasilnya pada
penggunaan rutin tindakan ini pada penderita dengan kejang tanpa demam pertama dan
pemeriksaan neurologis normal adalah dapat diabaikan. Pada pemeriksaan anak dengan
gangguan kejang kronis, hasilnya adalah serupa. Meskipun sekitar 30% anak ini
menunjukkan kelainan struktural (misal atrofi korteks setempat atau ventrikel dilatasi), hanya
sedikit sekali manfaat dari intervensi aktif sebagai akibat dari skenning CT dengan demikian,
skenning CT atau MRI harus dicadangkan untuk penderita yang pemeriksaannya neurologis
abnormal. Kejang sebagian yang lama, tidak mempan dengan terapi antikonvulsan, defisit
neurologis setempat, dan bukti adanya kenaikan tekanan intrakranial merupakan indikasi
untuk pemeriksaan pencitraan saraf.
Pemeriksaan CSS terindikasi jika kejang berkemungkinan terkait dengan proses infeksi,
perdarahan subaraknoid, atau gangguan demielinasi. Uji metabolik spesifik digambarkan
pada seksi mengenai kejang neonatus dan status epileptikus.
2.9. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain, misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya : darah perifer, elektrolit dan
gula darah.
Lumbal pungsi :
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Meningitis dapat menyertai kejang, walupun kejang biasanya bukan satu-satunya tanda
meningitis.
Factor resiko meningitis pada pasien yang datang dengan kejang dan demam meliputi berikut
ini:
Kunjungan ke dokter dalam 48 jam
Aktivitas kejang saat tiba di rumah sakit
Kejang fokal, penemuan fisik yang mencurigakan (seperti merah-merah pada kulit, petekie)
sianosis, hipotensi
Pemeriksaan saraf yang abnormal
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada :
2. Gangguan metabolik
- Hipoglikemi
- Defisiensi vitamin B-6
- Gangguan elektrolit seperti hiponatremia, hipokalsemia, porfiria
- Keracunan
3. Epilepsi
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi, yang
dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala, akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron serebral secara eksesif.
MENINGITIS6
Meningitis merupakan peradangan selaput otak yang disebabkan oleh bakteri patogen.
Ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan
terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.
Manifestasi klinis
a. Anamnesis
Meningitis bakterialis pada anak seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau
pencernaan seperti demam, batuk, pilek, diare dan muntah. Demam, nyeri kepala dan
meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran merupakan hal yang sangat sugestif
meningitis. Banyak gejala meningitis berkaitan dengan usia; anak berusia kurang dari tiga
tahun jarang mengeluh nyeri kepala.
b. Pemeriksaan fisik
Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabel
Dapat juga ditemukan ubun-ubun yang menonjol, kaku kuduk atau tanda rangsang
meningeal lain, kejang dan defisit neurologist fokal.
Tanda rangsang meningeal mungkin tidal ditemukan pada anak kurang dari satu tahun.
Kriteria diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan manifetasi klinis dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang
Darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit darah, biakan darah.
Pungsi lumbal : jumlah sel 100-10.000/l, dengan hitung jenis sel polimorfonuklear, protein
200-500mg/dl, glukosa < 40mg/dl, pewarnaan gram, biakan dan uji resistensi, identifikasi
antigen (aglutinasi latex)
Pada kasus berat pungsi lumbal harus ditunda (dengan pemberian antibiotika empiris,
penundaan 2-3 hari tidak mengubah niulai diagnostik kecuali untuk identifikasi kuman
Pemeriksaan CT atau MRI kepala (pada kasus berat)
Pemeriksaan eletroensefaligrafi bila ada kejang
ENSEFALITIS6
Ensefalitis ialah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, misalnya
bakteri, ptozoa, cacing, spichaeta, atau virus. Penyebab yang tersering dan terpenting adalah
virus. Pada banyak pasien sering terjadi keterlibatan leptomeningeal (meningoensefalitis),
sedangkan ensefalomielitis menunjukkan keterlibatan medulla spinalis. Manifestasi klinis
bervariasi mulai dari demam tidak tinggi disertai sakit kepala, sampai keadaan berat, koma,
kejang dan kematian. Awitan ensefalitis dapat secara tiba-tiba atau gradual. Komplikasi yang
dapat terjadi termasuk kenaikan tekanan intrakranial, edema otak dan syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) secretion. Ensefalitis dapat menyebabkan gejala
perlahan-lahan 1 mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin
kejang tidak berhenti juga maka pasien harus dirawat diruang intensif. Setelah pemberian
fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan
dapat menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam
apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
Pemberian Antipiretik :
Pemberian antipiretik tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan obat ini mengurangi resiko
terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan dalam 4 kali pemberian per hari dan tidak lebih
dari 5 kali. Dosis ibuprofen adalah 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Asam asetilsalisilat tidak
dianjurkan karena kadang dapat menyebabkan sindrom Reye pada anak kurang dari 18 bulan.
Pemberian Antikonvulsan :
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko
berulang kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg
setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC (level I, rekomendasi A)
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejang demam (level II, rekomendasi E)
Pemberian obat rumat :
Pemberian obat rumat hanya diberikan dengan indikasi berikut:
Kejang lama >15 menit
Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis,
paresis Todd, cerebral palsy, retatdasi mental, hidrosefalus.
Kejang fokal
Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila:
o Kejang berulang 2 X atau lebih dalam 24 jam
o Kejang demam 4 X atau lebih pertahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat. Kelaian neurologis tidak nyata misalkan keterlambatan perkembangan
ringan bukan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum
menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat :
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko
berulang kejang (level I). berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar pada 40-50% kasus. Dosis asam valproat pada anak anak adalah 15-40 mg/kg/hari
dalam 2-3 dosis, dan dosis fenobarbital 3-4mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.
Lama Pengobatan Rumat :
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian diberhentikan secara bertahap
selama 1-2 tahun.
2.13. Prognosis3,6,13
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis :
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang
berulang baik umum atau fokal. Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
1. KematianDengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik, tidak
sampai terjadi kematian.Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46 % s/d 0,74
%.
2. Terulangnya KejangKemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50 %
pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. EpilepsiAngka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari Epilepsi yang
diprovokasi oleh demam. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak
sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
- riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
- kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
- kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan mengalami serangan
kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat satu atau tidak sama sekali
faktor di atas.
4. HemiparesisBiasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung
lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun kejang fokal. Kejang fokal
yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2
minggu timbul keadaan spastisitas. Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese
sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental
Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ, sedang kejang
demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan perkembangan atau kelainan
neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila kejang demam diikuti dengan
terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan menjadi retardasi mental adalah 5x lebih
besar.
Kemungkinan berulangnya kejang demam :
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya
kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia < 12 bulan
3. Suhu rendah saat kejang demam
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.
Faktor Resiko terjadinya epilepsi :
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi
adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
2. Kejang demam kompleks